tentang kecemasan, kehilangan, resiliensi

beberapa waktu lalu seorang rekan sempat bercerita tentang pengalaman—pada dasarnya sesuatu yang sifatnya lumayan pribadi—tapi secara singkatnya rekan saya ini mengalami kegamangan terkait kehilangan yang baru dialaminya. demikian itu juga membuatnya cemas akan hal-hal lebih tidak enak yang mungkin akan terjadi.

tentu saja kalau ditulis seperti itu, ‘kehilangan’ ini tema yang luas, ya. detailnya sendiri tidak terlalu penting untuk bahasan kali ini. tapi soal kegamangan dan kecemasan ini, bagaimana ya, saya paham bahwa demikian ini bisa menyesakkan sekali untuk sebagian dari kita.

.

kenyataannya, perasaan gamang atau cemas terhadap kehilangan juga sesuatu yang sepenuhnya manusiawi. kehilangan hal-hal—atau bahkan membayangkan kemungkinannya saja—rasanya bisa menakutkan sekali!

pengalaman dan kedewasaan juga mempengaruhi. realistisnya, memasuki usia tertentu, hal-hal yang tadinya terasa jauh mulai memasuki ranah kemungkinan-kemungkinan dalam perjalanan kita. orangtua tidak akan ada selamanya, pasangan mungkin akan putus juga, teman-teman bisa jadi akan pisah jalan tak bersama kita. mungkin akan terjadi musibah atau kecelakaan, mungkin akan terjadi kita kehilangan sebagian harta, apapun itu.

pada dasarnya juga bukan hal yang tidak wajar. kecenderungan manusia untuk cemas terhadap kemungkinan kerugian atau kehilangan juga menjadi topik yang umum dalam bidang psikologi dan ekonomi perilaku[1]; banyak studi dan buku juga sudah ditulis terkait bahasan tersebut.

.

kita lebih sering menderita dalam bayang-bayang daripada kenyataan, demikian kata seorang bapak filsuf Seneca.

dulu saya berpikir, pada dasarnya untuk mengantipasi hal-hal buruk yang mungkin terjadi, perlu juga mempersiapkan untuk mencegah, atau setidaknya meminimalkan kemungkinan terjadinya. maksud hati sih supaya tidak cemas amat, ya. sebisa mungkin jangan sampai hal-hal buruk terjadi, walaupun pada akhirnya saya belajar…

… bahwa demikian itu tidak sepenuhnya berguna, pembaca. (lah?) 😆

maksud saya begini. memang pada dasarnya mempersiapkan kemungkinan itu hal yang bagus, tapi pada akhirnya kita tak akan selalu berhasil juga. hal-hal yang kita anggap ‘buruk’ toh akan terjadi juga, bagaimanapun caranya. patah hati sih terjadi saja, teman-teman datang dan pergi juga, barang-barang ada masanya dan nominal di rekening sih ada saja cara keluarnya.

atau singkatnya: mau direncanakan sebanyak apa juga, dibuat secemas apa juga, praktisnya sih bakal kejadian juga.

jadi, alih-alih mengobsesikan diri (bahasa apa sih ini) terhadap kecemasan dan ketakutan menghindari hal-hal buruk dengan perencanaan berlebih yang bikin mumet—dan tidak bikin lebih tidak cemas juga—saya menemukan bahwa lebih penting buat menumbuhkan resiliensi[2] terhadap hal-hal yang pada dasarnya tidak menyenangkan untuk dibayangkan. bahwa setidaknya, untuk banyak hal yang mungkin terjadi, entah apapun itu nanti, saya punya kesiapan untuk menyikapi dan beradaptasi.

tapi kan kita tidak tahu apa yang mungkin akan terjadi? ya justru itu. resiliensi adalah bagaimana kita berhadapan dengan hal-hal, baik atau buruknya, yang bahkan kita belum tahu akan jadi seperti apa. hubungannya ke banyak hal yang sifatnya ke dalam diri, misalnya terkait regulasi emosi, empati, dan yang penting juga adalah efikasi diri (‘self efficacy’): bahwa kita bisa punya keyakinan diri yang valid—alias bukan sok-sokan asal ceroboh juga—bahwa segala sesuatu itu pada akhirnya akan bisa kita hadapi juga.

sederhananya sih kira-kira kemampuan untuk bisa ngomong, ‘enggak apa-apa kok kejadian juga, gimana-gimana nanti bisalah kita urus’.

masalahnya, untuk menumbuhkan resiliensi ini juga tidak sederhana amat. salah satu caranya, ya, dengan mengalami dan melaluinya sendiri, baik secara langsung maupun relatif bertahap[3].

.

saya ingat mengatakan kepada rekan saya bahwa tidak sepenuhnya adil kalau saya membandingkan diri dengan keadaannya. bagaimanapun saya sudah mengalami dan berproses melalui hal-hal terkait ‘kehilangan’ ini, banyak atau sedikitnya, jadi kalaupun saya berada di posisinya, bisa jadi juga akan memiliki penyikapan yang tidak sepenuhnya sama.

tapi saya bisa mengatakan bahwa, ketika kehilangan itu terjadi, sekalipun memang akan sakit dan tidak enak (iyalah, duh), tapi… tidak selalu harus sesakit bayangan kita juga. bahwa ada saatnya apa yang terjadi tidak selalu harus seburuk ketakutan kita sebelumnya.

walaupun tetap saja sakit lho ya. siapa juga yang bilang terus jadi gampang.

pada akhirnya yang terjadi toh terjadi juga, yang kita lalui toh kita lalui juga. kita belajar, kita jadi sedikit lebih tangguh, dan setidaknya kita jadi sedikit lebih paham tentang satu dan lain hal. dan… ternyata kita masih hidup, tidak rusak amat, dan kecemasan kita sebelumnya, walaupun valid, tidak lagi punya banyak makna di hadapan kita.

tentu saja ini juga sesuatu yang sifatnya relatif terhadap individu, demikian juga ketahanan masing-masing kita tak selalu sama. tapi ada pilihan untuk tidak selalu terbelenggu kecemasan-kecemasan—karena toh mau diapakan juga akan terjadi saja, buat saya lebih baik mempersiapkan bukan melulu keadaannya, tapi juga resiliensi untuk hal-hal yang baik atau buruknya toh akan kejadian juga.

bukan berarti terus jadi sederhana juga. tapi percayalah, sering juga terjadi kita lebih tangguh daripada yang kita kira.

