sepotong kartu lebaran…

sudah agak lama saya ‘terpisahkan’ dari hobi yang satu ini. untungnya, hari-hari libur kali ini memberikan saya kesempatan untuk kembali terlibat dalam rutinitas-sambil-iseng yang biasa — utak-atik buat desain kartu digital, maksudnya.

sekarang tanggal 30 Ramadhan. ponsel saya sudah mulai sering berbunyi menandakan SMS masuk, dan sebentar lagi adzan Maghrib di hari terakhir di bulan Ramadhan kali ini. dan sambil iseng, ada hadiah kecil untuk anda pembaca yang kebetulan sedang membaca halaman ini.

EidMubarak-1429ed

Sakagami Tomoyo, muslimah style. adakah kita menjadi manusia yang lebih baik selepas shalat Hari Raya? selamat Idul Fitri, pembaca.

yah, sepotong kartu Idul Fitri. dan tak ketinggalan, ungkapan selamat Idul Fitri dari saya untuk anda yang merayakannya. mohon maaf atas segala kesalahan yang pernah ada dan mungkin terlupakan; entah itu kata-kata yang menyakitkan hati, tulisan yang mungkin membuat sebal, atau sesi chat via Yahoo! Messenger atau Google Talk yang mungkin terasa kurang berkenan.

Eid Mubarak. wishing you a blessed Eid ul-Fitr wherever you are.

___

[1]  ‘Eid Mubarak’ adalah ungkapan salam tradisional kaum muslim, asalnya dari bahasa Arab dan Persia. terasimilasi dengan bahasa Inggris, jadi deh seperti itu.

[2] trivia: ‘Idul Fitri’ adalah ungkapan khas Indonesia. di Malaysia, ‘Aidil Fitri’. dalam bahasa Inggris, ‘Eid ul-Fitr’. ada juga ungkapan yang lain di beberapa negara lain, sih.

puasa itu…

memasuki hari-hari terakhir di bulan puasa, saya jadi kepikiran untuk menulis hal yang sebenarnya hampir selalu jadi topik yang selalu terlintas di pikiran setiap tahunnya. terlepas dari recurring nature-nya, mungkin lebih tepat kalau topik ini dianggap sebagai ‘baru sempat ditulis sekarang’… yah, begitulah pokoknya.

jadi begini, pembaca. hal yang ‘mengusik’ pikiran saya adalah, bahwa ternyata puasa di bulan Ramadhan di Indonesia itu terlalu mudah. nggak ada tantangannya. dengan kata lain, suasana di Indonesia (atau setidaknya di sekitar saya) menurut saya terlalu ‘dibuat kondusif’ untuk berpuasa. kenapa begitu, ini ada ceritanya sendiri, pembaca.

sejujurnya, kadang saya agak bingung dengan sudut pandang (yang sepertinya cukup populer) yang ‘mengharuskan’ rekan-rekan yang tidak berpuasa untuk ‘menghormati’ orang-orang yang berpuasa. rumah-rumah makan dipasangi tirai. jam beroperasi tempat-tempat hiburan dibatasi. rekan-rekan yang tidak berpuasa mungkin merasa perlu ‘berhati-hati’ kalau mau makan di lingkungan warga yang berpuasa… hal ini, terutama karena sebagian dari mereka yang berpuasa mengharapkan mereka yang tidak berpuasa untuk menghormati mereka yang berpuasa.

hal ini jadi membingungkan untuk saya, karena saya sendiri tidak melihat perlunya rekan-rekan yang tidak berpuasa untuk melakukan hal-hal tersebut, apalagi untuk alasan ‘menghormati orang-orang yang berpuasa’ — yang kadang datangnya malah dari mereka yang berpuasa. tentu saja, mungkin ada alasan lain dari pihak yang tidak berpuasa; toleransi dan tenggang rasa, misalnya. di satu sisi, hal ini adalah sesuatu yang bagus; bukankah ini adalah hal yang konstruktif dalam kehidupan bermasyarakat? tentu, tidak ada masalah apabila (dan seharusnya) hal ini adalah murni inisiatif dari pihak yang tidak berpuasa.

tapi, kalau sampai mereka yang berpuasa meminta mereka yang tidak berpuasa untuk menghormati ibadah puasa, rasanya kok ya… absurd. kelihatannya kok seperti anak SD yang hendak ujian matematika, tapi maunya bisa memilih soal mana yang akan dikeluarkan oleh Ibu Guru? :mrgreen:

::

puasa, seharusnya adalah kesempatan untuk melatih dan menahan diri bagi mereka yang melaksanakannya. dan dengan demikian, ‘puasa’ yang sebenarnya adalah puasa yang dilakukan oleh rekan-rekan di tempat-tempat yang mayoritas penduduknya tidak berpuasa; Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Australia… tentu saja, bukan di tempat seperti Malaysia atau Saudi Arabia, pembaca. dalam keadaan yang demikian, proses adaptasi justru dilakukan oleh mereka yang berpuasa alih-alih sebaliknya; keadaan ‘normal’ di tempat tersebut adalah masyarakat tidak menjalankan puasa!

tentu saja ‘puasa’ dengan tingkat kesulitan yang sebenarnya, adalah juga puasa yang dilakukan oleh rekan-rekan yang melakukan puasa di luar bulan Ramadhan: puasa Senin-Kamis, puasa Syawal, dan yang lain-lain dalam daftar. ketika saya, misalnya, berpuasa di luar bulan Ramadhan, tentu tantangannya lebih besar; saya harus bisa menolak (dengan sopan tentunya) ajakan untuk makan siang dari rekan-rekan di kampus. saya juga harus bisa menahan diri untuk tidak ikut rehat kopi di sore hari. dan saya juga harus bisa tetap beraktivitas dengan standar aktivitas normal orang-orang lain — walaupun hal ini seharusnya tidak terlalu sulit, sih.

lebih susah? lha iya. tapi bukankah hakikat puasa adalah pengendalian diri? dan dengan demikian, dengan berat hati saya bisa mengatakan, bahwa puasa di bulan Ramadhan di Indonesia nyaris tidak ada tantangannya. jam kerja diperpendek, warung dan rumah makan dibatasi… silakan sebutkan juga yang lain-lain sejenisnya. alasannya ya itu tadi, untuk ‘menghormati mereka yang berpuasa’.

klise? mungkin. absurd? sepertinya. jangan tanya saya, saya sendiri bingung, kok.

::

sekarang, saya jadi kepikiran untuk memformulasikan sebuah paradigma baru (haiyah!) terkait soal puasa dan saling menghormati ini. bagaimana kalau paradigma kita digeser sedikit: seharusnya, kita yang berpuasa menghormati mereka yang tidak berpuasa, bukan sebaliknya!

caranya bagaimana? misalnya begini. ketika ada rekan yang tidak berpuasa, mari kita coba menghormati hak mereka untuk bisa makan di tempat yang normal, dengan cara yang normal, dalam suasana yang normal pula. kenapa begitu, karena mereka berhak atas kehidupan ‘normal’ yang biasanya mereka miliki, bukan?

sambil jalan, mari kita review kembali: bukankah hakikat dari berpuasa seharusnya adalah pengendalian diri bagi yang menjalankannya? menurut saya, buka saja restoran-restoran dan tempat makan itu! biarkan saja tempat-tempat hiburan itu buka di siang hari, dan mari kita persilakan rekan-rekan yang tidak berpuasa untuk makan atau minum di hadapan kita yang sedang berpuasa!

tak perlu pula sebagian dari kita sampai panas karena masih ada tempat-tempat makan yang buka di bulan puasa — adakah kita hanya akan mendapatkan lapar dan dahaga (haiyah, bahasanya! 😛 ), sementara batin kita rusuh dan ngomel-ngomel akan hal yang sebenarnya tidak perlu dan malah akan menghilangkan makna yang sebenarnya dari ibadah puasa?

