5 tahun, dan silakan bertanya

tanggal 17 April lalu, genap lima tahun blog ini online. tulisan pertama tertanggal 17 April 2006, dan sejak saat itu sudah ada 300 tulisan yang sudah terpublikasi di tempat ini.

berhubung ada cukup banyak hal terkait pengalaman lima tahun ini, juga sebagian adalah pertanyaan yang sebelumnya sudah sempat ditanyakan oleh sebagian pembaca, jadi format untuk tulisan ini dituliskan dalam bentuk tanya jawab. sebagian karena lebarnya rentang yang perlu di-cover, sebagian juga karena secara teknis format seperti ini lebih gampang dituliskan ah alasan saja sih saya sehingga akhirnya jadi seperti itu.

ngomong-ngomong, khusus untuk edisi lima tahun ini saya akan menjawab pertanyaan lain-lain yang akan disampaikan pembaca melalui kolom komentar dalam dua pekan, dimasukkan sebagai update pada post ini. feel free to ask or comment. 😉

anda sudah menulis di tempat ini selama lima tahun. komentar anda?

lima tahun itu waktu yang cukup lama untuk banyak hal. tentunya dalam hal menulis, itu juga periode yang cukup lama. ada saatnya saya jarang menulis, ada saatnya saya bisa agak meluangkan waktu. tentu saja dengan kesibukan yang ada, saya juga jadi tidak bisa sering-sering menulis, walaupun bagusnya (soal kesibukan ini)  tidak selalu jadi masalah juga.

sejujurnya menulis di sini adalah hal yang menyenangkan, jadi saya sendiri memandangnya lebih ke sarana untuk berbagi. kadang orang bisa mengambil sesuatu yang baik dari dalamnya, itu hal yang bagus. kalau tidak, ya menurut saya itu bukan masalah juga.

saya sendiri berpendapat bahwa menulis itu adalah proses yang harus dilakukan dengan jujur. bagaimana sebuah tulisan itu akan ditanggapi, menurut saya, bukan bagian yang terlalu penting dalam proses menulis itu sendiri.

ngomong-ngomong kesibukan, memangnya sebenarnya apa sih yang anda kerjakan?

ini pertanyaan yang susah. kalau saya mengatakan ‘saya sibuk’, kedengarannya sour grapes sekali. padahal sungguh seperti itulah kenyataannya! (tertawa)

sekarang ini saya bekerja sebagai profesional, dengan sebagian besar waktu saya dihabiskan di tempat kerja dengan jam kerja seperti halnya profesional pada umumnya. secara umum ada hal-hal yang harus dilakukan, keputusan-keputusan yang harus diambil, distribusi rasa senang dan ketidakpuasan, kira-kira seperti itulah.

ada tantangan, pencapaian, kekecewaan, keberhasilan, tapi secara umum seluruhnya bukan hal yang tidak menyenangkan untuk saya. I’m enjoying the challenges.

beberapa pembaca bertanya-tanya apakah anda juga terkena efek jejaring sosial di antara para penulis blog — jumlah tulisan menurun. pendapat anda?

ini fenomena yang menarik, dan sebenarnya bisa jadi bahan tulisan tersendiri. tapi, ya sejujurnya, saya sendiri merasakan dampaknya (dengan memiliki jejaring sosial).

saat ini akun jejaring sosial saya aktif di Plurk dan Facebook, selain keperluan standar seperti e-mail dan instant messaging. sejujurnya memang ada dampak — sebagian ide jadi tidak bisa diolah dengan baik, dan sebagian malah tidak sampai matang dengan 140 atau 420 karakter status message di Plurk atau Facebook. juga, status message itu cenderung berumur pendek — sekali di-post, sedikit ditanggapi, setelah itu kita tidak tahu lagi karena akan tertimbun dalam status message yang lain setelahnya.

di sisi lain, feature seperti notes di Facebook cukup bagus, sayangnya lingkupnya terbatas hanya untuk lingkaran pertemanan sendiri. saya sendiri tidak pernah mempertimbangkan untuk mengkopi tulisan baru saya dari blog ke notes di Facebook — itu dua hal yang berbeda! jadi pada dasarnya saya hanya akan memberikan tautan ke tempat ini.

