invisibility insecurity

belakangan ini, saya sering memperhatikan aplikasi instant messaging di komputer saya — desktop, notebook, atau apalah yang sedang terhubung ke internet. dan sebagaimana lazimnya banyak tulisan yang muncul di tempat ini, ada pertanyaan sederhana yang membuat saya kepikiran.

kenapa ya, para developer IM client ini menambahkan fasilitas invisible di messenger? bahkan kalaupun tidak ada (ala Google Talk, misalnya), orang-orang akan meminta kepada developernya untuk menambahkan!

jadi, sebenarnya inti permasalahannya adalah alasan kenapa orang ingin bisa invisible. bukan kenapa-kenapa, saya sendiri juga sangat-jarang-nyaris-tidak-pernah invisible soal online di messenger. kalau online, ya online. kalau offline, ya offline. tidak peduli rekan satu SMA, satu angkatan kuliah, atau bahkan rekan kerja dan supervisor di kantor yang namanya ada di messenger saya, pokoknya saya tidak invisible, lengkap dengan status yang jujur dan apa-adanya.

…dipikir-pikir sebentar, ternyata tidak membutuhkan waktu lama untuk menemukan jawabannya.

seseorang itu memilih untuk invisible, karena dia merasa tidak aman!

dipikir-pikir, ya memang begitu, kan? misalnya anda dan saya saling terhubung via messenger, karena suatu hal sehingga saya meng-add anda (atau sebaliknya). kalau anda merasa aman bersama saya, anda tentu tidak akan keberatan untuk memperlihatkan bahwa anda online ketika saya online, bahkan mungkin akan mengajak saya ngobrol terlebih dahulu!

tapi seandainya salah satu kontak anda adalah supervisor menyebalkan di kantor (disclaimer: bukan curhat colongan :mrgreen: ) atau cowok yang PDKT dengan menyebalkan (mengasumsikan anda cewek lho ya), apakah anda akan merasa cukup aman untuk tidak invisible?

mungkin tidak. supervisor anda mungkin akan menanyakan progress report segera setelah melihat anda online di malam hari (omaigat, semoga hal ini tidak sampai terjadi kepada kita semua), atau cowok gencar-PDKT tersebut akan menanyakan apakah anda ‘sudah makan atau belum’ (sumpah, ini contoh yang basi banget), tapi yang jelas itu menyebalkan. dan kita tidak ingin hal itu terjadi, maka kita pun invisible.

jadi, kalau dipikir-pikir mungkin sebenarnya sederhana saja: soal invisible ini ternyata terkait dengan rasa aman anda (dan saya) terhadap orang lain… atau seberapa besar self-esteem anda dalam berhadapan dengan orang lain.

lho, kok self-esteem? tentu saja, soalnya anda mungkin berhadapan dengan orang yang tidak terlalu ingin anda dekati secara personal (tapi toh ‘terpaksa’ di-add di messenger). contohnya? banyak. supervisor kerja praktek anda mungkin masuk daftar. dosen yang membawahi tugas akhir anda mungkin juga bisa dimasukkan. orang sedikit-menyebalkan di kantor yang sering berhubungan dengan anda (yang dengan tidak rela, tapi toh di-add juga) juga masuk ke kelompok ini.

maka akhirnya saya tiba pada kesimpulan bahwa sebenarnya sikap invisible itu pada akhirnya merefleksikan diri saya sendiri di mata rekan-rekan di instant messaging. kenapa begitu? sebab dengan demikian ada kemungkinan bahwa mereka merasa tidak aman dengan keberadaan saya, dan mungkin ada sesuatu yang salah dengan saya.

…tapi ini cuma ‘mungkin’, lho. bisa juga sebenarnya tidak ada yang salah dengan saya, tapi setidaknya saya baru bisa bilang begitu setelah introspeksi diri, kan?

____

[1] tidak ada curhat colongan di tulisan ini. sumpah! :mrgreen:

[2] ngomong-ngomong, saya agak bingung dengan keberadaan invisible scanner. bukankah kalau ada orang offline sebaiknya diasumsikan offline saja? 🙄

asou

“either way it would be your call — I don’t really know what would be the best for you, but make sure that you have no regret.”

___

hari-hari ini, saya kembali teringat Asou. dan sebuah pertanyaan mengenai suatu hal dari perjalanan hidup manusia, yang mungkin tidak sederhana benar: adakah sebuah keputusan itu harus selalu diambil berdasarkan apa-apa yang dianggap sebagai yang ‘terbaik’?

[asou-00]

“things that you say… are always right.”

saya teringat Asou, bukan karena sosoknya sebagai seorang pemuda yang serba sempurna atau bahwa ia memiliki keterpanggilan sebagai hero. senyatanya, ia adalah seorang pemuda yang mungkin tidak jauh beda dari lazimnya yang lain; kadang salah, jauh dari sempurna, tapi toh tetap berusaha jujur kepada dirinya sendiri.

mungkin, dan tidak seperti lazimnya kisah dongeng putri raja atau sinema elektronik yang kini tampak mudah benar ditemukan di televisi, yang membedakannya adalah bahwa ia tidak bersikap dengan keputusan yang dipertimbangkan dengan matang, dan keuntungan yang pasti didapatkan — mungkin malah cenderung tidak cerdas; tapi toh dengan demikian ia tampil sebagai lebih ‘manusia’ dari kebanyakan karakter pada drama umumnya.

yang dilakukannya adalah mencoba jujur, serta membuat keputusan dan melangkah –keputusan yang mungkin tidak terlalu cerdas, dan mungkin juga absurd– yang pada akhirnya mungkin agak tragis.

::

saya bertanya-tanya adakah setiap keputusan harus selalu diambil dengan meminimalkan kerugian dari apa-apa yang mungkin akan kita peroleh. setiap kali kita memutuskan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, karena kita tahu tidak ada untungnya untuk kita — mungkin akan merugikan, mungkin akan menyakitkan, atau malah tragis. dan kita menganggap bahwa keputusan yang tidak akan membawa keuntungan sebagai hal yang ‘absurd, dan mungkin tidak bermakna’.

tapi bukankah adanya perhitungan akan yang ‘absurd’ dan ‘mungkin tidak bermakna’ itu malah mengecilkan dan menyederhanakan (dengan konsepsi-konsepsi yang cenderung memukul-rata) apa-apa yang tidak selalu dapat kita formulasikan dalam perjalanan yang disebut ‘kehidupan’ ini?

mungkin, tapi saya tidak benar-benar paham adakah hal ini memang memiliki jawabannya sendiri.

