mei

aku menuliskan ini pada tanggal 14 Mei, dan untuk orang-orang yang paham tentang atau kebetulan tinggal di Indonesia, kurasa tanggal tersebut seharusnya tidak terlalu asing. untuk alasan yang tidak selalu baik, kukira.

atau lebih persisnya: 13 dan 14 Mei.

kalau kuingat-ingat lagi, setahun sebelumnya pada 1997 Persemakmuran Inggris mengembalikan Hong Kong ke Republik Rakyat Cina, dan dengan kebingungan yang meliputinya beberapa golongan warga negara memutuskan untuk pindah —setidaknya sementara— ke negara-negara tetangga termasuk Indonesia.

setahun kemudian, demonstrasi dan kerusuhan massa memanas di Jakarta, diikuti beberapa kota di tanah air. lewat bulan Mei 1998, arus perpindahan sebaliknya terjadi: sebagian golongan warga negara Indonesia memutuskan untuk pindah, setidaknya sementara, ke beberapa negara. dalam salah satu perputaran peran yang unik, Hong Kong —selain Singapura— menjadi salah satu dari sedikit tempat tujuan yang bisa dicapai oleh sebagian mereka yang memutuskan pergi.

salah satunya gadis ini.

 

“orangtuaku tetap tinggal di sini —di Indonesia— jadi cuma aku yang disuruh berangkat ke sana. jadi aku pindah sekolah.”

“memangnya bisa langsung paham bahasanya?”

aku ingat aku bertanya sedikit penasaran. maksudku, aku paham bahwa beda bahasa dalam proses belajar-mengajar itu sesuatu yang bisa menghambat benar. kuperkirakan waktu itu baru lewat beberapa pekan dari ulang tahunnya di awal usia belasan tahun, dan dengan semuanya itu kurasa itu bukan hal yang mudah atau pula sederhana.

“enggak sih. sempat sulit. sekolah juga bukan tidak mau kasih dispensasi, tapi ya mau sampai berapa lama. sekali waktu aku ke ruang guru, diberitahu kira-kira seperti itu.”

ada saudaraku tinggal di sana, katanya. tapi kan harus sekolah juga. juga harus kerja sambil bantu-bantu. sambil lalu dia menyebutkan tentang kerja sambilan mengantar pesanan nasi dan makanan Indonesia. tidak banyak, tapi lumayan untuk ditabung, demikian kira-kira ceritanya.

“wah,” komentarku. “jadi gadis desa berangkat jadi TKW—”

“HEH!”

aku tahu dia tahu aku cuma bercanda, tapi ya tetap saja dia jadi mengomel panjang-pendek. tidak apa-apa juga sih. sudah marahi saja aku, kak! marahi saja! eh…

“tapi aku jadi bisa bahasa Kanton sama Mandarin,” katanya. “kalau di Hong Kong kan utamanya pakai Kanton, tapi kalau jalan sedikit ke Shenzen, banyak pakai Mandarin.”

aku ingat sekali waktu kukatakan sambil bercanda bahwa kalau aku pergi bareng dia ke Kowloon atau Shenzen, kurasa aku tinggal tenang-tenang saja sudah punya penerjemah. bukan apa-apa, dari pengalaman aku tahu bahwa bahasa Inggris orang-orang di sana memang agak… kurang bisa diandalkan, kalau mau dibilang dengan sopan sih.

dia hanya menanggapi dengan tertawa.

 

“ada contohnya tuh, baca sendiri deh.” kataku. pada waktu yang lain kami sedang membicarakan artikel dari Harvard Business Review, topiknya terkait hasil studi di mana pengalaman dan tempaan keras cenderung berkorelasi dengan kualitas kepemimpinan secara profesional.

“yah kira-kira kayak kamu dilempar ke HK begitulah,” aku melanjutkan. “kurasa kamu bisa bertahan dari sana, dikasih apa juga sudah tahan banting sih.”

“aku juga heran, lho. kalau sekarang ini dipikir, gila ya, dulu bisa kayak begitu. kalau disuruh lagi sih nggak janji deh.”

saat itu di Jakarta, beberapa belas tahun kemudian. kalau kita memandangnya kembali, katanya, hidup di sana juga bukan senang-senang. semua ya kerja keras juga. tapi di tempat yang jauh semua jadi seperti keluarga. kurasa itu hal yang wajar dan bisa dipahami.

tapi kupikir, apa harus sebagian orang-orang pergi seperti itu lagi? bukankah pada dasarnya itu semacam eksil, terasingkan dari rumah atau kampung halaman, meskipun pada dasarnya hal tersebut dilakukan atas dasar pilihan sendiri.

… walaupun entah seberapa ‘pilihan sendiri’-nya keputusan yang diambil dari keadaan-keadaan tersebut.

karena rumahmu sebenarnya di sini, kan.

aku memikirkannya sekilas, tapi kuputuskan untuk tidak mengangkatnya jadi topik pembicaraan.

 

“tapi, itu sesuatu yang aku bersyukur. walaupun waktu menjalani memang rasanya nggak enak banget.”

demikian katanya pada akhir hari yang sibuk, pada suatu waktu yang lain lagi. aku berpikir sekilas sebelum menanggapi kata-katanya.

“kalau bisa mengulang lagi, balik ke tahun dulu, akan tetap melakukan hal yang sama?”

