not a hero

“there is nothing really right or wrong. only people on different standpoints.”

___

I’m not a hero. nor did I ever be, nor do I want to be.

because it’s pathetic. about how people contradicting themselves, and how people would want to act so-high-and-almighty to be ‘righteous’. and how people could be really driven about such. and how people could end up fighting and quarreling about the ‘right’ and ‘wrong’.

of course, we have law and orders. we suggest that they represent justice and equality and so on.

…but there are also things that are not being covered in that so-called law (and orders). it is there, and too much. and what constitutes right or wrong about such matters then?

and given such, we then could not really define what is ‘right’ and what is ‘wrong’. and do we really need that kind of hero in such circumstances — hereafter referred as ‘hero’?

::

I never want to be a hero. not really, not a chance.

by being a hero, you have the privilege to judge the right and wrong. you get sore to situations, and you take actions accordingly. you see something you feel ‘not right’, and then acting on your own to fix and ‘make it right’.

…but how do you know that what you are doing is righteous?

unfortunately, there is no answer to that. should it be written in law or code of conduct, then we might be able to judge — truth is, it is not. for such things not constrained by law, how can one says something is ‘wrong’ while not having privilege to say something as right?

by self-acceptance? ego? praises and thanks?

::

being a hero means saving someone else. but saving someone else means not to save another people. and so it goes, again and again.

I was never interested to say what is right or what is wrong, when it comes outside laws and code of conducts. there is not really right or wrong in such circumstances; only people getting hurt and people getting advantages, if any.

you can say that robbery is wrong. it is there in the law that controls society. you can also say that killing is wrong. it is also there in the law, thus people have to obey.

but you can’t say that cheating on girlfriend is entirely wrong — or right. you can’t say that lying to someone is absolutely wrong — unless when it comes to be fraud. you can’t also say that anything is wrong only because you disagree to such.

by choosing to be a hero, you are prepared to have enemies. sometimes it’s worth. sometimes it’s not. you are probably prepared for the name of law and justice. if it’s not for such? that would be your call then.

::

in the end, it’s just pathetic. people are only contradicting themselves. they want a hero, obliviously. they never need a hero for such reasons — only the ones supporting them of what they are doing. ensuring that they are on the right side. thus given the praises and thanks and boastful ego, so can anyone be a hero.

…or maybe not. there is nothing really right or wrong outside those defined in that so-called law to begin with.

is it okay to hurt our own comrades? is it okay to break someone’s heartful trust? is it okay to betray people? is it okay to hate someone else? is it okay to deceive someone’s feeling? is it okay to lie to a friend? is it okay to badmouth people? is it okay to leave someone behind? is it okay to hurt our so-called friend?

unfortunately, there is no answer to that. even if there is, it’s only baseless; how do you know that something is right? and what if it is obliviously wrong?

because by being a hero who (is supposedly) does the ‘righteous’ thing, you decided to fight what is ‘wrong’. you have your enemies then, but then come the questions: is it worth doing? or is it only that you are fighting those who are not on your side?

in the end, it’s just people quarreling and fighting over what they think is ‘righteous’. oblivious as it is, and they start hating then fighting whatsoever. baseless assumption. baseless righteousness. baseless acts.

::

I’m not a hero.

but really, humans can be troublesome.

vector upload — one usual day

gambar lama… tapi karena satu dan lain hal, baru sempat ditulis di sini sekarang.

jadi ceritanya, belakangan ini saya sedang mempelajari digital imaging dengan vector. dan berhubung biasanya saya berkutat di genre anime-art, jadilah saya menggunakan vector untuk mendekati gaya anime-art dalam mengerjakan gambar ini.

…yah, sebenarnya sih saya pertama kali melakukan vectoring ketika mengerjakan gambar ini. bisa dibilang sudah seperti crash course, sih.

One Usual Day

posted in:
vector upload – one usual day

download:
2000×1250 – 8:5

oke, jadi gambar kali ini menampilkan Konata Izumi serta Kagami dan Tsukasa Hiiragi dari serial Lucky Star. proses tracing masing-masing dilakukan dari screenshot yang berbeda. latar belakangnya diambil dari screenshot yang lain lagi, dan dengan demikian ada empat screenshot yang diutak-atik sebelum jadi seperti itu.

secara kebetulan, preset-nya sendiri cukup dekat ke arah widescreen (8:5), dan dengan sedikit utak-atik akhirnya dibuat widescreen. nggak bisa dibilang sebagai wallpaper juga sih (resolusinya sendiri ‘aneh’ untuk ukuran wallpaper 🙄 ), tapi setidaknya gambar ini sempat nongkrong dengan cukup nyaman sebagai wallpaper di notebook saya.

hasilnya… yah, nggak bisa dibilang bagus banget juga sih. masih perlu belajar lagi, sepertinya. tapi setidaknya, saya belajar bahwa vectoring itu ternyata cukup menyenangkan dengan caranya sendiri. 😉

seperti biasa, gambar ini dapat ditemukan di section Gallery. dan seperti biasa pula, anda perlu memperhatikan beberapa ketentuan yang ada di section tersebut sebelum mulai men-download.

komentar dan kritik membangun ditunggu.

emansipasi yang salah arah?

“anak laki-laki itu, jangan sering-sering ke dapur. nanti bisa jadi kemayu, lho.”

___

dulu sekali, seorang kerabat yang waktu itu jauh lebih senior (dibandingkan saya yang tingginya baru sedikit lewat dari satu meter itu) pernah mengatakan hal tersebut kepada saya. agak lupa detailnya sih, tapi kira-kira begitulah.

dan berhubung waktu itu saya adalah anak kecil yang baik…

…saya tidak pernah mempercayai kata-kata tersebut, pembaca. :mrgreen:

::

sejak dulu, saya tidak pernah benar-benar suka menerima pembatasan peran berdasarkan stereotipe yang terkenal itu: laki-laki bekerja mencari nafkah, perempuan di rumah mengurusi rumah tangga. stereotipe yang, entah kenapa, diperparah oleh material pelajaran yang saya terima di sekolah bahwa ‘ayah membaca koran dan ibu memasak di dapur’. dan entah kenapa, sepertinya masih laku saja sampai sekarang, pembaca.

tentu saja, pada saat itu ada juga yang namanya ’emansipasi wanita’ dan ‘feminisme’ yang menjadi counterbalance dari stereotipe tersebut… dan dengan demikian, saya cukup senang bahwa saya tidak perlu sampai berlama-lama ‘terjebak’ dalam cara pandang seperti itu.

nah. emansipasi. ini dia kata kuncinya.

::

belakangan, saya jadi tertarik memikirkan soal si makhluk ’emansipasi’ ini. atau secara lebih spesifik, ’emansipasi wanita’ (dan untuk selanjutnya disebut sebagai ’emansipasi’ saja, capek nulisnya). dan tiba-tiba, saya jadi kepikiran bahwa konsep ’emansipasi’ ini sendiri mulai salah arah. kacau, pembaca.

tenang dulu, pembaca. silakan membaca kembali dari awal kalau anda tiba-tiba merasa ingin menuduh bahwa saya tidak peduli akan hak-hak wanita. sungguh, bukan begitu maksudnya!

jadi, sekarang ini dalam banyak hal perempuan sudah mendapatkan kesempatan yang (hampir) setara dengan laki-laki di banyak bidang. dari profesi seperti guru dan dokter sampai menteri dan presiden. dan lebih banyak lagi para perempuan tangguh yang menjalankan peran ganda: menjadi wanita karir di kantor sekaligus menjadi istri mengurus rumah tangga. dan ini hal yang hebat. sangat hebat, kalau menurut saya.

tapi, ada sesuatu yang menarik perhatian di antara fenomena yang lazim ini, tak lain dan tak bukan adalah sebuah pertanyaan sederhana:

kalau emansipasi berarti bahwa perempuan bisa masuk ke sebagian wilayah yang dulunya hanya dihuni oleh laki-laki, bukankah seharusnya laki-laki juga bisa masuk ke sebagian wilayah yang dulunya hanya dihuni oleh perempuan?

