kalau nanti saya mati…

mati di Jakarta itu, ternyata mahal. apalagi kalau anda tinggal di tengah kota, dan berharap bisa meninggalkan sisa-sisa jasad anda di kota mahal yang paling dikenal seantero republik ini.

iya, saya membicarakan mengenai hal yang sederhana saja, pembaca. kuburan. makam. tempat ziarah. apalah namanya. hal yang mungkin bisa begitu penting di mata sebagian (besar?) orang… tapi entahlah, mungkin orang lain punya sudut pandang berbeda soal ini.

tentu saja, mati di Jakarta itu mahal. di kota lain juga sih, tapi siapa yang peduli… selama ada uang, mau mati di mana juga tidak masalah, kan? keluarga yang ditinggalkan cukup menyediakan uang kontrak untuk satu kapling tanah yang jelas-jelas tidak dibutuhkan oleh yang bersangkutan.

hmm. mari kita urutkan. uang kontrak tanah. bayar per bulan atau per tahun, terserahlah. lalu uang kebersihan. lalu pengecoran dan batu nisan yang bagus, kalau berminat. lalu pengeluaran untuk petugas pemakaman yang dibayarkan rutin…

…ada lagi? entahlah. yang jelas, mati itu mahal. tentu saja, bukan urusan yang mati. yang mati sudah pergi menunggu keputusan ke surga atau ke neraka dan tidak kembali, dan seluruh haknya sudah dipenuhi sampai prosesi pemakaman selesai.

dan yang ketiban pulung mengurusi peninggalannya, tentu saja keluarga —atau siapapun— yang ditinggalkan, bukan? bayar ini, bayar itu, demi sebuah makam yang tiba-tiba seolah tidak ada gunanya. tidak ada gunanya bagi yang hidup, dan tidak ada gunanya bagi yang mati.

::

sebentar. sekarang, sebelum anda pembaca mungkin ada yang mulai emosi mempertanyakan akan pernyataan saya yang terakhir, mari kita perjelas dulu. sebuah makam, memangnya ada gunanya?

sebuah makam adalah tempat ziarah. tempat kenangan akan seseorang. tempat istirahat seseorang. dan seterusnya, demikian mungkin kata anda. lalu kenapa? toh kita tidak membutuhkannya. kita cuma menipu diri sendiri dengan pergi ke makam setiap kalinya, dengan dalih untuk mempertahankan kenangan dan mengingatkan diri akan kematian.

tapi toh itu semu. sebuah makam hanyalah makam. kenangan akan seseorang adalah jauh lebih berharga daripada seonggok tanah dan batu di atasnya. dan tanah dan batu hanya akan menjadi sia-sia, tanpa kenangan yang hidup atasnya.

…apa, sia-sia? benar sekali. apa, anda bersedia membayar mahal demi sebuah tempat yang cuma anda kunjungi setahun sekali atau dua kali, untuk sesuatu di mana yang mati sendiri sudah tidak berkepentingan?

absurdnya dunia. absurdnya melankoli akan sebuah kenangan. dan manusia terjebak di dalam sebuah kapitalisme tanah-dan-bangunan demi perasaan dan melankoli semata? absurd.

::

hak seseorang yang mati adalah dimakamkan dengan layak, dan sampai di situ. tergantung keyakinan, tapi intinya sama. ada juga sih yang tidak melakukan pemakaman, tapi itu di luar konteks. setelah itu, haruskah yang ditinggalkan memikirkan biaya macam-macam demi sebuah makam yang tiba-tiba seolah kelihatan sia-sia, kecuali untuk dalih nostalgia dan pengingat akan kematian?

mati di Jakarta itu mahal. dan orang-orang bersedia membuang uang untuk hal yang tidak ada untungnya bagi mereka — tidak bagi yang mati, dan tidak juga bagi yang hidup.

mungkin, sekadar pengingat? entahlah. bahkan orang-orang yang meninggal di Tanah Suci sewaktu haji juga tidak memiliki makam sendiri. semua rata, semua sama. dan tidak meninggalkan beban bagi yang hidup, yang jelas.

…tapi entahlah, ada banyak hal yang tidak bisa saya pahami di dunia ini.

::

ya, mati di Jakarta itu mahal. mungkin demikian juga di tempat lain. bahkan setelah mati, yang hidup pun masih harus mengurusi — terlepas bahwa yang mati sudah tidak mengurusi apalagi sampai kembali ke tempat yang hidup.

entahlah, saya tidak mengerti. mungkin akan dianggap aneh sih, tapi tiba-tiba saya jadi kepikiran untuk menyampaikan pesan ini.

suatu saat nanti saya akan mati. kita semua juga sih, terserahlah. untuk hal ini, saya tidak meminta banyak-banyak: kalau anda kebetulan nanti mengurusi kematian saya, biarkan saya mati apa-adanya. penuhi hak saya sampai di pemakaman saja.

saya tidak menginginkan makam yang bagus atau atap kubah yang indah, apalagi mengharapkan orang-orang yang saya tinggalkan membayar mahal-mahal untuk mengurusi kuburan saya.

sekalipun nanti kuburan saya akan dibongkar karena tidak ada yang mau membayari tanahnya, biarkan saja. toh pada saat itu saya sudah tidak akan punya kepentingan lagi di dunia ini, selagi berharap bahwa saya bisa menjalani kehidupan yang menyenangkan setelahnya.

…ya, karena mati di Jakarta itu mahal. siapa yang peduli dengan makam yang bagus dan ‘layak’? saya sih tidak.