dewasa, di dunia kerja

“yud1, I hate life as an adult. why can’t we have our ideals? where do optimism and good things we had back at school go? well… please reply when you are not busy.”

—F, a friend of mine; through text message

__

(beberapa hari yang lalu, saya menerima pesan pendek di atas dari seorang rekan -cewek, FYI- yang sudah lulus kuliah dan saat ini sudah memasuki dunia kerja. pesan pendek ini akhirnya berlanjut menjadi diskusi sedikit-panjang di suatu hari yang agak santai. dipikir-pikir, mungkin ada baiknya kalau saya sedikit berbagi soal ini… jadi, yah, anggap saja ini adalah jawaban saya untuk pertanyaan tersebut yang saya tuliskan di sini) 😉

::

dear F,

sejujurnya, saya sendiri bingung bagaimana menjawab pertanyaan ini. beneran, soalnya saya nggak merasa punya kapasitas untuk memberikan jawaban yang ‘benar’… tapi untuk kasus ini, mari kita coba saja, ya.

jadi begini. ada hal yang membedakan antara kita sebagai anak sekolah, kita sebagai mahasiswa, dan kita sebagai orang dewasa yang bertanggungjawab terhadap kepentingan orang lain; dalam kasus ini, tentu saja maksudnya kita dan apa yang kita lakukan di dunia kerja. hal yang membedakan itu adalah bahwa kita yang saat ini adalah kita yang dituntut untuk mengakomodasi kepentingan pihak lain: apakah itu atasan, atau klien, atau mungkin yang lain sesuai dengan bidang pekerjaan kita.

ah, iya. jangan pula berpikir bahwa ini hanya berlaku untuk orang kantoran; tidak ada pekerjaan yang lepas dari hal ini, entah apakah itu wirausahawan, pemilik restoran, kasir supermarket, penulis, petugas satpam, desainer… semua sama, karena pada dasarnya kita sebagai manusia hidup dengan bekerja untuk melayani kepentingan pihak lain.

dari apa yang saya pahami, ada dua hal yang saya kira menjadi concern tersendiri untuk kamu; pertama adalah ‘kenapa kita tidak bisa ideal’, dan kedua adalah ke mana perginya ‘optimisme dan hal-hal baik’ yang dulu kita pelajari di sekolah dan kuliah. walaupun kalau kamu tanya ke orang-orang dewasa kebanyakan, mungkin jawaban standarnya adalah ‘ah, kamu ini memang masih hijau!’. :mrgreen:

tapi karena saya bukan orang dewasa biasa (haha), jadi mari kita muter-muter sedikit untuk menelaah hal yang menjadi concern kamu ini. sesungguhnya membahas hal ini, kalau terkait dunia kerja, bisa menjadi sesuatu yang cukup rumit. bukan karena kita tidak bisa ideal makanya keadaan jadi salah, dan bukan pula karena banyak hal yang ‘tidak sebaik yang kita pelajari dulu’ jadi semuanya seolah tidak benar. ada hal yang sedikit rumit di sini.

pertama, hal yang perlu kita pahami adalah bahwa definisi ‘benar’ dan ‘salah’ tidak bisa benar-benar jelas di sini. tentu saja, mengecualikan apa-apa yang dapat ditemukan di peraturan tertulis (misalnya kebijakan umum perusahaan atau hukum positif pidana/perdata), tidak banyak yang bisa kita anggap ‘benar’ atau ‘salah’; yang ada hanya kepentingan-kepentingan yang kadang saling bertentangan.

dalam banyak kasus, seringkali kita harus mengambil keputusan-keputusan. yang seringkali pula, akan membuat orang lain tidak terlalu-senang dengan apa yang kita lakukan — ujungnya bisa banyak; dari hubungan profesional yang sedikit terguncang atau bahkan sampai ke hubungan interpersonal yang jadi rusak. dan dalam (terlalu) banyak kasus, keputusan-keputusan yang kita buat ini tidak ada parameter benar-atau-salahnya, mengakibatkan konsekuensi yang mungkin membingungkan.