ngomong-ngomong, tidak, saya tidak tertarik untuk memiliki akun Twitter. terlalu banyak orang berisik di sana. (nyengir)

lalu hubungan anda dengan pembaca, bagaimana?

secara umum jejaring sosial juga punya andil, mungkin pada dasarnya jejaring sosial seperti Facebook adalah tempat orang-orang dari hubungan yang berbeda-beda saling-silang soal ini. sesekali saya meletakkan tautan ke tulisan di sini ke Facebook, dan beberapa waktu yang lalu seorang rekan IRL menanyakan saya tentang tulisan saya di blog. waktu itu reaksi pertama saya adalah ‘heh? tulisan saya dibaca, toh?’

di sisi lain, mungkin itu hal yang bagus juga. seringkali orang-orang yang tidak terekspos ke internet tidak mengetahui tentang banyak hal, juga berbagai ide (yang kadang-kadang bisa liar sekali) berkembang di dalamnya. untuk saya sendiri, kalau seseorang menganggap tulisan saya layak dibaca, setidaknya itu bukan hal yang buruk, kan.

tentang tulisan anda di sini. post pertama anda adalah pada 17 April 2006, tapi kok tulisan ini baru pada tanggal 21 April 2011?

sebenarnya ada pertimbangan khusus untuk itu. menjelang tanggal 17 April sebenarnya saya sudah memikirkan bahan untuk sebuah tulisan terkait lima tahun saya menulis di sini, tapi belakangan saya merasa punya tanggung jawab pribadi untuk menuliskan post yang baru lalu. di sisi lain, mungkin bisa juga dianggap bahwa ini seperti janji yang harus saya penuhi. kira-kira seperti itulah, jadi post ini baru bisa online kemudian setelahnya.

sebagian terkait hal ini, saya kira juga seperti yang pernah dikatakan oleh Paulo Coelho, kadang tulisan itu yang menuliskan dirinya sendiri. mungkin kedengarannya aneh, tapi sejujurnya saya sendiri merasakan hal seperti itu.

tampaknya anda punya kecenderungan untuk menulis tentang orang-orang di sekitar anda?

bagaimana, ya. kalau kita mengutip Pramoedya Ananta Toer, dia pernah mengatakan: cerita, selamanya adalah tentang manusia. kehidupannya, bukan kematiannya. ada orang-orang yang pernah meninggalkan jejak dalam kehidupan saya, dan untuk itu saya menuliskan tentang mereka –dari sudut pandang saya, yang mungkin juga banyak terdistorsi– jadi mungkin ini juga bukan sesuatu yang selamanya valid. tapi setidaknya, saya berusaha untuk jujur kepada diri saya sendiri.

saya tidak menulis untuk mereka, juga tidak untuk orang lain. saya menulis untuk diri saya sendiri. tentu saja kalau orang lain menganggapnya hal yang bagus, itu hal yang menyenangkan untuk saya.

walaupun, ya, kalau saya membayangkan ‘apakah seseorang tersebut membaca tulisan ini’, kadang-kadang saya merinding sendiri. tapi, yah, hal seperti itu juga sebenarnya sudah terjadi! (tertawa)

tulisan anda tergolong panjang-panjang…

iya, itu juga sesuatu yang sempat disampaikan oleh cukup banyak pembaca sejak pertama kali saya menulis dulu. pertanyaannya kira-kira senada, kenapa sih saya sering menulis panjang-panjang?

saya sendiri merasa pada dasarnya tidak ada sesuatu yang membatasi saya, jadi saya menulis apa adanya saja. kadang-kadang saya  terperangkap dalam ide dan paragraf yang akhirnya repetitif — bukan hal yang bagus sih, dan untuk itu saya sendiri terus belajar untuk mendapatkan tulisan yang lebih tepat sasaran.

salah satu yang saya ingat adalah pada kuliah Pemrosesan Teks dulu: ada istilah precise dan concise, itu konteksnya dalam peringkasan dokumen. belakangan saya selalu menetapkan dua kata ini ketika akan mengetik di keyboard, tapi tetap saja sepertinya saya masih perlu belajar, sih.

terakhir: ada tulisan yang secara khusus anda ingat di tempat ini?

ada beberapa yang saya ingat. sejujurnya saya tidak bisa mengatakan apa-apa soal kualitas, tapi di antara banyak tulisan yang ada di sini ada beberapa yang saya ingat sampai sekarang.

di antaranya  a scoop of salad days dan only a memory, only mine — keduanya tentang dua orang gadis yang pernah saya temui dalam perjalanan saya. untuk tulisan yang agak baru, saya sendiri cukup menyukai suatu hari di Jakarta, tapi ini mungkin agak bias karena saya sendiri juga cukup baru menuliskannya.

ada juga pembaca yang menanyakan, apakah orang-orang yang bersangkutan pernah membaca tulisan tersebut dan bagaimana reaksi mereka. untuk yang ini, saya kira saya akan menyerahkannya kepada imajinasi pembaca saja. (tertawa)

suatu hari di Jakarta

aku menemuinya pada suatu siang yang cerah di suatu tempat di Jakarta. usianya kira-kira dua puluh sembilan sampai tiga puluh tiga tahun. seorang profesional, seorang rekan kerja, seorang wanita karir, kalau mau disebut seperti itu. dia mengambil tempat di meja yang berada di sisi jendela, dan kalau kita berada di sana, di baliknya kita bisa melihat bangku kayu dan orang-orang berlalu-lalang di sekitarnya.

awal tahun sudah berlalu, dan memasuki akhir kuartal pertama matahari yang bersinar cerah dan sedikit panas adalah hal yang biasa. bisnis seperti biasa, dengan apa-apa yang berada dan terlibat di dalamnya juga berjalan seperti biasa — orang-orang, barang-barang, penjualan, kira-kira seperti itulah.

melepas jaket dan menggantungkannya di sandaran kursi, juga setelah sedikit sapaan dan obrolan singkat, aku mengambil tempat duduk di seberangnya.

“jadi,” kataku, “kita sudah sempat ngobrol sekilas kemarin, dan sekarang aku jadi penasaran.”

dia mengangkat sebelah tangannya, nyengir. “sebentar. pesan makanan dulu, ya. kamu mau pesan apa?”

aku memutuskan untuk mengambil menu serupa dengan pesanannya. kurasa aku juga tidak benar-benar lapar, jadi apapun itu aku juga tidak keberatan. lagipula bukan untuk itu juga kok aku –juga dia, dalam konteks ini– berada di tempat ini.

“maaf ya, rencananya berubah. minggu kemarin ada urusan di logistik, terus tadi nomor ponsel juga harus diurus, soalnya sudah nggak termasuk corporate number lagi, kan.”

tersenyum simpul, aku hanya berkomentar apa adanya. “susah ya, kalau karyawan yang mengundurkan diri itu levelnya managerial.”

dia hanya tertawa.

.

aku pertama kali bertemu orang ini secara sedikit kebetulan dalam keperluan lintas departemen di tempat kerja. pada saat itu di ruang rapat direksi sedang diadakan pertemuan, dan karena suatu hal aku berada di sana sebagai peserta yang sebenarnya tidak terlalu diundang. ada beberapa hal yang dibicarakan, sebagian sedikit pelik, dan sebagaimana banyak hal lain di berbagai tempat, sesuatu harus dilakukan untuk keperluan seperti ini.

secara singkat, akhirnya kami berada dalam sebuah tim untuk menangani sesuatu. bisnis seperti biasa, diselesaikan seperti seharusnya.

ngomong-ngomong, sifat kami cenderung berkebalikan. orang ini mencerminkan semangat tinggi; cerah ceria sedikit galak, senang sedikit main-main dengan pada saatnya bisa demikian tegas tak kenal ampun. tentu saja, kalau ada yang mirip di antara kami, kurasa itu adalah prinsip dan kemauan untuk melakukan sesuatu secara tepat dan benar. kalau kupikir-pikir lagi, mungkin pada dasarnya perbedaan sifat juga tidak selalu adalah masalah besar untuk dua orang dalam bekerjasama.

satu hal yang membuatku merasa sedikit tidak sopan, belakangan aku baru tahu bahwa biasanya orang memanggilnya dengan sebutan ‘mbak’ atau ‘ibu’. dengan perbedaan usia kami, setahuku cuma aku yang memanggilnya langsung dengan namanya — entah apakah itu hal yang baik, ya.

aku tidak tahu apakah dia keberatan pada awalnya, tapi dia sendiri mengatakan bahwa dia tidak keberatan. itu lama sekali kemudian, sih.

