dibayar dengan idealisme

ada omong-omongan yang tertinggal di ingatan dengan beberapa rekan mahasiswa yang kebetulan cukup aktif di kegiatan kemahasiswaan di kampus. cukup menarik, dan ada poin yang cukup membuat gw ‘memikirkannya sambil iseng-iseng’.

jadi begini. seperti yang lazimnya terjadi, kegiatan kemahasiswaan (entah melaksanakan suatu event, mengadakan kegiatan, dan sebagainya) dilakukan dengan prinsip ‘dibayar dengan idealisme’. alias, kalau tidak ada idealisme, gerakan tersebut akan mati alias tidak jalan. tentu saja, membedakannya dengan tugas kuliah, aktivitas kemahasiswaan tidak memiliki ‘form penilaian’ atau dimasukkan ke transkrip nilai.

jadi? yah, hal-hal seperti inilah yang kadang mengakibatkan terjadinya ‘konflik kepentingan’ antara keadaan kuliah (misalnya quiz atau tugas) dan kegiatan kemahasiswaan.

dan biasanya sih, orang-orang yang disebut sebagai ‘aktivis mahasiswa’ akan mengatakan: ‘jangan mau menjadi mahasiswa yang biasa-biasa saja’. alias, bisa juga diterjemahkan: ‘jangan melulu berkonsentrasi ke kuliah dan tugas-tugas akademik’.

…tapi, memangnya idealisme bisa dimakan?

memang, di manapun di seluruh dunia, yang namanya kegiatan non-akademik dan kegiatan akademik, pasti ada saat-saat di mana keduanya menjadi ‘harus dipilih salah satu, dan yang lain dikorbankan sementara’. misalnya, kalau ada acara yang ‘kepentingannya tidak terlalu besar’ (misalnya rapat rutin departemen, atau acara team-building dari organisasi mahasiswa) dan di saat yang sama ada deadline tugas kuliah, hampir bisa dipastikan bahwa sebagian peserta lebih mengutamakan deadline tugas daripada acara team building, misalnya.

dan itu hal yang wajar. masalah kecil di sini: apa keuntungan kegiatan kemahasiswaan, dibandingkan mengerjakan tugas kuliah yang deadline hari ini, misalnya? jelas tidak ada, kecuali idealisme dan mungkin semangat untuk melakukan sesuatu yang berguna dan mengemban amanah yang ada. kenyataannya, kegiatan mahasiswa tidak punya posisi tawar yang cukup tinggi di sini dibandingkan tugas kuliah. dan oleh karena itu, beberapa (banyak?) rekan mahasiswa mungkin ‘izin atau tidak bisa hadir’ karena mengerjakan tugas kuliah.

sebentar. beberapa rekan mahasiswa yang aktivis mungkin akan agak ‘meradang’ di sini. sabar dulu.

masalahnya, bukan berarti orang-orang (yang izin tidak hadir karena mengejar tugas kuliah atau menjelang ujian) tersebut tidak bisa diandalkan. beberapa dari mereka sangat bisa diandalkan, dan beberapa yang lain memiliki kualitas yang cukup baik dalam bekerja di organisasi kemahasiswaan – dalam keadaan normal. dan kalau beberapa rekan yang cukup aktif sampai mem-vonis mereka sebagai ‘tidak peduli terhadap kegiatan kemahasiswaan’, maka kemungkinan terburuknya adalah organisasi kemahasiswaan tersebut kehilangan resource yang berharga.

…kenapa? sebab dalam banyak kasus, mereka hanya ‘memilih untuk mengutamakan hal lain’ sementara dalam keadaan normal, mereka sangat bisa diandalkan.

dan kegiatan kemahasiswaan nyaris tidak punya posisi tawar di sini untuk memenangkan pilihan SDM-nya yang mungkin sangat berharga tersebut. coba kita pikirkan. kalau anda mengerjakan tugas kuliah dengan baik, kemungkinan anda akan mendapatkan full mark, dan bisa menyumbang sampai 5% atau 7.5% dari nilai akhir anda. dan ini batas yang signifikan: dengan beda tersebut, anda bisa saja mendapatkan A- bukannya A, atau B+ bukannya A- untuk suatu mata kuliah.

sebaliknya, kalau anda mengerjakan kegiatan kemahasiswaan dengan baik, anda kemungkinan akan memperoleh penghargaan dari rekan-rekan mahasiswa yang lain, sekaligus mungkin pembuktian diri bagi anda sendiri. dan idealisme anda, tentunya. tapi selain itu, tidak ada. dan ini menjelaskan kenapa sebagian mahasiswa memilih untuk mengejar kegiatan akademik daripada kegiatan kemahasiswaan non-akademik. iyalah, kegiatan non-akademik kan tidak akan masuk ke transkrip nilai.

dan dalam banyak kasus, justru inilah yang terjadi: orang-orang yang berkualitas terpaksa di-‘anggap remeh’ rekan-rekan mahasiswa yang lain karena sedikit lebih mengutamakan kuliah pada suatu saat. sesungguhnya, kalau hal seperti ini terus terjadi, silakan menunggu SDM-SDM berkualitas tersebut satu-per-satu menghilang dari organisasi kemahasiswaan.

setidaknya, apa salahnya mencoba mengerti kebutuhan rekan-rekan yang lain untuk mengutamakan kuliahnya? lagipula dari organisasi kemahasiswaan pun tidak bisa memberikan sesuatu yang ‘layak diterima’, kecuali mungkin idealisme dan kebanggaan diri karena menyelesaikan tanggungjawab – yang terakhir inipun mungkin sebenarnya bukan benar-benar ingin ditinggalkan oleh rekan-rekan tersebut, hanya saja agak kurang diprioritaskan pada waktu tertentu.

tentu saja, gw juga pernah mengalami saat-saat seperti itu. saat-saat di mana gw harus memilih antara coding mengerjakan tugas yang menjelang deadline atau pergi rapat senat mahasiswa. bagusnya sih dua-duanya berhasil terselesaikan dengan baik… dan gw cukup puas dengan hasilnya. tapi kalau mau jujur, sebenarnya gw memang memprioritaskan mengejar nilai akademik. iyalah, gw ke sini kan untuk kuliah.

tapi kedua hal tersebut adalah hal yang berbeda. ketika gw sudah mengatakan ‘ya’, maka gw akan (berusaha sekuat tenaga) melakukan sesuatu. kalau tidak, ya tidak. jadi (kalau gw sih), kalau gw merasa akan keberatan dan sulit melaksanakan, gw tidak akan menerima suatu pekerjaan… dan dengan demikian, masalah-pun terhindari. yah, tapi itu kalau gw, sih.

tapi kita tidak bisa memukul rata seperti itu untuk semua orang, kan? orang yang berbeda memiliki pemikiran yang berbeda, dan menghasilkan keputusan dan tindakan yang mungkin berbeda pula. dan kita tidak akan pernah benar-benar bisa memahami pemikiran orang lain.

jadi, apa salahnya dibayar dengan idealisme? tidak ada. tapi mungkin harus ada sedikit tenggang rasa ketika ada rekan-rekan yang mengejar nilai akademik dibandingkan kegiatan kemahasiswaan pada saat-saat tertentu. setidaknya, bukan berarti rekan-rekan tersebut benar-benar tidak peduli dengan kegiatan kemahasiswaan, kok. mungkin cuma saatnya saja yang tidak tepat, sehingga seperti itulah yang terlihat.

setiap orang berbeda, dan semua memiliki pertimbangan masing-masing. tapi setidaknya, kalau kita memiliki tujuan yang sama, alasan tersebut seharusnya cukup kuat untuk bekerjasama dengan orang lain.

___

masih berusaha belajar memandang dunia. dan sedang mencoba memahami bahwa dunia adalah sebuah kaleidoskop dengan sudut pandang tak berhingga.