menurut kamu, bagaimana yang ideal? karena setiap keputusan yang kita ambil, kemungkinan (besar) akan ada pihak yang tidak senang. setiap hal yang ideal, seharusnya akan membawa kebahagiaan semua orang — yang sayangnya, tidak bisa kita peroleh di dunia yang seperti ini.

oleh karena itu, ada yang namanya trade-off. atau prinsip lesser of two evils. ya, seperti yang kamu mungkin tahu, hal tersebut adalah false dilemma; dilema yang, seharusnya, tidak terjadi karena kita (seharusnya selalu bisa) berharap bahwa ada jalan lain, yang sayangnya tidak selalu ada. dan rumitnya lagi, masing-masing pilihan kita seringkali sama-sama ‘benar’, sekaligus sama-sama ‘salah’.

saya paham bahwa ini mungkin membingungkan. kenapa bisa sama-sama ‘salah’ sekaligus sama-sama ‘benar’? karena dari sudut pandang kita, mungkin itu ‘salah’ karena kurang sesuai dengan apa yang kita anggap ideal. tapi di sisi lain, itu hal yang ‘benar’, karena tindakan tersebut diperlukan (dengan berbagai kepentingan yang mengiringinya), dan tidak ada hukum atau peraturan yang dilanggar dengan keputusan tersebut.

sekarang, bagaimana kalau kamu harus mengambil satu keputusan dari dua atau tiga kemungkinan yang sama-sama seperti itu?

sejujurnya ini hal yang sulit. apalagi untuk saya, yang notabene tidak punya kapasitas untuk menjawab pertanyaan yang sungguh melibatkan banyak hal rumit ini.

::

jadi, dengan segala resiko membuat keputusan yang salah, menerima peer pressure dari pihak-pihak yang mungkin kurang senang, dan performance appraisal yang mungkin akan jadi buruk, saya tidak bisa menyarankan banyak hal untuk keadaan yang seolah bisa serba-membingungkan ini.

tapi, saya ingin menyarankan untuk selalu jujur. jujur pada diri sendiri, jujur pada orang lain, dan jujur terhadap segala konsekuensi keputusan dan tindakan kamu. kamu tidak perlu selalu bisa mengambil keputusan yang terbaik, tapi kamu harus selalu bisa mengembangkan proses untuk pengambilan keputusan yang lebih baik.

kalau kamu tahu Karl Popper, salah satu konsepnya yang saya suka adalah bahwa ia tidak menginginkan utopia atau dunia yang ideal; fokus dari pemikiran ala Popper adalah, dengan keadaan yang tidak sempurna manusia harus ‘mengeliminasi kesalahan’ alih-alih ‘mengejar keadaan ideal’.

kita sebagai manusia hidup dengan saling melayani pihak lain. semua orang yang bekerja hidup dengan hal ini, dan hal ini bukan monopoli pekerja kantoran seperti kita. kadang tidak bisa diapa-apakan lagi, dan kita terpaksa mengambil keputusan yang seolah serba-membingungkan, dan akhirnya mungkin ada distribusi ketidakbahagiaan sebagai konsekuensinya.

tapi menurut saya itu bukan masalah. kalau boleh saya mengatakan, saya tidak ingin membuat keputusan yang menyenangkan semua orang; itu mustahil. tapi kalau saya bisa mengembangkan kemampuan untuk meminimalkan distribusi ketidakbahagiaan tersebut, menurut saya itu cukup.

apakah dengan demikian semua orang akan praktis merasa nyaman dengan kita? sayangnya tidak. apakah dengan demikian orang-orang akan berusaha memahami kita? sayangnya juga tidak. apakah dengan demikian keadaan akan menjadi ideal? lagi-lagi, sayangnya juga tidak.

