deja vu

/ 14:00 (FRI)

“intinya sih, dia tidak senang. dan cukup keras, kalau bukan keras banget.”

demikian seorang manager departemen tetangga mengatakannya kepadaku —seorang laki-laki muda, usianya tiga-empat tahun di atasku dan sudah berkeluarga— pada siang hari di lantai sekian-puluh dari salah satu gedung tinggi di daerah sibuk perkantoran tengah kota.

pada saat itu aku kira-kira sudah mendapatkan gambarannya: seorang direksi pada manajemen puncak perusahaan menyatakan ketidaksenangannya secara blak-blakan dalam sebuah rapat yang tidak kuketahui keberadaan waktu dan tempatnya. secara singkat pada dasarnya sebagai berikut: ada keputusan-keputusan yang kuambil, ada keinginan-keinginan yang beliau harapkan, dan perbedaan antara keduanya pada akhirnya menghasilkan ketidakpuasan yang diungkapkan secara keras dan tidak ditahan-tahan.

masalah kecilnya, yah, cuma bahwa ada nama, keputusan, dan tindakanku disebut-sebut berada di pusat ketidaksenangan beliau yang disampaikan secara terang-terangan pada salah satu sesi forum direksi dan manajemen di perusahaan.

aku mengedikkan bahu. “terus dia bilang apa?”

“dia marah-marah. konteksnya waktu itu kami sedang membicarakan inisiatif-inisiatif buat dilakukan masing-masing departemen. dia tanya tempatku. aku bilang, sudah diskusi sama kamu dan akan ada proyek …” dia menyebutkan tentang inisiatif yang pernah kami diskusikan beberapa waktu lalu. ” … dan kemudian dia meledak. sampai sebut-sebut namamu segala, sampai dia bilang sudah tidak ada gunanya juga ngomong ke kamu atau ke atasanmu juga.”

“wow.”

“waktu itu aku pikir, gila, ini sudah keras sekali. kupikir-pikir, ini sudah ad hoc dari beliau. makanya aku ngomong sekarang ini. lebih baik kamu coba pikirkan deh.”

aku menarik nafas, dua-tiga detik, mempertimbangkan apa-apa yang sebaiknya kukatakan dan apa-apa yang mungkin baiknya tidak kukatakan.

“begini,” aku memulai pada akhirnya. “bahwa ada ketidakpuasan dari beliau, itu sesuatu yang aku paham. tapi selama ini, kita —aku dan teman-teman di tempatku— selalu bertindak berdasarkan keputusan yang sifatnya value-based. berdasarkan nilai. dan jujur saja, menurutku memang hal yang beliau minta value-nya rendah. with due respect [1], ya, banyak hal-hal lain yang lebih strategis daripada proyek seperti itu.”

dia tampak menungguku melanjutkan.

“misalnya inisiatif yang baru selesai kemarin, value-nya signifikan.” aku melanjutkan. “dari sisi control and compliance, setidaknya kalian sekarang punya data yang valid buat perbandingan silang lintas departemen. bandingkan sendiri dengan, misalnya, memang karyawan di sini berapa kali ganti mobil sih sampai perlu otomatisasi permintaan kartu parkir?”

hening sejenak. aku melempar pandangan sekilas ke meja di sudut yang sekarang ini kosong. rasanya seperti deja vu, topik obrolan ini. sambil lalu kuperhatikan di antara selasar dan kubikel tampak beberapa orang berlalu-lalang.

bedanya cuma waktu itu… ah, sudahlah.

.

tidak terlalu lama sampai aku mendengar suara seseorang mengembalikan pikiranku dari pengembaraannya.

“omonganmu nggak salah,” dia menukas. “tapi kadang, kamu juga perlu memikirkan banyak hal. siapa yang ngomong, soal ego, hal lain-lain juga. intinya aku mengerti sih. aku setuju. tapi pikirkanlah. sementara kupikir, rencana kita baiknya tidak dilanjutkan dulu.”

aku tahu, aku juga bukan tak sependapat. aku mengangguk pelan, menyatakan persetujuan singkat, dan kukatakan bahwa aku mempertimbangkan saran-sarannya.

“anyway. thanks for telling me.” [2]

“sip,” aku mendengar jawabannya. “good luck, ya.” [3]

aku melemparkan pandangan ke meja di sudut yang kosong untuk terakhir kali, kemudian berjalan pergi.

.

/ 19:10 (FRI)

“tuh, kan. aku tahu suatu saat beliau akan ngomong seperti itu.”

barusan itu bukan kata-katanya, tentu saja, tapi kurasa aku bisa membayangkan seorang gadis akan mengatakan seperti demikian. seperti yang lalu-lalu, seperti yang sudah-sudah.

saat itu sudah malam, lewat pukul tujuh, dan aku sedang makan malam sendirian di sebuah restoran bento cepat saji yang kupilih sekenanya searah jalan pulang sebelum halte bus.

deja vu.

mengingat-ingat diskusi siang tadi rasanya aneh. aku ingat pernah membicarakan hal serupa dengan seseorang lain, dulu. seseorang yang, kurasa, kalau aku menemuinya saat ini, akan mengatakan hal serupa yang kusebutkan barusan di atas.

“dia bilang, suruh aku coba ngomong sama kamu. mungkin kalau aku yang ngomong kamu akan lebih mendengarkan, katanya.”

aku kembali teringat kata-katanya dulu. topik serupa tentang hal yang sama. tentang kemungkinan-kemungkinan yang sama. dan dengan semuanya itu, pada akhirnya kurasa hal-hal pada siang tadi bukan hal yang sepenuhnya mengejutkan benar.

walaupun tetap saja bukan sesuatu yang sepenuhnya terduga buatku.

aku menyeruput kuah bening berisi gulungan bakso udang dan membiarkan pikiranku berkelana. seorang gadis, seusia denganku. seorang partner. mungkin terbaik yang pernah kutemui. promosi dan transfernya sudah disetujui dan dilengkapi beberapa pekan lalu, dan efektif per bulan ini dia akan menangani departemen baru.

kami dulu sempat dekat. kira-kira bisa dibilang seperti itu.

.

sisa makan malam kuhabiskan dengan perkiraan kasar rencana-rencana untuk dijalankan dan kemungkinan-kemungkinan yang bisa jadi tak terduga dari keadaan-keadaan pada saat ini. kira-kiranya aku sudah tahu apa yang akan kulakukan dan bagaimana harus melakukannya, walaupun detailnya kurasa masih akan perlu dirapikan lagi setelahnya.

“an angel. this is for you. and good luck!” [4]

sekilas kata-kata yang familiar, dulu, dan aku kembali teringat dia dan apa yang dikatakannya sekali waktu jauh sebelumnya. waktu itu kami masih sama-sama baru mulai. saat itu dia mencoret-coret gambar malaikat kecil di kertas dan memberikannya kepadaku.

kemudian aku tersadar bahwa kurasa aku melamun lagi. aku menghabiskan teh dan beranjak pergi.

.

/ 0:17 (SAT)

lewat tengah malam. aku sudah berada di kamar. garis besar rencana eksekusi sudah kuselesaikan, hal-hal yang kuperlukan sudah aman pada sore hari kerja sebelum pulang, dan setelah makan malam tadi sisanya akan kuteruskan pada Senin pagi.

aku menyandarkan kepala ke bantal. gelap. lampu sudah kumatikan sejak beberapa belas menit lalu.

aku tak bilang hal-hal seperti semuanya ini bukan sesuatu yang seharusnya sulit atau tidak perlu membuat tertekan—maksudku, semua hal yang ada dari awal tadi itu memang sesuatu yang pantas jadi bahan pikiran— tapi entah kenapa aku tidak merasa sepenuhnya kuatir atau bermasalah benar. setidaknya untuk sekarang ini. entah kalau dulu, kurasa bisa jadi aku akan sudah panik dan susah tidur selama setidaknya beberapa hari.

tapi anehnya, bukan itu yang kupikirkan. yang kupikirkan adalah bahwa dengan segala tekanan dan resiko dan kemungkinan buruk dan semuanya yang mungkin terjadi, aku malah menyalakan aplikasi pesan singkat di ponsel, menelusuri daftar kontak, dan ketika tersadar aku sedang memperhatikan sebuah nama dengan sejarah kiriman pesan yang kini kosong.

kupikir-pikir lagi, entahlah.

aku memandangi layar. kemudian memejamkan mata. rasanya berat. di satu sisi ada sisa-sisa amarah, kekecewaan, ketidakpercayaan, sementara entah bagaimanapun itu, kurasa untukku akan selalu ada relung kecil untuk hal-hal yang tidak bisa kupahami benar; seperti saat ini, ketika dengan segala beban dan tekanan dan kemungkinan, ada sesuatu entah apa mengantarkan ke menu pesan pendek dan papan sentuh yang menunggu diketikkan, dan aku hanya diam memandangi layar dari sisi tempat tidur.

aku menekan tombol ‘cancel’ beberapa kali. setelahnya aku menutup ponsel dan beranjak tidur.


[1] “dengan hormat”
[2] “terima kasih sudah memberi tahu”
[3] “semoga sukses”
[4] “ini malaikat. buat kamu. semoga berhasil!”