tentu saja, menurut saya hal itu tidak perlu. lagipula, buat apa sih… puasa itu kan soal pengendalian diri! :mrgreen:

mengecilkan makna hidup dengan…

kadang-kadang saya bingung, bahwa dalam banyak sisi kehidupan manusia hampir selalu dibangun dengan siklus yang semu setiap kalinya: lahir – tumbuh – sekolah – kuliah – kerja – menikah – tua – mati.

dan tentu saja, karena ini adalah konsep yang sudah sangat mapan dalam kehidupan manusia (khususnya di sekitar saya), maka mempertanyakan konsep seperti ini bisa jadi urusan yang gampang-gampang susah. bukan kenapa-kenapa juga sih, tapi tampaknya memang kebanyakan orang jauh lebih senang memikirkan mengenai ‘bagaimana mencari sesuap nasi’ daripada memikirkan esensi di baliknya — duh, pragmatisme!

sekarang, pertanyaan sederhana saja, pembaca. menurut anda, sebenarnya apa sih alasan anda menjalani hidup ini — selain karena kebetulan sudah ada yang memberikan dengan gratis dan tidak boleh bisa dibuang begitu saja?

alasannya mungkin macam-macam. ada yang religius, misalnya. hal ini biasanya terkait masalah keimanan dan seterusnya. ada juga yang utilitarian; idenya adalah ‘hidup untuk berbuat’ dan sebagainya. ada juga yang pragmatis, bahwa hidup cuma saat ini saja dan harus dinikmati. dan juga, ide-ide yang lain lagi; penjelasannya bisa macam-macam, dan apapun yang lain seterusnya.

tentu saja, alasannya bisa macam-macam. tapi pertanyaannya sama: memangnya, kenapa sih manusia harus bertahan hidup?

::

bicara kehidupan, berarti adalah bicara siklus — yang kadang bisa berbeda antar masing-masing individu, tapi kira-kira begitulah. lahir, tumbuh, belajar, bekerja, berkeluarga, sebelum akhirnya mati.

kata orang-orang di sekitar saya, hidup memang seperti itu.

tapi kata saya, hidup seperti itu tidak ada artinya.

hidup, bagi sebagian (besar?) manusia, adalah tujuan-tujuan semu. ketika sekolah, kita memiliki tujuan untuk lulus dan mendapatkan nilai bagus. ketika kuliah, kita memiliki tujuan untuk memperoleh indeks prestasi yang lumayan. ketika lulus kuliah, kita memiliki tujuan untuk mencari pekerjaan yang layak. setelah bekerja, kita memiliki tujuan untuk berkeluarga, misalnya.

hidup sendiri, tujuan dibikin-bikin sendiri, sebelum nanti akhirnya mati sendiri. dan akan kembali diulang untuk generasi berikutnya… dan berikutnya, dan berikutnya. dengan siklus-siklus semu yang terus berjalan seolah tanpa makna.

::

saya mengatakan, bahwa saya tidak ingin menjalani hidup yang sia-sia seperti itu. saya tidak mau hidup cuma berpegang kepada hal-hal yang sebenarnya amat-sangat-semu: lulus kuliah dengan indeks prestasi lumayan, lalu mencari pekerjaan yang mapan untuk hidup, lalu berkeluarga, dan seterusnya.

saya ingin menjalani hidup saya dengan jujur, apa adanya, dan bahagia. pekerjaan mapan atau menikah, itu sih bonus! siapa yang peduli dengan gaji delapan digit, kalau saya bisa hidup bahagia dengan gaji dua atau tiga juta rupiah per bulan? siapa yang peduli kalau saya tetap high quality single karena (misalnya) belum menemukan pasangan yang tepat, sementara saya masih bisa menikmati kehidupan saya?

saya tidak perlu gaji besar-besar amat, selama saya bisa hidup dengan tenteram dan bahagia dengan keadaan tersebut. saya tidak ingin menikah, kalau saya memang tidak menemukan seorang partner yang tepat. kenapa pula saya harus menjalani hidup dengan patokan-patokan yang ditetapkan oleh orang lain? saya ingin menjalani hidup saya dengan sebaik-baiknya, dan untuk itu saya tidak ingin membiarkannya berlalu tanpa makna.

