2010

“2010: there is something I have to do. 2011: there is something I want to achieve. one is something personal, and one is nothing personal.”

me, Jan 15 2010

sejujurnya, sudah agak lama sejak terakhir kali saya menyempatkan diri untuk sedikit me-review apa-apa yang sudah saya jalani dalam beberapa periode terakhir kehidupan saya. sejujurnya, bukan kenapa-kenapa — kalau mau alasan gampang(an)nya, saya bisa mengatakan bahwa ternyata kesibukan saya selama ini cukup menyita waktu dan pikiran sehingga saya tidak sempat melakukan hal-hal seperti itu.

iya, ini alasan yang buruk sekali. basi benar pula. makanya, dengan demikian saya memutuskan untuk tidak menggunakannya sebagai sour grapes. pokoknya, saya sedang ingin menulis saat ini.

without further ado, tulisan ini adalah refleksi pribadi saya untuk tahun yang akan segera lewat ini, terurut secara kronologis.

a proper acknowledgment I earned. sedikit optimisme di awal 2010 — walaupun kalau disebut ‘optimisme’, sebenarnya agak kurang tepat juga. tapi, yah, itu cerita lain untuk saat ini.

belajar banyak. banyak, banyak, sekali hal. menyadari bahwa beberapa kuliah dulu adalah bekal yang sangat berharga. wisdom of the crowd says no? I say yes.

sakit menengah-berat dan sempat diopname. agak menyebalkan, tapi mau apa lagi. tidak semua hal bisa sesuai keinginan, kan.

(still) a heartbreak. let’s not talk about it.

satu assignment dengan banyak pengalaman dan pelajaran berharga. dengan sudut pandang dari tempat yang lebih tinggi, kita bisa melihat lebih banyak hal dan hubungan, ya.

kue, boneka, dan coklat. aku senang punya kakak dan teman-teman yang perhatian kepadaku… *plak*

mendapatkan pengalaman berdebat, mendebat, dan didebat. lesson learned? when you are good enough you are old enough.

upgrade blog! akhirnya, setelah lebih dari 4 tahun dan jarang menulis lagi dalam satu tahun terakhir.

baru tersadar (kembali) bahwa ternyata saya suka main game. Unreal Tournament itu ternyata game yang bagus, ya. kenapa saya bisa lupa?

mengembangkan kemampuan pengambilan keputusan… sebagian karena keadaan juga, sih. sama sekali bukan hal yang sederhana, masih perlu belajar soal ini.

ternyata teman-teman sekelas saya sudah mulai berkeluarga, terindikasi secara kuantitatif dengan banyaknya jumlah undangan tahun ini. me? I don’t think anytime soon.

menemukan kembali alasan dan kesempatan untuk menulis. atau mungkin kemampuan resource management saya sudah agak lebih baik, tapi setidaknya itu hal yang cukup bagus.

memandang kembali ke belakang, dan saya tidak bisa tidak berpikir; mungkin, saya memang sedikit berubah. saya yang saat ini tidak lagi sama dengan saya yang dulu.

2010. I did what I had to do. sweet and sour, mild and bitter, that was all there is to it.

2011. I know where I want to be, I know I have what it takes– yeah, I will. I know where I’m going.

ironi terlupakan

“ironi adalah ketika kamu menyapa seseorang dan dia bahkan tidak ingat siapa namamu.”

___

dulu, saya termasuk jenis manusia yang tidak menonjol. tipe yang, kalau anda pembaca kebetulan melihat saya pada masa-masa tersebut, kemungkinan hanya akan diberi pandangan sekilas ‘oh’, atau bisa juga dianggap sedikit-aneh. nilai pelajaran di kelas atau kuliah biasa-biasa saja, di lapangan olahraga apa lagi. tidak tergolong banyak bicara juga tidak cerah-ceria, pokoknya jenis yang sama sekali tidak akan menarik perhatian anda atau orang lain pada umumnya.

entah itu hal yang baik atau buruk, tapi dengan demikian saya tidak menjadi sosok yang keberadaannya diingat oleh banyak orang yang pernah saya temui dulu. termasuk seringkali, oleh mereka yang saya ingat dari beberapa periode kehidupan saya.

sekali dulu, di antara beberapa yang lain, saya kebetulan bertemu dengan seseorang yang dulu saya kenal. tidak ada masalah, tentu saja, selain bahwa dia tidak lagi mengingat nama saya, dan dengan keadaan tersebut menanyakannya langsung kepada saya. apakah saya punya bakat untuk hal seperti ini, entahlah; setidaknya, hal seperti ini bukan terjadi cuma satu-dua kali sejauh yang saya ingat.

saya ingat namanya. saya masih ingat kebiasaannya dulu. saya tidak marah — walaupun mungkin ada sedikit perasaan kecewa — tapi dengan demikian saya memutuskan untuk tidak lagi menyapa orang-orang yang sepertinya tidak akan mengingat saya.

pada dasarnya, saya berprinsip sederhana: kalau seseorang yang dulu saya kenal tidak lagi mengingat saya, maka saya tidak cukup penting untuk seseorang tersebut. sekalipun dulu saya sekelas dengan seseorang sewaktu SD, atau dulu saya sempat beberapa kali mengobrol dengan seseorang lain ketika SMP, atau bahkan ketika saya sempat cukup lama satu kegiatan dengan seseorang lain lagi sewaktu SMU, untuk saya semua itu tidak ada artinya kalau ketika saya bertemu dengan seseorang tersebut dia tidak lagi mengingat saya.

dengan demikian, saya tidak pernah lagi menyapa orang-orang yang dulu sekelas dengan saya dan tidak lagi mengenali keberadaan saya ketika berpapasan lama kemudian. saya tidak lagi memanggil rekan-rekan lama yang kelihatannya tidak menyadari keberadaan saya dalam acara pertemuan atau sejenisnya. saya tidak secara aktif mencari dan menambahkan rekan-rekan yang dulu pada akun jejaring sosial saya. karena, ya, untuk apa? bagi saya, memiliki sesuatu yang saya ingat dan tidak diingat oleh orang lain bukanlah hal yang menyenangkan.

mungkin saya dulu tidak istimewa, dan saya tidak lagi diingat. mungkin saya dulu cuma anak biasa yang sedikit-aneh dan tidak signifikan, itu bukan salah orang lain. kalaupun ada yang harus disalahkan, itu adalah diri saya sendiri. saya tidak berhak marah kepada siapapun soal itu; kalaupun saya marah, saya hanya marah kepada diri saya sendiri bahwa saya tidak cukup penting, bahwa saya tidak meninggalkan kesan, bahwa saya hanya mengingat sesuatu yang ternyata tidak penting lagi untuk diingat oleh orang lain.

tidak peduli walaupun seseorang dulu berarti untuk saya, kenyataan bahwa ada hal-hal yang tidak lagi diingat cuma berarti sederhana saja — saya tidak cukup penting, dan itu sesuatu yang, mau tidak mau, harus bisa saya terima.

walaupun, yah, saya bohong kalau saya mengatakan bahwa saya tidak kecewa.

tentang saya dan menulis

“jangan berhenti menulis, ya. karena suatu saat nanti, aku akan menanyakan lagi, ‘kamu menulis di mana, sih?'”

___

sudah agak lama saya tidak benar-benar menulis. menulis sesuatu yang agak matang dengan pemikiran yang terstruktur, maksud saya. dan selama itu pula, saya hanya mengatakan bahwa ada banyak alasan untuk itu. juga, kalau mau mengatakan secara sederhana, saya selalu bisa mengatakan bahwa saya sibuk, atau banyak hal-hal lain yang perlu dipikirkan, atau alasan-alasan lain.

iya, saya yang sekarang ini memang sudah agak lebih sibuk dibandingkan saya yang dulu. saya saat ini berusia 24 tahun, sementara saya yang dulu baru mulai menulis di sini masih berusia 19 tahun. saya sebagai profesional saat ini menjalani kehidupan yang berbeda dengan saya yang dulu masih sebagai mahasiswa. ada banyak hal-hal yang terjadi selama itu, tapi, yah, saya kira itu cerita lain untuk saat ini.

kadang-kadang aneh bahwa ketika saya melihat tulisan yang saya tulis ketika saya berusia 20-22 tahun, saya merasa seperti ada orang lain yang mengatakan kepada saya ‘hei, kamu dulu mengatakan ini, lho’, sementara saya tahu itu adalah tulisan saya sendiri. rasanya seolah seperti ada tabungan kebijaksanaan –kalau bisa disebut seperti itu sih, saya kan tidak sebijaksana itu juga– yang seringkali membuat saya berpikir, mungkin sebenarnya kalau saya yang saat ini bertemu dengan saya yang dulu, rasanya akan seperti mengobrol dengan orang lain yang saya kenal akrab, tapi tidak benar-benar bisa saya asosiasikan dengan diri saya sendiri.

selama beberapa tahun terakhir ini, saya kira banyak yang berubah dalam diri saya. mungkin termasuk imbasnya adalah bahwa saya tidak bisa lagi sering-sering menulis di sini. di antara perjalanan panjang, keputusan-keputusan yang harus diambil, hal-hal yang harus diselesaikan –kadang hal-hal seperti ini adalah urusan rumit– seringkali yang tersisa hanyalah waktu yang terasa sedikit, yang tidak selalu bisa saya gunakan untuk memikirkan apalagi menuliskan sesuatu.

tentu saja, saya tidak mengatakan bahwa keadaan tersebut adalah hal yang sepenuhnya buruk untuk saya. saya bersyukur dengan keadaan saya saat ini, dengan banyak hal yang saya miliki, walaupun saya kira akan selalu ada hal-hal yang harus lebih baik daripada saat ini.

tapi dengan demikian saya tidak bisa lagi menulis seperti dulu.

sekali dulu, saya belajar tentang trade-off terkait pengambilan keputusan dan manajemen resiko; intinya, ya, saya harus menerima bahwa selalu ada sesuatu yang harus dibayarkan untuk sesuatu yang lain. kalau misalnya kita ingin suatu variabel A, B, C dalam keadaan excellent –luar biasa, maka variabel terkait mungkin P,Q,R hanya bisa berada sebatas acceptable –bisa diterima, tapi tidak istimewa.

dan yang saya pahami, hal tersebut berlaku untuk banyak, kalau tidak hampir semua hal dalam kehidupan saya. saya memutuskan untuk tidak tanggung-tanggung dengan profesionalisme saya, maka saya jadi kehilangan kesempatan untuk menulis. kalau saya ingin bisa memperoleh dua-duanya, maka waktu saya untuk hal-hal yang lain akan harus dikorbankan — seperti halnya salah satu pelajaran pertama yang masih saya ingat sampai sekarang, there is no such thing as free lunch.

tapi sudahlah, setidaknya saat ini saya sedang ingin menulis dulu.

sejujurnya, saya tidak benar-benar tahu apakah tulisan saya sebagus itu. saya tidak tahu apakah tulisan saya bisa benar-benar memantik ide apalagi sampai menginspirasi orang yang membacanya (kata seseorang, mungkin saja), atau apakah ada orang lain yang sampai terharu dengan membaca tulisan saya di sini (kata seseorang lain, mungkin juga sebenarnya saya sudah pernah membuat seseorang menangis). mungkin ada benarnya juga bahwa pena, eh, keyboard bisa lebih tajam daripada pedang soal merobek-robek hati seseorang, entahlah.

mungkin saya tidak benar-benar bisa menulis seperti dulu lagi, juga mungkin tidak lagi bisa sebanyak dulu. tapi setidaknya kalau saya bisa menjalaninya di antara hari-hari yang sepertinya semakin sibuk dengan tanggung jawab yang semakin bertambah, saya kira hal seperti itu akan sudah cukup bagus untuk saya. kita memang tidak selalu bisa mengharapkan banyak hal dan semuanya terpenuhi, bukan?

saya berharap bahwa saya masih akan bisa menulis lagi — kalaupun bukan untuk orang lain, setidaknya saya menulis untuk diri saya sendiri. untuk saat ini, nanti, dan seterusnya, kalau memang masih memungkinkan.

musim dingin di minggu sore

Hari ini aku tidak sengaja menonton siaran VOA, dan entah kenapa aku merasa seperti disambut oleh sesuatu yang aneh. Saat ini di belahan bumi utara sedang musim dingin, dan di televisi orang-orang berlalu-lalang dengan jaket atau mantel tebal, sementara di kejauhan gedung-gedung tampak sedikit buram di hadapan langit putih sedikit kelabu.

Seseorang pernah mengatakan kepadaku bahwa bagi mahasiswa dari Indonesia, atau setidaknya beberapa orang, musim dingin adalah saat di mana perasaan sedih dan ingin pulang mencapai puncaknya. Salju menutupi jalan dan atap rumah, cuaca dingin, dan mau tidak mau kita jadi memikirkan rumah; tempat yang hangat, matahari sepanjang tahun, dan teman-teman yang masih berada di sana.

Di sini, di kota ini, aku hanya memandang siaran di televisi dan rasanya sedikit aneh; aku ingat dulu aku sempat memikirkan untuk mengambil cuti dan pergi ke Eropa sendirian, mungkin dengan menghabiskan sebagian cukup besar dari jumlah di rekeningku, untuk sesuatu hal yang kalau kupikir mungkin memang bukan untuk dianalisis dengan logika. Tapi entahlah, mungkin beberapa hal memang tidak untuk dimengerti, dan kurasa itu juga bukan sesuatu yang tidak bisa kupahami.

Masih memandangi layar televisi, musim dingin di belahan bumi utara, dan gadis pembawa acara yang kira-kira seusia denganku, kurasa akhirnya aku sedikit bisa memahami tentang sesuatu yang dari tadi kurasakan; sesuatu yang tetap berada di sana, yang diam dan tanpa suara, yang kemudian datang dengan telak dan mengganggu.

Kadang, aku tidak tahu apakah aku harus tertawa karena sedih atau diam saja tanpa mengatakan apa-apa.