::

saya teringat kepada Asou, justru bukan ketika ia memutuskan untuk melangkah pada jalannya sendiri; saya justru mengingatnya ketika ia berhadapan dengan sang ayah yang mencoba memperdebatkan keputusannya (walaupun dengan sikap dan sifat yang, layaknya seorang ayah, tidak bisa benar-benar disalahpahami sebagai antagonisme berlebih), dalam sebuah dialog yang tidak banyak kata-kata, tapi toh tetap tersampaikan; pada akhirnya, ia memang tidak kemana-mana. mungkin semuanya memang sia-sia, dan pada akhirnya malah terasa tragis.

pada akhirnya, tidak ada yang diperoleh; mungkin hanya perasaan yang remuk-redam (walaupun ya, tetap tanpa banyak air mata), dan pemirsa mungkin memandangnya sebagai suatu keadaan yang ‘terpaksa terkalahkan dengan tragis’. yang menarik adalah bahwa keadaan ini sama sekali jauh dari sempurna, tapi toh tampil sebagai ironi dalam bentuknya yang paling kena; manusia, yang bisa memutuskan untuk memilih yang ‘lebih baik’, justru mengambil jalan yang berbeda.

mungkin benar, apa-apa yang diinginkan manusia kadang terkalahkan oleh apa yang dikenalnya sebagai kenyataan; mungkin dalam kasus ini ia terasa (atau terpaksa) tragis, tapi setidaknya ia jujur, dan memutuskan untuk dirinya sendiri.

::

hari ini, saya bertanya-tanya, adakah setiap keputusan harus selalu diambil berdasarkan apa-apa yang ‘terbaik’, atau ‘menguntungkan’ bagi sebanyak mungkin pihak. mungkin tidak, atau setidaknya tidak selalu; mungkin pada akhirnya kita tidak akan mendapatkan apa-apa, atau malah akan terpaksa dihadapkan dengan suatu tragik, yang mungkin bisa tidak perlu terjadi.

mungkin, pada akhirnya memang ada banyak hal yang tidak bisa diraih, dan pada akhirnya seolah sia-sia. mungkin pada akhirnya hal seperti ini akan menjadi sesuatu yang absurd dan sama sekali tidak bermakna, dan dengan demikian akhirnya tidak membawa kita kemana-mana.

tapi entah kenapa, saya tidak bisa tidak sepaham dengan Asou. entahlah, mungkin saya memang agak terlalu keras kepala.

___

catatan:

[1] dari serial 1 LITRE no Namida (aka: 1 Litre of Tears).

[2] serial ini dirilis pada 2005, dilisensi dan ditayangkan di Indonesia pada 2007.

good guys are…

belakangan ini, saya kembali teringat omongannya Karen Kasumi yang entah kenapa sangat memorable itu. bukan kenapa-kenapa, tapi kutipannya sendiri cukup catchy, sekaligus ‘kontroversial’, sekaligus pula mengundang untuk disanggah dan didebat… walaupun, sampai saat ini saya masih belum menemukan bukti yang benar-benar mantap maupun sanggahan yang benar-benar telak untuk soal ini.

ah sudahlah, langsung saja deh. pembaca, anda mungkin masih ingat kutipan yang sempat saya singgung sambil lewat beberapa waktu yang lalu ini.

good guys are either taken or gay.

menarik. catchy. dan ‘kontroversial’ dengan caranya sendiri. dan yang menyebalkan, hal ini mungkin akan diamini dengan penuh semangat oleh para kaum hawa di luar sana.

huh. menyebalkan. tapi, apa iya? mari kita coba buktikan.

sebelumnya, kita definisikan dulu ‘cowok baik’. apa kriteria yang membuat seorang cowok dapat dimasukkan ke dalam kategori cowok baik?

berdasarkan konsensus umum, mari kita tetapkan bahwa ‘cowok baik’ adalah seorang cowok dengan karakteristik sebagai berikut: (1) setia (2) jujur (3) ramah dan sopan (4) bisa diandalkan (5) punya prinsip (6) bisa membawa diri. kenapa parameternya begitu, mari kita tetapkan sebagai konsensus bahwa penilaian ‘baik’ di sini akan difokuskan kepada aspek kepribadian.

tentu saja, siapa yang peduli soal tampang? cowok itu, yang penting nggak berantakan atau kucel! minimal, rapi dan enak dilihat. lagipula, bukankah ada ungkapan bahwa ‘cowok itu karena baik makanya jadi ganteng?’ :mrgreen:

sekarang, mari kita tinjau kembali kutipan tadi. secara umum, kutipan tersebut dapat diterjemahkan dalam bentuk preposisi logika sebagai berikut.

(good guy) -> (taken) OR (gay)

dengan tanda panah menyatakan implikasi, di mana seorang ‘cowok baik’ selalu diikuti kenyataan bahwa orang tersebut sudah punya pasangan, atau gay. perlu diperhatikan bahwa hal ini tidak berlaku sebaliknya; belum tentu cowok yang sudah punya pasangan atau cowok gay adalah cowok baik!

dari sini, untuk menyanggah pernyataan tersebut, kita perlu mencari counterexample; kita perlu cowok baik yang masih single, dan juga bukan seorang gay.

tidak susah. saya pernah menemukan cowok jenis ini — review kembali kriteria di atas. nggak banyak sih, tapi ya ada. jadi dengan demikian, preposisi tersebut tidak berlaku. tapi, sekarang bagian serunya: bagaimana caranya kita mendefinisikan preposisi baru yang berlaku umum? 😀

berdasarkan counterexample yang ditemukan, tampak bahwa walaupun ada juga instance ‘cowok baik’ yang bukan gay dan tidak dalam keadaan memiliki hubungan dengan komitmen, tapi ada atribut yang unik; ternyata, dalam ruang sampel ini, subyek sudah menemukan seorang gadis yang disukainya! 😯

tentu saja, dengan demikian preposisi tersebut harus dirombak supaya tetap valid. jadi, saya mengusulkan preposisi seperti ini.