___

[1] salah satunya teori prospek (‘prospect theory’) yang dikembangkan oleh Daniel Kahneman dan Amos Tversky.

[2] resiliensi di sini adalah konsep yang juga banyak dibahas dalam studi psikologi. definisinya banyak, tapi salah satu yang umum adalah korelasinya dengan regulasi emosi dan efikasi diri.

[3] pada ranah psikologi klinis, salah satu pendekatan misalnya melalui terapi eksposur (‘exposure therapy’) terhadap sumber kecemasan secara gradual; teknik ini merupakan intervensi tingkat lanjut sesuai kebutuhan individu.

opini-opini yang tidak berguna

saya paham bahwa orang-orang bebas untuk memiliki opini. apalagi di media sosial, yang sudah macam warung kopi raksasa dengan segala macam opini warga di dalamnya. walaupun di sisi lain, yah… hal-hal seperti ini agak membuat jengah juga kadang-kadang.

kadang-kadang. eh apa sering ya? yah begitu deh pokoknya.

(c) Nickelodeon

“kenapa dunia penuh ketidakadilan, kenapa harus seperti ini banget, kenapa Spongebob, kenapaaaa?!?!”

kalau opini sih memang tidak ada yang salah, ya. terlepas dari apapun di balik opini anda; mungkin tulus, mungkin dibayari dengan insentif, mungkin dengan teknik dan taktik agitasi ala organisasi mahasiswa atau organisasi massa atau anda kebetulan sebagai kader partai politik…

eh, aduh, maaf. kalau dipikir dan dianggap semua opini media sosial itu semuanya tulus… bangun hoi, bangun. 😆

tapi baiklah, anggap saja anda ini tulus, dan anda benar-benar merasa sedih dengan keadaan di sekitar anda yang sepertinya dalam keadaan yang kacau benar. kalau mau seperti itu bebas juga. tulislah kegalauan anda akan masa depan bangsa dan dunia, bagikan di Facebook atau Twitter atau Instagram… mungkin juga akan mendapatkan banyak tanda ‘suka’ dan dibagikan ke banyak orang lain, tidak sepenuhnya buruk juga.

tapi  kalau seperti itu jadinya tidak terlalu berguna, jadi susah juga.

habis bagaimana, ya. kalau cuma merasa galau atau sedih atau marah tapi tidak ada arahan untuk memperbaiki keadaan, kalaupun punya opini jadinya tidak ada nilai gunanya juga, begitu.

.

jadi begini… kalau mau dunia jadi lebih baik, mari mulai kerjakan PR. berikan solusi dan rencana yang komprehensif, kemudian mulai bekerja, sekecil apapun yang anda bisa. di sana opini-opini akan ketemu realita, ketemu berbagai macam nuansa, dan bahwa keinginan baik anda saja tidak cukup. harus menerima dan membuat keputusan, mana yang bisa sedikit anda korbankan untuk memperbaiki keadaan sebaik yang anda bisa.

saya tidak bilang bahwa anda harus kehilangan idealisme. anda bisa kok mengubah keadaan,  tapi anda juga harus cerdas dan bekerja keras untuk itu.

karena kalau tidak, ya bagaimana bisa. kalau cuma beropini apalagi cuma marah-marah saja kan semua orang juga bisa. jadi tidak ada bedanya sekadar klik ‘suka’ dan ‘berbagi’ pada aplikasi kesukaan di ponsel, tapi tidak lebih.

.

sekarang begini. misalnya anda ini sarjana jurusan Ekonomi atau Sosial-Politik atau Teknik. anda seharusnya punya kemampuan untuk bisa mengira-ngira dan memberikan rancangan solusi sesuai bidang keilmuan anda.

kenapa begitu, karena anda ini produk pendidikan tinggi yang jadi harapan bangsa.  jadi mari mulai berkerja.

sebagai lulusan bidang Ekonomi, mungkin anda bisa melihat skema kerja Otoritas Jasa Keuangan atau Lembaga Penjamin Simpanan, mungkin anda menemukan ada yang kurang pas, dan anda tahu baiknya harus bagaimana. buatlah tulisan, atau infografik, tuangkan dalam media favorit anda. saya sebagai praktisi Teknologi Informasi melihat ada cara untuk mengefisiensikan pengadaan perangkat lunak di pemerintahan, maka saya kira-kira bisa mengatakan bagaimana proposal saya untuk itu. anda yang berkiprah di bidang hukum bisa membantu mencerahkan khalayak awam mengenai konteks dan kontroversi di balik sebuah putusan hukum.

ada pilihan untuk tidak cuma mengeluh saja.

di sisi lain saya bukannya antipati terhadap abstraksi, tapi bagaimanapun strategi itu harus konkret. saya sendiri memandangnya sederhana saja: untuk setiap apa yang anda tuntutkan, harus ada bagaimana yang anda sertakan.

.

oleh karena itu, saya jauh lebih bisa memberikan respek kepada rekan-rekan yang, dengan segala keterbatasannya, memutuskan untuk mulai bekerja dan memperbaiki keadaan dengan cara mereka sendiri.

rekan-rekan di Transjakarta, walaupun dengan segala kritik terhadap sistem kartu, ada banyak peningkatan yang tidak bisa disangkal. rekan-rekan di Pemprov DKI, walaupun dengan segala kisruh seputar pilkada, kontroversi terkait penggusuran dan sebagainya, ada juga hasil-hasil yang tidak bisa dipungkiri. rekan-rekan di Bekraf, Kominfo, Imigrasi… dengan segala frustrasi di tempat mereka, tapi setidaknya ada hasil yang sampai dan perbaikan-perbaikan yang dirasakan oleh saya dan rekan-rekan yang terhubung ke layanan mereka.

(ngomong-ngomong, rekan-rekan Kominfo: itu kebijakan blokir kalian tolong diperbaiki. Reddit dan Vimeo masih belum bisa dibuka. saya paham kalian juga frustrasi, tapi menteri kalian kemarin itu payah sekali. 😛 )

demikian itu juga tidak semuanya sempurna. tapi ada usaha, ada kemajuan, dan walaupun ada kekecewaan, buat saya demikian itu lebih berharga daripadaa opini yang hanya menuntut pada dimensi yang mengawang-awang. walaupun sayangnya sejauh yang bisa saya lihat, jauh lebih banyak dari jenis yang terakhir saja yang bisa ditemukan…

saya tidak mengatakan kalau cuma opini saja lantas isinya jadi tidak valid. tapi kalau cuma demikian memang jadi tidak banyak gunanya juga.

superman (it’s not easy)

saya ingat, waktu kecil dulu saya sering menonton serialisasi Superman di salah satu televisi swasta. waktu itu Clark Kent masih muda, belum ketemu Lois Lane, dan masih dekat dengan Lana Lang.

waktu itu rasanya dunia sederhana sekali. sehabis pulang mengaji, sore hari, petang menjelang maghrib, duduk di depan televisi dan rasanya beban hilang beberapa saat sampai waktunya belajar dan barangkali mengerjakan PR. malamnya mempersiapkan daftar pelajaran ke dalam ransel kecil yang akan dibawa keesokan harinya.

entah kenapa. mungkin saya hanya sedang teringat sambil mendengarkan Superman (It’s Not Easy). Five for Fighting, demikian nama kelompok yang membawakan.

 

superman-child

“I’m only a boy, in a silly blue shirt, promised to protect you on this one way street…”  ♪♫

 

beberapa hari belakangan ini saya kena flu. bukan sesuatu yang benar-benar parah, tapi hal-hal seperti demikian membuat kita cenderung tidak bisa melakukan apa-apa, dan buat saya itu juga membuat pikiran menjadi berkelana. keadaan seperti demikian membuat sedikit senang sekaligus membuat sedikit sedih juga kadang-kadang.

misalnya begini. sebagai seorang anak kecil yang tumbuh untuk menjadi laki-laki, saya menerima tuntutan untuk menjadi sosok yang kuat dan setidaknya ‘enggak malu-maluin amat’. saya menerima tuntutan untuk bisa menjadi sosok yang bisa diandalkan, baik oleh diri sendiri maupun oleh orang-orang lain.

katanya bapak dulu, anak laki-laki itu harus kuat. dan berani. itu pesan yang saya ingat dengan baik.

I’m only a man, in a silly red sheet
digging for kryptonite on this one way street

walaupun kadang ya demikian itu, sekuat apapun kita sudah berusaha untuk menjadi —lebih— tangguh, sama seperti Superman juga, kadang kita tak berkutik juga di hadapan sesosok, eh, sekeping kriptonit. kita yang biasanya kuat dan berlagak bisa menahan banyak hal, tiba-tiba pain tolerance-nya jadi rendah sekali. kita yang sering sok memaksa diri untuk terlihat tegar tiba-tiba menemukan diri mendadak terasa berat sekali.

tapi, mungkin itu juga bukan hal yang sepenuhnya buruk. bukankah di satu sisi, kriptonit itu juga akhirnya membuat Superman menjadi lebih manusia daripada seharusnya. (walaupun ya, secara teknis sebenarnya dia itu bukan manusia juga sih…)

entah kenapa saya kepikiran bahwa mungkin, faktor kriptonit demikian itu juga membuat kita sedikit lebih dekat dengan sisi lain diri kita. bahwa kita mungkin tidak bisa setangguh yang kita harapkan, tidak bisa sekuat yang kita inginkan, tapi setidaknya kita menjadi sedikit lebih manusiawi daripada yang kita perkirakan.

.

padahal kalau dipikir-pikir lagi, kita hidup di dunia ini juga bukan buat jadi Superman. juga bahwa sesekali jatuh atau bertekuk lutut di hadapan sesosok atau sekeping kriptonit yang selalu mengingatkan diri, itu juga bukanlah sesuatu yang selalu sepenuhnya buruk.

tidak sederhana, tapi buat saya itu bukan pertukaran yang tidak adil.

tamu

“senang dan sedih itu kan seumpama tamu saja. kalau lagi datang kita urus, kalau mau pergi kita antar. sepatutnya saja.”

_

mungkin saya bertambah tua. atau mungkin saya cuma sedikit bertambah bijak. atau mungkin cuma sudah saatnya bahwa saya tidak lagi memandang hidup sebagai mencari kesenangan dan menghindari kesedihan.

lho, kok?

 

be-happy

kalau melihat orang lain sedih, kita buat bahagia! … eh, mungkin.

 

iya. terutama belakangan ini, saya menemukan bahwa ternyata bukan mencari kesenangan dan menghindari kesedihan seperti itu yang saya cari. bukan pergi jalan-jalan ke tempat jauh, bukan makan enak, bukan mencari pengalaman yang bisa dibanggakan.

bukan itu. sama sekali bukan itu.

demikian pula buat saya hidup itu bukan lagi soal mati-matian berusaha menghindari keinginan mentok tidak tercapai, kehilangan orang-orang terdekat, hal-hal lain yang mungkin bisa demikian tidak nyaman untuk banyak orang.

bukan itu. sama sekali bukan itu juga.

.

saya sering menganalogikan hidup itu seperti layaknya kita punya rumah. kita berusaha baik, kita buat rapi sebisa kita, senyaman mungkin sehingga kita juga betah. sambil sesekali ada tamu datang berkunjung, ngobrol-ngobrol sebentar, minum teh atau kopi. ketika urusan sudah selesai, pamit dan kemudian pergi lagi.

buat saya, berbagai hal dalam hidup itu ya seperti itu. senang dan sedih, ceria atau kecewa, semua itu ya seperti tamu saja. bukan berarti bahwa dengan demikian lantas ada tamu yang baik dan ada tamu yang buruk, bukan seperti itu juga.

cuma bahwa ada tamu datang ke rumah kita. bukan baik, bukan buruk. cuma ada. itu saja.

kalau ada tamu datang, ya kita urus. kadang perlu disediakan teh, kadang lebih suka kopi. tidak masalah, yang ada saja. sambil lalu kita mengobrol, kita jadi lebih mengenal tamu kita, dalam prosesnya juga jadi lebih mengenal diri sendiri. barangkali juga kemudian sadar ternyata rumah kita ada kurang-kurangnya sedikit. tidak apa-apa.

kalau waktunya pergi, ya kita antar. tamu menyenangkan, tamu kurang menyenangkan, pada waktunya akan pergi. kalau sudah waktunya tamu pergi tapi kita memaksakan untuk tinggal di rumah kan kurang elok juga. maka kita antarkan, sebaik dan semampu kita saja. jangan dipaksakan.

setelahnya kita bersih-bersih rumah. sesekali kita mengingat-ingat, oh ada juga tamu yang menyenangkan pernah datang, ada juga yang lain-lain pernah datang. sambil jalan kita buat rumah kita lebih rapi, sehingga bisa lebih nyaman untuk kita sendiri, juga buat ketemu dan ngobrol kalau misalnya ada tamu lagi.

kita tidak tahu juga tamu berikutnya akan seperti apa. tapi ya sudah, kalau datang ya kita urus. kalau mau pergi ya kita antar. sepatutnya saja.

.

buat saya, senang atau sedih itu ya kenyataan hidup. sama halnya seperti kalau lapar kita makan dan kalau kita masak ikan sering ada kucing tetangga. bukan sesuatu baik, bukan sesuatu buruk. cuma sesuatu saja.

bukan berarti bahwa segala sesuatu lantas cuma dilihat dan ditunggu saja. hidup itu ya dijalani sebaik kita bisa, semampu kita bisa, sekuat kita bisa. kalau kita berusaha baik, seringnya terjadi hal-hal baik. kadang-kadang tidak, ya sudah. kalau kita terlalu terikat kepada hal-hal seperti baik dan buruk atau senang dan sedih, jadinya ya susah juga.

oleh karena itu, yah, ketika cukup banyak rekan-rekan yang terlihat senang dan bahagia dengan pergi ke tempat yang jauh atau memiliki rumah serta mobil baru atau pekerjaan yang hebat dan mentereng, ya mungkin ada bagusnya juga.

walaupun buat saya sendiri, mungkin berhubung bukan demikian juga yang saya cari, jadi saya juga tidak terlalu memikirkannya benar. senang dan sedih, baik dan buruk, apapun itu pada dasarnya kan cuma tamu saja.

semua ada jalannya. demikian kalau bisa selarasnya saja, sepatutnya saja, buat saya cukup.

bicara di depan, bicara di belakang

pada pekan yang baru lalu, saya dan rekan-rekan di tempat kerja sedang mendiskusikan penugasan yang melibatkan cukup banyak komunikasi dengan pihak-pihak eksternal di luar tim. bukan hal yang aneh, seperti halnya penugasan lain yang biasa. masalahnya adalah bahwa kali ini dari tempat kami perlu berkomunikasi dengan pihak-pihak yang… apa ya, mungkin cenderung dianggap beberapa rekan sebagai ‘tidak selalu nyaman dalam komunikasi secara profesional’.

bukan hal yang luar biasa aneh juga. saya kira pada umumnya kita semua pernah mengalami keadaan seperti demikian di tempat kerja.

 


dana-scully-xfiles

(c) 20th Century Fox

“harusnya departemen kamu sudah komunikasi dengan tempat saya. kenapa baru sekarang?”
“eh…  siap bu… eh, mbak… Dana.” #plok

 

secara singkat, kira-kiranya diskusi waktu itu di departemen tempat saya sebagai berikut.

“aku suka takut sama mbak itu, kalau salah ngomong begini salah ngomong begitu gimana. kalau di sini kan enak, bisa santai ngomongnya…” demikian kata seorang gadis rekan kerja dalam diskusi. rekan yang lain, seorang pemuda sepantarannya, menyatakan persetujuan singkat.

saya berpikir sejenak. saya juga bukannya tidak paham, situasi seperti ini kadang seperti menavigasi ladang ranjau… eh itu agak berlebihan juga sih perumpamaannya, tapi kira-kira begitulah. akhirnya disepakati bahwa keadaan seperti ini tidak bisa terlalu sembarangan sehingga komunikasi antar departemen akan menjadi tanggung jawab saya.

“eh, hidup itu jangan dibikin susah lagi,” kata saya, menanggapi santai pertanyaan sekilas setelahnya. “hidup itu jadi lebih gampang kalau kita bisa ngomong di depan sama dengan di belakang orangnya.”

entah ada angin apa; kayaknya waktu itu saya sedang kesambet setan jadi sok bijaksana.

saya sering mengatakan bahwa sebagian besar konflik yang terjadi di sekitar kita seringnya berawal dari masalah komunikasi. misalnya ketika kita merasa tidak senang dengan sikap seorang teman atau sahabat, lantas kita diam saja. itu awal dari masalah. demikian juga ketika kita tidak setuju dengan atasan di tempat kerja, tapi kita sendiri juga tidak bicara apa-apa. itu juga awal dari masalah.

faktanya adalah, manusia tidak bisa membaca pikiran satu sama lain. sekarang ini saja Google Translate masih jauh sekali levelnya dari Konyaku Penerjemah punya Doraemon, bagaimana pula anda mau mengharapkan orang lain bisa paham tanpa anda sendiri yang mengungkapkan?

buruknya lagi, sering pula pada akhirnya kita malah menyampaikan ketidaknyamanan kita ke pihak lain. dengan segala keterbatasan sudut pandang kita, juga dengan keterlepasan konteks mereka yang mendengarkan dari keadaan yang sebenarnya kita alami.

pada akhirnya apa yang kita katakan di belakang seseorang menjadi berbeda dengan apa yang kita katakan di depan seseorang tersebut. keadaan seperti ini jarang berakhir baik.

 


karate-girl-istock

(c) iStock

“oh, jadi kamu malah curhat sama mantan kamu. oh… kebetulan aku lagi perlu ngelurusin kaki nih.”

 

saya tidak bilang bahwa kita harus selalu jujur keras-kerasan mengatakan segala sesuatu sesuai seenak perasaan kita. tidak harus seperti itu. kalau kita usahakan, seringnya ada cara untuk menyatakan ketidaknyamanan dan ketidaksetujuan tanpa harus kehilangan hubungan baik. sekalipun kadang konflik tidak terelakkan, masing-masing dengan resikonya.

secara pribadi, saya sendiri punya prinsip sederhana. kalau saya berani mengatakan sesuatu di belakang seseorang, maka saya juga punya kewajiban bahwa saya tidak takut mengakui hal yang sama di depan seseorang tersebut. harus adil, dong. di sisi lain saya juga harus berhati-hati karena saya punya tanggung jawab untuk mengatakan hal yang jujur, sebaik yang saya bisa, secukupnya saja. dengan atau tanpa kehadiran seseorang lain yang menjadi bagian dari pembicaraan saya.

saya sendiri lebih suka memandangnya seperti demikian. saya kira seharusnya cukup adil juga.

tentang tidak takut(-takut amat)

beberapa hari lalu, terjadi insiden terorisme di Jakarta. kota tempat saya bekerja, maksudnya. bagusnya tidak sampai banyak korban, demikian juga dalam beberapa jam situasi sudah kembali normal.

tentunya keadaan tersebut juga tidak bisa dibilang normal dalam beberapa jam sebelumnya. pesan-pesan pendek dan berita tidak jelas berseliweran, dan kalau ada orang mendengarkan kesannya seolah keadaannya semacam sudah gawat sekali dan kepanikan di mana-mana. padahal kenyataannya sendiri… ya memang rada gawat sih, tapi sungguh tidak separah kedengarannya.

ngomong-ngomong. cerita berlanjut bahwa, belakangan ini, akhirnya saya malah dengan bodohnya mengunjungi kembali laman media sosial, yang mana pada saat ini notabene sedang marak dengan tema ‘kami tidak takut’. eh salah ya. harusnya kan pakai tagar biar lebih seru dan kekinian. baiklah. #KamiTidakTakut.

. . . dan tertawalah saya.

serius, anda semua harus berhenti menggunakan media sosial. setidaknya sejenak. kemudian coba jalan-jalan di Jakarta. gunakan transportasi publik, atau jalan kaki juga boleh.

Jakarta tidak takut, karena sudah terbiasa untuk tidak takut menghadapi kekerasan.


theraid-iko2

(c) Merantau Films

tak lupa tagar #KamiNaksir buat kak Iko. polisi baik ramah rendah hati, rajin sholat jago berantem pula.

dulu, waktu masih kecil-baru-mulai-remaja, saya pernah berurusan dengan tukang palak. kira-kira mungkin setahun di atas saya. kena pukul tiga-empat kali, memasukkan balasan satu-dua kali. uang dan bawaan saya aman, tapi ya kena memar dan lebam juga. demikian di lain waktu, dulu masa sekolah saya pergi naik metro mini, eh kena juga digaplok preman. rasanya darah sudah panas betul… di sisi lain tidak sampai ada kerugian materi, sehingga, yah, daripada cari perkara di tempat orang malah bikin tambah masalah.

belum lagi masalah kecil lain-lain seperti melihat rombongan tiga-empat copet melompat keluar dari bus lantas terbirit-birit menyeberangi jalur cepat jalan searah (hebat, kok bisa ya), atau ketika jalan kaki sendirian melewati lokasi biasa tawuran antarkampung (yang bagusnya belakangan sudah lebih jarang). mau tidak mau hal-hal seperti ini memberikan perspektif tersendiri.

maksud saya begini: mengatakan bahwa ‘kami tidak takut’ terhadap teror dan kekerasan adalah satu hal. dan itu sungguh tidak susah. tapi jujur sih, kalau sudah terbiasa dengan hal-hal di atas, ketika melihat ada teror bom dan jumlah korban tewas malah lebih banyak teroris, anda mau takut apa lagi?

saya sendiri tidak terlalu antusias mengikuti pendapat orang-orang. pendapat sih tidak ada yang salah, walaupun seringnya banyak yang tidak berguna. dalam arti tidak ada rencana atau solusi, maksudnya. ampun deh. kalau cuma berkomentar saja sih (apalagi sambil marah-marah, asyik deh), saya kira semua orang juga bisa.

sehingga untuk pertanyaan pada beberapa hari lalu seperti ‘loh, memangnya kamu enggak takut’ atau ‘kenapa kamu kok bisa kayak cuek banget begitu’… saya hanya mengingatkan diri dua potong kalimat saja.

i. bukankah kami telah melapangkan untukmu dadamu dan mengangkat beban yang memberatkan punggungmu

ii. (maka) siapakah di antara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja jalan hidupnya.

