revolusi

pada suatu titik, saya bertanya-tanya adakah revolusi adalah barang dagangan belaka. dibeli oleh rakyat yang mungkin sedikit bingung dan kurang-terpelajar, menjadi landasan bagi penguasa politik dan modal-modal. dan pada satu titik pula, idealisme pun mungkin mulai kehilangan makna; suara satu orang mungkin menjadi bakal revolusi, sementara suara jutaan rakyat adalah komoditi.

mungkin, seperti dilagukan dalam ode perjuangan mahasiswa yang turun ke jalan, berharap bisa mewakili mereka yang disebut sebagai ‘rakyat yang tertindas’; nyanyian lama, tak lekang diusung waktu, dengan bahan bakar idealisme yang diharuskan untuk tidak bisa mati.

kepada para mahasiswa
yang merindukan kejayaan
kepada rakyat yang kebingungan
di persimpangan jalan

wahai kalian yang rindu kemenangan
wahai kalian yang turun ke jalan
demi mempersembahkan jiwa dan raga
untuk negeri tercinta…

tapi toh kita tahu, bahwa di saat yang sama ‘rakyat yang kebingungan’ adalah juga ‘rakyat yang dimanfaatkan’; dimanfaatkan entah untuk pelanggeng kekuasaan para elite, atau entah alasan untuk ‘turun ke jalan’ bagi idealisme. dan kemudian mahasiswa menjadi seolah hero bagi para tertindas; citra yang toh tak sempurna, tapi diharapkan: seolah dengki dan angkara murka yang ‘bukan kita’ harus diperangi — kalau perlu, dengan huru-hara dan kerusuhan serta mungkin korban seperlunya.

toh kita juga mafhum bahwa revolusi zaman selalu meminta korban: entah pada suatu hari di pelataran penjara Bastille pada 1789, atau hilangnya nyawa ratusan ‘komunis’ di Indonesia pada 1966. dan kita juga mafhum bahwa hal tersebut adalah ‘ongkos idealisme’ untuk harapan menuju utopia; atau mungkin sekadar ‘menumbangkan kebatilan’ dan untuk ‘datangnya kemenangan atas nama kebenaran’.

tapi mungkin utopia itu tak pernah ada, dan idealisme hanya tersia-sia. dengan idealisme, demikian ‘kebatilan’ didekonstruksi, dan ‘kebenaran’ ditegakkan. dan dengan demikian kebenaran sudah tegak, dan akan datang masa di mana akan terbentuk masyarakat yang gemah ripah loh jinawi, adil makmur dan sentosa.

saya bertanya-tanya, apa benar demikian.

suara rakyat menjadi komoditi atas nama suara Tuhan, dan dengan demikian revolusi pun dikumandangkan. dan sejarah mencatat bahwa revolusi tak selalu sempurna; ‘idealisme’ tidak selalu ideal, dan utopia tidak pernah datang. hari itu di Bastille, mungkin tirani dilantakkan dan para penguasa bengis kemudian dihabisi di bawah guillotine. tapi kita juga tahu bahwa Napoleon yang akhirnya menjadi anti-hero berakhir tragis di pengasingan, dan dengan demikian harapan terasa banal: ‘kebenaran’ menjadi nisbi, dan akhirnya berubah dan terdekonstruksi sebagai ‘kebatilan’ baru.

saya bertanya-tanya, apa gerangan yang terjadi pada 1966 di Jakarta: mungkin revolusi diteriakkan di atas amanat penderitaan rakyat, dan Tritura dituntutkan dalam situasi yang serba gamang dan mencekam.

dan nyawa seorang mahasiswa melayang, berikut nyawa entah ribuan orang berikutnya yang dianggap sebagai ‘komunis’ di Indonesia. toh banyak dari kita lebih suka mengingat hanya satu nyawa yang terpisah karena ditembak mati oleh tentara daripada entah berapa nyawa lagi yang terbuang demi nama revolusi. dan revolusi seolah terasa lengkap: ‘kebenaran’ telah diteriakkan, rubungan massa sudah dikerahkan, lengkap dengan martir yang gugur kemudian.

mungkin, dan tiba-tiba apa yang disebut sebagai ‘rakyat’ tiba-tiba terasa banal, dan tak jelas: rakyat bisa berarti entah sekumpulan ribu atau juta orang yang kelaparan, atau entah sebagai sebuah termin penyangga perjuangan yang diproklamirkan ‘demi rakyat Indonesia’. atau entah siapa-siapa yang mungkin ‘bukan komunis’ pada 1966, atau ‘bukan Cina’ pada 1998.

dan tidak banyak bedanya, mungkin. pada 1966 ‘revolusi’ diteriakkan, tapi toh kita sama-sama mafhum bahwa revolusi sama sekali tidak sempurna; ia hanya bagian dari pergerakan zaman, dengan bumbu idealisme dan suara ‘rakyat’ pada masanya. dan kita juga sama-sama mengetahui bahwa apa-apa yang dimulai pada 1966 ternyata tidak sempurna: mahasiswa-mahasiswa yang sempat turun ke jalan mungkin berada di parlemen yang buntung dan sakit gigi, atau duduk dan menjadi menteri yang turut membangun cacat pembangunan.

toh idealisme tidak padam, dan suara rakyat yang kebingungan masih menjadi primadona. dan kita sama-sama mengetahui bahwa sekali lagi ‘idealisme’ dan suara ‘rakyat’ dibawa atas nama revolusi yang kini bertajuk ‘reformasi’, dan sekali lagi ‘kebatilan’ ditumbangkan. dan kita optimis sekaligus harap-harap cemas akan masa depan bangsa dan negara di antara kegamangan yang membingungkan serta perubahan yang serba mendadak.

revolusi tak pernah sempurna; ia hanyalah produk dari masing-masing ambisi dan mungkin idealisme serta suara rakyat pada zamannya, dengan segala kenisbiannya. toh utopia tidak pernah datang, tapi revolusi tetap mempesona sekaligus berbahaya: diinginkan sekaligus tak diharapkan, mungkin di antara mimpi idealisme dan tetes darah serta nyawa para martir.

pada suatu titik, saya bertanya-tanya. mengenai suara rakyat, idealisme, dan revolusi yang terjadi — yang tak sempurna dan kadang berdarah-darah, yang kini semakin terasa banal dan tak jelas adanya.