“iya.”

“oh begitu,” aku berusaha menjawab dengan muka datar. “jadi kalau habis ini dilempar disuruh serba sendiri lagi, masih mau?”

“eh jangan dong!”

aku ingat aku tertawa melihat tampangnya sedikit kaget seperti itu. siapa juga yang mau meninggalkan kamu sendirian sih, pikirku. tapi toh tidak kukatakan, tidak untuk saat itu.

yang akhirnya kukatakan hanya ‘pulang yuk’ singkat, dan beberapa belas menit kemudian kami berpisah di halte Transjakarta.

 

Mei, 2015. kalau diperhitungkan dari saat ini, kira-kira sudah hampir dua puluh tahun berlalu dari dekade sembilanpuluh-akhir. waktu berlalu dan kita juga berubah, tempat kita tinggal tumbuh dan berkembang juga. dan dengan segala kekurangan dan perbaikan-perbaikan yang menyertainya —walaupun kadang bisa jadi terasa tidak cukup cepat— pada akhirnya kupikir tempat ini masih jadi rumahku. kurasa sama buat dia juga. kurasa sama buat cukup banyak orang lain juga.

mungkin aku cuma berharap bahwa tidak perlu ada orang-orang terpaksa pergi dari sini sendirian lagi.

lewat petang menuju malam ketika aku menuliskan ini, sambil lalu aku mengambil teh tarik instan dari lemari dan samar-samar aku teringat obrolan lama sekali dulu.

“itu nama panggilan kecilku,” katanya. “kok tahu sih?”

aku ingat waktu itu aku cuma senyum-senyum. mungkin suatu saat kamu akan tahu sendiri jawabannya, demikian pikirku. mungkin sih.

aku menyelesaikan beberapa kalimat pada papan ketik di komputer, setelahnya aku menyeruput teh tarik di sisi meja. pada akhirnya, kurasa, tulisan ini memang menjadi tentang sedikit tentang Mei.

kalaupun seperti itu kukira tidak masalah. barangkali bukan hal yang sepenuhnya buruk juga.

di dapur rumah ibu

/1

kalau ada saatnya di mana hal-hal kecil sederhana membuat kekacauan yang tidak seharusnya, inilah saatnya.

pagi hari libur pada akhir pekan panjang, aku sedang menuangkan adonan telur ke dalam lubang-lubang kecil di loyang yang sudah tertutup lembaran daging asap. kelebihan; campuran telur garam merica dan kecap inggris merembes, menyisakan tambahan pekerjaan lengkap dengan ekstra bau amis pada keramik dapur.

aku mengumpat pelan. ceroboh, pikirku. benar-benar tidak seperti biasanya.

 

 

“kamu kenapa?”

aku mendengar suara beliau —ibuku sudah berada di sisi pintu dapur— sementara aku masih setengah konsentrasi menjaga rembesan yang sudah semakin melebar.

“kok lesu begitu… haaah, ini telur ya? amis ini!”

demikian aku mendengar serunya. setelahnya aku mendengar beliau mengambil beberapa lembar tisu dan lembaran koran lama, menyiramnya dengan air, kemudian memberikannya kepadaku untuk membersihkan kekacauan yang pada dasarnya tidak sewajarnya tersebut. jangan lupa nanti cairan pembersih, katanya, lengkap dengan beberapa tambahan lain yang tidak terlalu bisa kudengarkan benar.

aku hanya mengangguk sambil membersihkan sisa-sisa adonan kuning encer dan lengket yang sekarang ini sudah mengalir jatuh ke lantai dapur.

 

/2

siangnya aku keluar sebentar, dan setelah sampai kembali di rumah aku menemukan bahwa panggangan tadi pagi ternyata sudah dikeluarkan dari oven. dua mangkok kaca tampak rapi di meja makan, ibu dan saudara-saudaraku sudah duduk berada di sana mengajak makan siang.

“ini aku bikin salad tadi,” kata beliau. “pas kamu keluar tadi. pakai brokoli sama bit yang kemarin. buat sayurnya, ya. lauknya kan sudah tadi sama kamu.”

aku tersenyum sebisaku, duduk di meja dan memperhatikan mangkok kaca besar yang —kalau kata adik perempuanku— tidak pernah diketahui ada mangkok seperti itu di rumah. tentu saja, kataku. kamu nggak pernah ke dapur sih. kami semua tertawa, kemudian menuangkan makanan ke piring masing-masing.

makanan hari itu omelet campur dalam mangkok daging asap (demikian yang membuat kerusuhan kecil di dapur pagi tadi), dengan tambahan berupa salad berisi campuran bit, brokoli, dan kentang buatan ibu yang tidak kuketahui bagaimana proses pembuatannya.

 

“kamu kok lesu begitu sih?” kali ini giliran adik perempuanku menanyakan hal serupa tadi pagi. aku mendengar ibu mengiyakan, sambil kembali beliau menanyakan hal yang sama.