Q.S. 94:1-3, feat. Mat 6:27.

berani hidup, tidak takut mati. walaupun sungguh tidak semudah kedengarannya, apalagi kalau anda sudah punya terlalu banyak keterikatan dengan dunia.

obat galau dan macam-macamnya

beberapa waktu yang lalu, seorang rekan tiba-tiba menyatakan pendapat —atau barangkali tepatnya melabeli dengan predikat— bahwa kelihatannya saya ini ‘mungkin sedang galau’.

hah. galau? GALAU? kalau ‘galak’ sih saya masih bisa terima. tapi kalau ada orang mengatakan seperti itu, kan mungkin ada benarnya. jadi baiklah karena saya ini orangnya sebisa mungkin terbuka untuk introspeksi diri, saya pun jadi memikirkannya dan dengan demikian jadilah bahan tulisan ini.

disclaimer: contoh bukan berdasarkan pengalaman pribadi!
… eh, mungkin.  anggap saja demikian.

 

di atas: contoh penyaluran kegalauan paling paripurna di seantero jagat raya. tidak ada sanggahan.

 

baiklah, jadi tulisan ini adalah kira-kira hasil kompilasi terkait berbagai opsi penyaluran kegalauan —wih lagaknya— yang bisa saya rangkum dari pengalaman dan perjalanan sejauh ini. tulisan ini adalah opini, dengan kemiripan terhadap dunia nyata… HEH, DIBILANGIN INI BUKAN PENGALAMAN PRIBADI!

 

1. ibadah/doa/meditasi (whatever applies)

ini cara paling basi —dalam arti sering disebutkan— tapi secara mengejutkan cukup efektif. terserah anda ini mau religius atau tidak, terserah anda mau ibadah atau doa harian atau meditasi sederhana. bebas.

jadi ketika …

(misal) kata mbaknya:
“kamu jangan aneh-aneh ah.”

maka kita berdoa! karena ada saatnya kan kita perlu mengambil jarak dari segala sesuatu dan rutinitas. jadi saat-saat seperti ini sebisa mungkin menjadi momen pribadi yang tidak boleh diganggu-gugat. anggap saja ini dialog. dengan Tuhan, kalau percaya sih. atau dengan diri sendiri, kalau anda kebetulan sedang merasa hebat.

doanya apa sih terserah konteks anda galaunya kenapa. contoh gampang misalnya begini: ya Allah, kalau dia memang jodohku, dekatkanlah. kalau dia bukan jodohku, jodohkanlah. eh…

yah pokoknya begitulah!

 

2. kerja, kerja, kerja!

kerja adalah cinta yang mewujud. katanya pak Kahlil Gibran. atau painkiller yang tidak kelihatan. katanya saya. tentunya akan baik kalau kita bisa mengambil kesenangan dari proses dan hasil karya kita, karena kalau tidak ya susah.

jadi ketika …

(misal) kata mbaknya:
“aku nggak nyaman kalau kamu seperti itu.”

mending kita kerja. ada deadline dua minggu lagi? selesaikan minggu ini! rencana kerja dibatalkan oleh pak bos? perbaiki dan buat sampai berhasil! pokoknya lempar diri anda sampai ke batas, dan buktikan bahwa anda lebih hebat daripada yang orang lain dan anda sendiri kira. kalau berhasil menyenangkan loh.

kalau sibuk kerja, kan jadi tak sempat juga memikirkan yang lain. lagipula kalau hasil kerja kita baik, kita juga senang. jadi untungnya banyak! kalau beruntung, mungkin juga gaji bisa bertambah. hehe.

 

3. latihan fisik

mungkin kedengaran aneh, tapi memang ada korelasi antara emosi positif dengan kebiasaan berolahraga. lagipula, endorfin! termasuk kenapa mereka yang berolahraga cenderung lebih cerah ceria menghadapi dunia.

jadi ketika …

(misal) kata mbaknya:
“… you are not that special.”

tengah malam, nggak bisa tidur, teringat kenangan suram? turun! push up dua seri! masih nggak enak? sit up satu seri! sampai antara anda sudah lebih tenang atau anda capek sendiri terus ketiduran. aktivitas fisik memicu produksi hormon endorfin dalam tubuh. yang pada gilirannya membuat kita cenderung lebih tenang dan santai.

jadi memang benar peribahasa jaman dulu; mens sana in corpore sano, di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat! bonusnya, mungkin massa otot anda akan bertambah seiring juga kegalauan berkurang.

 

kira-kira demikian. pada dasarnya saya ini orangnya praktis. daripada duduk termangu dan merutuk meratapi nasib, mending melakukan sesuatu. kalau bisa sambil menyelam minum air, kenapa tidak? asal nggak malah jadi tenggelam lalu mati sih. lalu sekiranya selepas ini saya jadi pemuda yang high quality taat dan tenang serta kaya dan pekerja keras demikian pula sehat dan kuat… yah anggap saja itu bonus.

yah, barangkali setelahnya saya bisa menjadi pahlawan bertopeng macam pakcik Batman yang keren itu. atau setidaknya menjadi pemuda kuat cerdas tampan dan kaya macam pakcik Bruce Wayne. atau setidaknya… eh yah pokoknya begitulah!

 

___

image credits:

  • hak cipta karakter Batman oleh DC Comics
  • Batman: The Dark Knight (2008), produksi dan distribusi oleh Warner Bros.

kutukan cuek dan peduli

konon katanya, saya ini orangnya cenderung cuek. saya sih setuju-setuju saja. sementara konon katanya lain lagi, pada dasarnya saya ini sungguh bukan tidak perhatian dengan keadaan orang lain. saya sih setuju… eh, tunggu. ini kenapa rasanya ada yang aneh, ya.

pokoknya kira-kira demikian. jadi sebenarnya saya ini makhluk apa, saya juga bingung.

tapi sudahlah, bukan itu inti masalahnya. masalahnya buat saya, cuma bahwa kadang ujung-ujung spektrum cuek-atau-perhatian ini bisa jadi membingungkan dan tak selamanya bisa nyaman. tentu saja kadang hal seperti ini bisa jadi pemicu situasi yang komikal betul, sementara di saat-saat lain… yah, bisa menjadi pemicu situasi yang tidak komikal betul.

makanya, jadi orang tuh jangan terlalu unik, eh, terlalu aneh. dasar bocah. nah sekarang bingung kan.

 

relevan: “emangnya siapa elu?”   😆

 

jadi, baiklah. buat saya, menavigasi batas antara cuek-dan-perhatian dalam hubungan yang sifatnya personal seperti ini seringnya gampang-gampang susah. kenapa begitu, karena dalam konteks ini, ada saatnya hal-hal sederhana harus dipahami tanpa perlu diberitahu. mau cuek atau perhatian sih boleh-boleh saja, tapi kembali lagi, tetap saja ada hal-hal tak-selalu sederhana; kapan harus bertanya, kapan boleh mendengarkan. kapan harus keras kepala, kapan tidak perlu mencari tahu…

seandainya hal-hal seperti ini ada rumusnya.

di satu sisi, saya paham bahwa selamanya manusia saling membutuhkan dengan yang lain. teman, pasangan, kerabat, apapun itu. terlepas dari apakah pada satu waktu kita bersedia mengakuinya atau tidak, bersedia memberikan ruang atau tidak. saya paham bahwa itu sesuatu yang sifatnya prerogatif dan tidak bisa dilanggar dengan seenaknya. orangtua atau saudara, pasangan atau sahabat, siapapun itu.

di sisi lain, saya juga paham bahwa saya harus menghormati ruang privasi dan bahwa tidak selalu semua orang merasa nyaman dengan saya. bagaimanapun, bahwa niat baik tidak selamanya akan tersampaikan dengan baik, itu juga sesuatu yang mau tidak mau harus dipahami. entah nyaman atau tidaknya, bagaimanapun tetap; siapa anda, siapa saya, batas-batas itu akan selalu ada.

seberapapun leluasa atau sempitnya batas yang diizinkan itu. dengan segala kenyamanan atau kekurangnyamanan yang melingkupinya.

sehingga saya juga seharusnya paham, bahwa ketika ada saatnya tidak selalu orang lain itu nyaman dengan kepikiran atau kekuatiran atau barangkali kebaikan yang kita inginkan, seharusnya ya sudah. bukankah ada waktu tepat untuk segala sesuatu; demikian ada waktu untuk merobek, ada waktu untuk menjahit. ada waktu untuk diam, ada waktu untuk berkata-kata. kan begitu?

seharusnya. walaupun, entahlah.

mungkin akan lebih mudah seandainya saya bisa agak lebih cuek terhadap beberapa hal. mungkin. tapi, yah, sudahlah.

 

___

image credits:

  • karakter Hermione Granger dan Ron Weasley dari serial novel Harry Potter oleh J.K. Rowling
  • Harry Potter and Philosopher’s Stone (2001), adaptasi dalam bentuk film oleh Warner Bros

liburan yang tidak perlu melarikan diri

saya sedang nongkrong minum kopi di depan televisi pada hari Minggu pagi sementara adik saya menonton acara jalan-jalan di salah satu stasiun. ada hal menarik yang dikatakan seorang pembawa acara di akhir acara. redaksinya kira-kira sebagai berikut seingat saya, maklum masih rada ngantuk. namanya juga Minggu pagi. hehe.

“enggak enaknya dari liburan itu pada akhirnya waktu kita sudah harus pulang. waktunya kembali ke kehidupan. rutinitas, kantor, ketemu orang-orang lagi seperti biasa…”

saya ingat tadi saya berhenti menyeruput kopi dan memandang ke layar televisi. kemudian kepikiran, bahwa ungkapan demikian mungkin memang ada benarnya untuk sebagian banyak pemirsa. bahwa termasuk hal tidak enak dari liburan itu adalah ketika harus kembali ke berbagai tanggung jawab dan konsekuensi yang sudah menunggu di kehidupan nyata.

tapi apa iya harus seperti itu?

 

liburan, liburaaaaannn~! …lalu? 

 

saya sering menemukan pendapat bahwa pergi liburan —dalam konteks berwisata, maksudnya— cenderung dimaknai sebagai upaya eskapisme atau setidaknya dalam konteks ‘melarikan diri sejenak’. kalau sambil iseng kita coba perhatikan kata-kata yang umum dalam konteks tersebut, istilah seperti ‘getaway’ atau ‘escapade’, keduanya dalam bahasa Inggris, juga memiliki nuansa yang serupa.

bukan hal yang aneh juga. saya kira adalah kesepahaman umum bahwa pergi liburan bisa dianggap sebagai upaya melarikan diri atau setidaknya mengambil jarak serta menjauhkan diri.

tapi, dari apa?

kalau seperti itu, kesannya kok seolah kehidupan yang biasa kita tinggali rasanya demikian kurang pas, sampai-sampai harus ditinggal pergi dan ketika kembali juga rasanya tidak ingin benar. sebagiannya ini menjadi hal yang agak sulit saya pahami; bukan masalah pergi liburannya, tetapi justru ketika pulang dengan hati yang enggan itu jadi sesuatu yang seolah dianggap wajar.

seorang teman baik saya pernah mengatakan bahwa hal menyenangkan itu kalau kita bisa pergi liburan ke tempat yang menyenangkan, dan ketika kembali pun kita berada di rutinitas yang sama menyenangkannya. apakah kita bekerja sebagai pengelola restoran atau karyawan kantoran, atau pegawai negeri maupun bisnis sendiri. tentu saja ini bukan hal yang mudah dilakukan, karena kalau demikian tentu dunia sekitar kita sudah menjadi tempat yang lebih baik dan cerah ceria. tapi baiklah, itu cerita lain untuk saat ini.

