service recovery paradox

ini adalah fenomena berupa paradoks yang, walaupun keberadaannya sudah saya curigai sejak beberapa tahun lalu, baru belakangan ini saya bisa agak sempat menulis soal ini. di sisi lain, mungkin juga berhubung hal ini terkait dengan ruang lingkup pekerjaan sehari-hari sebagai profesional di tempat kerja, fenomena ini menjadi perhatian tersendiri untuk saya.

perkenalkan service recovery paradox. atau, bagaimana kegagalan dari layanan yang tidak anda harapkan bisa meningkatkan kepuasan jangka panjang anda sebagai pelanggan. kok bisa?

 


gambaran umum service recovery paradox. perhatikan gap antara tingkat kepuasan pelanggan
dengan kegagalan servis dan pelanggan tanpa kegagalan servis.

 

ada banyak cara untuk mendeskripsikan grafik di atas, tapi saya lebih senang menggambarkannya secara sederhana: pada dasarnya konsumen akan senang, apabila ketika mereka mengalami problem dengan layanan anda, anda menyelesaikan masalah mereka dengan cepat, tepat, dan efisien.

sampai di sini, anda pembaca mungkin terpikir untuk segera menyanggah; ya iyalah, konsumen mungkin tidak senang kalau ada problem, tapi pelanggan manapun juga akan puas kalau problemnya selesai dengan cepat, kan. terus apa masalahnya?

nah, justru di sinilah letak paradoksnya. tingkat kepuasan pelanggan yang pernah mengalami problem dan diperbaiki dengan baik ternyata cenderung lebih tinggi daripada para pelanggan yang tidak pernah punya problem dengan layanan anda!

.

contoh kasusnya begini. saya adalah pelanggan ISP (= ‘internet service provider’) rumahan dengan kecepatan relatif-tinggi selama tiga tahun terakhir. kemudian pada suatu hari di tahun ketiga, misalnya, saya mengalami problem bahwa koneksi saya down. sudah tentu saya kecewa, dong. kalau pada grafik, ini adalah bagian nadir dari grafik kepuasan saya sebagai pelanggan.

tapi kemudian, kejutan terjadi. tim support dengan cepat menanggapi keluhan saya. dalam waktu kurang dari satu jam sejak saya melaporkan, rumah saya langsung didatangi teknisi. kemudian dalam waktu setengah jam koneksi saya kembali online, tanpa banyak basa-basi dan tanpa banyak tambahan biaya. tentu saja sebagai pelanggan, saya puas. dan dengan demikian, kepercayaan jangka panjang saya kepada ISP langganan pun terbentuk: oh, ternyata ISP langganan saya ini sangat responsif. saya tidak perlu kuatir lagi kalau misalnya ada problem!

pada dasarnya, sebagai pelanggan kemudian saya senang. baiklah, memang terjadi problem. tapi respons dan penyelesaiannya, luar biasa. dengan demikian, peningkatan poin kepuasan saya sebagai pelanggan. dan tambahannya, kepercayaan jangka panjang saya meningkat terhadap kemampuan ISP langganan saya dalam menangani kemungkinan-kemungkinan masalah saya sebagai pelanggan.

jadi, paradoksnya di sini adalah bahwa kepuasan umum pelanggan (dalam kasus ini saya) terhadap servis dari penyedia (di sini ISP langganan saya) meningkat, sementara selama tahun-tahun sebelumnya sebagai pelanggan kepuasan umum saya berada pada level biasa-biasa saja.

.

secara singkat, kira-kira seperti itulah service recovery paradox. kepuasan meningkat karena layanan pernah mengalami kegagalan, namun bisa diperbaiki dengan cepat dan tepat. tapi, ya, hanya ketika respons dan resolusi keluhan berada dalam taraf istimewa sampai luar biasa. kalau ISP saya tadi tidak responsif, misalnya, yang ada juga malah kepercayaan saya semakin rendah. gawat-gawatnya, saya malah bisa pindah ke penyedia layanan lain untuk kebutuhan ISP di tempat saya!

tentu saja, pada dasarnya fenomena ini adalah juga sebuah disonansi. kalau misalnya layanan sering mengalami problem, persepsi konsumen juga akan menurun. oleh karena itu, mengeksploitasi service recovery paradox ini jelas bukan tindakan bijaksana untuk mengambil hati konsumen, khususnya ketika anda berperan sebagai pihak penyedia layanan. ya iyalah, mau secepat apapun anda bisa merespon dan menyelesaikan keluhan, kalau layanan anda tampak tidak stabil di mata konsumen, ujung-ujungnya ya akan sia-sia juga karena layanan anda akan dipersepsikan berkualitas rendah.

gampang-gampangnya sih, kalau menurut saya kira-kira begini. sebagai penyedia layanan, sebisa mungkin, usahakan jangan sampai terjadi problem dengan layanan anda. tapi kalau sampai terjadi problem —dan percayalah, pasti akan terjadi saja entah bagaimana caranya— lakukan dua hal saja: respon dengan segera, dan perbaiki dengan segera!

setelahnya, mungkin hal-hal baik akan terjadi. pelanggan juga bukan tidak bisa melihat kesungguhan anda, kok. 😉

‘saa…’

sebagai pembelajar informal percakapan bahasa Jepang (yang karena tidak dilatih sekarang ini sepertinya semakin karatan), di antara hal-hal yang saya pelajari adalah bahwa ada aspek-aspek percakapan informal, yang, kalau bisa dibilang begitu, sedikit banyak meninggalkan kesan buat saya.

salah satunya adalah ucapan singkat: ‘saa…’

‘saa…’ (さぁぁ…) adalah ungkapan yang… apa ya? pada dasarnya seperti mengatakan sesuatu yang tidak mengatakan sesuatu. tidak ada artinya, mungkin kalau dalam bahasa Indonesia seperti penunjuk ‘nih’, ‘dong’, atau ‘deh’. walaupun tentu saja nuansanya beda, sih.

‘do you have any idea for Saturday morning?’
‘saa…’

kalau dari konteks di atas, seperti ‘entahlah, belum tahu, gimana nanti’. cenderung ke arah menegasikan, walaupun tendensinya masih netral. susah juga kalau dijelaskan begini sih.

kalau kita nonton film Jepang, misalnya, istilah ini sering diterjemahkan sebagai ‘entahlah’, atau ‘nggak tahu ya…’, walaupun saya sendiri merasa agak kurang pas kalau seperti itu. rasanya kok ya seperti ada konteks yang lebih subtil yang hilang dari penerjemahannya.

tapi mungkin lebih gampang kalau pendekatannya adalah ‘apa yang dipikirkan pembicara’ alih-alih penerjemahan kata per kata. tetap saja gampang-gampang susah, sih.

contohnya barangkali sebagai berikut.

‘I don’t know…’ ← penjelasan yang paling umum
‘I don’t want to say no but maybe no’ ← ambivalen mengarah negatif
‘I don’t really know what to say’ ← netral mengarah ragu

tentu saja tidak terbatas ke kriteria tersebut, juga mungkin saja yang terjadi adalah amalgamasi dari ketiganya. nah, bingung kan. saya juga bingung kok.

terus, kenapa pula mendadak saya jadi menulis soal ini?

bukan kenapa-kenapa juga sih. hanya saja saat-saat seperti ini, kadang, ada saatnya saya merasa tidak tahu untuk menjawab apa terhadap pertanyaan yang agak susah dijawab.

‘yud1 sendiri gimana? baik-baik, kan?’
‘saa…’

kalau ditanya artinya apa, saya sendiri juga bingung menjelaskannya.

tapi, yah, mungkin begitulah kira-kira.