(good guy) -> (taken) OR (gay) OR (in love)

masuk akal. walaupun dalam taraf yang lebih rendah daripada ‘taken’, tapi keseluruhan sampel ‘cowok baik’ di sini masih terpenuhi dengan preposisi baru tersebut. kalau bukan sudah punya pasangan, ya biasanya sudah ada gadis beruntung yang kejatuhan cintanya. kalau nggak, ya mungkin memang gay… jadi preposisi tersebut dapat diajukan sebagai pengganti preposisi awal.

tapi, tapi, ada masalah lain! 😯

baru-baru ini, ditemukan beberapa sampel baru terkait ‘cowok baik’ ini. masalahnya, keadaannya tidak sesuai dengan preposisi yang diajukan; masih single, bukan gay, dan tidak sedang jatuh cinta. tentu saja, preposisi tersebut harus dirombak lagi.

argh. menyusahkan saja. tapi mari kita cari pola dan hubungan yang mungkin dari konteks ini.

ternyata, ditemukan bahwa sampel ini punya karakteristik yang cukup unik: masing-masing contoh ternyata pernah mengalami patah hati tingkat menengah-sampai-parah, setidaknya satu kali. masuk akal, tapi ada yang mengganjal — karena diketahui bahwa ‘patah hati’ tidak memiliki korelasi khusus dengan ‘menjadi cowok baik’.

secara sederhana, konsepsi ‘cowok patah hati’ bisa digambarkan dengan implikasi berikut.

(broken) -> (good guy) XOR (total jerk)

wajar sih. tapi ini masih belum menjelaskan mengenai sampel yang tadi disebutkan. cowok baik, patah hati tingkat parah, dan tidak menjadi brengsek. hmm, tampaknya, ada yang masih kurang di sini… tapi, mari kita coba pendekatan berikut.

[(broken) -> (good guy)] <-> [(kind) AND (stubborn)]

preposisi ini tampak menarik, bahwa cowok yang pernah patah hati tingkat parah akan menjadi ‘cowok baik’ jika dan hanya jika dia ternyata masih punya kebaikan hati dan cukup keras kepala untuk itu.

menarik, jadi dengan demikian kita bisa menurunkan preposisi baru dari sana, untuk sebuah preposisi yang berlaku umum pada sampel yang telah ditemukan sejauh ini.

dengan demikian, preposisi baru yang diajukan sebagai berikut.

(good guy) -> (taken) OR (gay) OR (in love) OR [(broken) AND (kind) AND (stubborn)]

hei. ternyata preposisi tersebut berlaku untuk semua contoh kasus di ruang sampel. dengan demikian, kita dapat mengklaim bahwa preposisi tersebut berlaku umum untuk berbagai keadaan — atau setidaknya, keadaan-keadaan yang diobservasi di ruang sampel.

pada tahap ini, kita sudah mendapatkan sebuah ungkapan baru yang merupakan pengembangan dari preposisi Kasumi yang telah didiskusikan sebelumnya, sehingga:

good guys are either taken, gay, or in love… or broken, but stubbornly kind.

perlu diperhatikan bahwa walaupun terdapat issue yang harus diperhatikan lebih lanjut dalam ruang sampel yang lebih besar, namun pendekatan dalam preposisi ini mampu menjelaskan hal-hal di luar ruang lingkup dari preposisi Kasumi yang telah didiskusikan.

sebagai catatan akhir, pendekatan yang diajukan di sini difokuskan kepada logika kombinatorik, dengan asumsi bahwa atribut-atribut dari contoh kasus di ruang sampel tidak bersifat terkait-waktu. pendekatan logika waktu-linear (linear-time logic) dengan predikat yang bersifat temporer (temporal properties) merupakan hal yang menggoda untuk dieksplorasi lebih lanjut, mungkin untuk pekerjaan selanjutnya di masa depan. future work. :mrgreen:

perjalanan menuju kedewasaan

“dibandingkan anak SMU, mahasiswa tingkat akhir mungkin kelihatan lebih dewasa. kenyataannya, tidak banyak yang berubah; orang dewasa juga sering salah…”

___

sewaktu saya masih kecil dulu, saya sering berpikir bahwa dunia orang dewasa adalah tempat orang-orang yang saya anggap hebat; orang-orang yang selalu bisa bersikap dan memberikan teladan kepada saya. tentu saja, saya yang pada saat itu memandang kagum kepada orang-orang dewasa di sekitar saya, dari mana saya belajar banyak hal tentang kehidupan: bersikap jujur. toleransi. tenggang rasa. menepati janji. dan mungkin masih banyak lagi, yang tidak bisa benar-benar saya ingat untuk disebutkan satu per satu.

setidaknya, dengan demikian saya sebagai seorang anak kecil memutuskan untuk mengikuti apa-apa yang telah diajarkan kepada saya tersebut — walaupun mungkin kadang-kadang saya masih juga nggak nurut, tapi di mata saya orang-orang dewasa di sekitar saya adalah orang-orang dengan jejak langkah yang akan saya ikuti.

demikian juga ketika saya tumbuh dan berkembang dalam perjalanan menuju kedewasaan; saya sebagai siswa SD, lalu SMP, SMU — di mata saya, orang-orang dewasa adalah mereka yang (seharusnya) bisa menunjukkan dan menjalankan nilai-nilai yang saya anggap penting dalam kehidupan. tentu saja, saya pada saat itu juga mengetahui bahwa ada juga orang-orang dewasa yang ‘tidak seperti itu’, tapi secara umum saya pada saat itu berpandangan bahwa memang ada hal-hal yang tidak perlu saya ikuti dari contoh-contoh tersebut.

::

sekarang, saya adalah bagian dari mereka yang disebut sebagai ‘orang dewasa’. atau setidaknya secara legal, begitulah keadaannya — technically, I’m a legal adult. dan dengan demikian, saya kini berada dalam dunia yang dulu saya pandang dengan kagum, bahwa orang-orang ini adalah mereka yang saya anggap hebat dan layak saya teladani.

tapi benarkah? mungkin, sebenarnya tidak.

hal yang saya peroleh dari perjalanan ini adalah, bahwa bagian paling penting dari perjalanan menuju kedewasaan adalah ketika saya menyadari bahwa mereka yang dulu saya pandang dengan kagum ternyata juga tidak sempurna; orang dewasa juga sering salah, dan orang dewasa juga tidak selalu benar.

saya dulu belajar untuk selalu bersikap jujur; tapi sekarang, ketika saya dewasa, berapa banyak orang dewasa yang bahkan dengan ringan berbohong kepada anak kecil? saya dulu belajar untuk selalu menepati janji; tapi sekarang, berapa banyak orang dewasa yang dengan mudah membuat janji dan tidak menepatinya?

dan pertanyaan-pertanyaan lain, yang mungkin lebih sederhana. berapa banyak dari kita, sebagai orang dewasa, yang masih bisa mengatakan ‘maaf’ setelah melakukan kesalahan? berapa banyak dari kita, sebagai orang dewasa, yang mengatakan ‘terima kasih’ kepada kasir di minimarket atau petugas di pom bensin?