.

“jadi, aku tidak bekerja demi uang. sejujurnya uang itu memang penting sih, tapi menurutku itu juga bukan semuanya.” katanya. “aku ingin melakukan sesuatu yang lebih.”

dia kemudian bercerita bahwa dia sempat berdiskusi dengan seorang direksi yang menjadi atasannya, secara umum mengenai apa-apa yang ingin dilakukannya, apa yang bisa dilakukan dan tidak bisa dilakukan, dan pada akhirnya keputusannya soal ini.

aku kira-kira paham maksudnya. dalam hal sesuatu yang ‘lebih’, tidak selalu semuanya terkait dengan jumlah penghasilan yang dibawa pulang. itu kira-kiranya termasuk juga apa yang bisa dilakukan, untuk sesuatu yang dianggap benar dan perlu, juga pengembangan berkelanjutan terhadap sesuatu yang kita lakukan dan kerjakan di tempat kita sekarang berada.

atau, dalam dua kata pada bahasa Inggris: continuous improvement. kalau kesempatan itu tidak ada atau tidak cukup terbuka, bisa dipahami bahwa hal seperti itu juga menjadi satu alasan tersendiri untuk mempertimbangkan pergi.

.

“lagipula, aku juga punya keluarga, dan di tempat sekarang lebih dekat dari rumah. anak-anak tumbuh –mereka sekarang sudah SD– dan sebentar lagi akan susah mengajak mereka pergi bareng. kamu paham, kan?”

“ah, jangan kuatir,” sanggahku santai. “yang seperti itu cuma sebentar, kok. beberapa tahun setelahnya, mereka sudah kuliah dan agak dewasa, mereka akan mau diajak pergi bareng lagi.”

rasanya aku mendengar umpatan ‘dasar’ disertai senyum lebar, tapi biarlah.

“tapi bisa dipahami,” kataku. “secara teknis, kalau mempertimbangkan resiko dan benefit,  seperti itu sudah paling optimal. kalau kita mempertimbangkan hal yang tadi, juga tentang keluarga ditambah faktor penghasilan, keputusan itu ya sudah paling menguntungkan.”

“betul. aku juga berpikir begitu. tapi dibilang begitu, ya mungkin sudah waktunya juga. kamu tahu, aku selalu berdoa supaya dibukakan jalan untuk segala sesuatu dalam hidup ini. aku sendiri tidak mencari kemana-mana, aku mendapatkan tawaran seperti yang kuceritakan tadi. itu juga setelah lewat berbulan-bulan, juga bukannya sempat kutanggapi dari dulu.”

“termasuk, juga waktu ketemu kamu dulu,” lanjutnya. “kalau nggak ada kamu aku nggak tahu. kalau dipikir-pikir lagi sepertinya banyak kebetulan, tapi itu mungkin memang jalannya dari Yang Di Atas.”

aku mengangguk setuju. dalam banyak hal dalam hidup ini, kadang banyak tikungan dan putaran tidak terduga, kadang dengan segala hal yang sudah terjadi, baik atau buruk, ketika kita melihat ke belakang kita seperti bisa melihat sekilas jejak-jejak rencana yang tadinya sama sekali tidak kita sangka.

hidup, rencana, siapa pula yang bisa menentukan di antara manusia? aku memandang ke luar jendela. matahari masih bersinar terang, bangku kayu dan tembok batu berganti suasana dengan berkurangnya manusia di sekitarnya.

.

“kamu sendiri bagaimana?” tanyanya. “aku dengar ada tim di tempatmu sedang proses transfer.”