“iya, kamu tuh sebenarnya kenapa sih? kayaknya kemarin masih baik-baik, kenapa sekarang begini…”

kayaknya ada sesuatu terjadi, katanya. entah apakah aku ada mendapatkan kabar atau telepon atau pesan pendek sehingga jadi seperti ini, atau barangkali apa sejenisnya, demikian kata beliau setengah bercanda setengah berspekulasi.

aku paham sekali, bahwa dari sekian banyak hal yang bisa dipelajari manusia, salah satunya adalah jangan pernah meremehkan intuisi ibunda.

tentu saja aku juga bukan terbiasa untuk langsung mengiyakan atau menyangkal seperti demikian juga. aku mencoba tersenyum, mengangkat bahu sekilas, mengatakan ‘ah, tidak apa-apa’. walaupun barangkali sia-sia juga; kurasa kita semua paham bahwa tidak akan ada seorangpun ibu di muka bumi yang akan dengan mudah mempercayai kata-kata semacam tersebut keluar dari mulut anaknya sendiri.

sekalipun apakah anaknya itu berusia dua tahun lewat sekian bulan atau dua puluh lewat sekian tahun, kurasa tetap; untuk seorang ibu, tidak banyak bedanya.

aku melihat adikku mengeluarkan senyuman pemberi-semangat —atau setidaknya katanya begitu— sambil mengatakan, “semangat kakaaaakk,” dan sambil nyengir kutanggapi sebisa dan sebaik mungkin bahwa aku baik-baik saja. tapi terima kasih, kataku.

ibu tampak mencoba cuek, tapi entah apakah dia semacam kepikiran juga tentang jawabanku atas pertanyaannya tadi.

 

/3

malamnya aku sudah menyelesaikan masakan untuk makan malam dan sedang membersihkan perabotan sisa kegiatan sebelumnya. tak lama kemudian aku melihat beliau main ke dapur, menyapa dan mengobrol sekilas sambil mencicipi hasil masakan yang sudah kutuangkan ke piring.

“…kamu tadi masak wortelnya bareng sama brokoli ya?”

aduh. iya benar. aku tahu itu kesalahan, walaupun kecil; wortel lebih lambat matang, seharusnya masuk duluan. baru brokoli, setelahnya kalau ada tambahan lain seperti pokcoy atau kapri baru ditambahkan belakangan ke wajan.

“hmm. kayaknya agak kurang bumbu deh. kutambah garam sama merica, ya?”

kesalahan kedua: proporsi bumbu terhadap sayur terlalu rendah. kalau sayurnya banyak, garam dan merica juga harus lebih banyak. jangan terpaku ukuran sendok, tapi juga jangan sembarang pakai perasaan. aku tahu itu. aku paham semuanya itu. berat, aku mengiyakan sarannya.

seperti sebelum-sebelumnya hari ini, itu juga sesuatu yang tidak biasanya dan tidak seharusnya terjadi.

aku menunduk. kemudian aku kembali mendengar suara yang kukenal baik.

“kamu itu kalau masak, nggak boleh sambil kemrungsung, punya beban seperti itu. rasanya bisa ke barat ke timur. padahal biasanya juga bagus. kamu lagi ada pikiran ya?”

aku merasakan bibirku berat, antara tak bisa atau tak ingin menjawab. atau mungkin cuma tak biasa, entahlah. pada akhirnya aku hanya mengeluarkan gumaman pelan, entah apa ada artinya yang bisa dipahami.

 

“eh, bu…” kataku pada akhirnya.

sedikit berat, aku terdiam sejenak. lalu melanjutkan;

“besok pagi, aku nggak masak ya? buat makan siang aku titip ibu dulu.”

beliau melirikku sekilas, kemudian —seperti biasanya— bersikap seolah cuek walaupun kurasa ada sekilas bahwa sedikit banyaknya beliau tampak paham.

“ya sudah, nggak apa-apa,” demikian aku mendengar jawabannya. “tapi besok kalau kamu mau belanja, aku titip ayam, ya. dada fillet dua lembar. sama daging giling, kalau ada.”

aku mengangguk, mengiyakan permintaannya. kemudian menyelesaikan sisa cucian di wastafel, lantas meletakkan wajan yang sudah dibersihkan di rak dan mengembalikan spatula ke sisi tempat masak.

setidaknya besok masih libur, pikirku. mungkin aku akan bangun lebih siang daripada biasanya.

bisa sendiri

kesalahanmu adalah kamu ingin dimengerti. yang sebenarnya, mana bisa begitu? bodoh.

kamu dikutuk peduli, tapi tak boleh punya melankoli. ceritamu jadi beban. keraguanmu jadi penghakiman.
beban buat mereka. penghakiman buat kamu.

makanya, diam.

kamu akan selalu punya kutukan. entah itu dari sisi meja kopi dan coklat panas, atau dari cerita-cerita tak penting yang kamu keluarkan untuk setidaknya cukup melepas seiris beban.

dan kamu mencoba tertawa, ha ha! ha ha ha!
dan mereka memandangmu; tidak wajar.

 

kamu dianggap:
(a) aneh, (b) melankolis, (c) manja, (d) high maintenance.
(e) semua atau kombinasi mana saja

 

omong kosong, pikirmu. tapi kamu juga tahu:
siapa suruh kamu ngomong hal-hal nggak perlu? siapa suruh kamu kelepasan omong nggak berguna begitu?

karena kamu bodoh.

sekarang dengar ini. dengar, karena kamu bodoh dan bebal dan entah kenapa masih saja berharap tidak disalahpahami.

karena kamu bodoh.

dan untuk semuanya itu; masalah kamu sendiri, tantangan kamu sendiri, selesaikan sendiri dengan cara kamu sendiri.