…dan hasilnya, saya dianggap ‘berpandangan aneh’.

hei, jangan salahkan saya. saya sendiri bingung kok, kenapa manusia bisa senang sekali hidup dengan berpegang kepada tujuan-tujuan yang semu. memangnya hidup itu cuma soal cari pekerjaan bergaji besar atau berkeluarga dan membuat membesarkan anak kecil yang lucu dan imut-imut?

::

kembali ke pertanyaan awal. memangnya, apa sih alasan saya untuk terus melanjutkan kehidupan saya? mana saya tahu, saya sendiri malas memikirkannya kok. tapi saya kira, saya hanya ingin menjalaninya dengan apa adanya saja. sambil jalan, mungkin ada beberapa alasan-alasan lain; mungkin sedikit religius, kadang-kadang idealis, serta mungkin humanis juga… tapi saya kira, saya belum akan jadi oportunis untuk sementara ini — semoga tidak akan.

tapi apapun, selagi saya masih bisa menjalani kehidupan saya dengan nyaman, saya kira tidak ada masalah. untuk saya, hidup hanya saat ini saja; dan saya kira, kehidupan ini masih terlalu luas untuk dipatok-patok dengan tujuan-tujuan semu seperti itu!

saya, dulu dan sekarang

hari-hari ini, saya kembali teringat akan masa-masa ‘pemberontakan’ ketika saya masih berusia belasan tahun dulu; ketika saya masih duduk di bangku SMP dan kemudian SMU, dengan sikap antikemapanan yang muak dengan keadaan: anak-anak sekolah diantar-jemput naik mobil ber-AC yang membuat jalanan macet, lengkap dengan hidup gaul ala duit orang tua. siswa senior bermobil dengan soundsystem entah-apa yang sepertinya tidak akan terbayar dengan kerja sambilan setahun lamanya. dan yang lain-lain mungkin, tapi sudahlah.

ya, dengan generasi MTV yang tidak tahu dan tidak peduli, selapis tipis masyarakat yang kontras dengan lingkungan; sekolah elite, mungkin? unggulan nasional yang tampaknya-hebat, di antara lingkungan sedikit-kumuh dengan kadang-kadang preman serta tukang palak. pembentuk calon-calon birokrat berdasi atau eksekutif muda incaran ibu-ibu untuk anak gadisnya — nanti, kalau mereka sudah lulus dari Universitas Impian atau Institut Teknologi Bergengsi.

saya tidak pernah benar-benar menyukai keadaan tersebut; tidak ketika saya sebagai pelajar SMP di pinggir kota, maupun ketika saya sebagai anak SMU yang kos di dekat sekolah. tidak juga ketika saya melihat junk food mulai jadi budaya, sementara seorang rekan tampak baru melunasi pembayaran uang sekolah untuk lima bulan terakhir. tidak juga ketika dulu saya melihat rekan-rekan seumuran yang seringnya terlihat nongkrong di mal atau nonton di cineplex di akhir minggu, sementara beberapa orang rekan tampak mengenakan pakaian yang itu-itu saja di luar sekolah.

setidaknya untuk saya, keadaan dan perasaan tersebut mempertahankan kesadaran saya untuk tetap kritis terhadap diri saya sendiri: pengingat ketika saya akan melangkah, bahwa ada hal-hal yang tidak saya sukai dari keadaan seperti itu — termasuk namun tidak terbatas pada kemanjaan yang kurang pada tempatnya, lengkap dengan kontras terhadap keadaan yang jauh dari sempurna.

sejujurnya, saya merindukan saat-saat saya masih bisa menjadi diri saya yang dulu; saya yang memandang bahwa ‘makanan murah’ adalah menu seharga di bawah lima ribu rupiah di warung dekat stasiun kereta. saya yang berpikiran bahwa harga makanan di warung tegal adalah harga yang normal — di atas itu, mahal. saya yang masih lebih sering membeli bubur kacang hijau seharga tiga ribu rupiah di warung kopi daripada membayar untuk softdrink di mini market di dekat rumah maupun seputaran tempat kos. saya yang pada saat itu masih bisa bersikap jujur dan mempertahankan sudut pandang saya yang apa adanya.

