saya, dulu dan sekarang

hari-hari ini, saya kembali teringat akan masa-masa ‘pemberontakan’ ketika saya masih berusia belasan tahun dulu; ketika saya masih duduk di bangku SMP dan kemudian SMU, dengan sikap antikemapanan yang muak dengan keadaan: anak-anak sekolah diantar-jemput naik mobil ber-AC yang membuat jalanan macet, lengkap dengan hidup gaul ala duit orang tua. siswa senior bermobil dengan soundsystem entah-apa yang sepertinya tidak akan terbayar dengan kerja sambilan setahun lamanya. dan yang lain-lain mungkin, tapi sudahlah.

ya, dengan generasi MTV yang tidak tahu dan tidak peduli, selapis tipis masyarakat yang kontras dengan lingkungan; sekolah elite, mungkin? unggulan nasional yang tampaknya-hebat, di antara lingkungan sedikit-kumuh dengan kadang-kadang preman serta tukang palak. pembentuk calon-calon birokrat berdasi atau eksekutif muda incaran ibu-ibu untuk anak gadisnya — nanti, kalau mereka sudah lulus dari Universitas Impian atau Institut Teknologi Bergengsi.

saya tidak pernah benar-benar menyukai keadaan tersebut; tidak ketika saya sebagai pelajar SMP di pinggir kota, maupun ketika saya sebagai anak SMU yang kos di dekat sekolah. tidak juga ketika saya melihat junk food mulai jadi budaya, sementara seorang rekan tampak baru melunasi pembayaran uang sekolah untuk lima bulan terakhir. tidak juga ketika dulu saya melihat rekan-rekan seumuran yang seringnya terlihat nongkrong di mal atau nonton di cineplex di akhir minggu, sementara beberapa orang rekan tampak mengenakan pakaian yang itu-itu saja di luar sekolah.

setidaknya untuk saya, keadaan dan perasaan tersebut mempertahankan kesadaran saya untuk tetap kritis terhadap diri saya sendiri: pengingat ketika saya akan melangkah, bahwa ada hal-hal yang tidak saya sukai dari keadaan seperti itu — termasuk namun tidak terbatas pada kemanjaan yang kurang pada tempatnya, lengkap dengan kontras terhadap keadaan yang jauh dari sempurna.

sejujurnya, saya merindukan saat-saat saya masih bisa menjadi diri saya yang dulu; saya yang memandang bahwa ‘makanan murah’ adalah menu seharga di bawah lima ribu rupiah di warung dekat stasiun kereta. saya yang berpikiran bahwa harga makanan di warung tegal adalah harga yang normal — di atas itu, mahal. saya yang masih lebih sering membeli bubur kacang hijau seharga tiga ribu rupiah di warung kopi daripada membayar untuk softdrink di mini market di dekat rumah maupun seputaran tempat kos. saya yang pada saat itu masih bisa bersikap jujur dan mempertahankan sudut pandang saya yang apa adanya.

tapi mungkin, saya juga berubah.

mungkin, saat ini saya tidak lagi seperti dulu; sekarang ini, saya adalah seseorang yang bisa dengan santai memesan (dan membayar untuk) set menu yang agak mahal dari sebuah restoran di mal. sekarang ini, saya adalah seseorang yang bisa dengan mudah menerima keadaan bahwa saya akhirnya bisa memiliki sebuah notebook seharga sekian-juta-rupiah dengan spesifikasi yang begitulah-pokoknya. sekarang ini, saya adalah seseorang yang bisa dengan mudah memikirkan untuk mengganti telepon genggam yang sudah beberapa tahun usianya — terlepas dari kondisinya yang masih layak pakai.

memang, saya mendapatkan hal-hal tersebut dari jerih payah saya sendiri. dan oleh karena itu saya (seharusnya) memiliki hak untuk menikmatinya; mungkin benar begitu, tapi bukan itu masalahnya. hal yang saya takutkan adalah, bahwa seiring dengan apa-apa yang saya peroleh, saya merasa bahwa saya semakin tidak bisa bersikap apa-adanya seperti saya yang dulu.

ketika di sekolah dulu, saya adalah seseorang yang selalu berusaha bersikap jujur. saya memutuskan untuk tidak menerima atau memberi jawaban selama ujian di sekolah, misalnya. kadang menyebalkan sih, bahwa satu kelas bisa mendapatkan nilai sembilan-koma-sekian dalam ujian bahasa Jepang (dengan jawaban yang beredar di seantero kelas), sementara nilai saya cuma empat-koma-enam. menyebalkan, tapi siapa peduli — toh saya masih cukup keras kepala untuk itu.

mungkin, kedengarannya bagus. tapi pembaca, tahukah anda apa yang terjadi bertahun-tahun kemudian?

hal yang saya alami adalah bahwa seiring dengan saya bisa mendapatkan sesuatu dari hasil kerja saya, saya merasa bahwa saya semakin bisa menenggang banyak hal yang dulu saya benci. saya mulai bisa bersikap sedikit tidak jujur (walaupun masih muak; memangnya manusia harus nggak jujur supaya bisa hidup?), dan saya mulai kehilangan sudut pandang saya yang dulu. saya mulai kehilangan diri saya yang sederhana dulu, tergantikan oleh diri saya yang lebih pragmatis.

sejujurnya, saya tidak menyukai hal ini. saya tidak ingin menjadi seseorang yang pragmatis, yang bisa dengan mudah ‘mengorbankan’ apa-apa yang dulu saya pertahankan. saya tidak ingin menjadi seseorang yang tidak bisa bersikap kritis terhadap keadaan, seiring dengan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan saya. saya tidak ingin menjadi seperti bapak-bapak birokrat tambun yang tak puas dengan penghasilan sekian-juta rupiah per bulan, seperti halnya saya tidak ingin menjadi seperti mantan mahasiswa yang sudah kehilangan gigi ketika berhadapan dengan realita.

dan sekarang ini, saya bertanya-tanya. adakah saya yang berubah, bahwa saya kini menjadi sekrup kapitalisme yang cuma tahu cari makan? adakah saya yang berubah, bahwa saya kini bisa lebih menenggang ketidakjujuran daripada dulu? adakah saya yang berubah, bahwa saya kini tidak lagi menjadi seseorang yang kritis terhadap diri saya sendiri, lebih-lebih terhadap orang lain?

hal yang mengingatkan saya, bahwa saya yang saat ini mungkin akan menerima sinisme dan sumpah-serapah dari diri saya yang dulu — seandainya kami memang mungkin bertemu. dan sejujurnya, dengan keadaan seperti ini, saya rasa saya tidak akan bisa tidak setuju terhadap segala sarkasme atau apapun yang lain yang mungkin akan diumpatkan oleh diri saya tersebut.

mungkin… tapi entahlah. mungkin memang, manusia kadang berubah menjadi sesuatu yang mereka benci.