saya tidak benar-benar paham, adakah Amrozi (atau Imam, dan tentu saja Mukhlas) menyembunyikan takut atau gentar di balik teriakan takbir pada suatu malam tersebut; mungkin, seolah menyongsong dengan harap-harap cemas — Maut datang perlahan dengan pasti, peluru di ujung bedil, dan lalu semua selesai.
Tuan mungkin berpikir demikian, namun saya sungguh tak hendak mempertanyakan adakah mereka adalah korban atau mungkin pahlawan. setiap cerita dalam sejarah selalu punya bagian kelam dari pembantaian; yang ‘bukan kita’ dihabisi, yang ‘berbeda’ harus dimusnahkan, dan dengan demikian semua orang sungguh bisa menjadi pahlawan dengan menumpahkan darah mereka yang tak berdosa. Perang Salib, Yerusalem, Palestina, Israel… sejarah agama adalah sejarah pertumpahan darah, kadang dengan pembumihangusan kota serta korban yang tak berdaya, atas nama Tuhan yang tiba-tiba seolah kehilangan makna.
saya membayangkan, pada suatu hari yang lampau di Bali. mungkin orang-orang maksiat berlalu-lalang; hukum-hukum Tuhan tak bisa tegak, dan yang ‘asing’ adalah musuh berbahaya di balik fasade yang menipu — seolah sekongkol adalah keniscayaan, dan kecurigaan menjadi makna. kemudian terbentuklah sebuah khaos; yang mungkin menegangkan sekaligus mengasyikkan, penuh harap-harap cemas…
saya bertanya-tanya, adakah setiap khaos selalu diikuti oleh elan akan suatu harapan, utopia yang jauh namun eksotis dan toh tetap dicari. atau mungkin malah kita tak benar-benar butuh utopia; karena setiap yang teratur kini tiba-tiba terasa menjemukan, yang tidak sempurna terasa bakhil, yang durjana harus diberantas. bahwa dalam khaos itu sendiri kita menyadari ada sebuah elan, sebuah raison d’etre yang hendak meniup, mendobrak, menggulingkan… mungkin, ada ekstase akan utopia yang tak kunjung tiba dan harus diperjuangkan, entah bagaimana caranya.
tapi mungkin elan untuk meraih yang jauh itulah yang kemudian menjadi perlu; mungkin pula jawaban tidak lagi penting, yang tadinya tujuan tidak lagi benar-benar dituju, dan dengan demikian semua punya pembenarannya sendiri — khaos itu kemudian menjadi legitimasi untuk melakukan dan berbuat dalam ‘mengorbankan apa-apa yang perlu’.
saya tidak benar-benar paham, adakah rasa takut atau gentar itu di balik tembok Nusakambangan, menjelang suatu hari di bulan November tersebut. mungkin tidak, dan mungkin memang kita tidak perlu benar-benar tahu; yang kita tahu adalah elan yang menghancurkan itu kemudian hendak dihancurkan oleh sesuatu yang lain, yang tampak brutal dan mungkin tak jauh beda — sesuatu yang mungkin disebutnya sebagai ‘lalim yang berkuasa’.
saya kira, Amrozi dan Imam serta Mukhlas adalah tragedi. bahwa elan yang mendobrak dan menghancurkan ternyata tidak benar-benar kompak dengan utopia, dan khaos yang mungkin membingungkan dan menegangkan itu ternyata tidak membawa kita ke mana-mana.