 

jangan. berharap. akan. dibantu.

… karena kamu laki-laki. harus bisa semua sendiri.

 

bangun, bocah!

trust issues

“…dulu juga seperti itu. nggak ada bedanya.” aku menjawab asal. “cuma agak lebih terbiasa sekarang.”

aku tidak mau memandangnya. aku tidak mau menemui siapa-siapa. tapi beberapa hal —beberapa sesuatu— memang tidak pernah, tidak akan pernah bisa dihindari.

kurasakan tekanan darahku merayap pelan-pelan naik ke titik didih.

“kamu goblok.”

aku merasakan pikiranku mendadak kosong. tadi… apa?

“kamu dikuasai amarah. dan itu bikin kamu lemah. dan bodoh!”

kalau tadi itu baru pelan-pelan naik ke titik didih, sekarang ini kurasa sudah meloncat jebol keluar batas.

“apa? APA?!”

aku berdiri dan menentang pandangannya, siap perang. dia masih berdiri, tidak selangkahpun berpindah dari tempatnya, memandangku balik.

“kukatakan lagi: kamu dikuasai amarah. itu bikin kamu lemah, bego!”

sebelum sadar aku sudah mencengkeram kerah bajunya, dia memasukkan sebelah lengan di antara kedua tanganku. dan sejurus kemudian —brak— aku sudah terhempas di tembok; lengan dan leher terkunci bahu dan tangan kanannya.

satu sesaat kemudian kurasakan kunciannya lepas, kemudian satu pukulan setengah tenaga tepat ke dada; tidak sakit, tapi memang bukan untuk itu. cukup itu sudah untuk menghilangkan semua sisa keinginanku untuk melanjutkan.

kakiku lemas. aku menjatuhkan diri terduduk di sisi tembok.

 

“ada bedanya. itu semuanya beda. kamu saja yang bego.” aku mendengar umpatannya. “tapi kalau kamu nggak mau membuka mata, nggak akan ada yang kelihatan.”

dia masih berdiri sementara aku terduduk di sisi tembok. kepalaku kosong. kurasakan ada kata-kata yang tak mau keluar dari mulutku; pahit, berat, sepat; seperti tar yang ada di sisi perbaikan jalan atau arang dan abu sisa bakaran di perapian. ada sesuatu, yang keras dan berat mencoba untuk mengalir keluar menjadi kata-kata… kalau, tapi tidak, aku tidak ingin mengatakannya. tidak mau!

entah apakah dia memandang atau memperhatikan kata-kata yang tidak bisa —tidak mau— kukeluarkan dari mulutku. tapi kemudian dia berjongkok dan memandang mataku, kini sejajar;

“kalau kamu dikuasai amarah seperti itu, kamu nggak akan bisa jadi kuat. kamu nggak akan bisa melihat hal-hal yang seharusnya bisa kamu lihat. kamu akan menyakiti orang-orang yang nggak pantas untuk itu.”

aku menunduk, merasakan bahuku berguncang, kehilangan kata-kata untuk bisa menjawab balik. tapi untuk apa, pikirku. aku membuang pandang ke lantai yang kini terasa dingin.

“dari dulu seperti itu, kan. kamu selalu punya isu soal itu. amarah, ya, ketidakpercayaan, ya.”

sunyi. kata-kata yang lain kini mengetuk-ngetuk pelan menunggu untuk bisa kukeluarkan dalam suara. aku mendeham, terbatuk, berkata susah payah.

“. . . pernah terpikir mungkin —cuma mungkin— aku punya alasan bagus soal itu?”

dia hanya memandangku dan tersenyum sabar.

“aku tahu kamu tahu kamu ngomong sama siapa.”

aku tersenyum hambar. pada saat-saat seperti ini hidupku kadang terasa aneh benar; saat-saat seperti ini berbagai hal campur aduk, baik atau buruknya, enak atau tidak enaknya, dan rasa-rasanya aku malah ingin tertawa. mungkin kering, entahlah, dengan atau tanpa sedikit seka di ujung-ujung mata.

aku memejamkan mata. membiarkan hal-hal meresap. pelajaran dan pengalaman, sakit dan tidak enak. membiarkan diri menghilang sejenak, dua jenak…

 

entah berapa lama ketika aku membuka mata dan masih mendengar suara yang akrab berada di sana.

“pada saatnya nanti kamu akan jadi kuat. cerdas. dan kaya. kalaupun bukan sekarang, pada saatnya akan.” dia berhenti sejenak. lalu; “lagipula mungkin dia juga makan hati melihat kamu seperti ini, bego.”

aku mencoba tertawa. masih jauh, pikirku. tapi terima kasih. sekarang ini biarkan aku tertawa dulu. entah kering atau tidaknya. tapi setidaknya…

aku mengangkat tangan kanan, membentuk kepalan, menaikkannya lurus setinggi bahu ke arahnya. dia tampak paham, walaupun dengan geleng-geleng dan sedikit umpatan ‘dasar bocah’ yang bisa kudengar tapi toh tidak kupedulikan.

aku tersenyum sebisaku. dia nyengir. dan kepalan kami bersambut; akan ada saat berikutnya kami ketemu lagi.

