kara no kyoukai #5: paradox spiral

tadinya, saya kira tidak banyak lagi yang bisa diharapkan lebih dari bagian kelima dari rangkaian cerita Kara no Kyoukai (= ‘Boundary of Emptiness’) ini. setelah empat film yang dieksekusi dengan sangat baik, saya berpikir bahwa akan sulit sekali bagi film ini untuk melampaui standar tinggi yang sudah ditetapkan sejak installment pertama.

…okay, saya harus mengatakan bahwa saya salah. Kara no Kyoukai: Paradox Spiral benar-benar mematahkan anggapan bahwa serial ini tidak bisa lebih baik lagi; kalau empat film sebelumnya layak mendapatkan penilaian sangat baik, maka film ini lebih dari cukup untuk dikatakan sebagai taken to the next level.

tidak, saya tidak melebih-lebihkan, pembaca. silakan melanjutkan membaca untuk lebih detailnya. :mrgreen:

[knk5-01.jpg]

cerita dalam Paradox Spiral berlangsung pada November 1998 atau tiga bulan setelah akhir cerita pada film pertama, yaitu Kara no Kyoukai: Overlooking View. pada saat ini pula empat bulan sudah berlalu sejak akhir cerita tentang Asagami Fujino dalam Kara no Kyoukai: Remaining Sense of Pain.

perkenalkan Enjou Tomoe, seorang pemuda berusia 16 tahun dengan keluarga yang berantakan. pada suatu malam, ia melarikan diri dari apartemen tempat keluarganya karena telah membunuh ibunya yang disangkanya hendak membunuhnya.

Tomoe bertemu dengan Ryougi Shiki dalam pelariannya, dalam keadaan babak belur setelah dihajar oleh para berandalan di tengah kota. berhadapan dengan Shiki, ia memohon kepada Shiki untuk membantunya menyembunyikan diri karena perbuatan yang telah dilakukannya…

…sebuah perbuatan yang, sebenarnya, hanya merupakan bagian kecil dari misteri yang jauh lebih besar yang melingkupi keluarga Enjou.

[knk5-02.jpg]

secara umum, Paradox Spiral berangkat dari banyak premis yang sudah ditetapkan dari empat installment sebelumnya: ada Eyes of Death Perception, ada elemen-elemen supranatural dan peranan para magi, serta lain-lain yang juga sudah disajikan di bagian-bagian sebelumnya. dengan demikian, film berdurasi 114 menit ini langsung tancap gas dengan gaya yang langsung tergambarkan dalam beberapa menit pertama: suspense dan thriller, dipadukan dengan elemen supranatural yang menjadi ciri khas Kara no Kyoukai sejak installment pertamanya.

film ini tampil dengan storytelling yang unik. gaya penceritaan disajikan secara tidak linear, dengan sepotong-demi-sepotong adegan yang ditampilkan dalam satu waktu, dalam kerangka yang seolah tidak berhubungan antar adegannya. di satu adegan kita melihat Enjou Tomoe di satu waktu, di adegan berikutnya Kokutou Mikiya dan Aozaki Tohko di latar waktu yang berbeda, dan adegan berikutnya lagi latar waktu kembali dilemparkan ke depan dan ke belakang seiring perjalanan cerita.

membingungkan? dijamin, setidaknya sampai pertengahan film anda masih akan bertanya-tanya apa maksud adegan dan simbol-simbol yang ditampilkan dalam film ini. barulah mendekati akhir film, rangkaian simbolisasi dan dialog dalam adegan-adegan yang seolah puzzle ini direkatkan menjadi kesatuan yang kohesif, memberikan sebuah mindscrew yang lebih dari cukup efektif untuk memaksa pemirsa terus duduk di depan layar.

[knk5-03.jpg]

secara teknis, eksekusi film ini luar biasa. storyline yang lebih dari cukup kompleks dieksekusi dengan storytelling yang edan-edanan memang berkontribusi besar untuk film ini… tapi yang tidak bisa dan tidak boleh dilupakan adalah visual yang dieksekusi dengan tidak kalah baiknya. detail untuk background serta lighting dan coloring memberikan atmosfer khas Kara no Kyoukai: visualisasi yang ‘gelap’, pemilihan warna untuk nuansa dengan kadar angst yang tinggi, dan secara umum menghasilkan visual yang… apa ya? disturbingly beautiful, kalau bisa dikatakan begitu sih. eksekusi yang sangat baik ini dapat diperhatikan dengan jelas untuk adegan-adegan di tempat Aozaki Tohko dan Cornelius Alba, selain tentu saja ruang bawah tanah di Ogawa Mansion.

scores, sound effects, dan soundtrack tampil prima… kalau bisa dikatakan, mungkin salah satu puncak dari pencapaian audio Kara no Kyoukai ada di film ini. scores untuk film ini masih ditangani oleh Kajiura Yuki, tampil dengan nuansa gothic dan lebih gelap dibandingkan sebelumnya. beberapa elemen scores tampak mengadaptasi dari pendekatan film noir, dipadukan dengan sedikit kanon di beberapa bagian lain film ini.

dan soundtrack, tentu saja tidak boleh ketinggalan; Kalafina Project besutan Kajiura Yuki tampil dengan sprinter, yang tidak seperti biasa kali ini tampil dengan paduan unik elemen rock dan gothic. buruk? sama sekali jauh, untuk lagu yang tampil sangat pas sebagai representasi terhadap keseluruhan storyline dari film ini.

[knk5-04.jpg]

dengan full mark untuk visual dan audio, serta setelah segala twist dan mindscrew yang gila-gilaan, klimaks film ini ditutup dengan adegan pertempuran yang… kalau ada satu kata yang dapat menggambarkannya, epic. tentu saja, dengan pendekatan khas Kara no Kyoukai: adegan eksplisit berupa gore dan darah berhamburan bisa diharapkan, tak ketinggalan dengan eksekusi visual yang benar-benar top-notch diiringi dengan scores yang tak kurang berkelasnya.

apa lagi ya… mungkin sedikit catatan pinggir, sih. selain storyline yang pada dasarnya memang sudah kompleks, film ini ternyata juga menyelipkan tema tambahan yang agak berbau filosofis. menyinggung predeterminasi dan eksistensialisme sebagai food for thought, elemen tambahan ini disajikan dalam kerangka berupa drama yang diselipkan dengan baik sebagai bagian integral dari pengembangan cerita. adalah hal yang perlu diperhatikan juga bahwa muatan tersebut tidak sampai jatuh menjadi sekadar tempelan; sebaliknya, pendekatan tersebut tampil maksimal dalam mendukung karakterisasi dalam film ini.

[knk5-05.jpg]

secara umum, Kara no Kyoukai: Paradox Spiral adalah tontonan dengan kelas tersendiri. kalau empat installment sebelumnya telah menetapkan standar tinggi untuk sebuah film dalam format animasi, maka film ini adalah puncak pencapaian dari perjalanan Kara no Kyoukai; semua departemen dieksekusi dengan manis, nyaris tanpa cacat yang benar-benar bisa dikeluhkan. dan sejujurnya, tanpa pretensi untuk melebih-lebihkan, film ini berhasil melampaui standar tinggi yang telah ditetapkannya sendiri — simply said, definitely taken to the next level.

tentu saja, akan menjadi tugas yang sulit, sangat-sangat sulit bagi dua installment terakhir dari Kara no Kyoukai untuk melampaui standar sangat tinggi yang ditorehkan oleh film ini. entah apa yang akan disajikan oleh ufotable dalam installment terakhirnya di bagian ketujuh nanti, tapi untuk saat ini Paradox Spiral adalah masterpiece tersendiri di kelasnya.

if tomorrow never comes…

“well, sometimes it’s painful. sometimes it’s troublesome, and it’s probably meaningless as well… but not even once I have my regret.”

___

hari ini, saya kembali mendengar(kan) salah satu lagunya Ronan Keating, dan akhirnya kepikiran ide untuk tulisan kali ini. untuk lagunya sendiri, judulnya… nggak usah ditanya kan ya? tentu saja, maksudnya adalah lagu dengan judul yang sama dengan judul tulisan kali ini, pembaca. :mrgreen:

halah. ribet. jadi, langsung ke masalahnya saja deh.

sekali dulu — sebenarnya sampai sekarang pun masih — saya berpikir bahwa hidup ini tidak banyak artinya. maksudnya, ya hidup ini memang seperti itu saja; sebentar, sementara, lalu selesai. seperti orang datang bertamu, duduk sebentar, mengobrol sedikit, lalu pergi lagi… setelah itu, ya sudah. tidak banyak hal yang layak dibanggakan apalagi disombongkan dari menjalani kehidupan yang sebenarnya tidak istimewa ini.

tapi entahlah, mungkin saya juga bertambah dewasa, dan mungkin saya juga sedikit berubah (duh lagaknya), tapi saya kira sedikit demi sedikit saya mulai belajar menghargai perjalanan saya yang mungkin tidak terlalu panjang ini. lagipula, bukankah konon katanya menikmati perjalanan adalah menikmati proses? dengan demikian yang terpenting bukanlah ketika kita sampai tujuan, melainkan apa-apa yang kita alami dalam perjalanan tersebut.

katanya sih, lagipula saya sendiri tidak bisa tidak setuju juga. memang begitu toh kenyataannya?

di titik ini, saya teringat lagu tersebut. seandainya ‘besok’ itu tidak ada lagi, dan saya tidak punya banyak waktu lagi, apakah saya akan sudah cukup siap untuk mengatakan ‘okay, let’s call it a day’?

hari-hari ini, saya kembali memikirkan apa-apa yang telah saya jalani selama lebih dari dua puluh tahun terakhir perjalanan saya. keputusan-keputusan yang saya ambil, pilihan-pilihan yang saya lakukan, serta arti dari masing-masing keputusan dan pilihan berikut konsekuensinya. tentu saja, tidak semuanya menyenangkan. ada hal-hal yang absurd, bodoh, dan mungkin tidak bermakna. ada keputusan-keputusan yang seolah agak egois, dan akhirnya mungkin tidak akan menguntungkan siapa-siapa termasuk saya sendiri.

tapi saya kira, saya tidak ingin membuat keputusan dan mengambil tindakan yang akan saya sesali kemudian. walaupun ada hal-hal yang tidak menyenangkan, kadang menyakitkan, kadang bodoh dan mungkin naif, kadang sedikit egois, kadang malah seolah tidak bermakna… tapi saya tidak menyesal; saya memutuskan untuk melalui perjalanan ini dengan jujur dan apa adanya, itu saja.

walaupun, yah… saya sendiri juga tidak tahu, sih. mungkin nanti, ketika ‘besok’ sudah tidak ada lagi untuk saya, ketika waktu saya sudah habis, saya ingin bisa mengatakan bahwa saya tidak menyesal, walaupun dengan sakit dan sedih yang tidak selalu bisa tergantikan oleh banyak suka dan senang.

saya kira, pada saatnya nanti saya hanya ingin bisa mengatakan; “I was here, and I have no regret”. setidaknya, perjalanan ini tidak akan sia-sia, kan? 😉

___

[1] sebenarnya lagu If Tomorrow Never Comes pertama kali dibawakan bukan oleh Ronan Keating. tapi berhubung yang saya dengar adalah versi remake-nya, jadi begitulah.

[2] ngomong-ngomong, umur saya dua puluh tiga. tapi sambil korupsi umur supaya lebih enak menulisnya, saya bilang saja ‘lebih dari dua puluh tahun lalu’. gak apa-apa, kan? :mrgreen: