perjalanan menuju kedewasaan

“dibandingkan anak SMU, mahasiswa tingkat akhir mungkin kelihatan lebih dewasa. kenyataannya, tidak banyak yang berubah; orang dewasa juga sering salah…”

___

sewaktu saya masih kecil dulu, saya sering berpikir bahwa dunia orang dewasa adalah tempat orang-orang yang saya anggap hebat; orang-orang yang selalu bisa bersikap dan memberikan teladan kepada saya. tentu saja, saya yang pada saat itu memandang kagum kepada orang-orang dewasa di sekitar saya, dari mana saya belajar banyak hal tentang kehidupan: bersikap jujur. toleransi. tenggang rasa. menepati janji. dan mungkin masih banyak lagi, yang tidak bisa benar-benar saya ingat untuk disebutkan satu per satu.

setidaknya, dengan demikian saya sebagai seorang anak kecil memutuskan untuk mengikuti apa-apa yang telah diajarkan kepada saya tersebut — walaupun mungkin kadang-kadang saya masih juga nggak nurut, tapi di mata saya orang-orang dewasa di sekitar saya adalah orang-orang dengan jejak langkah yang akan saya ikuti.

demikian juga ketika saya tumbuh dan berkembang dalam perjalanan menuju kedewasaan; saya sebagai siswa SD, lalu SMP, SMU — di mata saya, orang-orang dewasa adalah mereka yang (seharusnya) bisa menunjukkan dan menjalankan nilai-nilai yang saya anggap penting dalam kehidupan. tentu saja, saya pada saat itu juga mengetahui bahwa ada juga orang-orang dewasa yang ‘tidak seperti itu’, tapi secara umum saya pada saat itu berpandangan bahwa memang ada hal-hal yang tidak perlu saya ikuti dari contoh-contoh tersebut.

::

sekarang, saya adalah bagian dari mereka yang disebut sebagai ‘orang dewasa’. atau setidaknya secara legal, begitulah keadaannya — technically, I’m a legal adult. dan dengan demikian, saya kini berada dalam dunia yang dulu saya pandang dengan kagum, bahwa orang-orang ini adalah mereka yang saya anggap hebat dan layak saya teladani.

tapi benarkah? mungkin, sebenarnya tidak.

hal yang saya peroleh dari perjalanan ini adalah, bahwa bagian paling penting dari perjalanan menuju kedewasaan adalah ketika saya menyadari bahwa mereka yang dulu saya pandang dengan kagum ternyata juga tidak sempurna; orang dewasa juga sering salah, dan orang dewasa juga tidak selalu benar.

saya dulu belajar untuk selalu bersikap jujur; tapi sekarang, ketika saya dewasa, berapa banyak orang dewasa yang bahkan dengan ringan berbohong kepada anak kecil? saya dulu belajar untuk selalu menepati janji; tapi sekarang, berapa banyak orang dewasa yang dengan mudah membuat janji dan tidak menepatinya?

dan pertanyaan-pertanyaan lain, yang mungkin lebih sederhana. berapa banyak dari kita, sebagai orang dewasa, yang masih bisa mengatakan ‘maaf’ setelah melakukan kesalahan? berapa banyak dari kita, sebagai orang dewasa, yang mengatakan ‘terima kasih’ kepada kasir di minimarket atau petugas di pom bensin?

mungkin tidak banyak, dan kebanyakan dari kita mungkin malah terjebak dalam alasan-alasan yang pragmatis dan cenderung superfisial itu; kita bekerja, capek, dan berharap untuk dimaklumi. kenyataannya, hal-hal seperti itu cuma jadi alasan saja, kan? pada akhirnya, sebagai orang dewasa kita kehilangan banyak hal, dengan alasan yang lagi-lagi seperti itu saja.

kenyataannya, orang dewasa juga sering salah. orang dewasa juga kadang tidak ingin memahami, dan cenderung egois dalam banyak kesempatan. tapi mungkin memang begitulah keadaannya — manusia yang tidak sempurna, mudah berprasangka, dan kadang juga banyak salah dan lupa dalam menghadapi berbagai keadaan.

tentu saja, seperti yang sudah saya sebutkan tadi — bagian paling penting dari perjalanan menuju kedewasaan adalah ketika kita menyadari bahwa orang dewasa juga tidak sempurna. orang dewasa juga sering salah, walaupun seringkali kurang bersedia mengakui. mungkin memang begitulah keadaannya, dan kita memang hidup di dunia yang juga tidak sempurna.

…entah kenapa, saya menemukan bahwa hal ini agak ironis.

::

hari-hari ini, saya kembali teringat kutipan dari Soe Hok Gie: nasib terbaik adalah tidak dilahirkan; yang kedua adalah dilahirkan tapi mati muda, sedangkan nasib paling sial adalah mati di usia tua.

dipikir-pikir, mungkin benar juga sih — mungkin memang manusia cenderung bertambah buruk seiring mereka dewasa.

…tapi, yah, saya sendiri juga nggak berencana mati muda, kok. :mrgreen:

15 thoughts on “perjalanan menuju kedewasaan”

  1. kenyataannya, orang dewasa juga sering salah. orang dewasa juga kadang tidak ingin memahami, dan cenderung egois dalam banyak kesempatan.

    Kalau begitu saya mulai dewasa?
    entah kenapa, saya juga merasa, semakin tua, saya semakin tidak bahagia.
    Ah, tapi mungkin itu perasaan saya aja kali ya?
    *mendesah sok dramatis*
    *berlalu*

    Reply
  2. […] …tapi, yah, saya sendiri juga nggak berencana mati muda, kok. […]

    Nggak mau termasuk dalam good man die young, eh? 😎 *pergi les MS Word*

    Aha, semakin dewasa… Bisa semakin “sok” lebih berpengalaman… Haaa…

    Reply
  3. Nggak mau termasuk dalam good man die young, eh?

    kepengen mati muda itu bisa juga cuma ekstase sok jadi pahlawan ala koboi di kota padang pasir. mumpung masih keren, mati! jadilah dia pahlawan yang dikenang selamanya. :mrgreen:

    like some people said, death can be a cool way out, eh? 😎

    Aha, semakin dewasa… Bisa semakin “sok” lebih berpengalaman… Haaa…

    ‘berpengalaman’ juga nggak selalu ‘pasti lebih benar’, kok. nyatanya banyak juga yang jadi lebih keras kepala. jangan-jangan, malah saya juga! 🙄

    Reply
  4. berapa banyak orang dewasa yang dengan mudah membuat janji dan tidak menepatinya?

    Cukup banyak mas, jauh lebih banyak dari pada yang menepati janji mungkin 30% tepat janji sisanya nggak bisa tepat janji, dan saya sebel banget sama orang yang berjanji dan tidak menepatinya, terutama masalah waktu.

    hari-hari ini, saya kembali teringat kutipan dari Soe Hok Gie: nasib terbaik adalah tidak dilahirkan;

    Yup, coz kita nggak perlu lihat hiruk-pikuk di dunia fana ini, tapi kok kesannya kita ini pengecut ya 😕

    yang kedua adalah dilahirkan tapi mati muda,

    Mati muda? 😯 saya nggak ada rencana :mrgreen: Tapi kalo mati muda kita nggak bisa memberikan kontribusi kita pada dunia, atau setidaknya pada orang-orang di sekitar kita.

    sedangkan nasib paling sial adalah mati di usia tua.

    Sial? Mungkin, tapi nggak jugalah mas. Kan kita bisa bercerita pada anak cucu kita nanti bagaimana menjalani hidup dengan benar, mendidik mereka untuk menjadi orang-orang dewasa yang lebih baik 🙂

    Dan Dewasa tidak ada hubungannya dengan umur, orang akan menjadi dewasa setelah ia menjalani begitu banyak rintangan hidup dan mampu mengatasinya dengan kemampuannya sendiri (cara berpikirnya, emosinya)

    Btw, mas yud1 lagi kena dilema menjadi dewasa ne :mrgreen:

    Reply
  5. waduh salah quote 🙁
    Mas tolong perbaiki yg di quote seharusnya :
    1. hari-hari ini…. tidak dilahirkan;
    2. yang kedua…. mati muda,
    3. sedangkan….. di usia tua.

    Maafkan atas kesalahan saya
    *nyembah-nyembah*
    :mrgreen:

    Reply
  6. “nasib terbaik adalah tidak dilahirkan; yang kedua adalah dilahirkan tapi mati muda, sedangkan nasib paling sial adalah mati di usia tua.”

    gak asik amat nih quote. gak menyarankan orang untuk menikmati hidup

    Reply
  7. Anda jadi terdengar seperti Emperor Charles….
    Project Ragnarok ygt heboh ternyata hanya dilandasi lagu dangdut “jangan ada dusta di antara kita”, muahahaha xD

    Reply
  8. kamal:

    gak asik amat nih quote. gak menyarankan orang untuk menikmati hidup

    yah, kalau saya sih, memperhatikan perjalanan dan cara pandang dari Soe Hok Gie, rasanya bisa sedikit paham. bukan berarti saya setuju seratus persen lho ya. :mrgreen:

    btw, buat Rukia komen-nya sudah di-edit, ya. 😉

    Reply
  9. bagian paling penting dari perjalanan menuju kedewasaan adalah ketika kita menyadari bahwa orang dewasa juga tidak sempurna. orang dewasa juga sering salah, walaupun seringkali kurang bersedia mengakui. mungkin memang begitulah keadaannya, dan kita memang hidup di dunia yang juga tidak sempurna.

    Tapi kesadaran bagi saya pribadi tidaklah cukup, terkadang kita sadar akan hal itu tetapi akhirnya kita tetaplah tidak berbeda dengan apa yang kita sadari. Jauh-jauh melakukan perjalanan dan hasilnya kembali ke awal. 🙁

    Reply
  10. Ya, waktu kecil, kita ingin supaya “cepat besar” seperti orang2 yang kita jadikan panutan, lalu setelah “besar”, baru kita tau kalo orang dewasa itu juga sering susah payah menjadi contoh buat anak kecil karena kadang itu bukan diri mereka yg sebenarnya. :mrgreen:

    Nasib terbaik adalah mati tua & masuk surga, yang kedua mati muda saat terkenal, sedangkan nasib paling sial adalah tidak bisa mati. 😆

    Reply
  11. tidak perlu mati muda yud..

    membagikan yang terbaik bagi generasi penerus kita meskipun kita berbohong dalam menjadi panutan berarti ingin mengarahkan mereka untuk bertindak lebih baik. meskipun pada akhirnya mereka tidak lebih baik dari kita, ini lebih baik daripada jika kita mengajari kenyataan mengenai kejelekan kita dan mereka menjadi jauh lebih buruk dari kita dengan membuat tolak ukur yang rendah.

    Reply
  12. cenderung bertambah buruk ketika dewasa???

    kok gitu sih????

    ah, itu perasaan yudi aja kali’ saya malah merasa lebih baik, memang sih dewasa itu tak semenyenangkan waktu kecil karena sekarang kita banyak konsekuensi yg kita emban,,,,tapi itu sih lebih saya anggap sbg tanggungjawab untuk menjalani hidup…dan kita harus bisa jadi teladan bagi anak-anak (anak kecil) kita besok..insyaallah…he3X 😉
    jalani aja hidup apa adanya…semua masa itu pasti ada suka dukanya…

    Reply

Leave a Reply to J Algar Cancel reply