filosofi penjaga gawang

dulu, sewaktu masih sering main sepakbola (atau futsal, atau apalah variannya yang lain), saya sempat cukup sering kebagian tugas sebagai penjaga gawang. sepertinya sih bukan karena saya jago atau sejenisnya (haha ^^”) tapi entahlah, pokoknya saya cukup sering menjalani peran yang satu ini kalau sedang masuk ke lapangan untuk main sepakbola.

vlcsnap26337kv1.jpg

bicara tentang penjaga gawang, tentu ingat Genzo Wakabayashi. SGGK yang super-sakti ini, konon katanya, gawangnya tidak bisa dibobol oleh Hercules atau bahkan Chuck Norris sekalipun. :mrgreen:

nah. sebagaimana lazimnya banyak hal lain dalam kehidupan ini, saya juga belajar bahwa menjadi penjaga gawang alias kiper juga ada filosofinya. tentu saja, kita harus bisa melihat makna yang lebih dalam dari segala sesuatu, bukan?

1. tidak perlu dikejar, tunggu saja…

untuk beberapa kasus, tidak selalu harus kita yang berusaha dalam mengejar sesuatu di dunia ini. kadang-kadang, kalau menggunakan filosofi seorang penjaga gawang, justru apa-apa yang tidak (perlu) dikejar akan datang sendiri kepada kita. saya dan seorang rekan pernah ‘berdebat’ soal ini.

“nggak perlu begitu,” kata saya. “tunggu saja, hal kayak begitu bakal datang sendiri, kok.”

“yud, perumpamaannya begini, nih. kalau main bola tuh ya, bolanya satu, yang ngejar dua puluh dua! kalau nggak ngejar, gak bakal dapet bolanya!” rekan saya menukas.

“gak masalah. bolanya bakal dateng sendiri, kok… karena gw kipernya.”

seorang penjaga gawang tidak perlu sampai berkorban semangat (apalagi sampai rela di-tackle oleh pemain lawan) untuk sekadar merebut bola. itu sih kerjaan rekan-rekan anda yang jadi DF, MF, atau FW! sudah, biarkan saja, itu urusan mereka. seorang penjaga gawang punya cara sendiri soal merebut bola.

tidak perlu susah payah merebutnya, akan ada saatnya ia datang ke hadapan anda: pada saat tersebut, anda hanya perlu melakukan hal yang tepat di tempat yang tepat pada saat yang tepat; dan tahu-tahu, jatuh deh ke pelukan anda…

…bolanya, maksudnya. :mrgreen:

2. sendirian, tidak, sendirian…

seorang penjaga gawang bisa berharap kepada rekan-rekannya, terutama di barisan DF. mereka seharusnya akan bahu-membahu dengan anda dalam menjaga gawang tim… kalau mereka tidak sedang keasyikan membantu serangan, sih. lho, Lothar Matthaeus yang dulu jadi libero di tim nasional Jerman saja sering sekali naik ke daerah pertahanan lawan, kok.

kadang-kadang, ada juga saat-saat di mana ada seorang striker lawan laknat yang mencoba dan berhasil melewati rekan-rekan DF anda. pada saat-saat paling kritis tersebut, anda sendirian. jangan berharap dibantu orang lain, sebab anda adalah orang terakhir yang diharapkan oleh tim!

pesan moralnya? anda mungkin memang tidak pernah benar-benar sendirian. ada rekan-rekan satu tim, atau mungkin teman-teman yang anda miliki. tapi dalam saat-saat paling kritis? anda sebenarnya sendirian, dan semua tergantung kepada keputusan anda.

tidak selalu sih, kadang-kadang ada juga rekan satu tim yang dengan tiba-tiba berada di belakang anda dan mencegah gawang anda kebobolan. sayangnya, hal ini jarang terjadi, dan orang-orang seperti ini biasanya langka… baik di atas lapangan sepakbola maupun dalam kehidupan nyata.

3. orang penting yang tidak populer

coba, ya, berapa banyaknya pemain terkenal yang menghiasi headline surat kabar setelah piala dunia atau liga champions? berapa banyaknya pemain yang dibicarakan oleh para penonton menjelang pertandingan? dan apa posisi mereka?

biasanya, FW. paling bagus, MF. kadang-kadang DF, tapi ini jarang. tapi, mana ada yang membicarakan GK alias penjaga gawang?