“siapa yang bilang?” aku nyengir, melemparkan pertanyaan yang setengahnya bukan pertanyaan.

“orangnya sendiri sih, dia pernah menyebut-nyebut soal itu.”

“yah, kalau dia sendiri yang bilang begitu, ya bisa jadi benar juga. kalau boleh tahu, kenapa memangnya?”

“tidak apa-apa. cuma ya baguslah. kalau seseorang, atau kamu, misalnya, bisa lebih maju di bagian lain di tempat ini, kenapa tidak?”

aku paham, ini juga hal yang serupa dengan yang kami bicarakan tadi. kalau sesuatu itu bisa lebih baik, kenapa tidak? tapi untukku, masalahnya bukan berada di sana. setidaknya, bukan untuk saat ini.

“bagaimana, ya. masih ada sesuatu yang harus kulakukan di sini. kalau dibilang seperti tadi itu, mungkin ada benarnya juga. tapi ini sesuatu yang menurutku juga penting, jadi kurasa aku masih akan di sini dulu. lagipula aku juga masih harus banyak belajar.”

“lho, dari dulu juga di sini bukannya memang tempat orang belajar?” ia bertanya dengan senyum lebar khasnya. hampir sepuluh tahun berada di tempat ini, datang dari orang ini, hal seperti ini bukanlah pernyataan yang dibuat dengan asal bunyi.

tentu saja, aku juga bukannya sepenuhnya tidak setuju soal pernyataannya itu.

“kamu tahu Top Gun?” aku bertanya. “filmnya Tom Cruise dulu. waktu dia masih ganteng.” (entah kenapa aku merasa mendengar orang di depanku tersedak)

“di akhir filmnya, kalau tidak salah dia bilang; ‘yang terbaik kembali ke kampus’. yah, dia akhirnya jadi instruktur.” aku melanjutkan.

“sejujurnya aku tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. tiga sampai lima tahun lagi, misalnya, aku tidak tahu. tapi masih ada sesuatu yang harus kulakukan di sini, jadi kira-kira seperti itulah.”

dia tersenyum seolah paham, sebelum akhirnya bertanya dengan nada main-main yang biasa. “memangnya apa sih sesuatu yang harus kamu lakukan itu?”

“ada deh,” kataku sambil sedikit tersenyum. “mungkin nanti kalau sudah sampai akan akan kuceritakan. lihat nanti, yah.”

.

aku melirik jam tanganku. sepertinya sudah waktunya, dan seperti halnya banyak hal lain di dunia ini, ada waktu yang terbatas untuk segala sesuatu.

“yah,kamu punya nomor telepon dan IM-ku. kita ngobrol lagi kapan-kapan, ya.” ujarnya.

“sepertinya kita tidak akan ketemu lagi untuk waktu yang lama,” kataku. “tapi pokoknya, terima kasih.”

aku tidak mengatakan apa-apa lagi. memandang sekali lagi ke luar jendela, ke arah langit biru dan awan pada hari yang cerah sedikit panas menjelang sore, dan aku tidak bisa tidak berpikir; kadang kita harus membiasakan diri dengan banyak hal dalam perjalanan yang cuma sebentar ini.

aku teringat obrolan kami sekali dulu, dalam sebuah acara makan malam undangan perusahaan.

“aku ingat, Division Manager yang baru pensiun itu dulu mengatakan begini kepadaku: be a diamond. jadilah seperti berlian, katanya. karena berlian itu akan selalu bisa berkilau bahkan di antara lumpur.”

waktu itu aku hanya memikirkan bahwa berlian yang ada di alam itu pada dasarnya harus dipotong dan diasah supaya bisa benar-benar berkilau, jadi itu bukan sesuatu yang bisa dibiarkan begitu saja.

dia hanya tersenyum waktu kami membicarakan tentang hal tersebut setelahnya.

be a diamond, yud.”

waktu berjalan, manusia berubah, dan mau tidak mau kita juga harus melangkah. ada hal-hal yang berubah, ada hal-hal yang kita pelajari, dan pada dasarnya semua adalah bagian dari perjalanan masing-masing sebagai manusia.