21 April

ah, kamu sih nggak usah masak. itu aku juga bisa. kamu pergilah sana, kejar karir dan taklukkan dunia.

… tapi cuci piringnya nanti gantian, ya.

 

p.s.: eh, selamat hari Kartini?

cerita kemarin

— beberapa bulan sudah berlalu, cukup banyak hal sudah berubah. [→]

 

pagi hari yang sedikit kurang tidur kurasa bukanlah waktu yang tepat untuk berada dalam rapat yang kurasa tidak tepat guna benar. baiklah pada dasarnya aku tidak perlu menuliskannya detail benar, tapi cukup kurasa kalau kukatakan bahwa pada akhirnya, pembicaraan beralih kepada tugas yang sedang dilakukan departemen di tempatku.

“saya mau kamu ketemu saya sore ini.”

demikian kata seorang direksi yang hadir dalam pertemuan; direksi utama yang, kalau bisa dibilang seperti itu, lebih dari cukup terkenal dengan sikap keras dan tanpa ampunnya di seluruh penjuru perusahaan induk berikut anak-anaknya. beliau sendiri tergolong senior; kira-kira limapuluh-sekian tahun, secara hirarki di tempat kerja posisinya berada dua-tiga tingkat dari tempatku sekarang.

aku meletakkan pena di atas buku catatan elektronik, menganggukkan kepala, berkata singkat.

“siap pak.”

rapat dibubarkan, agenda dan rencana kerja untuk tim yang bersesuaian sudah diselesaikan.

 

sore harinya, aku sudah berada di ruang rapat direksi. tempat dengan banyak kenangan dengan banyak orang di sini. setidaknya buatku, kalau mau disebut dengan agak sedikit dramatis sih.

“secara singkat, release plan[1] kita seperti ini,” kataku mengawali pembicaraan. “ini data yang diminta, untuk tahap pertama kita akan memprioritaskan untuk rilis perangkat lunak . . . pada dasarnya proses yang paling banyak digunakan di sini akan kita prioritaskan.”

“coba daftar yang saya minta tadi pagi. saya mau lihat daftar seluruh proses kita yang sudah diotomatisasi.”

aku menampilkan daftar seluruh proses yang dimintanya dan saat ini sudah berjalan di seluruh perusahaan, menjelaskan sekilas bahwa prioritas saat ini hanya pada bagian-bagian tertentu dari daftar. dia mulai berbicara dan menunjuk-nunjuk beberapa poin di layar.

“nggak, nggak. saya mau kamu fokus dulu ke yang gampang-gampang. yang sudah ada seperti yang di sini…” dia menyebutkan beberapa poin di layar, “…supaya kamu dan tim kamu juga mudah. kalau sukses, dan stabil, nama kamu juga yang bagus.”

“saya dan teman-teman, pak.” aku mengoreksi sambil lalu. “lagipula untuk batch pertama ini juga sudah siap untuk rilis. saat ini sedang kita persiapkan untuk QA[2]…”

“kamu, ikuti cara saya.”

hening.

“saya tahu kamu nggak mau dengar saya. kalau seperti itu, mending saya keluar dari sini, meeting ini selesai!”

demikian katanya. kalau ada orang lain yang memperhatikan kami mungkin akan sudah dianggap cukup keras, walaupun entah, aku sendiri malah tidak terlalu kepikiran soal itu.

atau mungkin cuma aku yang ndableg[3], tapi kalaupun benar seperti itu juga aku tak terlalu ambil pusing.

kami saling pandang. mungkin satu atau dua detik. aku sendiri tidak merasa takut atau marah atau apa —kalaupun ada mungkin sedikit bertanya-tanya— tapi tidak lebih.

… eh. tunggu. ini nggak salah. maksudku, ini ruang rapat direksi, beliau adalah direksi utama, dan dengan semuanya itu seharusnya dia punya hak untuk menyuruhku keluar dari ruangan.

tapi kok ini terbalik?

 

aku tak ingat apa aku terlihat terkesima atau sejenisnya, tapi kurasa masih ada sesaat kemudian aku mendengar suaranya sedikit melembut.

“saya paham kamu ingin selalu membuat sesuatu yang high impact. kamu cari yang paling banyak berdampak ke orang, kamu kerjakan, kamu sempurnakan. dari dulu seperti itu.”

aku memutuskan untuk menunggu.

“saya tahu buat kamu hal yang kecil-kecil seperti ini nggak menantang. kamu orang teknik, kamu senang tantangan. yang hasilnya besar. dari dulu, sudut pandang kita selalu beda.”

aku tidak ingat apakah aku terlihat setengah tertegun atau takjub atau sejenisnya.

“saya mau kamu mulai dari hal-hal kecil dulu. yang mudah. kamu boleh bermimpi besar, berdampak besar, tapi mulailah dengan yang sederhana dan mudah dulu. nanti kalau kamu sudah siap, proses yang berat sekalipun kamu juga gampang.”

bukan seperti itu, pikirku. aku ingat aku ingin mengatakan bahwa kami —aku dan teman-teman di tempatku— sudah lebih dari cukup memiliki kemampuan untuk menangani komplikasi dan kerumitan yang dikuatirkannya. bahwa sebenarnya tidak banyak yang perlu dikuatirkan, bahwa aku percaya tim kami lebih dari cukup tangguh untuk itu.

tapi meskipun demikian… pada saat itu, pada akhirnya aku juga semacam paham;

“siap, pak. bisa dimengerti.”

demikian kataku pada akhirnya. setelah itu kami membicarakan detail-detail dari arahannya.

