suatu hari di Jakarta

aku menemuinya pada suatu siang yang cerah di suatu tempat di Jakarta. usianya kira-kira dua puluh sembilan sampai tiga puluh tiga tahun. seorang profesional, seorang rekan kerja, seorang wanita karir, kalau mau disebut seperti itu. dia mengambil tempat di meja yang berada di sisi jendela, dan kalau kita berada di sana, di baliknya kita bisa melihat bangku kayu dan orang-orang berlalu-lalang di sekitarnya.

awal tahun sudah berlalu, dan memasuki akhir kuartal pertama matahari yang bersinar cerah dan sedikit panas adalah hal yang biasa. bisnis seperti biasa, dengan apa-apa yang berada dan terlibat di dalamnya juga berjalan seperti biasa — orang-orang, barang-barang, penjualan, kira-kira seperti itulah.

melepas jaket dan menggantungkannya di sandaran kursi, juga setelah sedikit sapaan dan obrolan singkat, aku mengambil tempat duduk di seberangnya.

“jadi,” kataku, “kita sudah sempat ngobrol sekilas kemarin, dan sekarang aku jadi penasaran.”

dia mengangkat sebelah tangannya, nyengir. “sebentar. pesan makanan dulu, ya. kamu mau pesan apa?”

aku memutuskan untuk mengambil menu serupa dengan pesanannya. kurasa aku juga tidak benar-benar lapar, jadi apapun itu aku juga tidak keberatan. lagipula bukan untuk itu juga kok aku –juga dia, dalam konteks ini– berada di tempat ini.

“maaf ya, rencananya berubah. minggu kemarin ada urusan di logistik, terus tadi nomor ponsel juga harus diurus, soalnya sudah nggak termasuk corporate number lagi, kan.”

tersenyum simpul, aku hanya berkomentar apa adanya. “susah ya, kalau karyawan yang mengundurkan diri itu levelnya managerial.”

dia hanya tertawa.

.

aku pertama kali bertemu orang ini secara sedikit kebetulan dalam keperluan lintas departemen di tempat kerja. pada saat itu di ruang rapat direksi sedang diadakan pertemuan, dan karena suatu hal aku berada di sana sebagai peserta yang sebenarnya tidak terlalu diundang. ada beberapa hal yang dibicarakan, sebagian sedikit pelik, dan sebagaimana banyak hal lain di berbagai tempat, sesuatu harus dilakukan untuk keperluan seperti ini.

secara singkat, akhirnya kami berada dalam sebuah tim untuk menangani sesuatu. bisnis seperti biasa, diselesaikan seperti seharusnya.

ngomong-ngomong, sifat kami cenderung berkebalikan. orang ini mencerminkan semangat tinggi; cerah ceria sedikit galak, senang sedikit main-main dengan pada saatnya bisa demikian tegas tak kenal ampun. tentu saja, kalau ada yang mirip di antara kami, kurasa itu adalah prinsip dan kemauan untuk melakukan sesuatu secara tepat dan benar. kalau kupikir-pikir lagi, mungkin pada dasarnya perbedaan sifat juga tidak selalu adalah masalah besar untuk dua orang dalam bekerjasama.

satu hal yang membuatku merasa sedikit tidak sopan, belakangan aku baru tahu bahwa biasanya orang memanggilnya dengan sebutan ‘mbak’ atau ‘ibu’. dengan perbedaan usia kami, setahuku cuma aku yang memanggilnya langsung dengan namanya — entah apakah itu hal yang baik, ya.

aku tidak tahu apakah dia keberatan pada awalnya, tapi dia sendiri mengatakan bahwa dia tidak keberatan. itu lama sekali kemudian, sih.

.

“jadi, aku tidak bekerja demi uang. sejujurnya uang itu memang penting sih, tapi menurutku itu juga bukan semuanya.” katanya. “aku ingin melakukan sesuatu yang lebih.”

dia kemudian bercerita bahwa dia sempat berdiskusi dengan seorang direksi yang menjadi atasannya, secara umum mengenai apa-apa yang ingin dilakukannya, apa yang bisa dilakukan dan tidak bisa dilakukan, dan pada akhirnya keputusannya soal ini.

aku kira-kira paham maksudnya. dalam hal sesuatu yang ‘lebih’, tidak selalu semuanya terkait dengan jumlah penghasilan yang dibawa pulang. itu kira-kiranya termasuk juga apa yang bisa dilakukan, untuk sesuatu yang dianggap benar dan perlu, juga pengembangan berkelanjutan terhadap sesuatu yang kita lakukan dan kerjakan di tempat kita sekarang berada.

atau, dalam dua kata pada bahasa Inggris: continuous improvement. kalau kesempatan itu tidak ada atau tidak cukup terbuka, bisa dipahami bahwa hal seperti itu juga menjadi satu alasan tersendiri untuk mempertimbangkan pergi.

.

“lagipula, aku juga punya keluarga, dan di tempat sekarang lebih dekat dari rumah. anak-anak tumbuh –mereka sekarang sudah SD– dan sebentar lagi akan susah mengajak mereka pergi bareng. kamu paham, kan?”

“ah, jangan kuatir,” sanggahku santai. “yang seperti itu cuma sebentar, kok. beberapa tahun setelahnya, mereka sudah kuliah dan agak dewasa, mereka akan mau diajak pergi bareng lagi.”

rasanya aku mendengar umpatan ‘dasar’ disertai senyum lebar, tapi biarlah.

“tapi bisa dipahami,” kataku. “secara teknis, kalau mempertimbangkan resiko dan benefit,  seperti itu sudah paling optimal. kalau kita mempertimbangkan hal yang tadi, juga tentang keluarga ditambah faktor penghasilan, keputusan itu ya sudah paling menguntungkan.”

“betul. aku juga berpikir begitu. tapi dibilang begitu, ya mungkin sudah waktunya juga. kamu tahu, aku selalu berdoa supaya dibukakan jalan untuk segala sesuatu dalam hidup ini. aku sendiri tidak mencari kemana-mana, aku mendapatkan tawaran seperti yang kuceritakan tadi. itu juga setelah lewat berbulan-bulan, juga bukannya sempat kutanggapi dari dulu.”

“termasuk, juga waktu ketemu kamu dulu,” lanjutnya. “kalau nggak ada kamu aku nggak tahu. kalau dipikir-pikir lagi sepertinya banyak kebetulan, tapi itu mungkin memang jalannya dari Yang Di Atas.”

aku mengangguk setuju. dalam banyak hal dalam hidup ini, kadang banyak tikungan dan putaran tidak terduga, kadang dengan segala hal yang sudah terjadi, baik atau buruk, ketika kita melihat ke belakang kita seperti bisa melihat sekilas jejak-jejak rencana yang tadinya sama sekali tidak kita sangka.

hidup, rencana, siapa pula yang bisa menentukan di antara manusia? aku memandang ke luar jendela. matahari masih bersinar terang, bangku kayu dan tembok batu berganti suasana dengan berkurangnya manusia di sekitarnya.

.

“kamu sendiri bagaimana?” tanyanya. “aku dengar ada tim di tempatmu sedang proses transfer.”

“siapa yang bilang?” aku nyengir, melemparkan pertanyaan yang setengahnya bukan pertanyaan.

“orangnya sendiri sih, dia pernah menyebut-nyebut soal itu.”

“yah, kalau dia sendiri yang bilang begitu, ya bisa jadi benar juga. kalau boleh tahu, kenapa memangnya?”

“tidak apa-apa. cuma ya baguslah. kalau seseorang, atau kamu, misalnya, bisa lebih maju di bagian lain di tempat ini, kenapa tidak?”

aku paham, ini juga hal yang serupa dengan yang kami bicarakan tadi. kalau sesuatu itu bisa lebih baik, kenapa tidak? tapi untukku, masalahnya bukan berada di sana. setidaknya, bukan untuk saat ini.

“bagaimana, ya. masih ada sesuatu yang harus kulakukan di sini. kalau dibilang seperti tadi itu, mungkin ada benarnya juga. tapi ini sesuatu yang menurutku juga penting, jadi kurasa aku masih akan di sini dulu. lagipula aku juga masih harus banyak belajar.”

“lho, dari dulu juga di sini bukannya memang tempat orang belajar?” ia bertanya dengan senyum lebar khasnya. hampir sepuluh tahun berada di tempat ini, datang dari orang ini, hal seperti ini bukanlah pernyataan yang dibuat dengan asal bunyi.

tentu saja, aku juga bukannya sepenuhnya tidak setuju soal pernyataannya itu.

“kamu tahu Top Gun?” aku bertanya. “filmnya Tom Cruise dulu. waktu dia masih ganteng.” (entah kenapa aku merasa mendengar orang di depanku tersedak)

“di akhir filmnya, kalau tidak salah dia bilang; ‘yang terbaik kembali ke kampus’. yah, dia akhirnya jadi instruktur.” aku melanjutkan.

“sejujurnya aku tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. tiga sampai lima tahun lagi, misalnya, aku tidak tahu. tapi masih ada sesuatu yang harus kulakukan di sini, jadi kira-kira seperti itulah.”

dia tersenyum seolah paham, sebelum akhirnya bertanya dengan nada main-main yang biasa. “memangnya apa sih sesuatu yang harus kamu lakukan itu?”

“ada deh,” kataku sambil sedikit tersenyum. “mungkin nanti kalau sudah sampai akan akan kuceritakan. lihat nanti, yah.”

.

aku melirik jam tanganku. sepertinya sudah waktunya, dan seperti halnya banyak hal lain di dunia ini, ada waktu yang terbatas untuk segala sesuatu.

“yah,kamu punya nomor telepon dan IM-ku. kita ngobrol lagi kapan-kapan, ya.” ujarnya.

“sepertinya kita tidak akan ketemu lagi untuk waktu yang lama,” kataku. “tapi pokoknya, terima kasih.”

aku tidak mengatakan apa-apa lagi. memandang sekali lagi ke luar jendela, ke arah langit biru dan awan pada hari yang cerah sedikit panas menjelang sore, dan aku tidak bisa tidak berpikir; kadang kita harus membiasakan diri dengan banyak hal dalam perjalanan yang cuma sebentar ini.

aku teringat obrolan kami sekali dulu, dalam sebuah acara makan malam undangan perusahaan.

“aku ingat, Division Manager yang baru pensiun itu dulu mengatakan begini kepadaku: be a diamond. jadilah seperti berlian, katanya. karena berlian itu akan selalu bisa berkilau bahkan di antara lumpur.”

waktu itu aku hanya memikirkan bahwa berlian yang ada di alam itu pada dasarnya harus dipotong dan diasah supaya bisa benar-benar berkilau, jadi itu bukan sesuatu yang bisa dibiarkan begitu saja.

dia hanya tersenyum waktu kami membicarakan tentang hal tersebut setelahnya.

be a diamond, yud.”

waktu berjalan, manusia berubah, dan mau tidak mau kita juga harus melangkah. ada hal-hal yang berubah, ada hal-hal yang kita pelajari, dan pada dasarnya semua adalah bagian dari perjalanan masing-masing sebagai manusia.

‘terima kasih’, kurasa sebenarnya itu yang terutama ingin kukatakan.

___

[1] sebenarnya saya tahu persis usianya berapa. untuk pembaca yang kebetulan tahu, tidak perlu didiskusikan, ya.

[2] penggunaan bahasa disesuaikan sedekat mungkin ke penggunaan bahasa Indonesia baku, kecuali beberapa bagian dengan pertimbangan terkait nuansa tulisan.

5 thoughts on “suatu hari di Jakarta”

Leave a Reply