tentang kita dan budaya penonton

mungkin saya perlu bilang bahwa jalan-jalan di lapak sebelah yang berlogo burung biru itu tidak selamanya baik untuk inteligensi dan kenyamanan serta kesehatan jiwa. terutama kalau ada pembahasan mengenai acara populis dan merakyat semacam pencarian bakat dengan faktor X di TV. atau idola Indonesia. atau apapun yang terkait performa di layar kaca. demikan dan sejenisnya, kira-kiranya anda paham maksud saya.

kemarin saya lewat di depan televisi dan adik Fatin —bukan sok akrab, sungguh, tapi anak itu memang lucu sih— menjadi juara di acara X Factor. tentu saja bukan berarti mbak Novita —juga bukan sok akrab, sungguh, lagipula saya kan lebih muda— yang menjadi finalis lain itu kualitasnya jadi buruk. lagipula saya suka melihat keduanya, penampilan mereka di layar kaca sesungguhnya tidak buruk-buruk amat jadi ya begitulah…

eh, sebentar, X Factor itu apa sih? kenapa saya jadi ngomongin hal nggak jelas begini?

ah sudahlah. you google that. It Makes Sense In Context.

.

yang saya bingung, baik di warung kopi maupun linimasa ada fenomena serupa dari warga negara Indonesia yang berserikat dan berkumpul di depan TV: orang Indonesia itu senang sekali berkomentar saja! entah itu pertandingan sepakbola (Manchester United baru juara lagi ngomong-ngomong, dan beli kostum replika buatan lokal itu sama sekali tidak mendukung keuangan klub anda. FYI aja sih), entah pula itu soal kontes idola dengan kontestan penyanyi bersuara luar biasa dan dukungan via pesan pendek yang ternyata tidak murah-murah amat (maaf, karena satu dan lain hal panitia tidak menyediakan layanan dukungan via WhatsApp atau BBM. jangan kayak orang susah deh ah).

dan kemudian entah kenapa rasanya kok sense of belonging penontonnya seolah jadi tinggi sekali. maksud saya, itu, memangnya anda sudah menyumbang apa sih untuk membela kebenaran mendukung kontestan yang menurut anda performanya lebih bagus itu?

tentu saja berkumpul dan berdebat ala warung kopi baik fisik maupun virtual itu tidak dilarang karena dilindungi oleh pasal 28 UUD 1945, tapi kebijaksanaan keramaian alias ‘wisdom of the crowd’ itu kok jadinya tidak bijak-bijak amat. apalagi kalau secara sial anda sedang jalan-jalan di linimasa macam Facebook. atau Twitter. ya Tuhan, Twitter. dulu saya sempat bilang saya tidak tertarik untuk membuat akun Twitter, dan sekarang saya sedikit berharap bisa memutar waktu dan membatalkan penggunaan akun saya. tapi saya kira itu urusan lainlah untuk saat ini.

kembali ke masalah. sebagai penonton, saya kok cenderung berpendapat bahwa penonton Indonesia itu sense of belonging-nya cenderung tinggi sekali. padahal ya nggak menyumbang apa-apa juga. padahal kalau mau menabung, jersey asli tim sepakbola itu bisa lho terbeli oleh anda. atau kirim sms dukungan juga bisa kok, kalau bersedia repot dan sedikit mahal sih. nah, dengan demikian, ketika anda membaca tulisan saya yang ngomel-ngomel nggak jelas ini, anda tinggal dengan enak nyeletuk: eh! gue udah kirim sms kok! dua puluh ribu doang sih, tapi minimal gue lebih pantes lah buat ngomel-ngomel! 👿

nah, kalau begitu kan lebih enak! 😆

.

dan setelah ini jangan-jangan pada kolom komentar di bawah akan ada komentar dari massa populis akar rumput (yang barangkali tidak mengirimkan pesan pendek itu) dan mengatakan ‘bagusan Fatin!’, atau ‘oh, Novita dong jelas!’, dan kemudian rusuh sendiri di sana. membayangkannya saja saya jadi sepet sendiri. tapi berhubung ini cuma tulisan sederhana saya di laman semenjana saja, seharusnya tidak kan ya. seharusnya. mungkin.

tapi dipikir-pikir lagi, mungkin sebenarnya ini salah saya juga.

ya Tuhan. mungkin sebaiknya saya memang tidak lewat di depan TV dan nonton X Factor kemarin. dan mungkin juga sebaiknya saya tidak jalan-jalan di Twitter semalam dan setelah bangun pagi ini.

karena sungguh, budaya penonton ini kadang terlalu membingungkan buat saya.