tapi mungkin, saya juga berubah.

mungkin, saat ini saya tidak lagi seperti dulu; sekarang ini, saya adalah seseorang yang bisa dengan santai memesan (dan membayar untuk) set menu yang agak mahal dari sebuah restoran di mal. sekarang ini, saya adalah seseorang yang bisa dengan mudah menerima keadaan bahwa saya akhirnya bisa memiliki sebuah notebook seharga sekian-juta-rupiah dengan spesifikasi yang begitulah-pokoknya. sekarang ini, saya adalah seseorang yang bisa dengan mudah memikirkan untuk mengganti telepon genggam yang sudah beberapa tahun usianya — terlepas dari kondisinya yang masih layak pakai.

memang, saya mendapatkan hal-hal tersebut dari jerih payah saya sendiri. dan oleh karena itu saya (seharusnya) memiliki hak untuk menikmatinya; mungkin benar begitu, tapi bukan itu masalahnya. hal yang saya takutkan adalah, bahwa seiring dengan apa-apa yang saya peroleh, saya merasa bahwa saya semakin tidak bisa bersikap apa-adanya seperti saya yang dulu.

ketika di sekolah dulu, saya adalah seseorang yang selalu berusaha bersikap jujur. saya memutuskan untuk tidak menerima atau memberi jawaban selama ujian di sekolah, misalnya. kadang menyebalkan sih, bahwa satu kelas bisa mendapatkan nilai sembilan-koma-sekian dalam ujian bahasa Jepang (dengan jawaban yang beredar di seantero kelas), sementara nilai saya cuma empat-koma-enam. menyebalkan, tapi siapa peduli — toh saya masih cukup keras kepala untuk itu.

mungkin, kedengarannya bagus. tapi pembaca, tahukah anda apa yang terjadi bertahun-tahun kemudian?

hal yang saya alami adalah bahwa seiring dengan saya bisa mendapatkan sesuatu dari hasil kerja saya, saya merasa bahwa saya semakin bisa menenggang banyak hal yang dulu saya benci. saya mulai bisa bersikap sedikit tidak jujur (walaupun masih muak; memangnya manusia harus nggak jujur supaya bisa hidup?), dan saya mulai kehilangan sudut pandang saya yang dulu. saya mulai kehilangan diri saya yang sederhana dulu, tergantikan oleh diri saya yang lebih pragmatis.

sejujurnya, saya tidak menyukai hal ini. saya tidak ingin menjadi seseorang yang pragmatis, yang bisa dengan mudah ‘mengorbankan’ apa-apa yang dulu saya pertahankan. saya tidak ingin menjadi seseorang yang tidak bisa bersikap kritis terhadap keadaan, seiring dengan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan saya. saya tidak ingin menjadi seperti bapak-bapak birokrat tambun yang tak puas dengan penghasilan sekian-juta rupiah per bulan, seperti halnya saya tidak ingin menjadi seperti mantan mahasiswa yang sudah kehilangan gigi ketika berhadapan dengan realita.

dan sekarang ini, saya bertanya-tanya. adakah saya yang berubah, bahwa saya kini menjadi sekrup kapitalisme yang cuma tahu cari makan? adakah saya yang berubah, bahwa saya kini bisa lebih menenggang ketidakjujuran daripada dulu? adakah saya yang berubah, bahwa saya kini tidak lagi menjadi seseorang yang kritis terhadap diri saya sendiri, lebih-lebih terhadap orang lain?

hal yang mengingatkan saya, bahwa saya yang saat ini mungkin akan menerima sinisme dan sumpah-serapah dari diri saya yang dulu — seandainya kami memang mungkin bertemu. dan sejujurnya, dengan keadaan seperti ini, saya rasa saya tidak akan bisa tidak setuju terhadap segala sarkasme atau apapun yang lain yang mungkin akan diumpatkan oleh diri saya tersebut.

mungkin… tapi entahlah. mungkin memang, manusia kadang berubah menjadi sesuatu yang mereka benci.

alasan untuk menulis

beberapa waktu yang lalu, seorang rekan menanyakan mengenai alasan saya untuk menulis di sini. bukan kenapa-kenapa sih, tapi saya kira ini lebih ke arah ‘kenapa sesuatu terjadi’ daripada ‘kenapa sesuatu harus terjadi’… tapi berhubung topik seperti ini tampaknya rawan terseret ke ranah filosofi yang bisa tidak jelas bahasannya, jadi mari kita fokus ke pertanyaan utamanya saja, pembaca.

jadi, pertanyaannya adalah: sebenarnya, apa sih alasan saya untuk menulis di sini? dan memangnya, apa sih yang menguntungkan bagi saya, kalau saya menulis di sini?

whoa. yang terakhir itu adalah pertanyaan yang sangat pragmatis. lengkap dengan aroma asas manfaat dan niat cari keuntungan ala sekrup kapitalisme. halah, kacau bener! memangnya saya melakukan sesuatu hanya kalau ada untungnya? :mrgreen:

siapa yang peduli. tapi karena saya adalah seorang pemuda yang sederhana, maka jawabannya pun sederhana pula:

“saya menulis karena saya mau menulis. hal gampang kayak begini, ngapain sih dibikin susah?” :mrgreen:

begitulah. saya menulis karena saya memang mau menulis. kalau dibaca, ya syukur. kalau nggak dibaca, ya nggak apa-apa. yang penting tulisan saya bisa diakses orang banyak — mau lewat search engine, chat via YM atau meebo, atau apapunlah. dari situ, mau dibaca atau tidak sih sudah bukan urusan saya.

::

tapi… belakangan ini, saya kembali memikirkan hal ini. dan sambil iseng, saya mencoba untuk menganalisis (haiyah!) mengenai masalah ‘alasan untuk menulis’ ini… selain alasan utama yang sangat sederhana itu tentunya. hmm, mari kita runut satu per satu.

saya menulis di sini, karena saya mencintai kebebasan. dengan menulis di sini, saya menjadi entitas yang independen; saya tidak terikat batas, saya adalah hanya saya sendiri. saya bisa menyatakan dan menuliskan apapun sejauh ujung pemikiran saya — dengan segala kebebasan saya, dengan segala tanggungjawab saya.

saya menulis di sini, karena saya ingin jujur kepada diri saya sendiri. saya ingin tetap bisa menuliskan apa-apa yang saya pikirkan di sini; termasuk namun tidak terbatas kepada sikap untuk mengatakan tidak terhadap apa-apa yang tidak saya setujui, serta menyatakan dukungan terhadap apa-apa yang sejalan dengan pikiran dan nurani saya. karena saya tahu, bahwa dalam kesempatan-kesempatan saya tidak selalu akan bisa bersikap jujur — dan kalau sampai ada saatnya saya sudah tidak bisa bersikap jujur di sini, saya kira saya sudah tamat sebagai manusia.

saya menulis di sini, untuk meletakkan keping-keping kenangan; sekalipun kabur, kadang tak jelas, dan seringkali rapuh. tempat ini adalah tempat keping-keping kenangan yang menjadi bukti atas keberadaan saya; dan dengan alasan yang sama, adalah nama yang ditetapkan ketika saya mulai menulis di sini dulu. karena sebagian dari diri saya ada di tempat ini, dan karena kenangan-kenangan yang saya tuliskan di sini (setidakberguna apapun itu), adalah bagian dari keberadaan saya — yang cuma sebentar, fana, dan mungkin tidak bermakna di dunia yang semakin tua ini.

::

eh… kok tone-nya jadi agak serius ya? tapi sudahlah… itu kan alasan bagusnya! untuk saya sendiri, ada alasan yang lebih sederhana penting daripada itu semua.

saya menulis di sini, karena saya menginginkannya — dan saya memiliki kebebasan untuk melakukannya. karena tidak ada seorangpun yang memiliki hak untuk melarang saya menulis di sini… selama masih ada yang membayari biaya domain dan hosting tentunya.  😛

lagipula, memangnya apa alasannya saya melakukan ini semua? sederhana saja, kan. karena saya mau! :mrgreen: