invisibility insecurity

belakangan ini, saya sering memperhatikan aplikasi instant messaging di komputer saya — desktop, notebook, atau apalah yang sedang terhubung ke internet. dan sebagaimana lazimnya banyak tulisan yang muncul di tempat ini, ada pertanyaan sederhana yang membuat saya kepikiran.

kenapa ya, para developer IM client ini menambahkan fasilitas invisible di messenger? bahkan kalaupun tidak ada (ala Google Talk, misalnya), orang-orang akan meminta kepada developernya untuk menambahkan!

jadi, sebenarnya inti permasalahannya adalah alasan kenapa orang ingin bisa invisible. bukan kenapa-kenapa, saya sendiri juga sangat-jarang-nyaris-tidak-pernah invisible soal online di messenger. kalau online, ya online. kalau offline, ya offline. tidak peduli rekan satu SMA, satu angkatan kuliah, atau bahkan rekan kerja dan supervisor di kantor yang namanya ada di messenger saya, pokoknya saya tidak invisible, lengkap dengan status yang jujur dan apa-adanya.

…dipikir-pikir sebentar, ternyata tidak membutuhkan waktu lama untuk menemukan jawabannya.

seseorang itu memilih untuk invisible, karena dia merasa tidak aman!

dipikir-pikir, ya memang begitu, kan? misalnya anda dan saya saling terhubung via messenger, karena suatu hal sehingga saya meng-add anda (atau sebaliknya). kalau anda merasa aman bersama saya, anda tentu tidak akan keberatan untuk memperlihatkan bahwa anda online ketika saya online, bahkan mungkin akan mengajak saya ngobrol terlebih dahulu!

tapi seandainya salah satu kontak anda adalah supervisor menyebalkan di kantor (disclaimer: bukan curhat colongan :mrgreen: ) atau cowok yang PDKT dengan menyebalkan (mengasumsikan anda cewek lho ya), apakah anda akan merasa cukup aman untuk tidak invisible?

mungkin tidak. supervisor anda mungkin akan menanyakan progress report segera setelah melihat anda online di malam hari (omaigat, semoga hal ini tidak sampai terjadi kepada kita semua), atau cowok gencar-PDKT tersebut akan menanyakan apakah anda ‘sudah makan atau belum’ (sumpah, ini contoh yang basi banget), tapi yang jelas itu menyebalkan. dan kita tidak ingin hal itu terjadi, maka kita pun invisible.

jadi, kalau dipikir-pikir mungkin sebenarnya sederhana saja: soal invisible ini ternyata terkait dengan rasa aman anda (dan saya) terhadap orang lain… atau seberapa besar self-esteem anda dalam berhadapan dengan orang lain.

lho, kok self-esteem? tentu saja, soalnya anda mungkin berhadapan dengan orang yang tidak terlalu ingin anda dekati secara personal (tapi toh ‘terpaksa’ di-add di messenger). contohnya? banyak. supervisor kerja praktek anda mungkin masuk daftar. dosen yang membawahi tugas akhir anda mungkin juga bisa dimasukkan. orang sedikit-menyebalkan di kantor yang sering berhubungan dengan anda (yang dengan tidak rela, tapi toh di-add juga) juga masuk ke kelompok ini.

maka akhirnya saya tiba pada kesimpulan bahwa sebenarnya sikap invisible itu pada akhirnya merefleksikan diri saya sendiri di mata rekan-rekan di instant messaging. kenapa begitu? sebab dengan demikian ada kemungkinan bahwa mereka merasa tidak aman dengan keberadaan saya, dan mungkin ada sesuatu yang salah dengan saya.

…tapi ini cuma ‘mungkin’, lho. bisa juga sebenarnya tidak ada yang salah dengan saya, tapi setidaknya saya baru bisa bilang begitu setelah introspeksi diri, kan?

____

[1] tidak ada curhat colongan di tulisan ini. sumpah! :mrgreen:

[2] ngomong-ngomong, saya agak bingung dengan keberadaan invisible scanner. bukankah kalau ada orang offline sebaiknya diasumsikan offline saja? 🙄