hmm. apa iya?

sekarang, saya jadi kepikiran bahwa masalah emansipasi ini mulai salah arah. kita bisa melihat banyak perempuan berprestasi di banyak bidang (sambil tetap menjalankan tugas mengelola rumah tangga), tapi berapa banyak kita bisa melihat laki-laki yang memiliki kecakapan untuk melakukan hal-hal kerumahtanggaan (sambil tetap menjalankan tugas mencari nafkah)?

dan sayangnya, tampaknya tidak cukup banyak yang bisa seperti itu. perlu tanya kenapa? :mrgreen:

::

ketika masih kecil dulu, banyak dari kita dicekoki tumbuh dengan sudut pandang mengenai ‘dikotomi tugas dan kewajiban’ yang sebagian sebagai berikut:

laki-laki: mengemudi, bertukang, bekerja di luar, …

perempuan: memasak, menjahit, mengurus anak, …

tentu saja, belakangan (baca: kemudian sampai sekarang) para perempuan juga mulai mengambil alih bagian tugas laki-laki. anak perempuan yang bisa mengemudi dianggap mandiri, dan kemampuan berkarir diberi nilai tinggi untuk dimiliki seorang perempuan.

tapi, anak laki-laki yang bisa memasak dan menjahit? anda tentu tahu, bahwa anak seperti ini biasanya dianggap ‘kurang cowok’ dan sejenisnya. dan apa yang terjadi, anda tahu sendiri. skill ‘memasak’ dan ‘menjahit’ dianggap sebagai ‘culun’ untuk dimiliki oleh anak laki-laki.

dampak emansipasi yang sama sekali tidak bisa dibilang buruk bagi perempuan, namun malah berujung pada terbatasnya kapabilitas yang dimiliki laki-laki. dan akhirnya, ini malah tidak adil bagi para perempuan tangguh itu: mereka bisa sepadan soal karir dengan laki-laki, tapi soal rumah tangga hampir seluruhnya dipegang perempuan.

salah arah? tampaknya begitu. tapi ironisnya, masalah bukan berada di sisi perempuan sebagaimana keadaan pra-emansipasi, namun pada mindset kolot yang tertanam di pihak sebagian (besar?) laki-laki!

::

oke, sekarang mari kita tinggalkan soal emansipasi dari sisi wanita yang akhirnya melahirkan para perempuan hebat itu. dari sini, mari kita memandangnya dari sisi laki-laki berikut hal terkait konteks tersebut.

sekarang, ini yang fatal: para perempuan itu tiba-tiba menikah dan harus menjalani teamwork dengan laki-laki yang kapabilitasnya diragukan soal urusan rumah tangga! (ya karena tidak pernah dilatih itu, duh) jadi, di sini kita memiliki perempuan yang bisa berkarir dan mampu mengurus rumah tangga, dan seorang laki-laki yang hanya bisa berkarir dan tidak bisa mengurus rumah tangga…

…dan mungkin sebagai tambahannya, masih pula minta dilayani oleh sang istri. apa itu bukan tidak adil namanya? 👿

::

kalau kita mencoba memandangnya dari konteks skill, memangnya apa sih yang salah dengan seorang laki-laki yang bisa mengurus rumah tangga — menjahit, misalnya? adakah yang salah dengan seorang laki-laki yang bisa mencuci piring dan menyapu dan mengepel rumah? dan adakah yang salah dengan seorang laki-laki yang bisa memasak untuk makanannya sendiri?

menurut saya, itu hal yang bagus — terlepas dari keberadaan para perempuan yang ‘diberi kewajiban’ soal hal tersebut. saya sendiri memandangnya sebagai skill set yang berguna… misalnya, kalau saya hidup di apartemen sendiri, masa saya harus membayar orang untuk membersihkan apartemen atau pergi ke laundry (yang cukup mahal itu) untuk mencuci pakaian sehari-hari? sungguh tidak efisien.

atau kalau misalnya tiba-tiba kancing baju saya lepas, apa perlu saya pergi ke tempat penjahit cuma untuk memasang kancing? demi Tuhan, itu salah satu hal paling tidak efisien yang bisa saya bayangkan. dan kalau saya bisa memasak, setidaknya saya bisa memakan sesuatu yang lebih enak daripada sekadar mie instan ketika warung makan sudah tutup semua… kalau ada bahannya, sih.

apa, tidak berguna? ah, itu cuma skill untuk survive secara efisien, pembaca.

::

tapi, entahlah. saya sendiri lebih suka memandang teamwork tersebut secara fleksibel. kalau para perempuan bisa (dan mau) bekerja dan men-support apa-apa yang biasanya menjadi tanggung jawab laki-laki, para laki-laki juga harus bisa dong, men-support apa-apa yang biasanya menjadi tanggung jawab perempuan? itu kan hal yang sederhana saja… dan tentu saja, kurang adil kalau tidak seperti itu!

dan tiba-tiba, saya jadi kepikiran sebuah ide agak liar; bisa nggak ya, kita mengembangkan topik emansipasi laki-laki sebagai counterbalance untuk emansipasi perempuan? saya rasa, dengan demikian para perempuan juga tidak akan merasa dirugikan banget-banget.

tapi, mungkin nggak ya?

soalnya cowok-cowok, mana ada yang mau kayak begitu! :mrgreen:

wakan 1.67, review dan sedikit guide

sebagai sebuah tool untuk belajar bahasa Jepang, software ini bisa digambarkan dengan cukup satu kata: versatile.

…benarkah? benar, kok. silakan melanjutkan membaca entry ini kalau anda penasaran. :mrgreen:

jadi, kali ini saya akan menulis mengenai WaKan. sebuah software yang, kalau bisa dibilang, lebih dari cukup memadai sebagai sarana belajar bahasa Jepang. anda pembaca yang sedang-atau-akan mempelajari bahasa Jepang mungkin akan menemukan software ini sebagai tool yang berguna… atau mungkin, anda sendiri malah sudah menggunakannya untuk waktu yang lama. :mrgreen:

cukup dulu pengantarnya, langsung saja kita mulai.

1. sekilas info

WaKan adalah sebuah software dengan kemampuan utama sebagai kamus bahasa Jepang-Inggris dan sebaliknya. meskipun demikian, kemampuannya tidak terbatas sebagai sebuah kamus; WaKan juga mampu mendukung dalam proses pembelajaran dan penulisan huruf kanji tanpa menggunakan IME[1] secara terpisah.

WaKan dikembangkan dalam WaKan Project, dan dapat di-download dengan lisensi freeware di website-nya.

for downloads and further info:

WaKan Project: http://wakan.manga.cz

2. prerequisites…

WaKan dikembangkan sebagai tool untuk membantu anda sebagai pembelajar tingkat beginner-intermediate. ada beberapa prerequisites yang harus dipenuhi untuk bisa menggunakan software ini dengan maksimal, jadi tidak bisa langsung mulai dari nol, sih.

secara teknis, software ini tidak membutuhkan spesifikasi yang aneh-aneh. hanya saja, anda perlu mengaktifkan East Asian Language Support di OS. setting ini dibutuhkan agar karakter dari huruf-huruf yang sesuai dapat ditampilkan dengan baik. spesifikasi hardware sederhana saja; memori 128 MB dan resolusi 1024×768 cukup memadai untuk menjalankan software ini dalam kapasitas maksimalnya.

sekarang, dari sisi anda sebagai pembelajar. di sini, ada dua hal yang perlu diperhatikan sebelum anda mulai.

pertama, anda harus menguasai bentuk tulisan hiragana dan katakana. hal ini diperlukan, sebab anda akan banyak sekali berhadapan dengan kedua jenis huruf ini. sebagai contoh, kamus dalam WaKan mengembalikan hasil dalam bentuk hiragana dan katakana, walaupun anda bisa memasukkan query[2] dalam huruf latin.

kedua, anda setidaknya perlu sedikit memahami struktur dasar kosa kata dalam bahasa Jepang. ini penting, karena anda perlu mengetahui bentuk dasar (baca: ‘bentuk kamus’) dari suatu kata kerja. WaKan sendiri menyediakan bantuan soal ini, tapi anda bisa mendapatkan hasil yang misleading tanpa pemahaman minimal yang memadai.

…sudah siap? sekarang, mari kita lihat selintas tentang software ini.

3. dictionary, tentu saja

WaKan menyediakan menu kamus yang cukup convenient; proses loading terhadap query dilakukan secara real-time, tergantung kata yang dimasukkan. sebagai contoh, misalnya ketika anda memasukkan kata ‘ikaga’ (= ‘how…?’), maka terjemahan untuk kata ‘ika’ (= ‘doctor’, ‘medical’) akan ditampilkan ketika anda masih setengah jalan. cukup ergonomis, terutama ketika anda tidak terlalu yakin mengenai ejaan dari suatu kata yang dicari.

[wakan02]

dictionary pada WaKan: perhatikan antara bentuk dasar dan bentuk pada query. perlu sedikit pemahaman awal agar tidak misleading.

salah satu feature lain dari kamus yang ditampilkan oleh WaKan adalah kemampuannya untuk menemukan berbagai bentuk kata. sebagai contoh, pada screenshot di atas diberikan query ‘kaeritai’ (= ‘want to go home’), namun hasil yang dikembalikan meliputi kata dasar ‘kaeru’ (= ‘to go home’, ‘to return’) dengan kanji yang berbeda.

hal ini sangat membantu kalau anda agak bingung dengan struktur dan bentuk kata dasar (misalnya ‘-masu’, ‘-nai’, ‘-itai’, dan sejenisnya), tapi awas! anda harus memperhatikan dengan teliti kata mana yang dimaksud oleh hasil yang diberikan. pemahaman akan huruf hiragana akan sangat membantu di bagian ini, demikian juga sedikit pemahaman tentang struktur kata. ini penting, karena anda bisa saja mendapatkan makna yang misleading tanpa pemahaman tersebut.

4. characters, untuk belajar kanji

selain kamus, WaKan juga menyediakan menu untuk mempelajari huruf kanji, termasuk cara membaca karakter yang bersesuaian. ejaan dengan on-yomi dan kun-yomi[3] juga disertakan, jadi tidak sekadar makna dari suatu karakter.

[wakan01]

characters menu: arahkan mouse ke satu karakter kanji, dan POP! keluarlah sebuah popup yang sangat membantu. jangan lupa feature search yang sangat komprehensif.

feature yang tidak boleh dilewatkan dari menu ini adalah menu search yang sangat komprehensif. anda bisa melakukan search dengan kriteria pengucapan on-yomi dan kun-yomi, bahkan sampai penggolongan level JLPT![4]

untuk anda yang sedang mempelajari tentang kanji dan cara membacanya, bagian ini tidak boleh dilewatkan. tentu saja, sebelumnya anda harus sudah menguasai huruf hiragana (terutama untuk membaca kun-yomi) dan katakana (untuk on-yomi)… tapi mengasumsikan bahwa kedua hal tersebut telah dipelajari sebagai prasyarat sebelum belajar kanji, seharusnya tidak ada masalah dengan bagian ini.

5. editor/translator, the fun begins here

sejujurnya, ini bagian yang paling saya sukai dari WaKan. di sini, anda bisa menuliskan apapun yang anda mau dalam bahasa Jepang, lengkap dengan kanji yang tersedia kalau anda mau menggunakannya. sebagai tambahannya, disediakan juga tampilan cara membaca kanji yang dituliskan, dalam bentuk huruf hiragana yang lebih kecil. needless to say, sangat membantu dalam proses belajar menuliskan kalimat dengan kanji.

[wakan03]

editor/translator: tidak perlu pengetahuan mendalam, dan voila! anda pun bisa menulis dengan kanji. sudah seperti text editor dengan fungsi khusus untuk belajar, lengkap dengan cara pengucapannya.

di bagian ini, bisa dibilang sudah seperti text editor untuk memasukkan huruf hiragana/katakana/kanji. di sini, diberikan juga segmentasi warna yang dilakukan untuk memisahkan antara kata dan partikel. tidak perlu pengetahuan mendalam untuk sekadar bisa menuliskan apa yang ingin anda sampaikan dengan kanji… tapi seperti halnya segala sesuatu, sedikit pemahaman akan membantu sebagai awalan.

tentu saja, anda harus memiliki pengetahuan mengenai kosa kata dan grammar dalam bahasa Jepang untuk bisa menuliskan kalimat dengan benar di sini. idealnya sih, penguasaan cukup mendalam soal grammar dan sedikit pemahaman akan kanji dibutuhkan untuk menggunakan bagian ini dengan maksimal. meskipun demikian, sedikit penguasaan kosa kata dan sedikit penguasaan untuk grammar bisa menjadi awalan untuk main-main di bagian ini.

6. vocabulary, untuk pembelajaran lebih terstruktur

bagian ini memfokuskan dalam drilling pemahaman anda akan kosa kata — atau lebih spesifik lagi, mengenai penulisan (written), pengucapan (phonetic), dan makna (meaning) dari setiap kata. fokus dari masing-masing jenis latihan bisa anda tentukan melalui menu learning list di sini, jadi memudahkan untuk pembelajaran yang lebih terstruktur.

[wakan04]

vocabulary training: untuk beginner-intermediate learner. navigasi untuk menampilkan kosa kata di sisi kanan layar, berdasarkan status masing-masing dalam proses belajar.

bisa dikatakan, bagian ini bisa digunakan untuk tingkat pembelajaran awal-menengah (beginner-intermediate), dengan sifat yang lebih ke arah drilling. bagian ini cocok untuk pemula yang masih mencari arah ketika mulai belajar, namun di sisi lain juga cukup cocok digunakan sebagai media pembelajaran sekunder untuk anda yang sudah lebih maju.

7. overall…

WaKan adalah sebuah tool yang versatile untuk belajar bahasa Jepang. tentu saja, WaKan tidak bisa digunakan sendirian; anda perlu mempelajari grammar secara terpisah, demikian juga penerapan dalam percakapan harus dipelajari sendiri. hal ini juga mengingat bahwa WaKan dikembangkan sebagai sebuah ‘kamus dengan fungsi-fungsi tambahan’ untuk belajar bahasa Jepang.

meskipun demikian, WaKan adalah ‘senjata’ yang lebih dari cukup memadai apabila anda sudah memiliki kemampuan dasar yang dibutuhkan… yah, tapi ini tergantung niat juga, sih. lisensi berupa freeware juga menjadi nilai tambah bagi software ini, khususnya mempertimbangkan performance yang jauh di atas lumayan untuk kelasnya.

overall, software ini seharusnya lebih dari cukup mampu untuk menemani perjalanan anda dalam mempelajari dan menggunakan bahasa Jepang — khususnya apabila anda memang mempelajari bahasa Jepang secara mandiri.

well then, shall we call it a day? 😉

___

[1] IME (input method editor) adalah program atau tool untuk memasukkan input karakter yang tidak tersedia di keyboard. biasanya digunakan dalam sistem operasi untuk mendukung bahasa seperti Jepang, Cina, atau Korea.

[2] query di sini maksudnya input kata yang dimasukkan untuk dicari padanannya. sama sekali tidak berhubungan dengan query untuk database management system. :mrgreen:

[3] on-yomi dan kun-yomi maksudnya cara membaca kanji. penggunaannya berbeda, on-yomi biasanya untuk kata-kata dengan kanji gabungan (misalnya ‘daigaku’ = kanji ‘dai’ + kanji ‘gaku’). kun-yomi biasanya digunakan untuk kanji yang berdiri sendiri (misalnya ‘hitori’ = kanji ‘hito’ + hiragana ‘ri’). sebenarnya nggak sesederhana itu juga sih, tapi kira-kira begitulah.

[4] Japanese Language Proficiency Test. di sini maksudnya level kanji yang harus dikuasai untuk satu tingkatan. tingkatannya mulai dari JLPT level 4 (paling mudah, commonly used) sampai JLPT level 1 (paling sulit).

current music — chao tokyo

mungkin banyak di antara pengamat J-Music yang cukup familiar dengan kelompok yang satu ini. tapi adakah pembaca yang tahu, bahwa See-Saw pertama kali memulai debutnya sekitar 15 tahun yang lalu?

mulai aktif di dunia musik Jepang pada 1993, kelompok yang dimotori oleh Chiaki Ishikawa bersama Yuki Kajiura ini awalnya terdiri atas tiga personel, ditambah dengan Yukiko Nishioka di masa awal berdirinya. sayangnya, pada 1995 kelompok ini nonaktif dari kegiatan bermusik setelah Yukiko Nishioka mengundurkan diri.

nah, barulah pada 2001, See-Saw memulai kembali kegiatan bermusik mereka, kali ini dengan Ishikawa dan Kajiura sebagai duo untuk kelompok ini. anda yang mengikuti serial Gundam SEED dan Gundam SEED: Destiny mungkin masih ingat dengan peran mereka dalam OST untuk kedua serial tersebut.

oke, jadi lagu yang akan ditulis di sini bisa dibilang sudah cukup klasik: pertama kali dirilis pada 1994, dan dirilis ulang dalam kompilasi yang diberi judul Early Best pada 2003. jadi, Chao Tokyo adalah nomor yang bisa dibilang cukup lawas juga… namun, meskipun demikian lagu ini masih sering nongkrong di playlist saya sampai sekarang.

lagunya sendiri bisa dibilang lebih ke arah pop, agak berbeda dengan rilis pasca 2001 yang mulai lebih banyak memperkenalkan gaya alternatif sebagai bagian dari karya mereka. ceritanya sih tentang seseorang yang akan meninggalkan kota Tokyo, dan dengan demikian kita tahu kenapa judulnya seperti itu. :mrgreen:

seperti biasa, lyrics dengan huruf italic, translations dengan huruf plain, dan mohon koreksi kalau ada salah penerjemahan berhubung saya mencoba menerjemahkannya sendiri. 😉

Chao Tokyo
See-Saw

chao Tokyo, chiisana APAATO ni karuku te wo furu
chao Tokyo, watashi dake no oshiro yo sayonara

chao Tokyo, I wave lightly to my small apartment
chao Tokyo, to the castle only mine I say farewell [1]

eki no HOOMU ni wa
samishigari no tabibito doushi
furui KIZU wo miseatte

on the platform of the station,
I feel lonely with fellow travelers
as I look upon the old scars

anata wo matteta
POKETTO no kagi wa mou sutete
hitori yume wo daiteitai

I was waiting for you,
with the key in my pocket tossed already
I want to hold dear that one dream by myself [2]

uwame tsukai ni miteta hitonami ima ni natte
yasashisa wo kanjiru yo fushigi ne, chao Tokyo

I turned my gaze and then I saw the crowd
then I feel the kindness, isn’t it strange? chao Tokyo

chao Tokyo hajimete kita toki yori mo kono machi wa
chao Tokyo dete yuku hou ga yuuki ga iru no ne sayonara

chao Tokyo, even from the first time I come to this town
chao Tokyo, now I have the courage, I bid a farewell [3]

namida de aruita
chikadou no sumi de kiita uta
itsuka kiita komoriuta

walking with my tears,
a song by the corner of subterranean tunnel [4]
will be the coming lullaby

daremo ga hitori wo kanjiteru
koko mo madamada
shinjirareru koto bakari

everyone feels of someone else
as of here, still
I keep on believing

mamori atteta
fuan na koi kara itsu no hi ni ka
jibun de warau koto wo
oboeta, chao Tokyo

I wanted to keep it in protection
from this uneasy love, someday
I’ll be laughing to myself
I’ll remember, chao Tokyo

sayonara,

and farewell, [5]

ai wo mitsukeraretara kono machi e to
mou ichido kaeritai

if I could find love, to this town
I want to come back

chao Tokyo nigirishimesugite shinatta kippu to
chao Tokyo miokuri wa nanairo IRUMINEESHON

chao Tokyo, and the ticket I grasp tightly
chao Tokyo, seeing me off is illumination of seven colors

chao Tokyo oh Tokyo itsumademo terashi tsudzukete ne
chao Tokyo chao Tokyo watashi no oshiro yo sayonara

chao Tokyo, oh Tokyo, keep shining forever
chao Tokyo, chao Tokyo, to the castle only mine I say farewell

 

 

___

[1] ‘oshiro’ kata dasarnya ‘shiro’ (= ‘castle’). bentuk dengan ‘o-‘ biasa ditambahkan untuk bahasa percakapan. misalnya, ‘kane’ (= ‘money’) disebut juga sebagai ‘okane’.

[2] di sini digunakan kata ‘hitori’ (= ‘one person’), bukan ‘hitotsu’ (= ‘one thing’). jadi, reference-nya bukan ke ‘yume’ (= ‘dream’) yang dibicarakan. saya sendiri menangkap maksudnya sebagai ‘hitori de’ (= ‘alone’, ‘by oneself’), tapi ini persepsi pribadi, sih.

[3] secara harfiah, seharusnya ‘now I have the courage to say my leaving words, farewell’. berhubung kalau seperti itu jadinya kepanjangan dan kurang pas, jadi secara sederhana diterjemahkan seperti itu.

[4] bingung soal ‘chikadou’ ini. lihat di kamus, ternyata artinya ‘subterranean tunnel’. kalau memperhatikan perjalanan dengan kereta (di Jepang biasanya subway), konteksnya jadi pas juga sih.

[5] kenapa bagian ‘sayonara’ ini dipisah dari lirik di atasnya? karena sebenarnya memang satu kata ini jadi semacam ‘punchline’, jadi deh dipisahkan. kata ‘and’ ditambahkan, karena masih sedikit nyambung ke bagian sebelumnya.

whatever, I don’t care

“as long as you don’t keep your hopes high, you can take on anything. you feel less pain.”

-Squall Leonhart-

___

I used to say those lines. ‘whatever’, ‘I don’t care’, or such in those kind of lines. to me in those days, it’s just trivial matter that I wouldn’t want to carry any people’s burden — nor would I want to be a burden for any people. it’s just fair and square, as long as neither side being hurt whatsoever.

on those days I learned not to trust, nor to wish upon anything. life was just what happened; if I mess up, I would have to make it up. if I got screwed, then it’s my fault. it’s just that simple that people are responsible for what they have; saying about ‘fate’, ‘bad luck’ or such things on the line are merely sugarcoating. in the end, what people call ‘victims’ are not necessarily innocent; the culprit is indeed at fault, but those ‘victims’ are also at fault for letting themselves being screwed.

…at least, that’s how it was in the past.

perhaps I have changed in some or other ways. bearing in mind that to care more might lead to get hurt more, I led my life as the way it has been. learned to listen and to share, et cetera et cetera, and perhaps some bit of ‘sweety-mooshy stuff’ along the way… while seeing how much of fake illusion it could be in the process.

when you start to care, you tend to get sore. you are prone to disappointment, and you start to think that ‘it’s better this way’, or ‘it’s better that way’ to those people (and their stuff and problems whatsoever) you care. all while bearing in mind that ‘you are doing this for their sake’, or ‘this is the way it should be’. you take the burden of those you care (or love), and then you have the justifications to be a ‘hero’.

and that’s the way it is: whether it is friends or lovers, comrades or buddies, and so forth. that’s what they call ‘friendship’. or ‘love’. or whatever you may want to call it. and what they say is true to some extent, yet not necessarily as it is in other ways.

yes, it definitely is nice to live in the world where caring and understanding come first. unfortunately, the world we live in is never, nor would it ever be that nice. good intentions are not always perceived as good; it was never utopia on the first place.

it was never utopia. people wish for utopia, but they are only contradicting themselves. people want to be understood, only in superficial manners. perhaps there was no understanding being needed; a mere act of comfort and conformity just would do in some or other ways.

and got dragged to burden of other people, cursed for caring, and worn out as it would be — it was never really nice to begin with.

perhaps it would have been easier if I said ‘whatever’ or ‘I don’t care’ on the first place.

…whatever.