‘sedihnya’ lagi, walaupun (biasanya) menggunakan kostum dengan nomor ‘1’ di punggung, tetap saja seorang penjaga gawang cenderung susah sekali untuk jadi terkenal. bandingkan, misalnya, dengan ‘orang populer yang tidak penting’ semacamnya MF atau FW yang mabuk-mabukan dan punya pacar seorang model dan disorot media ke mana-mana.

tapi, begitu masuk ke starting line-up, seorang penjaga gawang biasanya tidak tergantikan… kecuali kalau cedera atau terkena kartu merah. kalau dihitung dari rata-rata waktu main, anda akan menemukan bahwa penjaga gawang adalah posisi dengan rata-rata waktu main yang paling panjang – jarang sekali ada yang menggantikan mereka di tengah pertandingan.

see, tidak selalu bahwa ‘terkenal’ berarti ‘penting’. anda tidak perlu terkenal kok untuk jadi orang penting. anda tidak perlu tampang ganteng atau jago membuat sensasi atau sejenisnya, untuk menjadi seseorang yang penting dan bisa diandalkan oleh seseorang di sisi anda… atau lebih banyak lagi orang, terserah anda.

4. kekerasan tidak menyelesaikan masalah

berani mencoba melanggar pemain lawan di kotak penalti? tim anda akan diganjar hukuman tembakan penalti. tambahan, anda mungkin akan dicela-cela oleh penonton untuk itu. berani mencoba melanggar pemain lawan di luar kotak penalti? anda akan langsung diganjar kartu merah untuk itu, tanpa kecuali.

yang manapun, tidak ada yang bagus untuk anda. kekerasan tidak pernah menyelesaikan masalah, baik di atas lapangan maupun di dunia nyata. di dunia ini, orang yang pertama kali mengeluarkan tinjunya adalah orang yang kalah, dalam hampir segala hal… yah, kecuali untuk pertandingan tinju, sih. 😉

tidak percaya? bisa dicoba, tapi sebaiknya jangan. anda sedang berdebat dengan atasan anda… atau dosen anda, misalnya. lalu anda naik darah, dan secara emosional tiba-tiba menggebrak meja seiring emosi yang memuncak. setelah itu, anda pergi dengan rasa sombong-yang-menyebalkan dari ruangannya…

…anda merasa menang? salah besar, anak muda. 😎

5. kalau kebobolan, ya sudah!

dan ini hal yang sangat penting. setelah berusaha sekuat tenaga-dan-pikiran-dan-teknik, mungkin saja bahwa ternyata anda masih saja dikerjai oleh striker lawan. dan gawang anda pun kebobolan.

pengalaman saya: lupakan saja. dan ternyata, demikian juga yang dikatakan oleh David Seaman. :mrgreen:

mau striker lawan anda goyang-goyang samba ala Kaka atau malah flamenco gaya Raul Gonzales sebelum membobol gawang anda, lupakan saja. tidak ada lagi yang bisa dilakukan soal itu, kan? jangan dipikirkan. sekalipun gol itu hasil blunder yang memalukan dari anda, jangan pikirkan sampai pertandingan selesai.

gampangnya begini. kalau mau hidup bahagia, jangan memikirkan sesuatu yang tidak menyenangkan DAN sudah lewat DAN tidak bisa diapa-apakan lagi. kalau sudah terjadi, ya sudah. mungkin salah teknik, atau salah keputusan, atau apalah-itu, tapi tidak banyak gunanya tenggelam dalam depresi soal itu.

contohnya? banyak. ujian jelek? ngapain dipikirin! sudah lewat, kok. ditolak cewek? ya, ya, boleh sedih, tapi jangan lama-lama. pasangan anda selingkuh? sudah, putusin aja! tapi jangan depresi lama-lama. hidup harus jalan terus. kalau di atas lapangan sepakbola, minimal sampai pertandingan berakhir.

karena, yah, untuk seorang penjaga gawang, itu berbahaya. sekali seorang penjaga gawang tidak bisa melepaskan kejadian akan sebuah gol, maka habislah tim tersebut. mau berapa gol lagi yang tercipta? pada saat itu, mungkin sudah sangat terlambat.

6. dunia tidak sempurna, mungkin anda dikerjai

ya, ini mungkin saja. mungkin saja anda sudah latihan dengan sebaik-baiknya, lalu percaya diri dengan kemampuan anda… dan tahu-tahu, seorang striker anak bawang bisa mengerjai anda dan mencetak sebuah gol yang cantik gak mutu ke gawang anda. menyebalkan, dan kadang terjadi.

mungkin juga tiba-tiba rekan-rekan DF anda tidak bertindak seperti perintah anda saat membuat pagar betis, dan sebagai akibatnya bola hasil tendangan bebas menerobos masuk dengan gampangnya ke gawang anda. mungkin juga kadang-kadang anda melihat FW lawan ‘mendadak jatuh dengan mulus’ dan tiba-tiba anda harus berhadapan dengan tendangan bebas atau malah penalti.

ya, ya. dunia tidak sempurna, mungkin anda dikerjai. bahkan di dunia nyata, setelah semua yang anda lakukan, anda masih saja bisa dikerjai oleh keadaan, kan?

oh-oh, sometimes you just got punk’d 😉

___

UPDATE:

ada tembusaaann… 😮

untuk orang-orang yang ikut serta dalam obrolan yang turut menginspirasi (wih, lagaknya 😛 )  ditulisnya post ini.

[1] masterofwind aka master yang komen di sini

[2] FamP aka Fabio Castellini yang komen di sini

learning to love?

“…but, isn’t it okay to learn to love someone who loves me as a girl?”

___

a friend of mine -a girl- said that once. while unknowingly understanding the deeper meaning of the saying, I couldn’t argue with that. while I couldn’t say that I agreed either, and while deep inside I could also feel my heart breaking; not because of the person saying that, but rather because of the deeper meaning lying underneath the words.

isn’t it okay to learn to love someone who loves me as a girl?

that’s the million dollar question. at the time I couldn’t argue, while at the time I also couldn’t agree. and still, I never really like that: why is it that a girl has to decide to learn to love a guy back? why is it that, at times, a girl has to start a relationship without really knowing about her feeling?

somehow, it pains me. not because I care about their feelings whatsoever (that’s their business, not mine), but how I see that I don’t like being treated in such way. I have no business with the prince-charming who will act-all-the-way to approach the loving-in-progress princess, but it breaks my heart enough so that I could never accept such kind of relationship.

unfortunately, it seems like girls are all the same.

I’m not to say it’s entirely wrong; I did see relationships that went and had been working well that way. and nothing is really wrong when it comes to this matter; as long as neither of the sides being hurt, there should be no problem.

…still, I don’t want to accept that.

sometimes I wonder if girls do have their feelings right. considering the situations and circumstances I’ve encountered, what I found was that more girls tend to act that way: commitment first, learn to love later. going out in the first place, while taking care of their feelings later.

it can’t be generalized though. I did happen to see girls with different approach towards such matter, albeit in much less significant cases. but mostly, aforementioned cases is quite common… perhaps, or maybe I haven’t seen enough. anyone help me on that if there are any mistakes.

let’s put aside people’s matter now, assuming they are happy with it. but as for me, I could never accept being treated that way. still, I would prefer being rejected on the first place rather than undergoing such relationship. ‘odd’ as it seems perhaps, but that’s the way it is.

now that I think of it, to me it comes like a cheap sympathy: I don’t want to be loved back with such reasons. I don’t want to engage in a relationship in which the affection doesn’t begin from both sides. I don’t want a girl learning to love me back while undergoing an established relationship.

I don’t want to trade my feeling for cheap reasons. if I have to entrust my feeling and trust to someone else, then it has to be a person who is able to accept that — and is also prepared to entrust her feeling as well. perhaps quite much that I ask, yet so much that it takes.

perhaps I’m dreaming. perhaps I’m being idealistic. I don’t really mind though. I have decided on that particular matter, and I’m not going to hold back. could be hard as it seems, but I don’t mind.

I don’t need such (fakingly true) one-sided romance, perhaps that’s it.

someday, maybe I will find that particular person. someone to whom I can entrust my feeling, and someone to whom I can be honest. maybe I will not, and if that’s the way it has to happen, then so be it.

…perhaps, I’ll still be alone for a long time.

hidup yang semakin tidak bahagia(?)

tidak separah kedengarannya, sih.

tapi, yah… mungkin, hal ini cukup benar untuk beberapa bagian dari perasaan dan pikiran saya hari-hari ini. terserahlah, pokoknya begitu.

seandainya hidup ini bisa selalu ceria seperti Hare Hare Yukai-nya Suzumiya Haruhi, tentu menyenangkan, yah. sayangnya, tidak demikian halnya dengan kehidupan nyata.

kadang-kadang, saya berpikir mengenai hal yang gampang-gampang susah ini: bahwa semakin jauh saya menjalani kehidupan yang singkat ini, semakin pula saya menyadari bahwa ‘menjalani hidup dengan bahagia’ adalah pilihan yang semakin lama semakin sulit.

…atau gampangnya, seiring dengan perjalanan saya menuju kedewasaan (yang entah kapan selesainya ini 😛 ), saya merasa semakin sulit untuk menjalani hidup dengan ‘bahagia’.

entah, ya. tanggung jawab. deadline yang menumpuk. tanggung jawab yang tertinggal. kompromi terhadap keadaan. idealisme yang luntur. masalah-masalah lain.

dan, ya, dengan keadaan tersebut, saya tidak bisa lagi bersikap seperti dulu. saya tidak bisa lagi tersenyum seperti dulu, dan saya tidak bisa lagi tertawa seperti dulu. dihadapkan dengan dunia yang serba tidak sempurna, saya tidak bisa mengatakan bahwa saya bahagia.

dan sayangnya, dunia memang tidak sempurna.

jujur saja, kadang saya bertanya-tanya: apa artinya itu semua kalau begitu? untuk apa saya menjalani hidup yang ‘cuma sekadar lewat’ ini kalau tidak bisa menjalaninya dengan bahagia? untuk apa saya punya idealisme kalau akhirnya cuma bikin sakit hati… lagipula, memangnya idealisme bisa dimakan?

…ya, saya tidak bisa lagi se-‘bahagia’ dulu. semakin saya menjalaninya, semakin saya melihat bahwa kebahagiaan adalah pilihan. pilihan untuk berkompromi dengan keadaan yang menyebalkan. pilihan untuk menjadi ‘bahagia’ dengan keadaan yang ‘tidak menyenangkan’. dan pilihan untuk menenggang rasa muak terhadap dunia yang tidak sempurna.

ah, terserahlah. tapi yang jelas, saya sudah memutuskan untuk hidup dengan senang-hati dan senang-pikiran. mungkin untuk itu saya harus mulai belajar untuk tidak peduli; terhadap segala ketidaksesuaian, dan terhadap segala ketidaksempurnaan yang saya temui dalam perjalanan saya yang cuma sebentar di dunia ini.

I have decided on that particular matter, though.

___

baca juga:

08.19.06 | hal yang gampang-gampang susah
07.07.07 | hal yang penting

mobile suit gundam 00 — preview

setelah beberapa lama, akhirnya datang juga installment terbaru dari franchise terbitan SUNRISE yang satu ini. setelah Gundam SEED yang fenomenal dan diikuti oleh SEED: Destiny, kali ini SUNRISE memutuskan untuk membuat sebuah serial Gundam yang baru: latar waktu yang berbeda, setting dunia yang berbeda, dan mecha yang berbeda, tentu saja.

…tidak semuanya baru, sih. bagus? nanti dulu. tidak banyak yang bisa dinilai dari serial yang masih running dan saat ini masih menginjak episode ke-7 dari rencana 50 episode… yah, tapi ada beberapa catatan, sih.

gd00-0003.jpg

2307 AD. dunia mengalami krisis energi, seiring dengan persediaan energi fosil yang semakin menipis. sumber energi kemudian dialihkan ke energi matahari melalui stasiun energi berupa Orbital Elevator yang berbentuk pilar yang menjulang sampai setinggi 50.000 km dari permukaan bumi.

pembangunan Orbital Elevator untuk memenuhi kebutuhan energi dunia mengakibatkan negara-negara kemudian terbagi ke dalam tiga kelompok besar: World Economic Union (Union) yang berbasis di Amerika Serikat, Human Reformation Association (HRA) yang disokong oleh Rusia, Cina, dan India, serta Advanced European Union (AEU) yang berbasis di Eropa. pada saat ini, terdapat tiga buah Orbital Elevator yang masing-masing dikuasai oleh Union, HRA, dan AEU.

selain terbentuk sebagai pakta untuk penanggulangan krisis energi, persaingan masing-masing blok negara ini juga meliputi perlombaan senjata dan pertentangan politik, serta perebutan pengaruh dan proxy war di berbagai belahan dunia. pada saat ini pula muncul gerakan militer yang menamakan diri Celestial Being, yang menyatakan diri memiliki tujuan untuk menghentikan segala tindak peperangan yang terjadi di seluruh dunia. dengan persenjataan yang jauh lebih maju dibandingkan blok-blok yang ada, Celestial Being melakukan intervensi terhadap perang yang terjadi di seluruh dunia dengan menghancurkan persenjataan dari pihak-pihak yang bertikai dalam perang.

termasuk dalam persenjataan yang dimiliki oleh Celestial Being adalah pasukan robot humanoid yang dikenal sebagai Gundam, dengan masing-masing pilot yang disebut sebagai Gundam Meisters: Exia Gundam oleh Setsuna F. Seiei, Dynames Gundam oleh Lockon Stratos, Kyrios Gundam oleh Allelujah Haptism, dan Virtue Gundam oleh Tieria Erde.

cerita berjalan di sekitar keempat Gundam Meisters tersebut… dalam gerakan yang dilakukan oleh Celestial Being, yang dilakukan dengan tujuan untuk menciptakan perdamaian dunia.

gd00-01.jpg

sejujurnya, saya tidak benar-benar merasakan drive yang kuat untuk mulai menonton serial ini. melihat beberapa preview-nya, termasuk yang pernah ditulis oleh Futsu di sini, entah kenapa, saya masih saja bersikap agak skeptis: jujur saja, serial Gundam nyaris selalu membawakan tema yang sama: perang besar-besaran, idealisme dan pasivisme di tengah medan perang, dan proses perdamaian yang begitulah-pokoknya.

…gimana yah? secara sederhana sih, pemirsa yang ‘kritis’ mungkin akan menemukan bahwa franchise ini kadang-kadang menampilkan plot-twisting dan klimaks cerita yang agak ‘absurd’. tentu saja, pesan perdamaian dan pasivisme terasa kuat sekali di serial-serial Gundam… mungkin ini relatif sih, tapi anda yang mengikuti perjalanan cerita Gundam SEED, Gundam SEED: Destiny, atau Gundam Wing seharusnya memahami maksud saya. dan tampaknya, Gundam 00 juga tidak lepas dari hal seperti ini.

di episode-episode awal, pemirsa yang mengikuti serial Gundam Wing mungkin akan langsung menyadari kemiripan antara Gundam 00 dengan serial tersebut. konsep cerita di mana terdapat organisasi independen yang anti-perang merupakan konsep yang juga diterapkan dalam Gundam Wing, lengkap dengan pilot-pilot yang bekerja sama dengan idealisme untuk mengakhiri perang dengan masing-masing karakternya. sebagai tambahannya, anda yang cukup jeli mungkin juga akan memperhatikan adanya sedikit kemiripan desain dan karakterisasi antara Setsuna F. Seiei dengan Heero Yuy dari Gundam Wing.

bukan hal yang salah juga, sih. Gundam SEED yang berangkat dari konsep yang mirip dengan serial Gundam yang pertama toh akhirnya sukses dan menjadi fenomena, dan tampaknya Gundam 00 melakukan hal yang sama terhadap Gundam Wing.

hal lain yang perlu diperhatikan adalah sense penamaan karakter yang bisa dikatakan… well, agak kurang pas. oke, penggunaan nama seperti Exia atau Dynames atau Kyrios untuk penamaan Gundam mungkin tidak ada masalah. tapi nama organisasi militer ‘Celestial Being’? duh. kesannya malah lebih pantas untuk nama sekte keagamaan daripada organisasi militer.

untuk nama pilot, hal yang sama juga terjadi: Setsuna F. Seiei mungkin agak ‘aneh’, tapi toh masih bisa diterima. tapi Allelujah Haptism? ya ampun. lagipula, kenapa juga para pilot Gundam itu diberi identitas sebagai ‘Gundam Meisters’? duh… mungkin, kita bisa menyebut Setsuna F. Seiei sebagai ‘Mr. Gundam Exia’ atau Lockon Stratos sebagai ‘Mr. Gundam Dynames’ kalau begitu. *doh*

gd00-05.jpg

nah. bicara soal Gundam, berarti bicara soal serial dengan latar belakang suasana peperangan. dan sayangnya, intrik-intrik dalam perang hampir selalu ditampilkan secara kurang maksimal dalam serial ini… dan hal ini terjadi pada banyak serial Gundam. bahkan SEED dan SEED: Destiny juga tidak lepas dari hal ini… dan sayangnya lagi, serial ini tampaknya tidak terkecuali.

di episode-episode awal, intrik-intrik politik terasa agak… apa ya? garing, mungkin. dalam beberapa hal, malah terasa agak naif. secara sederhana sih, tiba-tiba seolah mudah sekali negara-negara memutuskan untuk perang-dan-damai… dan lebih ‘absurd’-nya lagi, perhitungan-perhitungan politik jadi terasa agak hambar di serial ini. angst yang diharapkan timbul dari suasana perang malah kurang terasa… tapi entahlah, mungkin ini pendapat pribadi saja, sih.

sayangnya, serial Gundam tampaknya sudah ‘terbiasa’ dengan pakem tersebut, dan sepertinya belum akan ada perubahan yang revolusioner dari serial ini. yah, tapi itu kesan dari beberapa episode pertama, sih.

nah, sekarang, mari kita masuk ke bagian teknisnya. dari segi visual, serial ini luar biasa. sebagai serial Gundam yang pertama kali dirilis dalam format high definition, serial ini enak dilihat. penggunaan 3D CG dilakukan dengan sangat baik dibandingkan serial lain di kelasnya. adegan battle mengalir mulus, dan penggambaran karakter dilakukan dengan baik. penggambaran mecha di-cover dengan rapi, dengan desain yang juga bisa dibilang cukup enak dipandang… tapi sayangnya, penggunaan efek sparkle pada penggambaran mecha malah terkesan ‘merusak pemandangan’. yah, beberapa pemirsa mungkin akan memandangnya sebagai ‘enak dilihat’… soal selera, mungkin.

di bagian musik, serial ini tampil sangat baik, walaupun tidak luar biasa. OP-nya diisi oleh L’Arc~en~Ciel untuk lagu Daybreak’s Bell yang cukup enak didengar… dan entah kenapa, terkesan sangat mainstream. di bagian ED, ada Wana dari The Back Horn, dengan nuansa rock dan sedikit alternatif. tapi, yah, untuk OP dan ED ini sepertinya jatuhnya ke mainstream juga, sih. cukup menjual, seharusnya… tapi bukan tipe-tipe favorit saya juga, sih. secara pribadi, saya menemukan Wana lebih enjoyable daripada Daybreak’s Bell untuk serial ini… tapi lagi-lagi, soal ini subjektif.

gd00-04.jpg

nah. jadi, kesimpulannya. serial ini tampil sangat baik dari segi visual, didukung dengan OST yang lebih dari lumayan… tapi sayangnya, sampai di situ saja. tema cerita terasa agak terlalu ‘biasa’, dan di beberapa bagian terasa agak kurang realistis. konsep pasivisme yang menjadi benang merah cerita dari franchise ini masih dipertahankan, dan masih dengan eksekusi yang tidak terlalu istimewa. well… agak sayang juga, sebenarnya.

saya sendiri masih belum memutuskan apakah saya akan melanjutkan serial ini atau tidak. anda penggemar Gundam yang selalu mengikuti perkembangan terbaru dari franchise ini seharusnya tidak akan menyesal, sih. tapi kalau anda mengharapkan sesuatu yang ‘lebih’ dan ‘tidak sekadar numpang lewat’ dari sebuah serial dengan genre mecha, mungkin anda tidak akan menemukannya dari serial ini.

…mungkin, lho. serial ini masih panjang, soalnya.

jaket itu identitas, tauk!

manusia itu aneh.

di satu sisi, mereka tidak suka tampil seragam. beberapa malah bisa malu berat kalau sampai ada orang yang memakai baju yang sama dengan yang mereka pakai… kadang, bisa seolah rela ditelan bumi kalau sampai seperti itu.

di sisi lain, mereka senang tampil seragam. mereka bisa senang sekali memakai benda yang sama dengan yang dipakai oleh ratusan orang lainnya, kadang-kadang malah sampai rela ribut-ribut soal itu.

tanya kenapa? kenapa tanya. saya juga bingung, kok.

emm…

ehh…

err…

…ah, iya, ya.

jaket itu identitas, tauk! :mrgreen:

idealisme batas absen

saya adalah orang yang taat peraturan.

…mungkin. sebenarnya tidak selalu sih, tapi secara sederhana mungkin bisa dikatakan bahwa saya adalah orang yang akan bersikap konsekuen terhadap peraturan yang telah saya sepakati sebelumnya. apalah, yang jelas sih saya sudah memutuskan untuk bersikap fair soal ini.

misalnya begini. kalau seorang dosen sudah memutuskan dan menyatakan bahwa seorang mahasiswa tidak boleh terlambat masuk ke kelas menjelang kuliah, maka saya akan konsekuen dengan hal tersebut. saya tidak akan datang terlambat, dan kalaupun seandainya saya terlambat, saya tidak akan datang ke kelas pada hari tersebut.

…dengan demikian, saya tidak melanggar peraturan yang telah saya sepakati, dan masing-masing pihak merasa adil soal ini.

kenapa? jelas, kan. peraturan sudah dibuat: saya tidak boleh terlambat sekalipun hanya satu menit, dan saya sudah menyetujui hal tersebut. kalau saya datang terlambat DAN masih (dengan beraninya) meminta untuk bisa masuk ke kelas dan kuliah, itu memalukan.

jelas, lebih baik saya tidak masuk sekalian ke kelas. mau dianggap absen atau ketinggalan materi, itu sudah resiko. memangnya mau diapain lagi? salah saya sendiri, kok.

hmm. sayangnya, masalahnya tidak sesederhana itu. di kampus saya, ada variabel lain bernama ‘kuota absensi minimal’ pada setiap mata kuliah. secara sederhana, mahasiswa dituntut untuk hadir minimal sebanyak 75% dari jumlah seluruh pertemuan dalam kuliah. jadi kalau misalnya ada 14 minggu kuliah dengan kelas dua kali seminggu, maka kehadiran minimal seorang mahasiswa adalah 75% x 14 x 2 = 21 kehadiran, dengan maksimal 7 kali absen.

kalau kurang dari kuota tersebut? sederhana saja, mahasiswa tersebut tidak akan diizinkan untuk mengikuti ujian akhir semester. atau secara singkat, hampir dipastikan tidak lulus pada kuliah bersangkutan.