 

sudah petang ketika akhirnya aku kembali berada di meja. aku tak bisa mengatakan bahwa aku tidak kecewa —kenyataannya, ini juga bukan hal yang mudah diterima buatku— tapi aku juga paham bahwa apa yang beliau sarankan bukan sama sekali tidak ada benarnya. pun ini juga sesuatu yang kuterima dengan sadar, jadi aku juga bukannya marah atau sebal atau sejenisnya.

setidaknya, kami berpisah dengan sedikit lebih bisa memahami keinginan satu sama lain.

aku membuka layar; sedikit menguap, mempersiapkan kiriman singkat pada aplikasi surat elektronik di komputer, kemudian mengetikkan beberapa hal untuk rekan-rekan di tempatku terkait hasil diskusi barusan.

“. . . anyway there is some team news, besok pagi kita diskusi dulu sebentar, ya. thanks.”

mendorong kursi sedikit menjauh dari meja, aku menarik nafas dan melepaskan pandangan dari layar. papan tulis dan kertas tempel warna-warni menyapa dalam diam dari sisi meja, setelahnya kurasa aku akan perlu membuat catatan-catatan baru untuk dipasang di sana.

kurasa setelah ini aku akan mengirimkan pesan pendek ke seseorang. [→]

 

___

[1] rencana rilis perangkat lunak, meliputi proses dan jadwal ujicoba dan serta pengumuman terkait
[2] Quality Assurance; proses penjaminan mutu perangkat lunak
[3] dari bahasa Jawa: artinya kira-kira semacam kombinasi dari sikap bebal dan cuek serta cenderung semaunya sendiri

tentang melankoli yang dibenci sabtu pagi

aku berangkat setelah shalat subuh tadi. kepalaku terasa berat, mungkin karena kurang tidur atau hal-hal lain. sepuluh menit jalan kaki aku sudah memasuki halte, dan kalau berangkat seperti ini kita tidak perlu menunggu lama untuk mendapatkan bus.

perjalanan panjang sendiri di pagi hari seringnya adalah tempat diri sendiri mengajak konfrontasi. hal-hal yang lewat, keinginan-keinginan, tujuan-tujuan dalam perjalanan yang lebih panjangnya.

hidup. perjalanan panjang.

bus berlalu dengan cepat di masing-masing halte, sesekali petugas menyebutkan transit dan arahan-arahan. tak beda, pikirku. sama hidup; semua sama pilihan-pilihan.

di tempat hati tak pergi, kita semua punya pilihan menanti. masing-masing dengan konsekuensi.

sekarang ini aku mulai terdengar semacam melankolis. menyebalkan. aku ingat dulu aku sempat benci setengah mati dianggap seperti ini. mungkin memang tidak salah juga. mungkin baiknya memang laki-laki tidak berteman baik dengan melankoli.

ah, kampret.

aku merasakan mataku panas. ini kenapa sih, bodoh banget.

“apa yang kamu inginkan, bocah?”

sebuah pertanyaan sederhana dari sisi bagian lain diriku.

“me, I want everything back. and more.”

jawaban jujur yang kukeluarkan dengan susah payah.

aku memandang ke luar jendela bus. tentang keinginan-keinginan, entah teraih atau tidaknya, entah muskil atau tidaknya.

tapi aku ingin, dan cukup itu sudah.

mungkin benar bahwa baiknya laki-laki memang tidak hidup dengan melankoli. kalau jatuh berdiri lagi, bersikap semua biasa sekali lagi, sambil sesekali mengebaskan luka entah di hati atau barangkali buku jari.

aku tahu itu.

walaupun, kampret, karena sungguh tidak semudah itu kadang-kadang.

deja vu

/ 14:00 (FRI)

“intinya sih, dia tidak senang. dan cukup keras, kalau bukan keras banget.”

demikian seorang manager departemen tetangga mengatakannya kepadaku —seorang laki-laki muda, usianya tiga-empat tahun di atasku dan sudah berkeluarga— pada siang hari di lantai sekian-puluh dari salah satu gedung tinggi di daerah sibuk perkantoran tengah kota.

pada saat itu aku kira-kira sudah mendapatkan gambarannya: seorang direksi pada manajemen puncak perusahaan menyatakan ketidaksenangannya secara blak-blakan dalam sebuah rapat yang tidak kuketahui keberadaan waktu dan tempatnya. secara singkat pada dasarnya sebagai berikut: ada keputusan-keputusan yang kuambil, ada keinginan-keinginan yang beliau harapkan, dan perbedaan antara keduanya pada akhirnya menghasilkan ketidakpuasan yang diungkapkan secara keras dan tidak ditahan-tahan.

masalah kecilnya, yah, cuma bahwa ada nama, keputusan, dan tindakanku disebut-sebut berada di pusat ketidaksenangan beliau yang disampaikan secara terang-terangan pada salah satu sesi forum direksi dan manajemen di perusahaan.

aku mengedikkan bahu. “terus dia bilang apa?”

