‘tulis tentang hari ini, ya’

/4

“sebentar. kenapa kamu berjalan di belakangku?”

“bukan seperti itu juga. biasanya aku berjalan setengah langkah di belakang seorang gadis. kalau seperti ini, aku bisa dengan cepat tahu kalau terjadi sesuatu —tersandung, sakit kepala, apapunlah— anggap saja ini rencana mitigasi. contingency plan.”

“memangnya aku segampang tersandung itu?”

“mana aku tahu.”

hari sudah agak siang, dan aku hanya memandang ke sekitar sambil memperhatikan toko dan papan nama: pakaian, sepatu, peralatan olahraga. satu atau dua restoran. sesekali dia mengatakan sesuatu yang kutanggapi ringan. hal-hal yang biasa-biasa saja, di kota yang biasa-biasa saja, dan kalau kupikir-pikir lagi mungkin banyak hal dalam hidupku ini memang biasa-biasa saja.

bukannya aku keberatan, sih.

 

/2

namanya Ayu. anak ini tinggal di Tokyo, atau mungkin lebih tepatnya beberapa tahun terakhir ini dia lebih banyak berada di sana. sesekali dia pulang ke Indonesia, dan kalau kuingat-ingat lagi ternyata sudah lama sejak terakhir kali kami saling mengobrol seperti ini. biasanya kami hanya berkirim pesan atau mengobrol lewat ruang bicara via internet, lain-lainnya tidak benar-benar banyak yang bisa dilakukan soal itu.

sekali waktu dia memintaku untuk menelepon ke tempatnya (“aku perlu dibangunkan. tidak akan kuangkat deh, tenang saja,”) dan berakhir dengan aku mendengarkan pesan dari operator dalam bahasa Jepang beberapa jam kemudian: maaf, nomor ini sedang tidak dapat dihubungi, silakan mencoba lagi nanti.

ongkos panggilan internasional. ya sudahlah.

 

/1

aku menemuinya pada pagi hari menjelang siang. kalau dari agak jauh seperti ini, dia tampak seperti gadis mungil sedikit-bingung yang sedang berdiri di depan kasir penjual donat dan kopi. di depannya etalase, di atas kepalanya papan nama toko yang bersinar coklat-jingga, dan di sekitarnya orang-orang berlalu-lalang dalam suasana setengah-ramai.

“terlambat!”

aku mengumpat sambil memanggil namanya. saat itu jam sepuluh lewat tiga puluh tujuh, dan tidak perlu hebat matematika untuk mengetahui berapa lama sudah berlalu dari pukul sepuluh pagi.

“eh, maaf. sori. tadi macet soalnya, aduh. eh, duduk dulu deh.”

“hmm,” aku mengangkat sebelah alis. “yang benar saja. kamu pesan dulu sana!”

aku mengarahkan pandangan ke kasir. dia menyebutkan pesanannya sebelum akhirnya menyerahkan selembar seratus ribu rupiah yang segera dikembalikan dalam beberapa lembar rupiah lain oleh petugas kasir. setelahnya aku memesan dan membayar untuk kopi dengan karamel (“terima kasih,” petugas yang ramah kalau menurutku) sebelum akhirnya kami memilih tempat di sofa yang berada di sisi ruangan.

 

/3

gomennasai ne, osokunatta,[1] ujarnya dalam bahasa Jepang sehari-hari yang bisa kupahami. “tadi aku diantar, tapi ternyata macet…”

aku mengangkat bahu, sekilas mengatakan ‘tidak apa-apa’. lagipula di Jakarta kita juga tidak selalu bisa memperkirakan kapan kita akan sampai dari kapan kita berangkat. tentu saja itu juga bukan pembenaran sih, tapi kalau nasi sudah menjadi bubur, lebih baik dimakan saja, kan?

setelahnya kami saling menanyakan kabar dan melibatkan diri dalam obrolan ringan cukup santai. seperti biasanya, seperti sewajarnya.

“aku sudah memberitahumu banyak hal dari obrolan kita yang kemarin-kemarin,” katanya. “sekarang gantian, dong! aku mau dengar ceritamu.”

“tentang apa?”

“macam-macam. kabar sekarang, finansial, pekerjaan. apapun lah.”

“kabarku… baik-baik saja. finansial tidak buruk, pekerjaan cukup menyenangkan. ada hal-hal yang perlu dan harus dilakukan, tapi secara umum tidak ada keluhan sih,” aku menjawab. “I’m enjoying the challenges. atau setidaknya, kurasa seperti itu— eh, kenapa?”

entah apakah ada yang aneh dengan jawabanku, tapi kurasa aku menangkap pandangan yang sedikit tidak biasa dari seberang meja.

“nggak apa-apa. cuma kayaknya jarang sih, orang bisa ngomong begitu soal pekerjaan mereka,” aku mendengar jawabannya sedikit menggantung. “ngomong-ngomong, terima kasih banyak, ya. kamu cuti hari ini, kan.”

aku tersenyum. memang benar seperti itu sih keadaannya.

“yah, sebagiannya kurasa aku sedang perlu… apa ya? mungkin mengambil jarak dari pekerjaan untuk saat ini. kurasa seperti pemain sepakbola sih, walaupun mereka pada dasarnya senang dengan apa yang mereka kerjakan, tetap saja mereka juga perlu istirahat, kan.”

“mungkin aku beruntung soal ini,” aku melanjutkan. “ngomong-ngomong, bagaimana Tokyo?”

“ah. seperti yang sudah kukatakan sebelum dan sebelumnya lagi,” katanya sambil tertawa. “aku ini mahasiswa miskin.”

“dari ceritanya sih sepertinya memang begitu.”

dia mengambil posisi siap mengarahkan kepalan. tidak apa-apa, lagipula kupikir juga jangkauannya tidak akan sampai ke tempatku, kok. meskipun demikian kalau aku bilang begitu kurasa aku akan disambit cangkir kopi, jadi untuk hal ini aku lebih baik tidak usah ngomong saja deh.

“huh. jadi kalau di sana paling aku makan di ramen-ya atau sushi-ya yang murah dekat apartemen. nggak bisa sering-sering yang mahal, sih.” dia menambahkan. “oleh karena itu, hari ini traktir aku, ya.”

“kan aku sudah janji soal itu.”

aku sudah bilang dia ini mahasiswa PhD di Todai[2]? secara singkat seperti itulah ceritanya sehingga dia berada di Tokyo beberapa tahun terakhir ini. tahun-tahun awalnya di sana dihabiskan dengan kuliah pascasarjana yang diperolehnya dengan beasiswa, setelahnya dia melanjutkan dengan riset dan program doktor di tempatnya sekarang ini.

 

/5

“jadi aku diantar orangtuaku tadi,” katanya. “mereka ada urusan, dan tadinya aku mau sendiri saja. ternyata tidak boleh. kayaknya mereka merasa Jakarta tidak aman atau sejenisnya.”

saat itu lewat jam makan siang dan kami sudah berada di tempat lain dan menunggu tempat di daftar antrian. sebelumnya dia sempat mengatakan tentang sushi[3] untuk makan siang, dan setelah diskusi singkat akhirnya kami berada di sana.

“tadinya aku ingin sekalian nonton. kamu juga kan bisa diganggu seharian ini, tapi karena ditunggu seperti ini jadi tidak bisa, deh. maaf, ya.”

aku tertawa. kukatakan bahwa aku merasa sedikit tidak sopan, yang segera ditukasnya dengan ‘apaan sih’ sambil tertawa ringan. dia mengatakan bahwa waktunya seharusnya masih cukup untuk mengobrol santai, jadi tenang saja.

“jadi,” kataku. “ini adalah anak yang sudah menaklukkan Tokyo, tapi bingung arah dan nggak bisa jalan sendirian di Jakarta.” aku geleng-geleng kepala.

“nggak tahu tuh. kayaknya mereka kuatir anak gadisnya ini akan kenapa-kenapa, kan saya ini kelihatannya polos dan lugu…”

“cukup. iya. saya paham. sepertinya anda memang gampang dikerjai. orang akan dengan mudah berbuat jahat kepada anda. lagipula anda gampang terjatuh dan tersasar. saya mengerti.”

baiklah, jadi demi keselamatannya sendiri aku memutuskan untuk sependapat bahwa sebaiknya dia tidak berjalan-jalan sendirian di kota ini. maksudku, kalau sampai hilang kan susah mencarinya?

aku mendengar ‘heaaaa’ pelan dan setelahnya bunyi ‘duk’ —kepalannya sudah berada di sisi kepalaku.

setelahnya pelayan memanggil bahwa pesanan meja untuk dua orang sudah siap. dia berjalan duluan, aku sedikit di belakangnya.

.

“entah ya, aku sendiri merasa kekagumanku terhadap Jepang juga tidak sebegitu tingginya,” kataku. “sama halnya dengan negara-negara lain, maksudku. kurasa sebagian orang cenderung memandang Jepang terlalu tinggi.”

“kenapa begitu?”

“apa ya… aku merasa kulturnya cenderung tidak cocok,” aku berusaha menjawab dengan jujur. “etos dan semangat juang itu hal yang bagus, tapi kurasa secara kultural itu agak terlalu kaku. soal hirarki, misalnya. memangnya kamu tidak merasa seperti itu?”

“iya sih,” katanya. “aku ingat dulu waktu orientasi PhD, aku datang kasual, gembel saja sih. profesornya datang dengan rapi, dengan kurang senang bilang ‘mahasiswa master itu di sebelah sana’ kepadaku. nggak tahu karena pakaian atau tampang, ya. menyebalkan, sih.”

aku tertawa, dan kukatakan sambil lalu bahwa mungkin itu caranya menyampaikan bahwa si profesor itu merasa tidak senang. tapi mana aku tahu, yang berada di sana kan bukan aku. kami masih mengobrol agak panjang setelahnya. tentang etos dan kultur, dan apa-apa yang berbeda dari sini dan di sana.

kurasa pada akhirnya Jepang, Eropa, atau di manapun itu, satu hal tetap: kebudayaan, selamanya adalah produk anak bangsa-bangsa. masing-masing dengan kelebihannya, masing-masing dengan kekurangannya.

.

beberapa porsi pesanan sudah diantarkan ke meja. sebagiannya sudah habis sepanjang obrolan tadi, sementara yang lain masih menunggu diantarkan.

“kani-mayo[4] di sini enak,” katanya. “dan kalau kita pesan ocha[5], kita bisa tambah berulang-ulang,” dia menambahkan. “aku sendiri kalau ke sini sering minta tambah mayonnaise.”

aku memandang ke sisi meja. potongan jahe, wasabi, kecap asin serta kecap manis. mayonnaise disajikan sebagai tambahan berdasarkan pesanan, jadi kalau tidak diminta tidak akan disediakan.

“jadi, cerita dong! kamu belum cerita banyak tentang dirimu. aku kan sudah cerita banyak dari tadi,” katanya setengah merajuk.

aku mengambil waktu untuk diam sejenak dan berpikir. maksudku, bagaimana, ya. aku sendiri tidak merasa ada banyak hal yang menarik dalam kehidupanku yang biasa-biasa saja ini. walaupun kalau aku mengatakan seperti itu, kurasa dia juga tidak akan menanggapinya dengan senang hati, jadi…

“baiklah, silakan bertanya.”

dan seperti itulah yang kukatakan. aku tersenyum, kurasa ini akan panjang….

 

/7

malamnya aku sudah berada di rumah dan tidak sedang melakukan apa-apa. sedikit lewat sore tadi kami sudah berpisah untuk beberapa lama, setelahnya aku memutuskan untuk berjalan-jalan sendiri sebelum akhirnya mengarahkan langkah untuk pulang. sore hari sudah lewat, dan sejauh yang kuingat langit sudah tampak lebih gelap ketika aku membuka pintu dan meletakkan sepatu.

sudah dua atau tiga jam sejak petang berlalu ketika aku mendengar ada pesan masuk dari telepon genggam di bawah bantal. biasanya aku akan berpikir bahwa mungkin ini adalah pesan pendek tidak-diinginkan —iklan penawaran kartu kredit, atau pinjaman tanpa agunan, atau promosi nada sambung balik dari operator— tapi entah untuk alasan apa, untuk kali ini ada sesuatu yang sedikit berbeda dari biasanya.

“sama-sama, Yudi,” demikian pesan pendek yang terbaca olehku. “terima kasih sudah meluangkan waktu untuk Ayu, ya.” setelahnya ucapan salam, dan dengan demikian akhir dari pesan yang kuterima.

aku memandangi layar untuk beberapa saat, setelahnya aku memeriksa beberapa catatan dari arsip pesan pendek yang pernah kuterima dan kukirimkan. penerbangan kembali ke Tokyo dalam sepuluh hari, dan setelah itu seperti biasa; lima ribu kilometer dan dua jam untuk perbedaan jarak dan waktu dari tempat kami masing-masing.

aku meletakkan telepon genggam di sisi tempat tidur. pesan tersebut dikirimkan oleh ibunya.

 

/6

menit-menit sudah berlalu, dan kami sedang mengobrol dengan nyaman ketika aku mendengar suara dering telepon. sekilas melirik ke sisi meja, telepon diangkat dan aku mendengar suaranya menjawab ‘sebentar lagi’, disusul beberapa percakapan singkat dan kemudian telepon diletakkan kembali.

aku menanyakan apakah dia sudah ditunggu, dan dengan demikian mungkin sudah waktunya kami berpisah. kemudian sunyi sejenak —bukan dalam artian buruk, kukira— sebelum akhirnya aku mendengar suaranya lagi.

“eh, etoo… aku boleh minta sesuatu?”

“silakan,” aku menjawab. “jangan sungkan-sungkan.”

sedikit sunyi lagi untuk beberapa lama, tapi kurasa itu juga bukan hal yang sepenuhnya buruk atau tidak nyaman, jadi aku hanya menunggu apa yang akan dikatakannya.

“…tulis tentang hari ini, ya. onegaishimasu[6].”

mencoba memahami maksud permintaannya, aku memandang ke arahnya dan sekilas kuperhatikan pandangannya terarah ke meja.

“maksudku, aku mungkin akan lupa. kamu sendiri bilang, manusia itu ingatannya terbatas. jadi… tulis tentang hari ini, ya. onegaishimasu.”

kemudian dia membungkuk singkat dari tempat duduknya setelah mengatakan hal tersebut. sedikit atau banyaknya aku paham bahwa dalam budaya Jepang hal seperti ini mengungkapkan permohonan, tapi untuk sekilas yang singkat hal ini membuatku sedikit jengah. keterkejutan kecil yang tidak biasa, kalau boleh kukatakan, sebelum akhirnya aku mencoba tersenyum dan menjawab.

“jangan kuatir,” aku menjawab dengan sebuah anggukan pelan.

it’s a promise.”

.

kami berpisah di salah satu bagian selasar di dekat tangga beberapa lama kemudian. tidak perlu diantarkan, katanya, dan dengan demikian kami hanya saling pamit di antara deretan toko dan restoran yang tidak terlalu sibuk pada bagian hari yang tidak terlalu ramai.

“aku duluan, ya.”

dia melambaikan tangan. aku membalasnya sekilas dan memperhatikan langkahnya berbelok di salah satu sudut beberapa puluh langkah dari tempatku. setelahnya aku berbalik, memperhatikan orang-orang serta barang-barang dan suasana yang sedikit santai tanpa terlalu banyak manusia di sekitarnya. mungkin hanya soal waktu — dalam beberapa jam, kurasa, akan lebih banyak orang berada di tempat ini, seperti lazimnya keramaian di sore hari menjelang akhir pekan.

hari yang lain di Jakarta, pikirku. atau mungkin tidak juga, tapi kurasa ini juga bukan hal yang tidak menyenangkan.

setidaknya untukku, setidaknya untuk saat ini.

___

[1] “maaf ya, terlambat.”
[2] Todai (東大): Tokyo Daigaku (東京大学), atau Universitas Tokyo
[3] makanan dengan komposisi nasi dan ikan segar atau jenis lain dari makanan laut
[4] jenis sushi dengan komposisi kani (= ‘kepiting’) yang digulung dengan nori (= ‘rumput laut’)
[5] teh hijau
[6] ungkapan untuk permohonan dalam bahasa Jepang