utilitas kebutuhan dan financial sustainability

saya adalah orang yang sederhana. pas-pasan. kalau kata seorang kerabat, saya ini orang yang hidupnya ‘kayak nggak butuh duit’. kebutuhannya nggak banyak, katanya. dan katanya lagi, saya ini tipe manusia yang uangnya ‘masuk tabungan dan entah akan dipakai apa nanti’.

katanya beliau sih begitu, jadi bukan omongan saya lho ya. :mrgreen:

tapi saya jadi kepikiran hal yang menarik gara-gara omongan beliau tersebut. hal ini terkait tak lain dan tak bukan adalah model financial sustainability saya yang, kata beliau, ‘serba nggak butuh’ itu. dan bicara soal sustainability model, teorinya sih sudah banyak disinggung di mana-mana, jadi tak perlulah didiskusikan panjang lebar lagi soal teori terkaitnya ini.

.

ketika Arsene Wenger memulai karir kepelatihannya di Arsenal FC, ada dua hal menarik yang mendasari filosofi yang diterapkan beliau dalam tim sepakbola yang sampai sekarang menjadi favorit saya tersebut. pertama adalah filosofi di atas lapangan yang mengutamakan pass-pass pendek yang mengalir, sementara yang kedua adalah filosofi di luar lapangan tentang manajemen finansial terhadap klub sepakbola asal London tersebut.

it’s all about the money, it’s all about dum dum dumdumdum dum~

tentunya saya tidak akan membicarakan yang pertama, karena topik tersebut akan bisa jadi tulisan panjang sendiri. lagipula off-topic juga sih, kita kan sedang membicarakan sustainability model? jadi mari kita membicarakan bahasan yang terakhir saja.

jadi, inti dari filosofi manajemen yang dibawa oleh Pak Wenger adalah bahwa klub harus bisa bertahan hidup hanya dengan mengandalkan aset yang dimilikinya. living within own means, kalau ungkapannya beliau sih. jadi secara umum, pengeluaran klub harus selalu merupakan variabel terikat terhadap pendapatan klub. gaji pemain harus menyesuaikan dengan pendapatan sponsor dan tiket, sementara transfer pemain harus memperhatikan anggaran yang berimbang.

pendekatan ini agak berbeda dengan sebuah klub tetangganya di London yang kebetulan memiliki talangan dana pengusaha minyak kaya raya dari Eropa Timur sana. berbeda pula dengan tetangganya di Manchester yang hobi mengeluarkan uang dalam jumlah besar untuk membeli pemain mahal, yang notabene dananya berasal dari kantong pemilik klub yang kemudian dimasukkan sebagai sumber dana operasional klub alih-alih dari semata-mata perputaran pendapatan dari hak siar, transfer pemain, serta penjualan tiket dan merchandise.

jadi, dalam kamus Pak Wenger, arus keuangan didasarkan kepada dua hal: pertama adalah revenue dan profit yang diperoleh, dan kedua adalah kebutuhan dan skala prioritas. kalau cash flow tidak memadai, ya tidak bisa transfer pemain mahal. kalau cash flow ternyata memadai, uang pun bisa dikeluarkan… hanya kalau memang perlu.

tentu saja, hal ini bukan berarti ‘pelit’; pemain-pemain bukan tidak mungkin ditransfer dengan harga tidak-murah, tapi toh pertimbangannya tetap financial sustainability dari klub: kalau misalnya Andrey Arshavin dihargai terlalu mahal dari Zenit St Petersburg –35 juta pound, misalnya– hampir bisa dipastikan bahwa transaksi tersebut tidak akan terjadi, karena akan melanggar constraint finansial!

.

kembali ke masalah awal tadi tentang saya. sebenarnya, secara umum pandangan saya tidak jauh-jauh dari prinsipnya Pak Wenger; saya ini menghabiskan hanya dari apa yang saya hasilkan, bukan dari sesuatu yang masih belum saya dapatkan. jadi misalnya gaji saya X rupiah, saya hanya akan menghabiskan Y rupiah, di mana Y lebih kecil dari X.

secara umum, hal ini mengakibatkan tendensi saya untuk memiliki kartu kredit menjadi jauh lebih rendah daripada kebanyakan orang yang saya kenal. soal tendensi ini, alasannya sudah cukup jelas: tentu saja bukan karena saya paranoid, tapi karena pada prinsipnya saya tidak bisa mengeluarkan uang kalau uangnya belum ada!

saya sendiri cenderung berpikir bahwa sustainability model ala kartu kredit itu relatif tidak koheren. pertama, dengan memakai kartu kredit, ada kewajiban, liabilities yang menjadi tanggung jawab anda. anda berhutang, sederhananya sih. dan hal yang tidak menyenangkan dari berhutang adalah, suatu saat hutang tersebut akan harus dikembalikan.

masalahnya, bagaimana kalau dengan liabilities tersebut anda tiba-tiba tidak bisa mengembalikan dengan aset yang anda miliki? misalkan ada pengeluaran tak terduga dalam jumlah besar. anggota keluarga meninggal, atau anda kena penyakit parah, atau rumah anda dirampok… ini misalnya lho ya, semoga tidak sampai terjadi dan menimpa anda. dalam konteks ini, kalau anda tidak punya dana cadangan berupa tabungan atau deposito, misalnya, financial sustainability anda hampir dapat dipastikan kolaps. aset tidak mencukupi, sementara liabilities anda masih harus dipenuhi. sisanya, ya silakan dipikirkan sendiri.

.

tentu saja, kalau bicara sustainability, yang harus diperhatikan adalah bahwa saya membutuhkan liabilities yang seminimal mungkin di pihak saya. di sisi lain, sebisa mungkin saya ingin memiliki aset yang bisa di-convert untuk menutupi pengeluaran saya, sementara sisanya untuk sebagai equity alias modal.

misalnya begini. sekarang ini, sebagai seorang profesional, maka saya menerima gaji sebagai sumber revenue –pendapatan– untuk saya. dan secara umum, saya punya expense –pengeluaran– yang harus dipenuhi: pangan, sandang, papan, misalnya, di level kebutuhan primer. lalu di level kebutuhan sekunder ada listrik, internet, telepon, dan lain sebagainya.

normalnya, kalau berpikir secara sederhana, financial sustainability saya untuk keadaan tersebut bergantung kepada rumus sederhana berikut.

equity = revenueexpense

anda pembaca yang belajar akuntansi mungkin akan dengan cepat meralat saya bahwa rumus tersebut tidak tepat — seharusnya equity = (assetliabilities), atau profit = (revenueexpense). lho, kok bisa begitu?

sebenarnya ini cuma pendekatan sederhana saja, karena kita berbicara mengenai keuangan individu alih-alih korporat. sebenarnya sih dalam perhitungan profit and loss beneran, toh akhirnya keuntungan tahun buku dialihkan sebagai modal tahun buku berikutnya.[1]

nah, karena keuangan individu (baca: kasus saya) lebih sederhana dan tidak perlu hitung-hitungan yang ajaib, untuk konteks ini saya bisa langsung menyederhanakan bahwa setiap selisih pengeluaran-pendapatan saya dijadikan sebagai modal untuk bulan berikutnya.

OK, lanjut. secara umum, saya harus memiliki equity dalam jumlah yang cukup besar untuk memiliki keadaan finansial yang sustainable. tentu saja, equity ini harus bisa di-convert kalau saya membutuhkannya, dong. secara sederhana, sifatnya harus lancar, atau relatif bisa dicairkan ketika dibutuhkan. jadi kalau misalnya saya mendadak membutuhkan 10 juta rupiah, saya harus bisa menarik 10 juta rupiah dari equity yang saya miliki, kira-kira seperti itulah.

jadi untuk memperoleh equity yang besar, saya punya dua pilihan: pertama saya melakukan ekstensifikasi (baca: menaikkan revenue setinggi-tingginya, entah bagaimana caranya), atau melakukan intensifikasi (baca: menurunkan expense serendah-rendahnya, sampai sedekat mungkin ke batas minimal yang bisa ditoleransi).

karena ekstensifikasi cash flow dengan peningkatan penghasilan bukanlah hal yang bisa dilakukan dengan mudah tanpa bergantung kepada faktor eksternal, maka di sini pilihan yang sederhana untuk saya adalah menekan expense sampai ke level yang cukup rendah. bukan hal yang susah, karena pada dasarnya saya memang tidak punya terlalu banyak kebutuhan.

.

saya makan dua kali sehari (ngomong-ngomong, saya tidak merasa ini pola yang tidak sehat). saya tidak terlalu sering pergi ke luar dan makan di tempat mahal (walaupun bukannya sama sekali tidak pernah juga sih). saya cenderung membeli barang-barang dengan durabilitas tinggi (sepatu kets terakhir saya berusia 4 tahun sebelum diganti, ransel saya saat ini setidaknya berusia 5 tahun dan masih menghitung).

jadi, secara praktis kebutuhan saya tidak banyak. pengeluaran bulanan selain pangan sandang papan relatif selaras dengan anggaran senang-senang, jadi kira-kira seperti itulah.

tentu saja, saya kira hal ini juga sedikit banyak dipengaruhi oleh kecenderungan sikap saya untuk tidak terlalu memikirkan keberadaan uang secara khusus.[2] karena ya, untuk saya, selama tidak ada kebocoran di cash flow saya, tidak ada masalah. saya tahu arus masuk ke rekening saya sekian, saya tahu kira-kira arus keluar rekening saya sekian, dan sisanya tidak terlalu saya pikirkan. ada pendapatan, ya, masuk rekening. ada pengeluaran yang sudah diproyeksi, ya keluar dari rekening. ada pengeluaran lain-lain, tunggu, kita pikirkan dulu. kalau skala kebutuhan dan skala sustainability constraint masih sejalan, keluarkan. kalau tidak, nanti dulu.

pada dasarnya prinsip dasar saya sederhana saja: kalau saya tidak punya uang, saya tidak bisa mengeluarkan uang. karena itu, hal ini menjadi penting: apa-apa yang tidak dibutuhkan, ya tidak usah.

saya tidak suka naik ojek, misalnya. lebih baik jalan kaki beberapa ratus meter, apa masalahnya sih. saya hampir tidak pernah pergi dengan menggunakan taksi. menurut saya selagi moda transportasi kereta listrik atau bus kota bisa mengantar saya ke tujuan seharusnya tidak ada masalah. saya tidak merokok. selain pertimbangan fisiologis, rokok adalah juga pos pengeluaran yang signifikan jadi saya tidak paham kenapa orang memutuskan untuk mulai merokok.

pada dasarnya, efisiensi dimulai dari hal-hal kecil di lantai produksi. kalau dianalogikan dengan cash flow individu, efisiensi dimulai dari pengeluaran-pengeluaran kecil. makan siang, jalan-jalan akhir pekan, lembar-lembar kemeja dan celana panjang, ongkos taksi dan bensin mobil untuk setiap perjalanan dalam dan luar kota.

…walaupun soal yang terakhir ini, saya punya sedikit catatan pribadi; saya cenderung memilih jalan kaki dan naik bus bukan karena saya ingin berhemat, tapi karena saya memang lebih suka seperti itu! :mrgreen:

___

note:

[1] saya tidak mempelajari akuntansi secara khusus. kemungkinan akan ada poin-poin yang meleset dari teori aslinya, mohon koreksi.

[2] entah karena kelewat sibuk atau apa, saya sering merasa sedikit terkaget-kaget bahwa ternyata sudah masuk periode payroll di tempat kerja. entah apakah ini hal yang baik atau buruk.

[3] gambar diambil dari Amazon UK. ini bukan promosi, sumpah!

6 thoughts on “utilitas kebutuhan dan financial sustainability”

  1. 1] walopun saya tidak suka cara dia campur tangan dalam tim, tapi… Abramovich itu faktor penting dalam Chelsea karena kami tidak punya manajer sekelas Wenger dan SFA sebelum kedatangan beliau. :mrgreen: Disisi lain, tidakkah masbro berpikir mungkin saja Wenger mengembangkan sistem manajerial seperti itu karena Arsenal tidak punya juragan minyak? 😕
    Ah, tapi ini bukan pembahasan yg penting 😛

    2] Kalo soal sustainability, saya yang pendapatannya gak menentu ini rumusnya simple saja: Pengeluaran maximal =/< 2/3 total duit. Jadi kalo mau beli barang seharga IDR 5000, duit minimal mesti IDR 7500, atau bahkan IDR 10000 😆

    3]

    saya tidak merokok.

    JenSen Yermi likes this. :mrgreen:

    Reply
  2. sebenarnya sih malah sengaja dibikin kosong biar lega. konsepnya terutama sih ‘garis’ bukan ‘bentuk’, tapi nanti di-review lagi deh. thanks. 😉

    ngomong-ngomong, pengeluaran maksimal = 2/3 total duit itu AFAIK konsep umum untuk tabungan sih, terutama untuk pendapatan relatif tidak menentu (e.g. kontrak per proyek alih-alih harian/bulanan). kalau nggak salah dulu sekali pernah baca seperti itu (entah di mana sih, IIRC waktu masih SMP).

    Reply
  3. Panjang tulisannya T_T

    Tapi by the way, sedikit banyak gw iri dengan orang-orang yang bisa punya expense relatif lebih rendah dari orang kebanyakan dan tetep bisa ngerasa nyaman. Contohnya ya Anda ini 😀

    Saya suka liat permainan Arsenal, tapi selalu menyesali pemain-pemain hebat yang selalu dijual.. pasti semata-mata untuk kebaikan klub – seperti penjelasan Anda.

    Untuk theme blog, mungkin bisa mencoba main sedikit di typography. Tetep ‘kosong’ tapi lebih berkarakter 🙂

    Reply
  4. I love the smoking part 🙂

    rokok adalah juga pos pengeluaran yang signifikan jadi saya tidak paham kenapa orang memutuskan untuk mulai merokok.

    indeed :-bd

    Reply
  5. mungkin karena gue pada dasarnya juga nggak punya banyak keinginan sih ji. anggaran senang-senang gue cuma buat hobi dan sesekali traktir diri sendiri (gue jarang pergi demi kuliner btw), jadi ya kira-kira sendirilah. :mrgreen:

    btw, tante della, ini juga bukannya nggak pernah coba merokok, kok. nggak doyan sih. etapi di tulisan ini pertimbangannya murni cash flow lho ya! 😀

    Reply

Leave a Reply to jensen99 Cancel reply