“dia marah-marah. konteksnya waktu itu kami sedang membicarakan inisiatif-inisiatif buat dilakukan masing-masing departemen. dia tanya tempatku. aku bilang, sudah diskusi sama kamu dan akan ada proyek …” dia menyebutkan tentang inisiatif yang pernah kami diskusikan beberapa waktu lalu. ” … dan kemudian dia meledak. sampai sebut-sebut namamu segala, sampai dia bilang sudah tidak ada gunanya juga ngomong ke kamu atau ke atasanmu juga.”

“wow.”

“waktu itu aku pikir, gila, ini sudah keras sekali. kupikir-pikir, ini sudah ad hoc dari beliau. makanya aku ngomong sekarang ini. lebih baik kamu coba pikirkan deh.”

aku menarik nafas, dua-tiga detik, mempertimbangkan apa-apa yang sebaiknya kukatakan dan apa-apa yang mungkin baiknya tidak kukatakan.

“begini,” aku memulai pada akhirnya. “bahwa ada ketidakpuasan dari beliau, itu sesuatu yang aku paham. tapi selama ini, kita —aku dan teman-teman di tempatku— selalu bertindak berdasarkan keputusan yang sifatnya value-based. berdasarkan nilai. dan jujur saja, menurutku memang hal yang beliau minta value-nya rendah. with due respect [1], ya, banyak hal-hal lain yang lebih strategis daripada proyek seperti itu.”

dia tampak menungguku melanjutkan.

“misalnya inisiatif yang baru selesai kemarin, value-nya signifikan.” aku melanjutkan. “dari sisi control and compliance, setidaknya kalian sekarang punya data yang valid buat perbandingan silang lintas departemen. bandingkan sendiri dengan, misalnya, memang karyawan di sini berapa kali ganti mobil sih sampai perlu otomatisasi permintaan kartu parkir?”

hening sejenak. aku melempar pandangan sekilas ke meja di sudut yang sekarang ini kosong. rasanya seperti deja vu, topik obrolan ini. sambil lalu kuperhatikan di antara selasar dan kubikel tampak beberapa orang berlalu-lalang.

bedanya cuma waktu itu… ah, sudahlah.

.

tidak terlalu lama sampai aku mendengar suara seseorang mengembalikan pikiranku dari pengembaraannya.

“omonganmu nggak salah,” dia menukas. “tapi kadang, kamu juga perlu memikirkan banyak hal. siapa yang ngomong, soal ego, hal lain-lain juga. intinya aku mengerti sih. aku setuju. tapi pikirkanlah. sementara kupikir, rencana kita baiknya tidak dilanjutkan dulu.”

aku tahu, aku juga bukan tak sependapat. aku mengangguk pelan, menyatakan persetujuan singkat, dan kukatakan bahwa aku mempertimbangkan saran-sarannya.

“anyway. thanks for telling me.” [2]

“sip,” aku mendengar jawabannya. “good luck, ya.” [3]

aku melemparkan pandangan ke meja di sudut yang kosong untuk terakhir kali, kemudian berjalan pergi.

.

/ 19:10 (FRI)

“tuh, kan. aku tahu suatu saat beliau akan ngomong seperti itu.”

barusan itu bukan kata-katanya, tentu saja, tapi kurasa aku bisa membayangkan seorang gadis akan mengatakan seperti demikian. seperti yang lalu-lalu, seperti yang sudah-sudah.

saat itu sudah malam, lewat pukul tujuh, dan aku sedang makan malam sendirian di sebuah restoran bento cepat saji yang kupilih sekenanya searah jalan pulang sebelum halte bus.

deja vu.

mengingat-ingat diskusi siang tadi rasanya aneh. aku ingat pernah membicarakan hal serupa dengan seseorang lain, dulu. seseorang yang, kurasa, kalau aku menemuinya saat ini, akan mengatakan hal serupa yang kusebutkan barusan di atas.

“dia bilang, suruh aku coba ngomong sama kamu. mungkin kalau aku yang ngomong kamu akan lebih mendengarkan, katanya.”

aku kembali teringat kata-katanya dulu. topik serupa tentang hal yang sama. tentang kemungkinan-kemungkinan yang sama. dan dengan semuanya itu, pada akhirnya kurasa hal-hal pada siang tadi bukan hal yang sepenuhnya mengejutkan benar.

walaupun tetap saja bukan sesuatu yang sepenuhnya terduga buatku.

aku menyeruput kuah bening berisi gulungan bakso udang dan membiarkan pikiranku berkelana. seorang gadis, seusia denganku. seorang partner. mungkin terbaik yang pernah kutemui. promosi dan transfernya sudah disetujui dan dilengkapi beberapa pekan lalu, dan efektif per bulan ini dia akan menangani departemen baru.

kami dulu sempat dekat. kira-kira bisa dibilang seperti itu.

.

sisa makan malam kuhabiskan dengan perkiraan kasar rencana-rencana untuk dijalankan dan kemungkinan-kemungkinan yang bisa jadi tak terduga dari keadaan-keadaan pada saat ini. kira-kiranya aku sudah tahu apa yang akan kulakukan dan bagaimana harus melakukannya, walaupun detailnya kurasa masih akan perlu dirapikan lagi setelahnya.

“an angel. this is for you. and good luck!” [4]

sekilas kata-kata yang familiar, dulu, dan aku kembali teringat dia dan apa yang dikatakannya sekali waktu jauh sebelumnya. waktu itu kami masih sama-sama baru mulai. saat itu dia mencoret-coret gambar malaikat kecil di kertas dan memberikannya kepadaku.

kemudian aku tersadar bahwa kurasa aku melamun lagi. aku menghabiskan teh dan beranjak pergi.

.

/ 0:17 (SAT)

lewat tengah malam. aku sudah berada di kamar. garis besar rencana eksekusi sudah kuselesaikan, hal-hal yang kuperlukan sudah aman pada sore hari kerja sebelum pulang, dan setelah makan malam tadi sisanya akan kuteruskan pada Senin pagi.

aku menyandarkan kepala ke bantal. gelap. lampu sudah kumatikan sejak beberapa belas menit lalu.

aku tak bilang hal-hal seperti semuanya ini bukan sesuatu yang seharusnya sulit atau tidak perlu membuat tertekan—maksudku, semua hal yang ada dari awal tadi itu memang sesuatu yang pantas jadi bahan pikiran— tapi entah kenapa aku tidak merasa sepenuhnya kuatir atau bermasalah benar. setidaknya untuk sekarang ini. entah kalau dulu, kurasa bisa jadi aku akan sudah panik dan susah tidur selama setidaknya beberapa hari.

tapi anehnya, bukan itu yang kupikirkan. yang kupikirkan adalah bahwa dengan segala tekanan dan resiko dan kemungkinan buruk dan semuanya yang mungkin terjadi, aku malah menyalakan aplikasi pesan singkat di ponsel, menelusuri daftar kontak, dan ketika tersadar aku sedang memperhatikan sebuah nama dengan sejarah kiriman pesan yang kini kosong.

kupikir-pikir lagi, entahlah.

aku memandangi layar. kemudian memejamkan mata. rasanya berat. di satu sisi ada sisa-sisa amarah, kekecewaan, ketidakpercayaan, sementara entah bagaimanapun itu, kurasa untukku akan selalu ada relung kecil untuk hal-hal yang tidak bisa kupahami benar; seperti saat ini, ketika dengan segala beban dan tekanan dan kemungkinan, ada sesuatu entah apa mengantarkan ke menu pesan pendek dan papan sentuh yang menunggu diketikkan, dan aku hanya diam memandangi layar dari sisi tempat tidur.

aku menekan tombol ‘cancel’ beberapa kali. setelahnya aku menutup ponsel dan beranjak tidur.


[1] “dengan hormat”
[2] “terima kasih sudah memberi tahu”
[3] “semoga sukses”
[4] “ini malaikat. buat kamu. semoga berhasil!”

tentang kehilangan

“sudah tahu nggak bisa, kenapa masih diterusin?”

kamu; seorang pemuda, duapuluh-sekian,
dia; seorang gadis kira-kira seusia denganmu.

.

kehilangan itu, kadang terasa sebagai paradoks yang aneh. seperti sesuatu yang baru kamu rasakan karena ada yang alpa, yang tak terasa; seperti gula yang ketinggalan pada teh seduhan di sisi meja, atau kunci kamar kos yang ketinggalan di tempat kerja.

seperti ketika kamu membaca Harvard Business Review, menemukan tulisan yang menarik dan kemudian kamu ingin membicarakannya, kadang lama…

kemudian kamu teringat: iya, ya. sudah tidak bisa.

seperti ketika kamu beranjak ke dispenser, dan tiba-tiba kamu memperhatikan mug besar Starbucks yang dia berikan sekali waktu ulangtahunmu dulu.

kemudian kamu teringat: iya, ya. sudah tidak bisa.

seperti ketika kamu lewat di BreadTalk, memilih-milih roti untuk makan siang dan kalau lebih bisa buat sore hari. tanpa sadar kamu mengambil tuna cheese puff kesukaannya dulu.

kemudian kamu teringat: iya, ya. sudah tidak bisa.

seperti ketika kamu lewat dekat tempatnya dulu. satu-dua rekan menyapa dan mengatakan, ‘kamu sabar, ya…’  kata-kata yang sekilas kamu tak paham, tak bisa paham.

kemudian kamu teringat: iya, ya…

.

maksudku begini. kehilangan itu bukan selalunya sesuatu yang selesai pada sebuah eulogi, atau berakhir pada suatu titik, dan setelahnya berhenti.

bahwa kadang, mungkin lama setelahnya, dalam pekan-pekan dan bulan, dalam lembar-lembar Harvard Business Review atau pada antrian halte Transjakarta, kamu akan kembali menemui kehilangan itu menyapa; sekali, dua kali, tiga kali…

tapi di sana, ada sesuatu yang final. sesuatu yang sudah.

dengan atau tanpa kekecewaan atau amarah atau apapun yang lain yang menyertainya.

.

“tapi kita baik-baik, kan?”

“…”

kamu ingat kamu tidak menjawab. kamu tidak ingin menjawab. dengan semua amarahmu, semua kekecewaanmu, semua ketidakpercayaanmu.

sementara di sisi sebagian dirimu aku tahu;
karena kamu, sungguh benar-benar benci dianggap penuh melankoli.