dari suatu sore menjelang akhir pekan

sore hari menjelang akhir pekan di tempat kerja, suasana seharusnya santai menjelang dua hari libur Sabtu dan Minggu ketika seorang partner dari departemen tetangga —seorang gadis yang usianya kira-kira sepantaran saya— menghubungi via telepon di meja kerja.

“hei. kemarin aku ketemu Pak…” katanya sambil menyebut nama seorang direksi, kalau di tempat saya kira-kira termasuk top-level management. setelahnya dia melanjutkan:

“kemarin lagi santai sih, terus aku bilang begini sambil tertawa saja,

‘tuh Pak, dia tuh (maksudnya saya —red) memang begitu. memang perlu dibakar dulu baru bisa ngebut. paling juga minggu depan beres kalau sama dia sih…’ 😀

“eh terus dia bilang begini soal kamu:

‘Yudi tuh ya, saya tahu dia itu bagus, tapi saya nggak paham keputusan dan jalan pikirannya! daripada dia memprioritaskan hal-hal yang nggak kelihatan, lebih bagus kalau dia selesaikan hal-hal yang gampang tapi signifikan. seperti permintaan saya, sudah 2-3 tahun, masih juga belum dikerjakan!'”

“dia bilang begitu?” tanya saya.

“beneran,” katanya sambil tertawa. “tapi terus dia bilang begini:

‘kalau begini, saya kan juga susah! saya tahu dia capable, tapi kalau nggak kelihatan hasil yang high-impact ke seluruh perusahaan, saya juga kan nggak bisa memasukkan nama dia buat endorsement atau nominasi, buktinya apa?!”

“dia bilang begitu?” saya cuma membeo dengan pertanyaan serupa.

“yah begitulah kira-kira. akhirnya dia bilang,

‘coba kamu ngomong sama Yudi, kalau dari kamu barangkali dia lebih mau mendengarkan!’

katanya. padahal ya sepertinya nggak begitu amat juga.”

“ya barangkali, dia merasa mungkin kalau kamu yang ngomong aku lebih bisa menurut… apa iya begitu. masa deh.”

hening sejenak dari kedua ujung telepon.

“nah jadi jelas kan kamu harus apa? sudah jelas banget disebut-sebut tuh. ini nggak ditambah-tambah atau dikurang-kurangi lho ya,” demikian suara cerah ceria yang saya kenal.

“hmm.”

kemudian.

“eh jadi rapat sama dia hari apa sih? minggu depan? aku kemarin diajak juga, tapi belum dapat undangannya.”

saya menghela nafas. oh iya. aduh.

“Senin, jam dua siang,” jawab saya. “ruang rapat direksi lantai 37.”

bukan hal yang sepenuhnya buruk. tapi beberapa hal agaknya memang perlu dijalani saja.

___

[1] penggunaan bahasa disesuaikan sedekat mungkin ke bahasa Indonesia baku, dengan sedikit pengecualian terkait dialek dan nuansa tulisan.

[2] untuk anda pembaca yang mungkin bertanya-tanya: tidak, ini bukan fiksi.

Leave a Reply