‘terima kasih’, kurasa sebenarnya itu yang terutama ingin kukatakan.

___

[1] sebenarnya saya tahu persis usianya berapa. untuk pembaca yang kebetulan tahu, tidak perlu didiskusikan, ya.

[2] penggunaan bahasa disesuaikan sedekat mungkin ke penggunaan bahasa Indonesia baku, kecuali beberapa bagian dengan pertimbangan terkait nuansa tulisan.

utilitas kebutuhan dan financial sustainability

saya adalah orang yang sederhana. pas-pasan. kalau kata seorang kerabat, saya ini orang yang hidupnya ‘kayak nggak butuh duit’. kebutuhannya nggak banyak, katanya. dan katanya lagi, saya ini tipe manusia yang uangnya ‘masuk tabungan dan entah akan dipakai apa nanti’.

katanya beliau sih begitu, jadi bukan omongan saya lho ya. :mrgreen:

tapi saya jadi kepikiran hal yang menarik gara-gara omongan beliau tersebut. hal ini terkait tak lain dan tak bukan adalah model financial sustainability saya yang, kata beliau, ‘serba nggak butuh’ itu. dan bicara soal sustainability model, teorinya sih sudah banyak disinggung di mana-mana, jadi tak perlulah didiskusikan panjang lebar lagi soal teori terkaitnya ini.

.

ketika Arsene Wenger memulai karir kepelatihannya di Arsenal FC, ada dua hal menarik yang mendasari filosofi yang diterapkan beliau dalam tim sepakbola yang sampai sekarang menjadi favorit saya tersebut. pertama adalah filosofi di atas lapangan yang mengutamakan pass-pass pendek yang mengalir, sementara yang kedua adalah filosofi di luar lapangan tentang manajemen finansial terhadap klub sepakbola asal London tersebut.

it’s all about the money, it’s all about dum dum dumdumdum dum~

tentunya saya tidak akan membicarakan yang pertama, karena topik tersebut akan bisa jadi tulisan panjang sendiri. lagipula off-topic juga sih, kita kan sedang membicarakan sustainability model? jadi mari kita membicarakan bahasan yang terakhir saja.

jadi, inti dari filosofi manajemen yang dibawa oleh Pak Wenger adalah bahwa klub harus bisa bertahan hidup hanya dengan mengandalkan aset yang dimilikinya. living within own means, kalau ungkapannya beliau sih. jadi secara umum, pengeluaran klub harus selalu merupakan variabel terikat terhadap pendapatan klub. gaji pemain harus menyesuaikan dengan pendapatan sponsor dan tiket, sementara transfer pemain harus memperhatikan anggaran yang berimbang.

pendekatan ini agak berbeda dengan sebuah klub tetangganya di London yang kebetulan memiliki talangan dana pengusaha minyak kaya raya dari Eropa Timur sana. berbeda pula dengan tetangganya di Manchester yang hobi mengeluarkan uang dalam jumlah besar untuk membeli pemain mahal, yang notabene dananya berasal dari kantong pemilik klub yang kemudian dimasukkan sebagai sumber dana operasional klub alih-alih dari semata-mata perputaran pendapatan dari hak siar, transfer pemain, serta penjualan tiket dan merchandise.

jadi, dalam kamus Pak Wenger, arus keuangan didasarkan kepada dua hal: pertama adalah revenue dan profit yang diperoleh, dan kedua adalah kebutuhan dan skala prioritas. kalau cash flow tidak memadai, ya tidak bisa transfer pemain mahal. kalau cash flow ternyata memadai, uang pun bisa dikeluarkan… hanya kalau memang perlu.

tentu saja, hal ini bukan berarti ‘pelit’; pemain-pemain bukan tidak mungkin ditransfer dengan harga tidak-murah, tapi toh pertimbangannya tetap financial sustainability dari klub: kalau misalnya Andrey Arshavin dihargai terlalu mahal dari Zenit St Petersburg –35 juta pound, misalnya– hampir bisa dipastikan bahwa transaksi tersebut tidak akan terjadi, karena akan melanggar constraint finansial!

.

kembali ke masalah awal tadi tentang saya. sebenarnya, secara umum pandangan saya tidak jauh-jauh dari prinsipnya Pak Wenger; saya ini menghabiskan hanya dari apa yang saya hasilkan, bukan dari sesuatu yang masih belum saya dapatkan. jadi misalnya gaji saya X rupiah, saya hanya akan menghabiskan Y rupiah, di mana Y lebih kecil dari X.

secara umum, hal ini mengakibatkan tendensi saya untuk memiliki kartu kredit menjadi jauh lebih rendah daripada kebanyakan orang yang saya kenal. soal tendensi ini, alasannya sudah cukup jelas: tentu saja bukan karena saya paranoid, tapi karena pada prinsipnya saya tidak bisa mengeluarkan uang kalau uangnya belum ada!

saya sendiri cenderung berpikir bahwa sustainability model ala kartu kredit itu relatif tidak koheren. pertama, dengan memakai kartu kredit, ada kewajiban, liabilities yang menjadi tanggung jawab anda. anda berhutang, sederhananya sih. dan hal yang tidak menyenangkan dari berhutang adalah, suatu saat hutang tersebut akan harus dikembalikan.

masalahnya, bagaimana kalau dengan liabilities tersebut anda tiba-tiba tidak bisa mengembalikan dengan aset yang anda miliki? misalkan ada pengeluaran tak terduga dalam jumlah besar. anggota keluarga meninggal, atau anda kena penyakit parah, atau rumah anda dirampok… ini misalnya lho ya, semoga tidak sampai terjadi dan menimpa anda. dalam konteks ini, kalau anda tidak punya dana cadangan berupa tabungan atau deposito, misalnya, financial sustainability anda hampir dapat dipastikan kolaps. aset tidak mencukupi, sementara liabilities anda masih harus dipenuhi. sisanya, ya silakan dipikirkan sendiri.

.

tentu saja, kalau bicara sustainability, yang harus diperhatikan adalah bahwa saya membutuhkan liabilities yang seminimal mungkin di pihak saya. di sisi lain, sebisa mungkin saya ingin memiliki aset yang bisa di-convert untuk menutupi pengeluaran saya, sementara sisanya untuk sebagai equity alias modal.

misalnya begini. sekarang ini, sebagai seorang profesional, maka saya menerima gaji sebagai sumber revenue –pendapatan– untuk saya. dan secara umum, saya punya expense –pengeluaran– yang harus dipenuhi: pangan, sandang, papan, misalnya, di level kebutuhan primer. lalu di level kebutuhan sekunder ada listrik, internet, telepon, dan lain sebagainya.

normalnya, kalau berpikir secara sederhana, financial sustainability saya untuk keadaan tersebut bergantung kepada rumus sederhana berikut.

equity = revenueexpense

anda pembaca yang belajar akuntansi mungkin akan dengan cepat meralat saya bahwa rumus tersebut tidak tepat — seharusnya equity = (assetliabilities), atau profit = (revenueexpense). lho, kok bisa begitu?

sebenarnya ini cuma pendekatan sederhana saja, karena kita berbicara mengenai keuangan individu alih-alih korporat. sebenarnya sih dalam perhitungan profit and loss beneran, toh akhirnya keuntungan tahun buku dialihkan sebagai modal tahun buku berikutnya.[1]

nah, karena keuangan individu (baca: kasus saya) lebih sederhana dan tidak perlu hitung-hitungan yang ajaib, untuk konteks ini saya bisa langsung menyederhanakan bahwa setiap selisih pengeluaran-pendapatan saya dijadikan sebagai modal untuk bulan berikutnya.

OK, lanjut. secara umum, saya harus memiliki equity dalam jumlah yang cukup besar untuk memiliki keadaan finansial yang sustainable. tentu saja, equity ini harus bisa di-convert kalau saya membutuhkannya, dong. secara sederhana, sifatnya harus lancar, atau relatif bisa dicairkan ketika dibutuhkan. jadi kalau misalnya saya mendadak membutuhkan 10 juta rupiah, saya harus bisa menarik 10 juta rupiah dari equity yang saya miliki, kira-kira seperti itulah.

jadi untuk memperoleh equity yang besar, saya punya dua pilihan: pertama saya melakukan ekstensifikasi (baca: menaikkan revenue setinggi-tingginya, entah bagaimana caranya), atau melakukan intensifikasi (baca: menurunkan expense serendah-rendahnya, sampai sedekat mungkin ke batas minimal yang bisa ditoleransi).

karena ekstensifikasi cash flow dengan peningkatan penghasilan bukanlah hal yang bisa dilakukan dengan mudah tanpa bergantung kepada faktor eksternal, maka di sini pilihan yang sederhana untuk saya adalah menekan expense sampai ke level yang cukup rendah. bukan hal yang susah, karena pada dasarnya saya memang tidak punya terlalu banyak kebutuhan.

.

saya makan dua kali sehari (ngomong-ngomong, saya tidak merasa ini pola yang tidak sehat). saya tidak terlalu sering pergi ke luar dan makan di tempat mahal (walaupun bukannya sama sekali tidak pernah juga sih). saya cenderung membeli barang-barang dengan durabilitas tinggi (sepatu kets terakhir saya berusia 4 tahun sebelum diganti, ransel saya saat ini setidaknya berusia 5 tahun dan masih menghitung).

jadi, secara praktis kebutuhan saya tidak banyak. pengeluaran bulanan selain pangan sandang papan relatif selaras dengan anggaran senang-senang, jadi kira-kira seperti itulah.

tentu saja, saya kira hal ini juga sedikit banyak dipengaruhi oleh kecenderungan sikap saya untuk tidak terlalu memikirkan keberadaan uang secara khusus.[2] karena ya, untuk saya, selama tidak ada kebocoran di cash flow saya, tidak ada masalah. saya tahu arus masuk ke rekening saya sekian, saya tahu kira-kira arus keluar rekening saya sekian, dan sisanya tidak terlalu saya pikirkan. ada pendapatan, ya, masuk rekening. ada pengeluaran yang sudah diproyeksi, ya keluar dari rekening. ada pengeluaran lain-lain, tunggu, kita pikirkan dulu. kalau skala kebutuhan dan skala sustainability constraint masih sejalan, keluarkan. kalau tidak, nanti dulu.

pada dasarnya prinsip dasar saya sederhana saja: kalau saya tidak punya uang, saya tidak bisa mengeluarkan uang. karena itu, hal ini menjadi penting: apa-apa yang tidak dibutuhkan, ya tidak usah.

saya tidak suka naik ojek, misalnya. lebih baik jalan kaki beberapa ratus meter, apa masalahnya sih. saya hampir tidak pernah pergi dengan menggunakan taksi. menurut saya selagi moda transportasi kereta listrik atau bus kota bisa mengantar saya ke tujuan seharusnya tidak ada masalah. saya tidak merokok. selain pertimbangan fisiologis, rokok adalah juga pos pengeluaran yang signifikan jadi saya tidak paham kenapa orang memutuskan untuk mulai merokok.

pada dasarnya, efisiensi dimulai dari hal-hal kecil di lantai produksi. kalau dianalogikan dengan cash flow individu, efisiensi dimulai dari pengeluaran-pengeluaran kecil. makan siang, jalan-jalan akhir pekan, lembar-lembar kemeja dan celana panjang, ongkos taksi dan bensin mobil untuk setiap perjalanan dalam dan luar kota.

…walaupun soal yang terakhir ini, saya punya sedikit catatan pribadi; saya cenderung memilih jalan kaki dan naik bus bukan karena saya ingin berhemat, tapi karena saya memang lebih suka seperti itu! :mrgreen:

___

note:

[1] saya tidak mempelajari akuntansi secara khusus. kemungkinan akan ada poin-poin yang meleset dari teori aslinya, mohon koreksi.

[2] entah karena kelewat sibuk atau apa, saya sering merasa sedikit terkaget-kaget bahwa ternyata sudah masuk periode payroll di tempat kerja. entah apakah ini hal yang baik atau buruk.

[3] gambar diambil dari Amazon UK. ini bukan promosi, sumpah!