 

kembali ke acara televisi Minggu pagi. mendengar kata-kata tersebut jadi semacam menyalakan lampu di kepala saya: mungkin itu juga alasan kenapa saya tidak benar-benar sering memerlukan untuk banyak pergi berlibur.

karena, ya, saya sendiri tidak merasa ada sesuatu yang benar-benar ingin saya tinggalkan dari kehidupan dan kesibukan berikut semua tanggung jawab sekarang ini. jadi keinginan untuk pergi dan meninggalkan sejenak itu tidak benar-benar besar juga. walaupun bahwa pada dasarnya proses ganti suasana dari waktu ke waktu itu tetap merupakan hal yang perlu, saya sendiri tidak menafikan soal itu.

pada saatnya nanti mungkin saya akan pergi liburan lagi. belum tahu, belum ada rencana juga sih.

tapi kalau kita bisa pergi dengan senang, liburan dengan tenang, dan ketika pulang kita kembali siap untuk sesuatu yang kita karyakan, bukankah akan lebih menyenangkan, ya.

saya kira demikian. walaupun mungkin memang tidak semua bisa seberuntung itu.

 

___

image notes:

Gili Air, 2014. [→high resolution] · Nikon D5100 @ 18 mm; ISO-200, F/11, 1/500 s.
bebas pakai dengan lisensi Creative Commons, CC-BY-SA.

tentang tantangan tentang tautan

jadi ceritanya, saya bosan. belakangan ini rasa-rasanya linimasa dan media sosial atau apapun internet yang kebetulan saya jelajahi isinya membosankan benar. bukan karena sepi, tentu saja —kapan sih internet sepi? dasar gemblung— melainkan karena berisiknya kadang keterlaluan benar.

iya, terlalu berisik. dari hal tak penting semacam pakcik Prince di acara Grammy sampai hal tak penting lain macam polemik hari kasih sayang yang dituduhkan berasal dari tradisi agama tetangga… yang ternyata kalau diurut sejarahnya malah semacam apokrifa. makanya, ngaji agama sendiri, apalagi agama orang lain, jangan cuma lewat internet sama televisi. jadinya malah gemblung, kan.

aduh. pening awak. tapi kemudian terlintas ide. sebuah tantangan kecil-kecilan, atau minimal pengingat buat kita semua:

“bagaimana kalau kita membagi-tautan, atau sharing di media sosial, hanya untuk konten, atau opini, atau tulisan, yang kita buat sendiri?”

betul itu. saya kira menarik. jadi sekiranya ada topik yang sedang hangat (atau panas!) tak perlulah kita tergesa terburu demi berbagi cuit dan tautan pada berbagai linimasa. setidaknya sempatkan tuliskan barang 200-300 kata, opini serius atau jenaka, masukkan ke laman blog misalnya. tambahan pula tautan balik ke sumber, ibarat kata dimasak dulu lebih renyah, begitulah kira-kira.

tapi kemudian terpikir kembali: memangnya pada mau? lagipula, memangnya pada bisa?

 

“jadi, kalian tak nak buat tulisan sendiri? tak mampu? hahahahaha!”

 

sejujurnya, setelah kepikiran seperti itu kok saya malah jadi pesimis. bukan kenapa-kenapa, karena —maaf-maaf ini— sejujurnya saya ternyata tidak bisa memandang generasi pengguna media sosial belakangan ini sehebat itu. maksud saya, saya kok tidak bisa yakin bahwa cukup banyak yang bisa, mau, dan mampu untuk membagi sesuatu yang minimal hasil pikiran sendiri, hasil analisis sendiri, padahal toh ide dan sumbernya juga sudah tersedia.

iya, rasanya kok susah. walaupun sebenarnya seharusnya tidak berat benar: misalnya kita baca artikel bahwa pak presiden punya kebijakan mobil nasional yang layak dipertanyakan, mbok ya ditautkan saja dari media yang kredibel, kemudian buat tulisan singkat opini kita. berikan referensi balik ke sumber, baru kita bagi tautan di media sosial, misalnya.

jadi opininya bernas! lebih matang! dan tidak semata-mata kerbau dicucuk hidung joget-joget mengikuti apa kata media!

kalau seperti itu kan gampang. seharusnya.

tapi baiklah, saya kira saya harus tahu diri juga. saya juga harus bisa memahami bahwa tidak semua orang bisa, mau, dan mampu meluangkan waktu buat pekerjaan yang kelihatannya sederhana. saya kira itu sudah hukum alam. tentu saja demikian; kalau tidak, tentulah kaos kaki di seluruh dunia akan harum baunya, demikian juga piring-piring kotor tidak akan pernah tertumpuk di atas meja dan ibu-ibu rumah tangga akan selalu cerah ceria tersenyum berbahagia.

dengan demikian seperti biasa, kenyataan mengembalikan saya pada kata ‘seharusnya’. huh.

walaupun, ya, di sisi lain semacam penasaran juga sih. mungkin sekiranya rekan-rekan ada yang tertarik dengan tantangan ini. silakan dicoba dan diaplikasikan…

…kalau bisa, mau, dan mampu sih. haha!

 

___

image credits: