tentang mereka yang meninggalkan dan kita yang bertambah tua

suatu hari pada pekan yang lalu, suasana di tempat kerja saya mendadak berduka. seorang division manager (kalau di tempat saya, kira-kira termasuk mid-level management) mengalami serangan jantung sebelum akhirnya meninggal dunia. kejadiannya Senin pagi di tempat kerja, setelah paginya masih sempat menghadiri rapat dengan beberapa orang direksi sebelum akhirnya dilarikan ke rumah sakit dan menghembuskan nafas terakhir di sana.

saya cukup mengenal beliau secara profesional, dan walaupun dalam beberapa hal kami bisa saling tidak sepaham dan kadang-kadang bisa jadi cukup keras, ada hal-hal yang pada dasarnya saya hormati dari beliau —cukup jelas buat saya, bahwa ketidaksetujuan dalam beberapa hal tidak selalu berarti kami jadi saling tidak bisa menghargai kebaikan dan kelebihan masing-masing.

beberapa saat kemudian, saya menuliskan pesan sekilas di akun jejaring sosial saya.

dear Sir,

we may have our disagreements with each other, at times really stern ones, but as far as I could attest I believe we shared common goals towards the company’s best interest. and as much as I may not really like to admit, you have my acknowledgement among highly-skilled managers I have ever met.

farewell, rest in peace. you will be remembered.

sincerely.

.

news just in. the PMO Division Manager at the office passed away this morning at 36-years old. condolences.

setelahnya saya jadi kepikiran. tiga puluh enam tahun, kira-kira sepuluh tahun dari usia saya sekarang ini. kalau kasar-kasarnya, waktu saya bisa jadi juga sepuluh tahun lagi. bisa kurang, bisa lebih. tapi keterbukaan akan kemungkinan seperti itu mau tidak mau cenderung membuat kita berpikir: ya, bisa saja, dalam usia yang masih relatif muda itu saya yang pergi. kalau mau bonus sepuluh tahun lagi, misalnya, juga tidak banyak bedanya.

pada dasarnya usia saya bertambah. demikian juga orang-orang di sekitar saya. dan mau tidak mau, semakin lama saya berada, dengan semakin banyaknya orang-orang yang singgah di kehidupan saya, akan semakin banyak kepergian-kepergian di sekitar saya. kalaupun bukan saya yang ditinggalkan, saya yang akan meninggalkan. pada dasarnya sesederhana itu, walaupun mencoba untuk tidak mempedulikannya bukan sesuatu yang bisa dilarang juga.

anehnya yang saya rasakan bukanlah ‘masih ada yang harus saya lakukan, nanti dulu’, atau ‘kayaknya saya belum siap’, atau sejenisnya. yang saya rasakan adalah, bahwa pada dasarnya perjalanan saya sampai sejauh ini adalah mempersiapkan orang-orang untuk kepergian saya. bahwa pertemuan dengan saya akan berakhir dengan perpisahan, entah bagaimana nanti jalannya.

dengan demikian orang-orang yang berarti untuk saya —entah itu teman-teman, saudara, keluarga— tugas saya adalah mempersiapkan mereka untuk kepergian saya. bahwa dengan atau tanpa saya, mereka akan bisa dan baik-baik saja.

atau setidaknya, menurut saya seperti itu. tugas saya adalah mempersiapkan mereka untuk kepergian saya.

.

kembali ke cerita tadi, sorenya seorang auditor dari departemen tetangga —seorang gadis yang usianya kira-kira sepantaran saya— menelepon ke meja. beberapa dokumen yang sudah diteruskan dalam perangkat lunak harus disesuaikan, alur kerja yang sudah berjalan harus dialihkan, pada dasarnya beberapa hal yang terkait pengalihan kerja.

setelahnya, sekilas-dua kilas beberapa hal yang sedikit pribadi di antara kami. seperti biasanya, seperti sewajarnya.

“he was such a good person,” katanya dalam bahasa Inggris yang mungkin lebih nyaman untuk mengatakan hal-hal yang berada dalam pikirannya. “he was more like a mentor to me, I learned much from him.”

saya menunggu untuk mendengarkan lebih lanjut, tapi kelihatannya tidak banyak yang bisa saling kami katakan soal hal-hal yang cenderung personal seperti ini.

“we… may have disagreements with each other, ” kata saya. “and as much as I may not really like to admit, he has my acknowledgment among highly-skilled managers I’ve met.”

“may he rest in peace.”

“yeah.”

setelahnya saya menutup telepon. sebentar dan tak lama, kita punya waktu untuk berhenti dan mengenang. dan kemudian kita sadar, bahwa hidup juga tak bisa selamanya diam dan menunggu. dengan atau tanpa manusia yang menjadi bagiannya, semua harus dan akan berjalan lagi, sebisa mungkin mencoba untuk kembali seperti biasa.

walaupun bukan berarti apa-apa yang tadinya ada dan kemudian hilang itu lantas jadi tak berarti, atau kehilangan makna, atau sepenuhnya tiada.

saya melirik kalender di sisi layar. masih ada empat hari kerja sampai akhir pekan.

Leave a Reply