::

kadang-kadang, hal seperti ini memang tidak bisa diapa-apakan. ada orang-orang yang kurang senang, dan kita tidak bisa melakukan apa-apa soal itu. ada orang-orang yang mungkin akan tidak menyukai kita, dan begitulah adanya. sayangnya ini kenyataan; yang mungkin agak menyedihkan, dan sama-sama tidak kita inginkan, tapi toh terjadi dan tidak ada yang benar-benar bisa kita lakukan soal itu.

tapi, kamu tahu? kita sama-sama manusia. mereka juga manusia, sama-sama makan nasi (eh, kecuali kalau orang asing, sih), dan sama-sama punya perasaan. mungkin mereka berbuat tidak-menyenangkan, tapi saya percaya bahwa tidak ada manusia yang ingin dibenci.

ya, saya percaya bahwa tidak ada manusia yang ingin dibenci. jadi walaupun optimisme kamu mungkin babak belur, dan kamu mungkin dianggap naif atau ‘anak bawang di dunia kerja’ dan ada orang-orang yang bersikap menyebalkan, tapi tidak ada dari mereka yang ingin dibenci oleh kamu.

mungkin kamu tanya, kenapa saya yakin? ya, tentu saja! karena walaupun mereka mungkin membenci (dan siap dibenci oleh) kamu, sesungguhnya kemungkinan besar mereka hanya ‘bisa menerima dibenci oleh kamu’, bukannya ‘ingin dibenci oleh kamu’! :mrgreen:

jadi ini terkait concern kedua dari pertanyaan kamu; optimisme, hal-hal baik, dan yang lain-lain yang kita pelajari di sekolah dulu. ke mana perginya mereka? menurut saya, mereka tidak pergi kemana-mana. mereka tetap ada, walaupun mungkin kecil, dan hanya tinggal sedikit, tapi saya percaya (dan mungkin sedikit berharap, haha) bahwa sebagian besar orang yang pernah dan akan saya temui masih memiliki hal-hal tersebut.

tapi ini hal yang susah. sangat susah, bahkan saya tidak bisa mengatakan bahwa saya bisa melakukan hal ini dengan baik. tapi kalau boleh, saya ingin menyarankan untuk mencobanya sejauh yang kamu bisa saja.

karena manusia pada umumnya ingin dipahami, dan tidak ingin dibenci. mungkin kelihatannya tidak begitu, tapi saya berusaha mempercayai bahwa walaupun kecil, sedikit, dan mungkin hampir hilang, hal seperti ini ada pada diri setiap manusia.

kamu mungkin berpikir ini agak terlalu manis dan kurang-membumi, tapi sesungguhnya ini cukup jauh dari itu — ini hal yang susah, mungkin bikin makan hati, dan kamu seringkali akan membutuhkan kesabaran ekstra besar. kamu harus bisa benar-benar melihat di balik ucapan dan tindakan manusia; karena manusia tidak benar-benar bisa mengutarakan isi hatinya, dan karena jauh lebih mudah mengutarakan ketidakpuasan dan kemarahan daripada mengungkapkan perhatian dan penghargaan.

dan ya, tidak akan ada keberhasilan mutlak soal ini. setelah mencoba memahami, mungkin setelah rasa lelah dan makan hati yang memuncak, dan mungkin akhirnya kita tetap tidak bisa melakukan apa-apa; dan akan selalu ada orang-orang yang mungkin kurang bisa menghargai dan dihargai oleh kita. tambahkan pula tekanan yang mungkin cukup tinggi di dunia kerja: entah klien yang rewel, supervisor yang menyebalkan, dan mungkin juga yang lain-lain, pada akhirnya mungkin tidak banyak yang bisa kita harapkan soal ini.

sedih? mungkin kamu akan merasa begitu. tidak bisa menerima? mungkin kamu juga berpikir begitu. tapi kadang-kadang hal seperti ini sudah tidak bisa diapa-apakan lagi, dan seperti yang saya katakan di awal tadi, tidak ada hal yang benar-benar ‘benar’ atau ‘salah’ soal ini.

::

entahlah, tapi sebagai orang dewasa kita memang tidak bisa lagi menjalani kehidupan seperti anak sekolah atau mahasiswa kuliah. kita tidak selalu punya keleluasaan untuk memilih yang ‘terbaik’, dan dalam banyak kasus kita berhadapan dengan keadaan yang ‘sama-sama benar’ sekaligus ‘sama-sama salah’.

tapi menurut saya, inilah hidup; dan entah ketidakpastian, entah kebingungan, entah ketidakbiasaan — itu semua adalah bagian dari perjalanan kita untuk bisa diakui di dunia, suka atau tidak.