+ “…and unlike me, you always keep your promise. kudos.”
– “apparently in today’s society a promise is not really important. well not the first time, I’m getting used to it anyway.”
___
sejak dulu, saya diajarkan untuk selalu menepati apa yang sudah saya katakan kepada orang lain. saya dididik untuk menjadi orang yang jujur; kalau tidak bisa menepati, jangan berjanji. untuk saya, lebih baik tidak mengatakan apa-apa daripada menyebutkan janji yang tidak bisa dipenuhi.
oleh karena itu, saya selalu berusaha menepati setiap perkataan saya sampai setiap kata yang bisa saya ingat. kalau saya mengatakan bahwa saya akan menemui seseorang pada suatu akhir pekan di hari Sabtu, maka saya akan menemui seseorang tersebut pada hari Sabtu. kalau saya mengatakan bahwa saya akan datang pada pukul 12:30, saya akan mengusahakan untuk datang setepat mungkin pada pukul 12:30.
ya, itu hal yang wajar, kan? bagaimanapun, itu sesuatu yang sudah saya ucapkan sebagai sebuah janji, dan dengan demikian saya punya tanggung jawab untuk memastikan bahwa apa yang saya ucapkan itu jujur dan benar adanya.
.
tapi kelihatannya, hal ini tidak cukup penting untuk orang-orang lain di sekitar saya. janji yang dibatalkan tiba-tiba seolah jadi sesuatu yang wajar. keterlambatan dalam janji menjadi hal yang normal. penggantian dan ucapan maaf kemudian menjadi kebiasaan.
sejujurnya, kadang saya sendiri ingin memandangnya dengan sinis saja: omong kosong dengan itu semua. kalau tidak bisa menepati, jangan janji apa-apa! kalau tidak tahu apa yang harus dikatakan, tidak usah bilang apa-apa!
tapi toh keadaannya seperti itu, dan hal seperti ini meliputi banyak hal dari berbagai tempat yang saya ketahui: dari meeting di tempat kerja sampai acara jalan-jalan biasa, keterlambatan atau pembatalan seolah sudah menjadi hal yang berlaku umum saja. apakah tidak ada seorangpun yang keberatan soal itu, saya sendiri tidak paham.
kadang, hal seperti ini juga membuat saya cenderung tidak sabar: untuk apa membuat janji kalau bisa dibatalkan sesederhana itu? juga, sejak kapan ucapan ‘maaf’ dari telepon genggam bisa menjadi alat tukar dengan harga murah?
dan tidak, saya tidak menerima kata-kata seperti ‘kamu masih naif sekali’, atau ‘kamu perlu tumbuh dewasa’. untuk hal-hal seperti itu, saya selalu mengatakan bahwa itu cuma alasan yang dibuat dengan seenaknya sendiri oleh orang-orang yang merasa sudah lebih lama hidup daripada saya. masih kurang? iya, persetan dengan orang dewasa dan omong kosong mereka!
.
anehnya, saya masih saja keras kepala. saya masih saja berusaha menepati apa-apa yang sudah saya janjikan. saya masih saja datang tepat waktu, saya masih saja mengingat janji saya kepada orang lain — kadang sampai yang bersangkutan sendiri lupa, dan pada akhirnya cuma saya yang merasa sia-sia dengan semuanya itu.
entahlah, saya tidak paham. mungkin yang disebut dengan ‘janji’ itu tidak cukup penting untuk orang lain, mungkin itu cuma sesuatu yang tidak ada artinya, mungkin saya cuma berpegang kepada sesuatu yang pada dasarnya tidak ada untungnya sama sekali untuk saya.
atau mungkin, saya cuma agak terlalu keras kepala. atau mungkin sedikit salah didik, entah apakah itu hal yang baik atau buruk.