…bagaimana dengan kuliah satu kali seminggu? gampang saja, untuk kasus seperti itu, seorang mahasiswa bisa memiliki maksimal 3 kali absen. apa, tipis? you got the point there. 🙄

(FYI, dua kuliah yang saya ambil semester ini memiliki jadwal satu kali seminggu: keduanya sama sekali tidak mengizinkan keterlambatan soal masuk ke kelas. untuk salah satunya, saya sudah dua kali absen termasuk hari ini)

yah, saya sempat mendengar kabar bahwa sistem ini tidak lagi diberlakukan[1], namun hal ini masih belum bisa dikonfirmasi. entahlah, saya sendiri tidak terlalu menyukai peraturan ini. tapi berhubung saya tidak punya kekuasaan untuk mengubahnya, mau diapain lagi?

dan dengan demikian, sistem yang konon juga tidak terlalu disukai beberapa dosen ini[2] menjadi variabel yang perlu diperhitungkan untuk setiap kemungkinan ketidakhadiran mahasiswa dalam kuliah. tentu saja, soalnya kebanyakan absen tanpa perencanaan hampir sama dengan bunuh diri untuk kuliah-kuliah tersebut!

duh. entah kenapa, tiba-tiba saya merasa bahwa peraturan mengenai kuota absensi ini ‘menghalangi’ idealisme saya. jujur saja deh, berapa lama sih idealisme bisa bertahan, kalau dihadapkan dengan hal-hal pragmatis seperti ‘kemungkinan tidak lulus kuliah’?

tapi entah kenapa, dengan bodoh keras-kepalanya, saya tetap tidak ingin memohon agar diizinkan untuk masuk ke kelas, sekadar agar jumlah absen saya tidak terus bertambah. absurd? entahlah. anggap saja itu sisa-sisa idealisme saya yang masih tertinggal… walaupun dihadapkan dengan ‘kemungkinan tidak bisa ikut UAS’, ‘idealisme’ tiba-tiba jadi terasa tidak terlalu berharga.

(FYI -lagi- walaupun di kelas yang saya sebutkan tadi tidak ada toleransi keterlambatan, tapi saya cukup ‘heran’ bahwa dalam beberapa kesempatan saya bisa menyaksikan beberapa mahasiswa bisa dengan santainya memasuki kelas setelah terlambat lebih dari 10 menit. entah bagaimana isi hati dosen tersebut, saya rasa beliau dan Tuhan lebih tahu.  oh iya, no offense intended. 😉 )

…yah, tapi, masih ada jalan lain, kok.

kalau saya bisa datang tepat waktu tanpa kecuali untuk seluruh sisa kelas selanjutnya, tidak ada masalah, bukan? :mrgreen:

___

[1] sewaktu mengurus kesalahan perhitungan absensi saya semester lalu, saya mendengar bahwa peraturan ini tidak lagi valid. meskipun demikian, sampai saat ini saya tidak mendengar rilis berita yang mengkonfirmasi hal tersebut.

[2] terdengar kabar bahwa konsep ini tidak terlalu populer di antara para dosen yang mengajar. dalam salah satu kuliah, saya sempat mendengar dosen saya di kuliah lain menyatakan ketidaksetujuannya terhadap hal ini.

november rain of solitude

hujan bulan November ini,
di kepalaku jatuhnya

___

mungkin kamu ingat, hari itu juga hujan. mungkin agak cengeng dan sedikit melankolis, tapi hujan rintik-rintik selalu membawa akan suatu kenangan; yang terasa lama dan jauh untukku, tapi tetap ia berada di sana: di suatu tempat, di suatu saat, di suatu November yang berbeda.

entah, mungkin aku menjadi agak sentimentil dan sedikit bodoh. mungkin juga hujan bulan November membuat apa-apa yang seharusnya telah hilang seolah menyeruak kembali serta sedikit mengharu-biru: mungkin, layaknya akasia kering yang seolah segar dibelai titik hujan, atau aspal panas yang kini seolah lembut tersaput sisa-sisa air di udara.

tidak semua hal ada jawabannya. tidak selalu setiap tanya diikuti suatu jawab. mungkin benar begitu, dan aku tidak pernah menyukainya. lalu kemudian ada kosong yang diam, dan selalu begitu… entahlah, kurasa aku sudah tidak ingin peduli, dan kamu tidak perlu memikirkan itu.

hujan bulan November adalah melankoli: seperti halnya cappuccino dan crouton di sore hari, atau Canon serta Air di antara hari-hari yang sibuk. angin dingin yang menerpa wajah dan jalan-jalan yang basah adalah beberapa dari apa-apa yang tertinggal dari setiap hujan bulan November: selalu demikian, datang dan pergi seraya menarik-narik kenangan yang terpinggirkan dan angan yang seharusnya telah hilang.

kebaikan adalah kekuatan, atau setidaknya demikianlah aku belajar. benar atau salah, entahlah. kebaikan adalah apa-apa yang tersisa dari nurani manusia, dan kurasa tidak perlu terlalu banyak alasan untuk itu. seperti halnya hujan bulan November yang datang dan pergi, dan seperti halnya apa-apa yang lewat dan terlupakan: yang ternyata tidak hilang, dan tetap tidak kusukai — agak menyebalkan, kadang-kadang.

mungkin… tapi bahkan sampai sekarang, aku masih bertanya-tanya.

karena kebaikan kadang-kadang terasa begitu kejam, dan mungkin kamu juga mengerti. bahwa suatu kebaikan kadang bisa terasa begitu menyakitkan, dan kelembutan tidak selalu bisa meretas rasa nyaman.

karena itu, maaf…

karena hanya kepadamu saja, aku tidak ingin bersikap baik.

lag of update… due to some ‘accident’

hari-hari ini, saya kembali mengalami saat-saat sibuk yang membuat saya tidak sempat menulis di sini. hal ini berlaku terutama untuk minggu ini… yang kalau dipikir-pikir, sudah agak lama sejak saya benar-benar ‘menulis’. bukan ‘menggambar’, maksudnya. :mrgreen:

minggu ini, bisa dikatakan banyak sekali deadline dan ujian yang sedang ‘menimpa’ saya. halah. agak menyebalkan, dan sayangnya tidak bisa diapa-apakan lagi… tapi selama 4 dari 5 hari kerja minggu ini, saya terpaksa berhadapan dengan deadline ATAU ujian. yang jelas sih dari 4 hari kerja itu semuanya menyumbang kesibukan pikiran (dan sedikit fisik karena kurang tidur 🙄 ) saya minggu ini.

jadi ceritanya, pada hari Senin saya harus menjalani quiz untuk kuliah Sistem Informasi Akuntansi DAN menepati tenggat pengumpulan laporan kerja praktek. keesokan harinya, saya harus menghadapi ujian tengah semester untuk mata kuliah Soft Computing, sementara untuk hari Rabu saya sudah dijadwalkan untuk menjalani evaluasi alias sidang Kerja Praktek. dan pada hari Kamis, saya sudah harus mempersiapkan presentasi untuk penyampaian materi di kelas selama 50 menit…

…yang terakhir itu, (sialnya) dibarengi oleh ‘kecelakaan’ yang menimpa saya pada hari Rabu malam. bukan. lebih tepatnya mungkin ‘kecelakaan’ yang menimpa M-E-T-E-O-R- alias laptop tercinta yang biasa saya pakai ke mana-mana. dan kalau ada sesuatu yang bisa saya sebut sebagai ‘menyebalkan’, mungkin hal tersebut adalah salah satunya.

sebagaimana yang sudah saya sebutkan sebelumnya, pada hari Rabu malam saya masih harus mempersiapkan presentasi yang tenggatnya hari Kamis pagi. sebagai seorang mahasiswa yang sibuk (dan kecapekan setelah dihajar empat pekerjaan dari tiga hari sebelumnya), maka saya baru bisa mulai fokus ke hal tersebut pada Rabu malam.

tidak ada masalah, pikir saya. bongkar-bongkar rumus, memahami isi paper, membuat slide, menulis ringkasan…

…dan tiba-tiba, harddisk laptop saya crash selewat tengah malam tersebut. datang secara tidak terduga, dan saya melihatnya: layar laptop saya menampilkan sebuah blue screen. percobaan melakukan restart menampilkan pesan yang tak kalah membuat miris: disk read error.

percobaan restart berikutnya memastikan nasib saya: proses boot gagal, dan saya tidak bisa mengakses isi harddisk saya. yak, yak, dan slide serta ringkasan yang telah saya buat sejak tadi menjadi sia-sia. sementara deadline tersisa sekitar 9 jam, dan saya harus mengulang dari awal… tanpa laptop saya yang sudah K.O. itu.

yak, yak, akhirnya semua beres setelah berangkat pagi-pagi dan meminjam lab kampus (yang baru buka pada pukul 8 pagi *duh* ) untuk menyelesaikan kewajiban saya pada hari itu. begitulah ceritanya, pokoknya akhirnya semuanya beres. presentasi 50 menit pada pagi tersebut mengakhiri kesibukan minggu ini, dengan peninggalan berupa laptop saya yang masih K.O. sampai saat ini…

…dan mengakibatkan saya baru bisa menulis di sini lagi sekarang ini, dari komputer rumah. saya merencanakan untuk membongkar (dan mencoba memperbaiki :mrgreen: ) laptop saya tersebut, seraya berharap bahwa data-data saya tidak sampai hilang… tapi nanti, mungkin 🙄

sementara itu, pada hari Senin sudah menunggu lagi deadline dari kelas Seminar, dan pada hari Selasa juga sudah ada deadline dari kuliah Pemrosesan Teks, sementara pada hari Rabu dan Kamis juga ada ujian tengah semester dari kelas Sistem Informasi Akuntansi dan Pemrosesan Teks. ah, kelupaan… ternyata masih ada juga deadline dari kuliah Komputer dan Masyarakat pada hari Jumat.

entah kenapa, saya bertanya-tanya juga sih. kok nggak ada yang bunuh diri ya, kuliah di tempat yang nggak sehat kayak begini? :mrgreen:

saya akan menulis lagi nanti.