mungkin tidak banyak, dan kebanyakan dari kita mungkin malah terjebak dalam alasan-alasan yang pragmatis dan cenderung superfisial itu; kita bekerja, capek, dan berharap untuk dimaklumi. kenyataannya, hal-hal seperti itu cuma jadi alasan saja, kan? pada akhirnya, sebagai orang dewasa kita kehilangan banyak hal, dengan alasan yang lagi-lagi seperti itu saja.

kenyataannya, orang dewasa juga sering salah. orang dewasa juga kadang tidak ingin memahami, dan cenderung egois dalam banyak kesempatan. tapi mungkin memang begitulah keadaannya — manusia yang tidak sempurna, mudah berprasangka, dan kadang juga banyak salah dan lupa dalam menghadapi berbagai keadaan.

tentu saja, seperti yang sudah saya sebutkan tadi — bagian paling penting dari perjalanan menuju kedewasaan adalah ketika kita menyadari bahwa orang dewasa juga tidak sempurna. orang dewasa juga sering salah, walaupun seringkali kurang bersedia mengakui. mungkin memang begitulah keadaannya, dan kita memang hidup di dunia yang juga tidak sempurna.

…entah kenapa, saya menemukan bahwa hal ini agak ironis.

::

hari-hari ini, saya kembali teringat kutipan dari Soe Hok Gie: nasib terbaik adalah tidak dilahirkan; yang kedua adalah dilahirkan tapi mati muda, sedangkan nasib paling sial adalah mati di usia tua.

dipikir-pikir, mungkin benar juga sih — mungkin memang manusia cenderung bertambah buruk seiring mereka dewasa.

…tapi, yah, saya sendiri juga nggak berencana mati muda, kok. :mrgreen:

jujur saja…

+ “eh, nanya dong. kenapa kamu bilang saya harus jujur sama diri saya sendiri?”
“yah… karena orang yang tidak bisa jujur kepada diri sendiri, bukankah sama juga dengan orang yang tertindas?”

___

saya seringkali berpikir bahwa masalah yang timbul dari hubungan antar manusia seringkali berawal dari ketidakjujuran. ketidakjujuran kepada diri sendiri, dan kadang-kadang juga diikuti ketidakjujuran kepada orang lain. kadang-kadang agak membingungkan… tapi kita memang hidup di dunia yang tidak sempurna, kan?

kebetulan, saya sempat dicurhati berdiskusi dengan beberapa orang rekan soal ‘hubungan antar manusia’ ini… dan secara kebetulan(?) pula, topiknya tidak jauh-jauh dari topik sepanjang-masa yang kayaknya tidak ada habisnya: it’s boy-meets-girl stories, dari sisi sang gadis tentunya. :mrgreen:

tentu saja, masalahnya juga berbeda-beda. tapi ada hal yang menarik, bahwa ternyata (sebagian dari) tanggapan saya terhadap berbagai keadaan tersebut tidak benar-benar jauh berbeda:

sudahlah, jujur saja sama diri sendiri… 😉

kedengarannya gampang. tapi percayalah pembaca, ini adalah hal yang susah. sungguh, dan saya nggak bohong soal ini. :mrgreen:

manusia, kadang-kadang bingung dengan pikiran dan perasaan mereka. kadang-kadang, manusia memilih untuk bersikap ‘tidak jujur’ kepada diri mereka sendiri, dan pada akhirnya tidak ada yang beruntung dengan keadaan tersebut. alasannya mungkin macam-macam, dan mungkin sama sekali tidak salah. lagipula, dibilang begitu juga… sebenarnya tidak ada hal yang benar-benar ‘salah’ atau ‘benar’ juga kan, untuk hal seperti ini.

seandainya manusia bisa saling memahami soal ini, mungkin akan cukup bagus; setidaknya, dengan demikian kita (atau setidaknya, saya. anggap saja saya bisa membaca pikiran orang lain. :mrgreen: ) tidak perlu melihat banyak cerita yang akhirnya tidak pernah dimulai — yang sedihnya, pada akhirnya tidak ada yang senang dengan keadaan tersebut. tapi ya mau bagaimana lagi, dibilang begitu juga kan sebenarnya hal tersebut bukan urusan saya… ya kecuali kalau dinyatakan sebaliknya oleh pihak yang berkepentingan, sih. *haiyah, bahasa apa yang saya pakai ini*

sayangnya, manusia juga tidak bisa dengan mudah saling memahami — dalam banyak hal, termasuk juga untuk soal ini. makanya, hal yang sudah susah ini jangan dipersulit dengan ketidakjujuran yang tidak perlu! mungkin kita memang tidak selalu bisa jujur kepada orang lain, dan alasannya bisa banyak dan macam-macam. mungkin ada saatnya kita tidak bisa dan tidak boleh bersikap jujur, dan kadang-kadang tidak ada yang bisa dilakukan soal itu. tapi kalau boleh saya mengatakan, pembaca; anda hanya boleh bersikap tidak jujur hanya ketika satu-satunya orang yang akan menderita dengan ketidakjujuran tersebut adalah anda sendiri. lainnya, tidak.

tapi saya kira, adalah hal yang berat ketika kita tidak bisa jujur bahkan kepada diri sendiri. hidup dengan penyangkalan adalah hal yang bikin capek — walaupun sekilas mungkin terlihat seperti ‘jalan keluar yang gampang’. pada akhirnya yang ada mungkin hanya alasan-alasan, dan pada akhirnya mungkin tidak ada yang senang. entahlah, tapi saya kira dalam banyak kasus justru hal ini yang terjadi… mungkin memang demikian cara dunia bekerja, jangan tanya saya.

ngomong-ngomong, belakangan ini saya jadi teringat sebuah entry di xkcd yang juga sempat di-refer di plurk-nya catshade.

regrets.png

if you have any hesitation, ask Google. for free advice.

komik strip satu panel… yang sangat mengena. intinya? sudahlah, kayaknya nggak perlu dijelaskan lagi deh. :mrgreen:

jadi, sebenarnya dari tadi saya menulis panjang-panjang bukannya ingin mengatakan ‘anda harus begini’ atau ‘anda harus begitu’. bukan pula saya ingin mengatakan soal ‘ini benar’ atau ‘ini salah’ — lagipula, seperti yang sudah ditulis di depan tadi, tidak ada hal yang benar-benar ‘benar’ atau ‘salah’ dalam persoalan seperti ini.

tentu saja, bersikap jujur (setidaknya kepada diri sendiri), kadang-kadang bisa susah. mungkin juga anda, misalnya, tidak akan mendapatkan apa-apa dengan hal tersebut. dunia memang tidak sempurna, dan hal-hal tidak menyenangkan selalu bisa terjadi.

…but at least, you would have less regret, right? 😉

amrozi, imam, dan mukhlas

saya tidak benar-benar paham, adakah Amrozi (atau Imam, dan tentu saja Mukhlas) menyembunyikan takut atau gentar di balik teriakan takbir pada suatu malam tersebut; mungkin, seolah menyongsong dengan harap-harap cemas — Maut datang perlahan dengan pasti, peluru di ujung bedil, dan lalu semua selesai.

Tuan mungkin berpikir demikian, namun saya sungguh tak hendak mempertanyakan adakah mereka adalah korban atau mungkin pahlawan. setiap cerita dalam sejarah selalu punya bagian kelam dari pembantaian; yang ‘bukan kita’ dihabisi, yang ‘berbeda’ harus dimusnahkan, dan dengan demikian semua orang sungguh bisa menjadi pahlawan dengan menumpahkan darah mereka yang tak berdosa. Perang Salib, Yerusalem, Palestina, Israel… sejarah agama adalah sejarah pertumpahan darah, kadang dengan pembumihangusan kota serta korban yang tak berdaya, atas nama Tuhan yang tiba-tiba seolah kehilangan makna.

saya membayangkan, pada suatu hari yang lampau di Bali. mungkin orang-orang maksiat berlalu-lalang; hukum-hukum Tuhan tak bisa tegak, dan yang ‘asing’ adalah musuh berbahaya di balik fasade yang menipu — seolah sekongkol adalah keniscayaan, dan kecurigaan menjadi makna. kemudian terbentuklah sebuah khaos; yang mungkin menegangkan sekaligus mengasyikkan, penuh harap-harap cemas…

saya bertanya-tanya, adakah setiap khaos selalu diikuti oleh elan akan suatu harapan, utopia yang jauh namun eksotis dan toh tetap dicari. atau mungkin malah kita tak benar-benar butuh utopia; karena setiap yang teratur kini tiba-tiba terasa menjemukan, yang tidak sempurna terasa bakhil, yang durjana harus diberantas. bahwa dalam khaos itu sendiri kita menyadari ada sebuah elan, sebuah raison d’etre yang hendak meniup, mendobrak, menggulingkan… mungkin, ada ekstase akan utopia yang tak kunjung tiba dan harus diperjuangkan, entah bagaimana caranya.

tapi mungkin elan untuk meraih yang jauh itulah yang kemudian menjadi perlu; mungkin pula jawaban tidak lagi penting, yang tadinya tujuan tidak lagi benar-benar dituju, dan dengan demikian semua punya pembenarannya sendiri — khaos itu kemudian menjadi legitimasi untuk melakukan dan berbuat dalam ‘mengorbankan apa-apa yang perlu’.

saya tidak benar-benar paham, adakah rasa takut atau gentar itu di balik tembok Nusakambangan, menjelang suatu hari di bulan November tersebut. mungkin tidak, dan mungkin memang kita tidak perlu benar-benar tahu; yang kita tahu adalah elan yang menghancurkan itu kemudian hendak dihancurkan oleh sesuatu yang lain, yang tampak brutal dan mungkin tak jauh beda — sesuatu yang mungkin disebutnya sebagai ‘lalim yang berkuasa’.

saya kira, Amrozi dan Imam serta Mukhlas adalah tragedi. bahwa elan yang mendobrak dan menghancurkan ternyata tidak benar-benar kompak dengan utopia, dan khaos yang mungkin membingungkan dan menegangkan itu ternyata tidak membawa kita ke mana-mana.

puasa itu…

memasuki hari-hari terakhir di bulan puasa, saya jadi kepikiran untuk menulis hal yang sebenarnya hampir selalu jadi topik yang selalu terlintas di pikiran setiap tahunnya. terlepas dari recurring nature-nya, mungkin lebih tepat kalau topik ini dianggap sebagai ‘baru sempat ditulis sekarang’… yah, begitulah pokoknya.

jadi begini, pembaca. hal yang ‘mengusik’ pikiran saya adalah, bahwa ternyata puasa di bulan Ramadhan di Indonesia itu terlalu mudah. nggak ada tantangannya. dengan kata lain, suasana di Indonesia (atau setidaknya di sekitar saya) menurut saya terlalu ‘dibuat kondusif’ untuk berpuasa. kenapa begitu, ini ada ceritanya sendiri, pembaca.

sejujurnya, kadang saya agak bingung dengan sudut pandang (yang sepertinya cukup populer) yang ‘mengharuskan’ rekan-rekan yang tidak berpuasa untuk ‘menghormati’ orang-orang yang berpuasa. rumah-rumah makan dipasangi tirai. jam beroperasi tempat-tempat hiburan dibatasi. rekan-rekan yang tidak berpuasa mungkin merasa perlu ‘berhati-hati’ kalau mau makan di lingkungan warga yang berpuasa… hal ini, terutama karena sebagian dari mereka yang berpuasa mengharapkan mereka yang tidak berpuasa untuk menghormati mereka yang berpuasa.

hal ini jadi membingungkan untuk saya, karena saya sendiri tidak melihat perlunya rekan-rekan yang tidak berpuasa untuk melakukan hal-hal tersebut, apalagi untuk alasan ‘menghormati orang-orang yang berpuasa’ — yang kadang datangnya malah dari mereka yang berpuasa. tentu saja, mungkin ada alasan lain dari pihak yang tidak berpuasa; toleransi dan tenggang rasa, misalnya. di satu sisi, hal ini adalah sesuatu yang bagus; bukankah ini adalah hal yang konstruktif dalam kehidupan bermasyarakat? tentu, tidak ada masalah apabila (dan seharusnya) hal ini adalah murni inisiatif dari pihak yang tidak berpuasa.

tapi, kalau sampai mereka yang berpuasa meminta mereka yang tidak berpuasa untuk menghormati ibadah puasa, rasanya kok ya… absurd. kelihatannya kok seperti anak SD yang hendak ujian matematika, tapi maunya bisa memilih soal mana yang akan dikeluarkan oleh Ibu Guru? :mrgreen:

::

puasa, seharusnya adalah kesempatan untuk melatih dan menahan diri bagi mereka yang melaksanakannya. dan dengan demikian, ‘puasa’ yang sebenarnya adalah puasa yang dilakukan oleh rekan-rekan di tempat-tempat yang mayoritas penduduknya tidak berpuasa; Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Australia… tentu saja, bukan di tempat seperti Malaysia atau Saudi Arabia, pembaca. dalam keadaan yang demikian, proses adaptasi justru dilakukan oleh mereka yang berpuasa alih-alih sebaliknya; keadaan ‘normal’ di tempat tersebut adalah masyarakat tidak menjalankan puasa!

tentu saja ‘puasa’ dengan tingkat kesulitan yang sebenarnya, adalah juga puasa yang dilakukan oleh rekan-rekan yang melakukan puasa di luar bulan Ramadhan: puasa Senin-Kamis, puasa Syawal, dan yang lain-lain dalam daftar. ketika saya, misalnya, berpuasa di luar bulan Ramadhan, tentu tantangannya lebih besar; saya harus bisa menolak (dengan sopan tentunya) ajakan untuk makan siang dari rekan-rekan di kampus. saya juga harus bisa menahan diri untuk tidak ikut rehat kopi di sore hari. dan saya juga harus bisa tetap beraktivitas dengan standar aktivitas normal orang-orang lain — walaupun hal ini seharusnya tidak terlalu sulit, sih.

lebih susah? lha iya. tapi bukankah hakikat puasa adalah pengendalian diri? dan dengan demikian, dengan berat hati saya bisa mengatakan, bahwa puasa di bulan Ramadhan di Indonesia nyaris tidak ada tantangannya. jam kerja diperpendek, warung dan rumah makan dibatasi… silakan sebutkan juga yang lain-lain sejenisnya. alasannya ya itu tadi, untuk ‘menghormati mereka yang berpuasa’.

klise? mungkin. absurd? sepertinya. jangan tanya saya, saya sendiri bingung, kok.

::

sekarang, saya jadi kepikiran untuk memformulasikan sebuah paradigma baru (haiyah!) terkait soal puasa dan saling menghormati ini. bagaimana kalau paradigma kita digeser sedikit: seharusnya, kita yang berpuasa menghormati mereka yang tidak berpuasa, bukan sebaliknya!

caranya bagaimana? misalnya begini. ketika ada rekan yang tidak berpuasa, mari kita coba menghormati hak mereka untuk bisa makan di tempat yang normal, dengan cara yang normal, dalam suasana yang normal pula. kenapa begitu, karena mereka berhak atas kehidupan ‘normal’ yang biasanya mereka miliki, bukan?

sambil jalan, mari kita review kembali: bukankah hakikat dari berpuasa seharusnya adalah pengendalian diri bagi yang menjalankannya? menurut saya, buka saja restoran-restoran dan tempat makan itu! biarkan saja tempat-tempat hiburan itu buka di siang hari, dan mari kita persilakan rekan-rekan yang tidak berpuasa untuk makan atau minum di hadapan kita yang sedang berpuasa!

tak perlu pula sebagian dari kita sampai panas karena masih ada tempat-tempat makan yang buka di bulan puasa — adakah kita hanya akan mendapatkan lapar dan dahaga (haiyah, bahasanya! 😛 ), sementara batin kita rusuh dan ngomel-ngomel akan hal yang sebenarnya tidak perlu dan malah akan menghilangkan makna yang sebenarnya dari ibadah puasa?

tentu saja, menurut saya hal itu tidak perlu. lagipula, buat apa sih… puasa itu kan soal pengendalian diri! :mrgreen:

mengecilkan makna hidup dengan…

kadang-kadang saya bingung, bahwa dalam banyak sisi kehidupan manusia hampir selalu dibangun dengan siklus yang semu setiap kalinya: lahir – tumbuh – sekolah – kuliah – kerja – menikah – tua – mati.

dan tentu saja, karena ini adalah konsep yang sudah sangat mapan dalam kehidupan manusia (khususnya di sekitar saya), maka mempertanyakan konsep seperti ini bisa jadi urusan yang gampang-gampang susah. bukan kenapa-kenapa juga sih, tapi tampaknya memang kebanyakan orang jauh lebih senang memikirkan mengenai ‘bagaimana mencari sesuap nasi’ daripada memikirkan esensi di baliknya — duh, pragmatisme!

sekarang, pertanyaan sederhana saja, pembaca. menurut anda, sebenarnya apa sih alasan anda menjalani hidup ini — selain karena kebetulan sudah ada yang memberikan dengan gratis dan tidak boleh bisa dibuang begitu saja?

alasannya mungkin macam-macam. ada yang religius, misalnya. hal ini biasanya terkait masalah keimanan dan seterusnya. ada juga yang utilitarian; idenya adalah ‘hidup untuk berbuat’ dan sebagainya. ada juga yang pragmatis, bahwa hidup cuma saat ini saja dan harus dinikmati. dan juga, ide-ide yang lain lagi; penjelasannya bisa macam-macam, dan apapun yang lain seterusnya.

tentu saja, alasannya bisa macam-macam. tapi pertanyaannya sama: memangnya, kenapa sih manusia harus bertahan hidup?

::

bicara kehidupan, berarti adalah bicara siklus — yang kadang bisa berbeda antar masing-masing individu, tapi kira-kira begitulah. lahir, tumbuh, belajar, bekerja, berkeluarga, sebelum akhirnya mati.

kata orang-orang di sekitar saya, hidup memang seperti itu.

tapi kata saya, hidup seperti itu tidak ada artinya.

hidup, bagi sebagian (besar?) manusia, adalah tujuan-tujuan semu. ketika sekolah, kita memiliki tujuan untuk lulus dan mendapatkan nilai bagus. ketika kuliah, kita memiliki tujuan untuk memperoleh indeks prestasi yang lumayan. ketika lulus kuliah, kita memiliki tujuan untuk mencari pekerjaan yang layak. setelah bekerja, kita memiliki tujuan untuk berkeluarga, misalnya.

hidup sendiri, tujuan dibikin-bikin sendiri, sebelum nanti akhirnya mati sendiri. dan akan kembali diulang untuk generasi berikutnya… dan berikutnya, dan berikutnya. dengan siklus-siklus semu yang terus berjalan seolah tanpa makna.

::

saya mengatakan, bahwa saya tidak ingin menjalani hidup yang sia-sia seperti itu. saya tidak mau hidup cuma berpegang kepada hal-hal yang sebenarnya amat-sangat-semu: lulus kuliah dengan indeks prestasi lumayan, lalu mencari pekerjaan yang mapan untuk hidup, lalu berkeluarga, dan seterusnya.

saya ingin menjalani hidup saya dengan jujur, apa adanya, dan bahagia. pekerjaan mapan atau menikah, itu sih bonus! siapa yang peduli dengan gaji delapan digit, kalau saya bisa hidup bahagia dengan gaji dua atau tiga juta rupiah per bulan? siapa yang peduli kalau saya tetap high quality single karena (misalnya) belum menemukan pasangan yang tepat, sementara saya masih bisa menikmati kehidupan saya?

saya tidak perlu gaji besar-besar amat, selama saya bisa hidup dengan tenteram dan bahagia dengan keadaan tersebut. saya tidak ingin menikah, kalau saya memang tidak menemukan seorang partner yang tepat. kenapa pula saya harus menjalani hidup dengan patokan-patokan yang ditetapkan oleh orang lain? saya ingin menjalani hidup saya dengan sebaik-baiknya, dan untuk itu saya tidak ingin membiarkannya berlalu tanpa makna.

…dan hasilnya, saya dianggap ‘berpandangan aneh’.

hei, jangan salahkan saya. saya sendiri bingung kok, kenapa manusia bisa senang sekali hidup dengan berpegang kepada tujuan-tujuan yang semu. memangnya hidup itu cuma soal cari pekerjaan bergaji besar atau berkeluarga dan membuat membesarkan anak kecil yang lucu dan imut-imut?

::

kembali ke pertanyaan awal. memangnya, apa sih alasan saya untuk terus melanjutkan kehidupan saya? mana saya tahu, saya sendiri malas memikirkannya kok. tapi saya kira, saya hanya ingin menjalaninya dengan apa adanya saja. sambil jalan, mungkin ada beberapa alasan-alasan lain; mungkin sedikit religius, kadang-kadang idealis, serta mungkin humanis juga… tapi saya kira, saya belum akan jadi oportunis untuk sementara ini — semoga tidak akan.

tapi apapun, selagi saya masih bisa menjalani kehidupan saya dengan nyaman, saya kira tidak ada masalah. untuk saya, hidup hanya saat ini saja; dan saya kira, kehidupan ini masih terlalu luas untuk dipatok-patok dengan tujuan-tujuan semu seperti itu!

saya, dulu dan sekarang

hari-hari ini, saya kembali teringat akan masa-masa ‘pemberontakan’ ketika saya masih berusia belasan tahun dulu; ketika saya masih duduk di bangku SMP dan kemudian SMU, dengan sikap antikemapanan yang muak dengan keadaan: anak-anak sekolah diantar-jemput naik mobil ber-AC yang membuat jalanan macet, lengkap dengan hidup gaul ala duit orang tua. siswa senior bermobil dengan soundsystem entah-apa yang sepertinya tidak akan terbayar dengan kerja sambilan setahun lamanya. dan yang lain-lain mungkin, tapi sudahlah.

ya, dengan generasi MTV yang tidak tahu dan tidak peduli, selapis tipis masyarakat yang kontras dengan lingkungan; sekolah elite, mungkin? unggulan nasional yang tampaknya-hebat, di antara lingkungan sedikit-kumuh dengan kadang-kadang preman serta tukang palak. pembentuk calon-calon birokrat berdasi atau eksekutif muda incaran ibu-ibu untuk anak gadisnya — nanti, kalau mereka sudah lulus dari Universitas Impian atau Institut Teknologi Bergengsi.

saya tidak pernah benar-benar menyukai keadaan tersebut; tidak ketika saya sebagai pelajar SMP di pinggir kota, maupun ketika saya sebagai anak SMU yang kos di dekat sekolah. tidak juga ketika saya melihat junk food mulai jadi budaya, sementara seorang rekan tampak baru melunasi pembayaran uang sekolah untuk lima bulan terakhir. tidak juga ketika dulu saya melihat rekan-rekan seumuran yang seringnya terlihat nongkrong di mal atau nonton di cineplex di akhir minggu, sementara beberapa orang rekan tampak mengenakan pakaian yang itu-itu saja di luar sekolah.

setidaknya untuk saya, keadaan dan perasaan tersebut mempertahankan kesadaran saya untuk tetap kritis terhadap diri saya sendiri: pengingat ketika saya akan melangkah, bahwa ada hal-hal yang tidak saya sukai dari keadaan seperti itu — termasuk namun tidak terbatas pada kemanjaan yang kurang pada tempatnya, lengkap dengan kontras terhadap keadaan yang jauh dari sempurna.

sejujurnya, saya merindukan saat-saat saya masih bisa menjadi diri saya yang dulu; saya yang memandang bahwa ‘makanan murah’ adalah menu seharga di bawah lima ribu rupiah di warung dekat stasiun kereta. saya yang berpikiran bahwa harga makanan di warung tegal adalah harga yang normal — di atas itu, mahal. saya yang masih lebih sering membeli bubur kacang hijau seharga tiga ribu rupiah di warung kopi daripada membayar untuk softdrink di mini market di dekat rumah maupun seputaran tempat kos. saya yang pada saat itu masih bisa bersikap jujur dan mempertahankan sudut pandang saya yang apa adanya.

tapi mungkin, saya juga berubah.

mungkin, saat ini saya tidak lagi seperti dulu; sekarang ini, saya adalah seseorang yang bisa dengan santai memesan (dan membayar untuk) set menu yang agak mahal dari sebuah restoran di mal. sekarang ini, saya adalah seseorang yang bisa dengan mudah menerima keadaan bahwa saya akhirnya bisa memiliki sebuah notebook seharga sekian-juta-rupiah dengan spesifikasi yang begitulah-pokoknya. sekarang ini, saya adalah seseorang yang bisa dengan mudah memikirkan untuk mengganti telepon genggam yang sudah beberapa tahun usianya — terlepas dari kondisinya yang masih layak pakai.

memang, saya mendapatkan hal-hal tersebut dari jerih payah saya sendiri. dan oleh karena itu saya (seharusnya) memiliki hak untuk menikmatinya; mungkin benar begitu, tapi bukan itu masalahnya. hal yang saya takutkan adalah, bahwa seiring dengan apa-apa yang saya peroleh, saya merasa bahwa saya semakin tidak bisa bersikap apa-adanya seperti saya yang dulu.

ketika di sekolah dulu, saya adalah seseorang yang selalu berusaha bersikap jujur. saya memutuskan untuk tidak menerima atau memberi jawaban selama ujian di sekolah, misalnya. kadang menyebalkan sih, bahwa satu kelas bisa mendapatkan nilai sembilan-koma-sekian dalam ujian bahasa Jepang (dengan jawaban yang beredar di seantero kelas), sementara nilai saya cuma empat-koma-enam. menyebalkan, tapi siapa peduli — toh saya masih cukup keras kepala untuk itu.

mungkin, kedengarannya bagus. tapi pembaca, tahukah anda apa yang terjadi bertahun-tahun kemudian?

hal yang saya alami adalah bahwa seiring dengan saya bisa mendapatkan sesuatu dari hasil kerja saya, saya merasa bahwa saya semakin bisa menenggang banyak hal yang dulu saya benci. saya mulai bisa bersikap sedikit tidak jujur (walaupun masih muak; memangnya manusia harus nggak jujur supaya bisa hidup?), dan saya mulai kehilangan sudut pandang saya yang dulu. saya mulai kehilangan diri saya yang sederhana dulu, tergantikan oleh diri saya yang lebih pragmatis.

sejujurnya, saya tidak menyukai hal ini. saya tidak ingin menjadi seseorang yang pragmatis, yang bisa dengan mudah ‘mengorbankan’ apa-apa yang dulu saya pertahankan. saya tidak ingin menjadi seseorang yang tidak bisa bersikap kritis terhadap keadaan, seiring dengan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan saya. saya tidak ingin menjadi seperti bapak-bapak birokrat tambun yang tak puas dengan penghasilan sekian-juta rupiah per bulan, seperti halnya saya tidak ingin menjadi seperti mantan mahasiswa yang sudah kehilangan gigi ketika berhadapan dengan realita.

dan sekarang ini, saya bertanya-tanya. adakah saya yang berubah, bahwa saya kini menjadi sekrup kapitalisme yang cuma tahu cari makan? adakah saya yang berubah, bahwa saya kini bisa lebih menenggang ketidakjujuran daripada dulu? adakah saya yang berubah, bahwa saya kini tidak lagi menjadi seseorang yang kritis terhadap diri saya sendiri, lebih-lebih terhadap orang lain?

hal yang mengingatkan saya, bahwa saya yang saat ini mungkin akan menerima sinisme dan sumpah-serapah dari diri saya yang dulu — seandainya kami memang mungkin bertemu. dan sejujurnya, dengan keadaan seperti ini, saya rasa saya tidak akan bisa tidak setuju terhadap segala sarkasme atau apapun yang lain yang mungkin akan diumpatkan oleh diri saya tersebut.

mungkin… tapi entahlah. mungkin memang, manusia kadang berubah menjadi sesuatu yang mereka benci.

alasan untuk menulis

beberapa waktu yang lalu, seorang rekan menanyakan mengenai alasan saya untuk menulis di sini. bukan kenapa-kenapa sih, tapi saya kira ini lebih ke arah ‘kenapa sesuatu terjadi’ daripada ‘kenapa sesuatu harus terjadi’… tapi berhubung topik seperti ini tampaknya rawan terseret ke ranah filosofi yang bisa tidak jelas bahasannya, jadi mari kita fokus ke pertanyaan utamanya saja, pembaca.

jadi, pertanyaannya adalah: sebenarnya, apa sih alasan saya untuk menulis di sini? dan memangnya, apa sih yang menguntungkan bagi saya, kalau saya menulis di sini?

whoa. yang terakhir itu adalah pertanyaan yang sangat pragmatis. lengkap dengan aroma asas manfaat dan niat cari keuntungan ala sekrup kapitalisme. halah, kacau bener! memangnya saya melakukan sesuatu hanya kalau ada untungnya? :mrgreen:

siapa yang peduli. tapi karena saya adalah seorang pemuda yang sederhana, maka jawabannya pun sederhana pula:

“saya menulis karena saya mau menulis. hal gampang kayak begini, ngapain sih dibikin susah?” :mrgreen:

begitulah. saya menulis karena saya memang mau menulis. kalau dibaca, ya syukur. kalau nggak dibaca, ya nggak apa-apa. yang penting tulisan saya bisa diakses orang banyak — mau lewat search engine, chat via YM atau meebo, atau apapunlah. dari situ, mau dibaca atau tidak sih sudah bukan urusan saya.

::

tapi… belakangan ini, saya kembali memikirkan hal ini. dan sambil iseng, saya mencoba untuk menganalisis (haiyah!) mengenai masalah ‘alasan untuk menulis’ ini… selain alasan utama yang sangat sederhana itu tentunya. hmm, mari kita runut satu per satu.

saya menulis di sini, karena saya mencintai kebebasan. dengan menulis di sini, saya menjadi entitas yang independen; saya tidak terikat batas, saya adalah hanya saya sendiri. saya bisa menyatakan dan menuliskan apapun sejauh ujung pemikiran saya — dengan segala kebebasan saya, dengan segala tanggungjawab saya.

saya menulis di sini, karena saya ingin jujur kepada diri saya sendiri. saya ingin tetap bisa menuliskan apa-apa yang saya pikirkan di sini; termasuk namun tidak terbatas kepada sikap untuk mengatakan tidak terhadap apa-apa yang tidak saya setujui, serta menyatakan dukungan terhadap apa-apa yang sejalan dengan pikiran dan nurani saya. karena saya tahu, bahwa dalam kesempatan-kesempatan saya tidak selalu akan bisa bersikap jujur — dan kalau sampai ada saatnya saya sudah tidak bisa bersikap jujur di sini, saya kira saya sudah tamat sebagai manusia.

saya menulis di sini, untuk meletakkan keping-keping kenangan; sekalipun kabur, kadang tak jelas, dan seringkali rapuh. tempat ini adalah tempat keping-keping kenangan yang menjadi bukti atas keberadaan saya; dan dengan alasan yang sama, adalah nama yang ditetapkan ketika saya mulai menulis di sini dulu. karena sebagian dari diri saya ada di tempat ini, dan karena kenangan-kenangan yang saya tuliskan di sini (setidakberguna apapun itu), adalah bagian dari keberadaan saya — yang cuma sebentar, fana, dan mungkin tidak bermakna di dunia yang semakin tua ini.

::

eh… kok tone-nya jadi agak serius ya? tapi sudahlah… itu kan alasan bagusnya! untuk saya sendiri, ada alasan yang lebih sederhana penting daripada itu semua.

saya menulis di sini, karena saya menginginkannya — dan saya memiliki kebebasan untuk melakukannya. karena tidak ada seorangpun yang memiliki hak untuk melarang saya menulis di sini… selama masih ada yang membayari biaya domain dan hosting tentunya.  😛

lagipula, memangnya apa alasannya saya melakukan ini semua? sederhana saja, kan. karena saya mau! :mrgreen: