kira-kira demikian

“terkadang aku berpikir, mengapa dia begitu kukuh bertahan menunggui satu hati?

…tapi mungkin dia juga berpikir, tidakkah melelahkan berpindah dari satu hati ke hati yang lain?”

 

(Zahra, dari ‘Grey dan Jingga’)

dari komik terbitan dua tahun lalu, yang sore ini terlihat tertumpuk pada sisi dalam lemari.

2015 (in pictures)

#1 /

awal tahun dan semangat tinggi: kira-kira setahun lalu. plus-minus 2-3 hari. bagaimana bisa bilang tidak ke makhluk ini?

 

#2 /

ide gila di tempat kerja? baiknya ditanggapi santai saja. dalam momen kira-kira mewakili rekan sesama profesional.

11020835_10206914798692291_5510674550099686516_n

 

#3 /

karena tidak ada menang atau kalah… sekalipun kadang saling marah, tetap tak bisa saling benci. eh apa gimana itu tadi?

lovecfea

 

#4 /

akhir pekan seperti biasa. seringnya disuruh ibu versi original, tidak keberatan juga kalau disuruh ibu versi lebih-seumuran.

mem-copy

 

#5 /

I’m getting (physically) stronger… I guess. setidaknya dibandingkan tahun lalu. peralatan? terutama lantai dan tembok.

training

 

#6 /

belakangan ini, saya cenderung malas menggunakan media sosial. demikian salah satu alasannya…

wikipedian_protester

 

#7 /

mbaknya lagi sariawan. ceritanya sih begitu . . . okay. much better.

tumblr_lq9ivqlHIu1qfk6vyo1_400

 

#8 /

terakhir: sepanjang tahun ini, banyak hal-hal baik dari banyak orang, entah seberapa banyaknya saya yang begini ini bisa menyadari semuanya itu. demikian ini untuk anda semua: terima kasih!

thanksmom

 

_

2015: I think I’ve been a little bit happier… sort of.
2016: looking forward to it. right off the bat! 

on social media

we live in a world where people don’t always like us telling when we are a little happy and people don’t always like us saying when we are feeling sad.

but we sure don’t mind voicing our ‘anger’ and ‘wrath’, whatever, acting like self-proclaimed social justice warriors.

how complicated. =P

(un)surprisingly I don’t miss it all that much.

tentang kerja, cinta, dan idealisme

pada pekan belakangan ini, kebetulan saya beberapa kali mendapatkan tawaran pekerjaan penuh-waktu dari beberapa professional headhunter[1]. dalam konteks terkait saya ditawari pekerjaan, maksudnya. perkiraan rentang penghasilannya sendiri lebih dari cukup lumayan, demikian juga kualifikasi profesional saya pada dasarnya cukup memadai.

kalau secara pemikiran malas sih kira-kira sudah itu kriterianya relatif cocok, sudah tinggal dipilih, sehingga kalau mau dianggap sederhana, ya… kurang apa lagi?

 

good-great-manager

gambar tidak berhubungan … mungkin.

 

bukan pertama kali saya berada dalam situasi seperti ini. bukan pertama kali juga saya harus membuat keputusan terkait hal ini. demikian hingga saat ini, sehingga ketika harus memutuskan, jawaban saya masih tidak berbeda.

pada bulan-bulan yang sudah lama lalu, saya sempat bercerita kepada seorang gadis partner saya mengenai tawaran lain yang juga sampai ke saya. pada saat itu konteksnya terkait penawaran yang berbeda dari tempat yang berbeda, dengan rentang penghasilan yang lumayan pula.

dia tampak kaget dan terbingung-bingung ketika saya mengatakan bahwa saya tidak mengambil kesempatan tersebut.

“kenapa nggak diambil? itu kan lumayan banget, gimana sih.” 😮

waktu itu saya cuma nyengir. saya ingat saya mengatakan bahwa masih ada sesuatu yang harus saya… kami lakukan di sini, di tempat sekarang ini, dan belum waktunya buat saya untuk pergi.

dia tidak menyanggah. saya tahu bahwa kami saling paham.

kembali ke saat ini, ya… di satu sisi, ada kemungkinan tantangan baru, penghasilan baru yang lebih dari cukup lumayan, juga bakal tim baru untuk melakukan hal-hal hebat dengan teknologi keren.

sementara di sisi lain, ada idealisme yang belum selesai. ada janji yang masih harus ditepati. ada perjalanan panjang, ada rekan-rekan yang bersama saya, dan kami sama-sama paham bahwa masih belum waktunya buat kami berhenti.

hal-hal seperti demikian juga menjadi pertimbangan dalam keputusan-keputusan yang saya buat.

karena ada juga hal-hal yang tidak selalu bisa dipahami dengan kalkulasi-kalkulasi pragmatis, entah itu terkait rentang penghasilan, model bisnis, atau apapun sejenisnya. buat saya ini juga sesuatu yang sifatnya di perbatasan personal dan profesional, sesuatu yang kalau mau dicari di mana batasnya juga bisa jadi malah bikin bingung sendiri.

“jangan terlalu idealis,” kata seorang kakak perempuan[2] kepada saya pada waktu yang lain. “kamu juga harus tahu kapan bisa, kapan enggak bisa. kalau enggak ya kamu juga enggak ke mana-mana.”

“aku tahu sih. tapi ini jangka panjang. pelan-pelan, kurasa bisa.”

saya ingat saya mengatakan demikian. ada sedikit optimisme di sana. ada perjalanan baru dimulai, dan ada seseorang yang sudah lebih dulu melangkah di hadapan saya.

“yah, kalau menurutku sih, kamu boleh idealis, kerja keras, lakukan yang kamu bisa. tapi jangan lupa, sisakan ruang untuk kecewa. serahkan sisanya sama Tuhan.”

doakan saja, kata saya. nyengir. dia cuma nyengir sambil sekilas mengatakan ‘dasar’ ke arah saya.

kembali ke soal idealisme. bukan berarti saya jadi serba kaku atau tidak fleksibel juga sih. tapi untuk saat ini, saya kira seperti itu saja dulu. kecuali mungkin…

iya, memang ada ‘kecuali’ di sana. eh, lho, kok?

sebenarnya begini, sih. untuk saat ini, satu-satunya hal yang bisa membuat saya berubah pikiran barangkali cuma kalau mendadak ada tawaran pada Kantor Staf Kepresidenan pada bidang Teknologi Informasi, misalnya. barangkali kalau seperti demikian yang dilakukan di Gedung Putih[3] bisa dilakukan untuk Indonesia —mungkin pula dengan kode terbuka dan data terbuka— saya kira akan jadi panggilan yang menantang dan seru sekali.

kalau ada seperti demikian, yah, agaknya akan jadi tawaran yang sungguh berat untuk saya tolak. saya sendiri berkeyakinan bahwa ada sesuatu yang pada dasarnya bisa dilakukan, bahwa kalau mau kita bisa, dan bahwa Indonesia punya lebih dari cukup modal untuk meraih itu semua.

tapi itu juga kalau ada yang menawarkan sih. lagipula geer amat sih saya. hehe.

mungkin soal idealisme juga. buat saya, untuk Indonesia saya kira adalah hal yang berbeda. tapi saya kira itu cerita lain untuk saat ini.

 

___

[1] individu-individu yang bekerja untuk perusahaan tertentu, bisa kalangan sendiri atau pihak ketiga, untuk menyaring kandidat profesional yang dianggap cocok untuk mengisi kebutuhan spesifik terkait managerial atau spesialisasi khusus.

[2] secara teknis bukan kakak beneran juga sih, walaupun secara praktis demikianlah kenyataannya. ceritanya agak panjang, pernah ditulis juga di sini sekali dulu.

[3] The White House’s Alpha Geeks [→] artikel menarik tentang wawancara CTO dan technical advisor di Gedung Putih. penugasan tim di sana meliputi implementasi teknologi sebagai jembatan lintas-disiplin untuk berbagai kebutuhan sektor publik di Amerika Serikat.

[4] image credits:

to kill a …

“how do you kill a good guy? feed him prolonged, deafening silence until good’s very last end. it f**king works actually.”

girls only; bonus point when you are not his (traumatizing) first.

tak harus hilang, tak harus lepas

hari-hari ini, saya tak sengaja menonton lagi cuplikan adegan lama di film Ada Apa Dengan Cinta yang dirilis belasan tahun lalu dulu. menjelang akhir filmnya, kedua tokoh utama… yah, kecuali anda tinggal di dalam gua selama 15 tahun terakhir, sepertinya anda semua sudah tahu akhir ceritanya. nggak perlu dijelaskan, ya? :mrgreen:

nggak sih. saya cuma kepikiran tentang betapa dekatnya kemungkinan bahwa sebuah hubungan —tidak selalu harus romansa juga— bisa berakhir atau tidak berlanjut karena hal-hal tertentu yang tidak selalu terungkapkan benar. sebagian seperti halnya dalam film tersebut, misalnya. di sisi lain, sepertinya tidak membantu juga bahwa agaknya saya punya kutukan  tersendiri terkait hal-hal seperti ini. waduh?

aadc-airport

“kamu beneran nggak mau say goodbye sama Cinta?”
“…dia udah say goodbye duluan, pa.”

dari dulu—entah apakah ini hal yang baik atau buruk, ya—saya punya kecenderungan untuk susah pergi dan meninggalkan sesuatu begitu saja. entah itu dalam konteks hubungan personal atau profesional atau keduanya, saya cenderung mempertahankan sesuatu habis-habisan sampai benar-benar sudah tidak bisa diapa-apakan lagi. entah bagaimana, kadang agak lucu juga bahwa tahu-tahu bulan-bulan dan tahun lewat dan pada akhirnya ternyata saya masih di situ-situ saja.

bukan tidak ada resikonya juga sih. kadang-kadang ya seperti itu, ketika ada saatnya segala sesuatu harus berakhir, sakitnya itu lho. eh. aduh. ini kenapa jadi curcol sih. udah woy, udah.

baiklah, lanjut. bagaimanapun saya kira bukan hal yang sederhana juga. salah satu contoh, kalau misalnya anda punya atau pernah punya seseorang yang istimewa merangkap sahabat merangkap partner merangkap teman seperjalanan seperjuangan yang sudah bersama anda untuk sekian lama… jujur saja, saya rasa pada umumnya baik anda maupun dia tidak bisa dan tidak akan bisa menegasikan serta lalu menyangkal bahwa semua jadi tidak pernah ada.

karena tidak seperti itu kenyataannya. dengan atau tanpa ‘say goodbye’ yang mengakhirinya.

tapi, sudahlah. barangkali saya cuma sedang teringat obrolan Rangga dan ayahnya menjelang akhir film yang, baik pada waktunya dulu maupun ketika diperhatikan lagi belakangan ini, agaknya masih tetap cukup menonjok lumayan berkesan tersebut:

“payah. gitu aja nyerah.” :3
“…”

banyak hal yang mungkin tak selalu tepat atau sempurna benar, tak selalu semua sesuai keadaan-keadaan dan harapan-harapan di sekitar kita. tapi tak harus semua hilang dan lantas jadi sama sekali kehilangan makna. tidak harus semua seperti itu. tidak harus selalu seperti itu.

mungkin karena buat saya ada hal-hal yang terlalu penting untuk dikubur dan dianggap tidak pernah ada. tidak selalu semuanya lantas jadi sama sekali tidak berarti. atau setidaknya, saya lebih suka memikirkannya seperti itu.

untuk hal-hal tertentu. tidak untuk dibuang begitu saja.

___

image credits:

  • Ada Apa Dengan Cinta (2002), produksi Miles Production.

waktu tersisa

“dari dulu aku merasa, umurku nggak akan panjang. bapak dulu 46 (tahun), dan kalau bisa sampai lewat segitu saja buatku sudah bonus. apa lagi sih yang kucari? aku tahu waktuku nggak banyak. sudah nggak waktunya aku nggak bisa ikut kata hati sendiri.”

Juni 2015; antara Halim dan Cinere, obrolan lintas generasi dalam perjalanan yang sesekali ketumpahan isi cangkir kopi.

sampul belakang

“cinta sejati adalah kenyamanan, kepercayaan, dan dukungan. kalau kamu tidak setuju, aku tidak peduli.”

(Milea, 1990)

dari sampul belakang novel di toko buku, siang ini. aku cuma geleng-geleng —bukan karena itu tak tepat, sungguh.

janji dan harga diri

“kadang takut ketemu orang kayak kamu. kamu nggak pernah kompromi kalau kamu sudah bilang janji. bikin takut. takut kalau suatu saat malah aku yang lupa atau ingkar janji.”

“yah. kalau aku sudah nggak bisa percaya sama omonganku sendiri, aku mau percaya sama siapa lagi?”

maaf, kelas dan didikan saya beda. tolong jangan dibandingkan dengan rata-rata di sekitar anda.

#qotd

“argh uah bledug jger duarrr”

“arrgghh duarrrr kletuk kletuk”

two people after two different meetings. just another adorably chaotic not-so-average day at work.