dear partner

I’ll be frank about this:
you are annoying.

it was just another once;
you got on my nerves, I did the same
God knows whatever else

you’re telling me not to judge others,
I’m telling you to listen to people,
and suddenly we seem better off without each other

okay, fine!
I have only one problem with that;
I told you once, and I still mean it now:

if I were to pilot a Jaeger,
I’d choose you as my partner

great. I always wonder
if we could ever be
a little
more
normal.

yeah, just a little more, if it’s okay
then again

you left me hanging, you got me baffled,
you don’t want to listen and I don’t want to talk

fine. whatever.
but did it ever come to you to remember?

that I told you once

that I could never, ever, ever
hate you.

not even one bit.

tentang debat, dan sedikit teknik

saya tidak suka berdebat. sungguh. mungkin karena dasarnya saya orang teknik, jalan pikiran saya kurang-lebihnya jelas: ada premis yang jadi pijakan, ada proses berpikir yang runut, dan ada tujuan akhir yang diperoleh dari penalaran dan analisis. jadi pada dasarnya, saya tidak terlalu suka konsep ‘debat’ di mana dua pihak saling mempertentangkan ide dan saling mengalahkan di arena debat.

walaupun ya bukan berarti hal-hal seperti ini jadi tidak perlu. untuk beberapa hal, kadang ada juga ide-ide yang terpolarisasi dan mau tidak mau jadinya diperlukan debat. dan pada dasarnya, itu juga tidak masalah: debat yang dilakukan dengan sehat itu kan makanan yang bagus buat pikiran?

sisi lain dari tulisan ini sebenarnya juga terinspirasi dari rangkaian acara debat kandidat calon presiden untuk pemilihan yang akan segera berlangsung di Indonesia. tentu saja untuk menjaga tulisan ini tetap nonpartisan, perlu diperhatikan bahwa kemiripan terhadap contoh yang ada pada tulisan ini tidak serta-merta menyatakan sikap saya sebagai penulis untuk mendukung atau tidak mendukung salah satu pihak.

after all, it’s for the science!  \o/

 

1. kenapa debat?

pertama-tama, mari kita berangkat dari tujuan utama sebuah acara debat kandidat yang dihadiri pemirsa. anda sebagai peserta, memiliki dua tujuan utama:

a. menunjukkan bahwa visi, misi, dan pendapat anda lebih unggul daripada visi, misi, dan pendapat lawan
b. mengambil hati sebanyak mungkin pemirsa untuk setuju dengan anda

kedengarannya seperti hal yang serupa, padahal sebenarnya tidak sepenuhnya sama. pada bagian pertama, anda harus menunjukkan pendapat anda lebih unggul daripada pendapat lawan. masalahnya, kalau anda unggul terus kenapa? masalahnya adalah, sekalipun argumen anda solid dan hebat, belum tentu pemirsa akan suka dengan cara anda memenangkan debat!

sebentar, ini jadi membingungkan, jadi mari kita telusuri pelan-pelan.

di sini, debat adalah media komunikasi dengan dimensi yang unik: pertama, komunikasi personal —anda sebagai seorang kandidat terhadap kandidat lawan (lawan, ‘opponent’, bukan musuh, ‘enemy’ lho ya). kedua, komunikasi massa —anda sebagai kandidat terhadap banyak pemirsa yang menyaksikan anda.

jadi, ada dua dimensi komunikasi, dengan dua tujuan yang berbeda. dari kedua hal ini, beberapa pendekatan praktis bisa diturunkan.

 

2. offense: kapasitas lawan, kekuatan lawan

ada contoh yang menarik dari debat calon presiden kemarin, ketika salah satu kandidat menanyakan hal kira-kira sebagai berikut:

“bagaimana pendapat anda tentang […] dalam kapasitas anda sebagai menteri koordinator perekonomian dan ketua himpunan tani?”

ini contoh bagus dalam melakukan dua hal: pertama, dengan menggunakan kapasitas lawan sebagai kerangka referensi, anda menempatkan lawan dalam posisi yang harus membela diri dalam konteks yang sudah anda tetapkan. pada saat yang sama, anda mengingatkan —atau mengedukasi— pemirsa tentang atribut lawan yang menjadi dasar serangan anda. demikian juga anda bisa membangun follow up dan counterargument dari sana.

contoh, sekiranya lawan sudah menjawab pertanyaan dengan cukup baik, follow up bisa sebagai berikut:

“tapi kita melihat bahwa di sini [peran organisasi yang anda pimpin] terjadi kesenjangan… bahwa terdapat laporan terjadi… [masukkan data]”

perlu diperhatikan bahwa teknik seperti ini rawan sesat logika tu quoque, kalau keterusan bisa jadi straw man argument atau malah ad hominem, jadi gunakanlah dengan hati-hati.

 

3. defense: tentang keterlepasan emosi

ini hal yang berlaku umum, entah apakah anda sedang berdiskusi, atau rapat di tempat kerja, atau negosiasi. jadi bukan cuma soal debat. hal ‘berbahaya’ yang bisa anda lakukan adalah ketika anda menerima pernyataan atau pertanyaan tidak terduga, anda kemudian blank. secara psikologis, ini hal yang normal. tapi dalam konteks anda sedang berada di arena debat, hal tersebut sungguh tidak menguntungkan.

contoh bagus kemarin, kira-kira berikut, tentang silang-selisih penghargaan terkait pengelolaan tatakota:

“penghargaan Kalpataru itu memang bukan buat kota. yang buat kota itu Adipura!”

ketika pernyataan atau pertanyaan anda dipatahkan secara tidak terduga, reaksi yang normal adalah blank. kemudian panik mulai merayap. kemudian anda akan cenderung menanggapi secara agresif mengarah emosional. dan itu hal yang normal, bentukan evolusi kita memang seperti itu kok.

… atau kalau menggunakan istilah pemirsa awam, ‘yah, kepancing deh’ 😐

periode kritis di sini biasanya 3-5 detik setelah serangan tidak terduga dan anda harus merespon. tapi keadaan seperti ini bukannya tidak recoverable juga. salah satu teknik yang umum digunakan adalah dengan mengakui kesalahan, namun dengan tetap menekankan fokus, pressing the point.

kira-kira follow up yang mungkin:

“maaf, ada selisih salah ucap di sini. betul, secara konteks memang seharusnya Adipura. kesalahan kami, terima kasih. (senyum)

tapi kembali kita review, ternyata ibukota di bawah anda tidak juga memenangkan penghargaan… [tambahkan detail lebih lanjut]”

lebih gampang dibicarakan daripada dikerjakan, sih. dan berhubung ini efeknya psikologis benar, jadi memang sama sekali bukan hal yang sederhana.

 

4. humor! dan emosi negatif itu tidak baik buat anda

sedikit berhubungan dengan poin sebelumnya. dalam keadaan terdesak —baik itu konteksnya debat, adu argumen, maupun negosiasi— manusia cenderung merespon secara agresif. masalahnya, emosi negatif itu sungguh punya dampak yang buruk: pertama, anda jadi jauh lebih rawan terjebak sesat logika (ad hominem, misalnya), dan kedua, anda mempertaruhkan kesan yang dipersepsikan pemirsa yang menyaksikan penampilan anda.

di sisi lain, humor adalah teman anda. tentu saja bukan berarti anda jadi melawak di arena debat, salah-salah anda terlihat tidak kompeten. fokus pada komentar cerdas-singkat-humoris, witty remarks, kemudian kembali ke topik serius.

contoh berikut, dikembangkan dari contoh di poin sebelumnya:

“ya bagaimana, ya. pertanyaannya salah, bagaimana saya bisa jawabnya? (nyengir)

tapi baiklah, dengan konteks yang sudah diperbaiki tadi. ada banyak dimensi dalam tata kelola kota, di mana penghargaan itu meliputi penilaian pada satu waktu. kita perlu melihat juga bahwa di kota-kota lain … [teruskan dengan argumen lebih lanjut]”

ingat kembali bahwa komunikasi anda memiliki dua dimensi: komunikasi personal, antara anda dan lawan debat, dan komunikasi massa, anda dengan pemirsa.

ngomong-ngomong, penggunaan humor yang tidak cerdas bisa jadi menyeret anda ke sesat logika model non sequitur, jadi kembali seperti sebelumnya, gunakan dengan hati-hati.

 

5. appeal to emotion

ini bukan tentang sesat logika yang itu, walaupun nantinya sedikit terkait. tapi kembali kepada tujuan anda di awal debat, penampilan anda dinilai oleh pemirsa… yang juga manusia. dan tidak ada seorangpun manusia yang selalu kebal dari sesat logika tanpa pertimbangan emosional, termasuk saya.

baiklah, andaikan anda punya argumen yang solid dan anda bisa menghajar pendapat lawan habis-habisan. katakanlah, anda menang debat. mungkin benar begitu, baguslah. tapi, bagaimana pemirsa akan menanggapi penampilan anda?

‘ah, saya sih nggak suka, orangnya arogan banget. pinter sih pinter…’

jangan jadi orang seperti itu. hargai lawan anda, hargai diri anda. anda ini kan cuma sedang debat, bukan pergi perang! perhatikan perasaan orang-orang lain yang bukan anda, ingat kembali dua tujuan awal anda berada di arena debat.

perlu dibedakan antara menjaga penilaian emosional terhadap anda dengan berargumen memanfaatkan keterikatan emosional. teknik ini membuat anda rawan terjebak sesat logika appeal to emotion, khususnya ketika anda jadi terlalu memikirkan bagaimana kemungkinan penerimaan pemirsa terhadap argumen anda.

 

6. ‘saya setuju dengan pendapat anda…’

salah satu hal yang agak saya sayangkan dari salah satu kandidat debat calon presiden yang baru lalu adalah, bahwa agaknya beliau terlalu mudah setuju terhadap kandidat yang jadi lawan debatnya. argumennya, ‘kalau memang benar, ya kita harus dukung!’

saya tidak mengatakan itu salah. secara keilmuan, kalau sesuatu itu benar, ya sesuatu itu benar. tapi yang seringnya agak kurang dipahami, adalah bahwa tidak selalu menyatakan kesetujuan itu berakibat kita menjadi kehilangan pesan yang kita bawa. tidak harus seperti itu.

salah satu teknik yang bisa digunakan meliputi pernyataan kesetujuan, conceding the point, kemudian kembangkan dari ide dasar yang disetujui bersama. contoh berikut, diadaptasi dari topik tentang ekonomi kreatif:

“ide dan pendekatan dari bapak tentang ekonomi kreatif— sejujurnya orisinil, dan untuk poin tersebut, memang keunggulan tersendiri dari sudut pandang bapak. tetapi perlu diperhatikan, ekonomi kreatif adalah… ekonomi baru, new kind of economy. yang tidak bisa didekati dengan cara tradisional. saya melihat ada yang bisa … [elaborasi lebih lanjut]”

ide dasarnya di sini adalah, tidak apa-apa setuju dengan lawan debat anda. itu bukan hal yang buruk kok. tapi jangan sampai jadi seolah kita tidak memiliki pesan yang kita sampaikan. it’s okay to agree —but you have to own the message.

 

penutup: saya tidak suka berdebat. tapi…

sebenarnya, masih banyak pendekatan dan teknik lain yang bisa digunakan untuk hal-hal seperti ini. pun sebagaimana saya sebutkan di awal tulisan, saya tidak suka berdebat, dan dengan demikian tulisan ini tidak membuat saya jadi kredibel soal menjadi pendebat yang unggul.

tapi ada hal menarik yang bisa ditarik dari sini, bahwa pada dasarnya kegiatan ‘debat’ itu sendiri, apabila dilaksanakan secara sehat, bisa menjadi makanan yang baik untuk pikiran banyak orang, baik yang menjalani debat maupun pemirsa yang menyaksikan debat tersebut. juga bahwa konteks debat di sini pada dasarnya adalah komunikasi dengan dimensi yang unik: ada komunikasi personal, ada komunikasi massa, dengan berbagai teknik yang bisa diturunkan dari dalamnya.

dari saya sih, tulisan ini cuma soal teknik dan cara komunikasi yang saya observasi. tidak lebih dan tidak kurang. 😉