asou

“either way it would be your call — I don’t really know what would be the best for you, but make sure that you have no regret.”

___

hari-hari ini, saya kembali teringat Asou. dan sebuah pertanyaan mengenai suatu hal dari perjalanan hidup manusia, yang mungkin tidak sederhana benar: adakah sebuah keputusan itu harus selalu diambil berdasarkan apa-apa yang dianggap sebagai yang ‘terbaik’?

[asou-00]

“things that you say… are always right.”

saya teringat Asou, bukan karena sosoknya sebagai seorang pemuda yang serba sempurna atau bahwa ia memiliki keterpanggilan sebagai hero. senyatanya, ia adalah seorang pemuda yang mungkin tidak jauh beda dari lazimnya yang lain; kadang salah, jauh dari sempurna, tapi toh tetap berusaha jujur kepada dirinya sendiri.

mungkin, dan tidak seperti lazimnya kisah dongeng putri raja atau sinema elektronik yang kini tampak mudah benar ditemukan di televisi, yang membedakannya adalah bahwa ia tidak bersikap dengan keputusan yang dipertimbangkan dengan matang, dan keuntungan yang pasti didapatkan — mungkin malah cenderung tidak cerdas; tapi toh dengan demikian ia tampil sebagai lebih ‘manusia’ dari kebanyakan karakter pada drama umumnya.

yang dilakukannya adalah mencoba jujur, serta membuat keputusan dan melangkah –keputusan yang mungkin tidak terlalu cerdas, dan mungkin juga absurd– yang pada akhirnya mungkin agak tragis.

::

saya bertanya-tanya adakah setiap keputusan harus selalu diambil dengan meminimalkan kerugian dari apa-apa yang mungkin akan kita peroleh. setiap kali kita memutuskan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, karena kita tahu tidak ada untungnya untuk kita — mungkin akan merugikan, mungkin akan menyakitkan, atau malah tragis. dan kita menganggap bahwa keputusan yang tidak akan membawa keuntungan sebagai hal yang ‘absurd, dan mungkin tidak bermakna’.

tapi bukankah adanya perhitungan akan yang ‘absurd’ dan ‘mungkin tidak bermakna’ itu malah mengecilkan dan menyederhanakan (dengan konsepsi-konsepsi yang cenderung memukul-rata) apa-apa yang tidak selalu dapat kita formulasikan dalam perjalanan yang disebut ‘kehidupan’ ini?

mungkin, tapi saya tidak benar-benar paham adakah hal ini memang memiliki jawabannya sendiri.

::

saya teringat kepada Asou, justru bukan ketika ia memutuskan untuk melangkah pada jalannya sendiri; saya justru mengingatnya ketika ia berhadapan dengan sang ayah yang mencoba memperdebatkan keputusannya (walaupun dengan sikap dan sifat yang, layaknya seorang ayah, tidak bisa benar-benar disalahpahami sebagai antagonisme berlebih), dalam sebuah dialog yang tidak banyak kata-kata, tapi toh tetap tersampaikan; pada akhirnya, ia memang tidak kemana-mana. mungkin semuanya memang sia-sia, dan pada akhirnya malah terasa tragis.

pada akhirnya, tidak ada yang diperoleh; mungkin hanya perasaan yang remuk-redam (walaupun ya, tetap tanpa banyak air mata), dan pemirsa mungkin memandangnya sebagai suatu keadaan yang ‘terpaksa terkalahkan dengan tragis’. yang menarik adalah bahwa keadaan ini sama sekali jauh dari sempurna, tapi toh tampil sebagai ironi dalam bentuknya yang paling kena; manusia, yang bisa memutuskan untuk memilih yang ‘lebih baik’, justru mengambil jalan yang berbeda.

mungkin benar, apa-apa yang diinginkan manusia kadang terkalahkan oleh apa yang dikenalnya sebagai kenyataan; mungkin dalam kasus ini ia terasa (atau terpaksa) tragis, tapi setidaknya ia jujur, dan memutuskan untuk dirinya sendiri.

::

hari ini, saya bertanya-tanya, adakah setiap keputusan harus selalu diambil berdasarkan apa-apa yang ‘terbaik’, atau ‘menguntungkan’ bagi sebanyak mungkin pihak. mungkin tidak, atau setidaknya tidak selalu; mungkin pada akhirnya kita tidak akan mendapatkan apa-apa, atau malah akan terpaksa dihadapkan dengan suatu tragik, yang mungkin bisa tidak perlu terjadi.

mungkin, pada akhirnya memang ada banyak hal yang tidak bisa diraih, dan pada akhirnya seolah sia-sia. mungkin pada akhirnya hal seperti ini akan menjadi sesuatu yang absurd dan sama sekali tidak bermakna, dan dengan demikian akhirnya tidak membawa kita kemana-mana.

tapi entah kenapa, saya tidak bisa tidak sepaham dengan Asou. entahlah, mungkin saya memang agak terlalu keras kepala.

___

catatan:

[1] dari serial 1 LITRE no Namida (aka: 1 Litre of Tears).

[2] serial ini dirilis pada 2005, dilisensi dan ditayangkan di Indonesia pada 2007.

kara no kyoukai #4: the hollow

bicara tentang Kara no Kyoukai, berarti bicara mengenai standar tinggi yang telah ditetapkan oleh rangkaian film yang telah menginjak installment keempat dari keseluruhan tujuh bagian ini. tentu saja, karena masing-masing bagian memang diproduksi sebagai sebuah film — di negara asalnya, untuk konsumsi bioskop — maka review untuk masing-masing installment juga dituliskan secara terpisah di sini.

Overlooking View, berhasil dengan sangat baik. Murder Speculation masih mempertahankan standar tinggi yang ditetapkan oleh film pertama, sementara walaupun Remaining Sense of Pain bukannya tanpa kekurangan, toh film tersebut tetap tampil sebagai tontonan yang memikat.

bagian keempat dari tujuh bagian Kara no Kyoukai ini dirilis dengan subjudul The Hollow — atau dalam judul aslinya, Garan no Dou.

[knk4-00.jpg]

Maret, 1996. beberapa jam setelah akhir cerita Murder Speculation, Ryougi Shiki diceritakan mengalami kecelakaan setelah pertemuan terakhirnya dengan Kokutou Mikiya di kediaman keluarga Ryougi. Mikiya yang turut mengantar Shiki ke rumah sakit tampak masih terguncang dengan rangkaian peristiwa pada beberapa jam sebelumnya, yang diakhiri dengan kecelakaan yang nyaris menewaskan Shiki.

Juni, 1998. dua tahun setelah pertemuan terakhirnya dengan Mikiya, Shiki masih terbaring koma di ruang perawatan. sementara itu, Mikiya kini bekerja kepada seorang magus bernama Aozaki Tohko, yang kemudian mengetahui kisah tentang Shiki dan keluarga Ryougi.

dua tahun setelah koma, Shiki kemudian terbangun… namun tampaknya bukan hal yang mudah, ketika ia menyadari bahwa ‘Shiki’ yang selama ini menjadi separuh dirinya telah menghilang. belum lagi bahwa ia kini memiliki Eyes of Death Perception, yang memungkinkannya melihat garis-garis kematian pada benda-benda di sekitarnya…

[knk4-01.jpg]

memasuki installment keempat dari Kara no Kyoukai, film ini akan sulit dipahami tanpa pemahaman akan keadaan dan cerita pada film pertama sampai ketiga. walaupun latar waktu dari masing-masing chapter bersifat anachronic (secara kronologis, urutan waktu dalam Kara no Kyoukai sejauh ini adalah #2, #4, #3, #1), banyak penjelasan-penjelasan mengenai konsep dan latar belakang dari dunia dalam serial dengan genre thriller, action, dan supernatural ini yang disajikan pada film sebelumnya — khususnya pada film kedua yang mengambil latar waktu persis sebelum film ini.

tentu saja, sebaiknya anda menonton film ini sejak installment pertamanya untuk benar-benar mendapatkan grasp dari film ini. konsep-konsep seperti Death Perception, lalu keberadaan Shiki dan ‘Shiki’, juga cerita tentang keluarga Ryougi merupakan elemen cerita yang cukup kompleks dan merupakan prasyarat untuk dapat benar-benar memahami jalan cerita dari film ini.

secara umum, film ini tidak menawarkan banyak hal dari segi pengembangan cerita; plot relatif linear, walaupun ide yang diperkenalkan dalam perjalanan cerita juga memang tidak untuk konsumsi film dengan durasi panjang. bagusnya, film ini tampil dengan durasi ‘hanya’ 46 menit, dan dengan demikian film ini masih terselamatkan dari kemungkinan berpanjang-panjang yang tidak perlu.

bicara tentang plot yang relatif linear, hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa walaupun dengan pace yang relatif lambat, film ini tidak sampai jatuh membosankan. ada bagian-bagian yang tampak sedikit mubazir, tapi toh tidak mengganggu. sedikit pseudo-twist tampil menunjang jalan cerita, dan keseluruhan jalinan cerita tertata dengan rapi.

[knk4-02.jpg]

visual… masih di atas rata-rata, khususnya untuk adegan-adegan yang mengutilisasi landscape untuk latar belakang. artwork masih dieksekusi dengan baik, walaupun beberapa kekurangan (yang sebenarnya tidak terlalu signifikan) masih dapat diperhatikan di beberapa bagian film ini. bisa dikatakan visually astounding, walaupun dengan beberapa catatan sih.

dalam film ini, scores masih ditangani oleh Yuki Kajiura, untuk Kalafina Project… jadi sepertinya nggak perlu dijelaskan panjang-panjang juga sih. beberapa nomor untuk scores didasarkan kepada ARIA yang masih dibawakan oleh Kalafina, yang juga menjadi ending theme dari film ini. sedikit pop, sedikit klasik, sedikit gothic… hasilnya adalah komposisi dan soundtrack yang tampil luar biasa dalam mengiringi film ini.

film ini masih mempertahankan gaya penceritaan yang disajikan oleh tiga film sebelumnya; tidak banyak dialog yang tidak perlu, dan cukup banyak elemen dalam film ini dijelaskan secara selintas-lalu, dengan beberapa cue yang harus ditafsirkan oleh pemirsa. bukannya buruk sih, tapi pendekatan ini mungkin akan kurang sesuai untuk beberapa pemirsa. saya sendiri cenderung lebih menyukai model storytelling seperti ini, jadi mungkin tergantung selera sih.

tentu saja, yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa film ini masih menyisakan teka-teki mengenai apa-apa yang belum terungkapkan dari film pertama sampai film ketiga. pertanyaan-pertanyaan seperti apa yang terjadi dalam beberapa jam antara akhir cerita Murder Speculation sampai awal cerita The Hollow masih dibiarkan belum terjawab — kemungkinan, hal ini akan disajikan pada installment terakhir dari serial ini.

[knk4-04.jpg]

secara umum, tidak ada yang bisa dikeluhkan dari film ini — khususnya kalau dibandingkan dengan tiga installment sebelumnya yang telah dirilis untuk Kara no Kyoukai. visual jauh di atas rata-rata, sound tampil luar biasa, dengan jalinan cerita yang tertata rapi untuk sebuah film yang (bagusnya) tidak sampai jadi berpanjang-panjang.

sejujurnya, film ini kembali memenuhi semua ekspektasi saya terhadap adaptasi dari serial Kara no Kyoukai di layar lebar. memasuki bagian keempat dari tujuh bagian Kara no Kyoukai, film ini masih mempertahankan standar tinggi yang ditetapkan oleh tiga installment sebelumnya untuk karya yang konsep aslinya dikembangkan oleh TYPE-MOON ini.

mengenai standar tinggi ini… yah, hal ini memang masih harus dibuktikan sampai installment terakhir di bagian ketujuh nanti. tapi setidaknya, untuk saat ini Kara no Kyoukai adalah tontonan dengan kelas tersendiri.

`canaria` in the rain

if only it’s possible, I don’t really want to think about the sad things; not today, not tonight… perhaps, not even anytime when I don’t need to. not even when I don’t feel like walking through the drenching, pouring rain tonight.

really — if only it’s possible, I don’t want to think about it. and not here as well; while sitting on the concrete edge by the junction, looking only at the raindrops and drenched pavement, and not feeling like doing anything else.

…strange, I remember about `canaria`.

kanashii koto wa mou kieteru hazu
kimi ga mezameru asa ni wa
dakara yoake made sukoshi nemurou
daijoubu, soba ni iru yo

:: sorrowful things should have gone already
:: by the morning when you wake up
:: that’s why, until the dawn, just sleep a little longer;
:: it’s okay, I’m by your side

ah, semete ima dake wa
tanoshii yume wo
kimi ni hikari yo, watashi ni kinu yo
nozomu mono wa soredake

:: ah, at least for now
:: let us have a pleasant dream
:: (like) you’re in the light, and I’m with the silk
:: it would be all that I wish

what wishes are all about anyway; it’s only something people rely upon, something people need to keep walking. it’s fragile, yet people yearn for that something; be it broken or shattered, a wish is something people hold dear in their hearts — whether they are aware or not.

silently singing in the rain, around me there are people, saying and talking about things — strange, but I was alone.

yakusoku nante hoshikunai,
kowarete shimai sorede
daiji na mono wa, itsudatte,
katachi ga nai kara

:: I don’t want a promise,
:: it’s all broken already, that’s why
:: precious things are, always,
:: they don’t have figure to begin with

perhaps it would be easier if I just walk amidst the rain, letting go of these glasses, while looking up at the nightfall sky. wouldn’t be convenient, but at least it’s raining — so it would be all right anyways.

…but I end up not going anywhere.

mune no oku kakushita kono NAIFU wa
kizutsukeru tame janakute
hontou no jibun mutsuu shitatsu tame no,
taisetsu na katami datta

:: I tried to hide this naivete,
:: so that I wouldn’t be hurt from
:: it’s my will that this ought to be painless;
:: a precious memento, so it was

ah, tsuyoi hito da ne to
iware, yuka bii
kodoku ni natta, demo waratteta,
soshite, kimi ni deaetta

:: ah, to become a strong person
:: it was a reason to me, a token of gratitude
:: it became lonely, yet I laughed;
:: then I met you

why do I keep thinking about the sorrowful things, I wonder; if only I could just be there, at least smiling and all the things just like how it used to be. but it’s only yet another ‘if’ — and as if riding the uneasy crescendo, here I am; looking only at the raindrops and drenched pavement, silently reminiscing the continuation of `canaria`.

because kindness, can be really cruel sometimes.

itami wo shita,
hitotachi no kokoro ni sumu canaria
kagami ni utsuru aozora de,
utau yo, kimi no tameni

:: grieves, as I learned, are just
:: like canaria living in people’s heart
:: yet as the mirror reflects the blue sky,
:: I’ll sing (this), only for you

tonight, the blue sky is no longer; only grim nightfall awaits, as well as the last drops of the fading rain. but at the very least, I believe — maybe, probably… that around this time tomorrow, the rain will cease to follow, and things will fade into one more today.

for now, it’s still a sad song. but at least, only for this time, I hope that you would understand.

___

—written on Jan 31, 2009