mengecilkan makna hidup dengan…

kadang-kadang saya bingung, bahwa dalam banyak sisi kehidupan manusia hampir selalu dibangun dengan siklus yang semu setiap kalinya: lahir – tumbuh – sekolah – kuliah – kerja – menikah – tua – mati.

dan tentu saja, karena ini adalah konsep yang sudah sangat mapan dalam kehidupan manusia (khususnya di sekitar saya), maka mempertanyakan konsep seperti ini bisa jadi urusan yang gampang-gampang susah. bukan kenapa-kenapa juga sih, tapi tampaknya memang kebanyakan orang jauh lebih senang memikirkan mengenai ‘bagaimana mencari sesuap nasi’ daripada memikirkan esensi di baliknya — duh, pragmatisme!

sekarang, pertanyaan sederhana saja, pembaca. menurut anda, sebenarnya apa sih alasan anda menjalani hidup ini — selain karena kebetulan sudah ada yang memberikan dengan gratis dan tidak boleh bisa dibuang begitu saja?

alasannya mungkin macam-macam. ada yang religius, misalnya. hal ini biasanya terkait masalah keimanan dan seterusnya. ada juga yang utilitarian; idenya adalah ‘hidup untuk berbuat’ dan sebagainya. ada juga yang pragmatis, bahwa hidup cuma saat ini saja dan harus dinikmati. dan juga, ide-ide yang lain lagi; penjelasannya bisa macam-macam, dan apapun yang lain seterusnya.

tentu saja, alasannya bisa macam-macam. tapi pertanyaannya sama: memangnya, kenapa sih manusia harus bertahan hidup?

::

bicara kehidupan, berarti adalah bicara siklus — yang kadang bisa berbeda antar masing-masing individu, tapi kira-kira begitulah. lahir, tumbuh, belajar, bekerja, berkeluarga, sebelum akhirnya mati.

kata orang-orang di sekitar saya, hidup memang seperti itu.

tapi kata saya, hidup seperti itu tidak ada artinya.

hidup, bagi sebagian (besar?) manusia, adalah tujuan-tujuan semu. ketika sekolah, kita memiliki tujuan untuk lulus dan mendapatkan nilai bagus. ketika kuliah, kita memiliki tujuan untuk memperoleh indeks prestasi yang lumayan. ketika lulus kuliah, kita memiliki tujuan untuk mencari pekerjaan yang layak. setelah bekerja, kita memiliki tujuan untuk berkeluarga, misalnya.

hidup sendiri, tujuan dibikin-bikin sendiri, sebelum nanti akhirnya mati sendiri. dan akan kembali diulang untuk generasi berikutnya… dan berikutnya, dan berikutnya. dengan siklus-siklus semu yang terus berjalan seolah tanpa makna.

::

saya mengatakan, bahwa saya tidak ingin menjalani hidup yang sia-sia seperti itu. saya tidak mau hidup cuma berpegang kepada hal-hal yang sebenarnya amat-sangat-semu: lulus kuliah dengan indeks prestasi lumayan, lalu mencari pekerjaan yang mapan untuk hidup, lalu berkeluarga, dan seterusnya.

saya ingin menjalani hidup saya dengan jujur, apa adanya, dan bahagia. pekerjaan mapan atau menikah, itu sih bonus! siapa yang peduli dengan gaji delapan digit, kalau saya bisa hidup bahagia dengan gaji dua atau tiga juta rupiah per bulan? siapa yang peduli kalau saya tetap high quality single karena (misalnya) belum menemukan pasangan yang tepat, sementara saya masih bisa menikmati kehidupan saya?

saya tidak perlu gaji besar-besar amat, selama saya bisa hidup dengan tenteram dan bahagia dengan keadaan tersebut. saya tidak ingin menikah, kalau saya memang tidak menemukan seorang partner yang tepat. kenapa pula saya harus menjalani hidup dengan patokan-patokan yang ditetapkan oleh orang lain? saya ingin menjalani hidup saya dengan sebaik-baiknya, dan untuk itu saya tidak ingin membiarkannya berlalu tanpa makna.

…dan hasilnya, saya dianggap ‘berpandangan aneh’.

hei, jangan salahkan saya. saya sendiri bingung kok, kenapa manusia bisa senang sekali hidup dengan berpegang kepada tujuan-tujuan yang semu. memangnya hidup itu cuma soal cari pekerjaan bergaji besar atau berkeluarga dan membuat membesarkan anak kecil yang lucu dan imut-imut?

::

kembali ke pertanyaan awal. memangnya, apa sih alasan saya untuk terus melanjutkan kehidupan saya? mana saya tahu, saya sendiri malas memikirkannya kok. tapi saya kira, saya hanya ingin menjalaninya dengan apa adanya saja. sambil jalan, mungkin ada beberapa alasan-alasan lain; mungkin sedikit religius, kadang-kadang idealis, serta mungkin humanis juga… tapi saya kira, saya belum akan jadi oportunis untuk sementara ini — semoga tidak akan.

tapi apapun, selagi saya masih bisa menjalani kehidupan saya dengan nyaman, saya kira tidak ada masalah. untuk saya, hidup hanya saat ini saja; dan saya kira, kehidupan ini masih terlalu luas untuk dipatok-patok dengan tujuan-tujuan semu seperti itu!

17 thoughts on “mengecilkan makna hidup dengan…”

  1. Biasanya variasi dibuat dengan mencampur kuliah+kerja, kuliah+pacaran, atau kul+ker+kawin. Tapi ini masalahnya adalah menyisipkan “menikmati hidup” diantara ‘kuliah’ dan “kerja/nikah’ ya? 😛

    menurut anda, sebenarnya apa sih alasan anda menjalani hidup ini

    Saya? Well, diluar tujuan religius… Apa yaa? Membaca One Piece sampai tamat, mungkin? Harus tau endingnya sebelum mati… :mrgreen:

    saya ingin menjalani hidup saya dengan jujur, apa adanya, dan bahagia.

    sayangnya, ada orang2 dan generasi yang gak bahagia kalo melihat kebahagiaanmu gak termasuk gaji besar, istri dan anak… 😉

    kenapa pula saya harus menjalani hidup dengan patokan-patokan yang ditetapkan oleh orang lain?

    knapa gak sebaliknya saja, bahwa gaya hidupmu menjadi patokan bagi orang lain? :mrgreen:

    …dan hasilnya, saya dianggap ‘berpandangan aneh’.

    welcome to the club! 😆

    kembali ke pertanyaan awal. memangnya, apa sih alasan saya untuk terus melanjutkan kehidupan saya?

    menanti “si mbak tertentu”? 🙄 *dirajam*

    tapi apapun, selagi saya masih bisa menjalani kehidupan saya dengan nyaman, saya kira tidak ada masalah.

    single dengan gaji 2-3 juta perbulan…? Ya… ya… memang tidak ada masalah… 😀

    Reply
  2. kadang-kadang saya bingung, bahwa dalam banyak sisi kehidupan manusia hampir selalu dibangun dengan siklus yang semu setiap kalinya: lahir – tumbuh – sekolah – kuliah – kerja – menikah – tua – mati.

    …Loh? Ini bukannya udah pernah dibahas di blog, ya? 😕

    …dan hasilnya, saya dianggap ‘berpandangan aneh’.

    Sapa tuh yang ngemeng? sengaja nge-troll yak? 😈

    @ jensen99

    Saya? Well, diluar tujuan religius… Apa yaa? Membaca One Piece sampai tamat, mungkin? Harus tau endingnya sebelum mati… :mrgreen:

    One Piece bukannya termasuk komik yang nggak bisa tamat? 😛

    *bersama dengan Detektif Conan dan Naruto* XD

    Reply
  3. @ sora

    One Piece bukannya termasuk komik yang nggak bisa tamat? 😛

    Hah? Wah, jangan2 nanti nasibnya sperti Doraemon?!? Ditinggal mati mangaka-nya… 😐

    [/OOT]

    Reply
  4. @sora

    One Piece bukannya termasuk komik yang nggak bisa tamat? 😛

    *bersama dengan Detektif Conan dan Naruto* XD

    setidaknya Inuyasha ud ngga termasuk golongan itu lagi.. 😛

    @yud1

    kembali ke pertanyaan awal. memangnya, apa sih alasan saya untuk terus melanjutkan kehidupan saya? mana saya tahu, saya sendiri malas memikirkannya kok. tapi saya kira, saya hanya ingin menjalaninya dengan apa adanya saja. sambil jalan, mungkin ada beberapa alasan-alasan lain; mungkin sedikit religius, kadang-kadang idealis, serta mungkin humanis juga… tapi saya kira, saya belum akan jadi oportunis untuk sementara ini — semoga tidak akan.

    hmmm, oportunis… kinda “mumpung saya dikasih hidup, saya harus melakukan (insert something) dulu sebelum saya mati..”?

    Reply
  5. @ rifu :

    setidaknya Inuyasha ud ngga termasuk golongan itu lagi..

    lho, memangnya udah tamat ya,fu? kirain tipe yg ga bakal pernah tamat…
    *gatau sking malesnya nyari tau endingnya*
    btw, hidup buat saya….entahlah…saya rasa saya cuma berusaha menjalani apa yang di hadapkan buat saya secara baik, wlopun seringkali ga begitu baik..
    tapi selama saya bahagia, yah, gapapa lah..
    di bilang oportunis juga mungkin kali ya..

    Reply
  6. Wah, kok familiar betul rasanya waktu dibaca. Jangan-jangan kita ini orang yang sama, ya?

    ahh, sebenarnya nggak semirip itu, bung Geddoe. ente masih lebih mirip dengan *seseorang* yang saya kenal daripada saya. percaya deh. :mrgreen:

    *nunggu ada cewek nulis ginian*

    *membayangkan seorang cewek tsundere percaya-diri-tinggi-bisa-ngapa-ngapain-sendiri yang kebetean gara-gara disuruh cepet menikah*

    well… saya bisa memahami perasaan tersebut, masbro. ^^”

    Reply
  7. ahh, sebenarnya nggak semirip itu, bung Geddoe. ente masih lebih mirip dengan *seseorang* yang saya kenal daripada saya. percaya deh. :mrgreen:

    Nggak juga, ah. Saya kan nggak gila bokep dan nggak hobi fapping. Beda sama beliau… 😮

    [/blakBlakanToTheCore] :mrgreen:

    *membayangkan seorang cewek tsundere percaya-diri-tinggi-bisa-ngapa-ngapain-sendiri yang kebetean gara-gara disuruh cepet menikah*

    *uhukuhukuhuk*

    Kalo ceweknya udah pergi aja, baru kebayang-bayang. 😐

    *uhuk-uhuk*

    Reply
  8. ^

    Kalo ceweknya udah pergi aja, baru kebayang-bayang.

    Kalo ceweknya udah ditinggal aja, baru kebayang-bayang.

    fix’d. 😎

    [/hopeitsthatsimplemode] 🙄

    ~heh
    ~kenapa jadi ngomongin ituuu?! 👿

    Reply
  9. *membayangkan seorang cewek tsundere percaya-diri-tinggi-bisa-ngapa-ngapain-sendiri yang kebetean gara-gara disuruh cepet menikah*

    ah, saya pernah baca yg ky gitu tuh…
    wlopun bukan cewek tsundere sih..tp intinya ga mau kejebak struktur masyarakat soal perempuan dan nikah cepet2…

    Reply
  10. hidup itu untuk nulis blog
    meskipun jarang dibaca orang
    hahahahahahaa
    *menangisdarah*
    hidup itu untuk melakukan hal2 konyol

    ehem ehem…
    *religius mode= on*
    hidup itu untuk mencari ridhoNya…
    ^^

    Reply
  11. Jadi, mau hidup buat apa, Yud? Yah, emang paling bagus sih, kalo kita punya tujuan hidup yang agung. Misalnya saya, pingin melakukan sesuatu b *halah 😀 Paling nggak, orang yang masih hidup dengan tujuan semu, ga berniat bunuh diri. Yah, selama tujuan semu-nya bukan kriminal aja 😀

    Reply
  12. jika percaya akan kehidupan stlah mati. maka anda layak utk mmprsiapkan hal2 apa saja yg bisa mbuat anda bahagia di khidupan it…

    Reply

Leave a Reply to irwandiaz Cancel reply