bicara di depan, bicara di belakang

pada pekan yang baru lalu, saya dan rekan-rekan di tempat kerja sedang mendiskusikan penugasan yang melibatkan cukup banyak komunikasi dengan pihak-pihak eksternal di luar tim. bukan hal yang aneh, seperti halnya penugasan lain yang biasa. masalahnya adalah bahwa kali ini dari tempat kami perlu berkomunikasi dengan pihak-pihak yang… apa ya, mungkin cenderung dianggap beberapa rekan sebagai ‘tidak selalu nyaman dalam komunikasi secara profesional’.

bukan hal yang luar biasa aneh juga. saya kira pada umumnya kita semua pernah mengalami keadaan seperti demikian di tempat kerja.

 


dana-scully-xfiles

(c) 20th Century Fox

“harusnya departemen kamu sudah komunikasi dengan tempat saya. kenapa baru sekarang?”
“eh…  siap bu… eh, mbak… Dana.” #plok

 

secara singkat, kira-kiranya diskusi waktu itu di departemen tempat saya sebagai berikut.

“aku suka takut sama mbak itu, kalau salah ngomong begini salah ngomong begitu gimana. kalau di sini kan enak, bisa santai ngomongnya…” demikian kata seorang gadis rekan kerja dalam diskusi. rekan yang lain, seorang pemuda sepantarannya, menyatakan persetujuan singkat.

saya berpikir sejenak. saya juga bukannya tidak paham, situasi seperti ini kadang seperti menavigasi ladang ranjau… eh itu agak berlebihan juga sih perumpamaannya, tapi kira-kira begitulah. akhirnya disepakati bahwa keadaan seperti ini tidak bisa terlalu sembarangan sehingga komunikasi antar departemen akan menjadi tanggung jawab saya.

“eh, hidup itu jangan dibikin susah lagi,” kata saya, menanggapi santai pertanyaan sekilas setelahnya. “hidup itu jadi lebih gampang kalau kita bisa ngomong di depan sama dengan di belakang orangnya.”

entah ada angin apa; kayaknya waktu itu saya sedang kesambet setan jadi sok bijaksana.

saya sering mengatakan bahwa sebagian besar konflik yang terjadi di sekitar kita seringnya berawal dari masalah komunikasi. misalnya ketika kita merasa tidak senang dengan sikap seorang teman atau sahabat, lantas kita diam saja. itu awal dari masalah. demikian juga ketika kita tidak setuju dengan atasan di tempat kerja, tapi kita sendiri juga tidak bicara apa-apa. itu juga awal dari masalah.

faktanya adalah, manusia tidak bisa membaca pikiran satu sama lain. sekarang ini saja Google Translate masih jauh sekali levelnya dari Konyaku Penerjemah punya Doraemon, bagaimana pula anda mau mengharapkan orang lain bisa paham tanpa anda sendiri yang mengungkapkan?

buruknya lagi, sering pula pada akhirnya kita malah menyampaikan ketidaknyamanan kita ke pihak lain. dengan segala keterbatasan sudut pandang kita, juga dengan keterlepasan konteks mereka yang mendengarkan dari keadaan yang sebenarnya kita alami.

pada akhirnya apa yang kita katakan di belakang seseorang menjadi berbeda dengan apa yang kita katakan di depan seseorang tersebut. keadaan seperti ini jarang berakhir baik.

 


karate-girl-istock

(c) iStock

“oh, jadi kamu malah curhat sama mantan kamu. oh… kebetulan aku lagi perlu ngelurusin kaki nih.”

 

saya tidak bilang bahwa kita harus selalu jujur keras-kerasan mengatakan segala sesuatu sesuai seenak perasaan kita. tidak harus seperti itu. kalau kita usahakan, seringnya ada cara untuk menyatakan ketidaknyamanan dan ketidaksetujuan tanpa harus kehilangan hubungan baik. sekalipun kadang konflik tidak terelakkan, masing-masing dengan resikonya.

secara pribadi, saya sendiri punya prinsip sederhana. kalau saya berani mengatakan sesuatu di belakang seseorang, maka saya juga punya kewajiban bahwa saya tidak takut mengakui hal yang sama di depan seseorang tersebut. harus adil, dong. di sisi lain saya juga harus berhati-hati karena saya punya tanggung jawab untuk mengatakan hal yang jujur, sebaik yang saya bisa, secukupnya saja. dengan atau tanpa kehadiran seseorang lain yang menjadi bagian dari pembicaraan saya.

saya sendiri lebih suka memandangnya seperti demikian. saya kira seharusnya cukup adil juga.