sedikit sejenak untuk ruang sendiri

dan kamu masih seperti-seperti dulu lagi
di sudut kamarmu seperti biasa, duduk sendiri
usai senyum manis dan rinai tawa
di sisi gerimis pagi

usai. iya…

aku belum bisa buatkanmu teh hangat pulang nanti
atau pula janji besok atau lusa ketemu lagi

sementara entah untuk apa aku menulis ini
ingin menemani, barangkali
sambil setengah merutuk dalam hati;

‘sadar nggak sih? kamu tuh kuat, tapi
nggak selalu harus semuanya sendiri…’

 

setelahnya, terserah kalau kamu mau pergi
tapi jangan jauh-jauh sih…

onward

tadinya buku ini hampir saja lepas dari pengamatan saya kalau saja tidak ada edisi yang memang sengaja dibuka untuk sampel di toko buku. habis bagaimana lagi, kalau melihat sampulnya saja sekilas orang akan dengan mudah berpikir: ‘ah, Starbucks lagi’, dan dengan gampang orang cenderung akan berpikir pula, ‘paling isinya how-to Starbucks Experience untuk usaha anda’, atau ‘bagaimana Starbucks menjual produknya dan bagaimana anda juga bisa’.

iya, di industri perbukuan yang berangkat dari sejarah korporasi dan management insight, saya cenderung berpendapat bahwa Starbucks sebagai sebuah merek mulai terkena ‘sindrom Toyota’: terlalu banyak buku tentang bisnis yang terlalu banyak mengupas sisi operasional dari merek tersebut!

tapi, ya, untungnya. kemudian saya melihat nama penulisnya: Howard Schultz, CEO-nya Starbucks. kemudian membaca ringkasan di belakang bukunya. kemudian mulai membalik-balik halamannya. kemudian… ah, silakan melanjutkan membaca saja deh.


Onward, oleh Howard Schultz. edisi bahasa Indonesia, hak penerbitan oleh Gramedia.

secara singkat, buku ini adalah sebuah memoar tentang kepemimpinan Howard Schultz sebagai CEO di Starbucks Coffee Company, atau lebih dikenal sebagai ‘Starbucks’. uniknya, buku ini tidak memfokuskan angle kepada perjalanan Schultz sejak melakukan akuisisi pertama Starbucks[1]. buku ini justru memfokuskan kepada periode sulit yang dialami Starbucks pada tahun-tahun setelah Schultz pensiun sebagai CEO pada 2000, yang pada akhirnya menuntut nuraninya untuk kembali memegang peran sebagai CEO di Starbucks di tengah terpaan krisis ekonomi global pada 2008. buku ini adalah tentang apa-apa yang terjadi setelahnya.

secara teknis penulisan, buku ini menonjol dengan caranya sendiri. sedikit terinspirasi New Journalism[2], halaman demi halaman buku adalah narasi perjalanan Schultz dengan sudut pandang orang pertama, dengan para mitra dan eksekutif di Starbucks digambarkan dengan karakterisasi layaknya pendekatan prosaik pada sebuah novel. hasilnya, sebuah pengalaman menelisik seluk-beluk dan dinamika pada lingkaran dalam kepemimpinan Starbucks dalam bahasa yang membumi dan mudah dipahami.

terkait aspek teknis penulisan buku ini tentu saja tidak hanya tergantung kepada Schultz sebagai penulis dan nara sumber utama. Joanne Gordon (sebelumnya adalah jurnalis di Forbes) sebagai penulis pendamping melakukan tugasnya dengan sangat baik dalam mengkompilasi tulisan-tulisan serta hasil wawancara dengan Schultz sebagai CEO dan berbagai personel lain pada lingkar kepemimpinan Starbucks. tak ketinggalan juga adalah pihak-pihak di luar eksekutif yang terkait pengembangan produk serta merger dan akuisisi yang dilakukan oleh Starbucks, dalam kolaborasi untuk sebuah karya yang pada dasarnya dapat dinikmati oleh berbagai kalangan pembaca.

kontribusi yang juga tak boleh dilupakan adalah penerjemah dari tim Gramedia, di sini Alex Tri Kantjono Widodo melakukan tugas dengan baik untuk menerjemahkan beberapa istilah bisnis (‘angka komparasi’ untuk comparable same-store sales, misalnya), namun dengan tetap mempertahankan beberapa istilah bahasa Inggris untuk mempertahankan nuansa. hal ini dapat diperhatikan misalnya untuk beberapa ungkapan seperti ‘coffee experience’, ‘bold’, dan ‘burnt’. tentu saja termasuk kata ‘Onward!‘, yang dengan sengaja tidak diterjemahkan demi mempertahankan ide dan semangat penulisnya.

buku ini adalah sebuah memoar, dan dengan demikian sudah pasti akan sangat kental dengan pengalaman dan management insight, khususnya dalam peran sebagai eksekutif pada korporasi global. merger dan akuisisi, harga saham dan angka komparasi, demikian juga konflik dan perbedaan pendapat antara kalangan eksekutif dan analis di Wall Street digambarkan dengan mendetail namun tetap membumi tanpa sampai mengawang-awang. pendekatan terhadap crisis management dalam keadaan genting yang dialami perusahaan mengambil bagian yang cukup signifikan dari buku ini, juga disajikan dengan unik sebagai bagian dari pengalaman hari ke hari seorang eksekutif.

tentu saja, dengan segala kelebihan yang dideskripsikannya, buku ini juga tak segan mengakui bahwa gaya kepemimpinan Schultz mungkin bukan selamanya sesuatu yang dengan mudah disukai semua orang. di beberapa bab kita bisa melihat beberapa tindakan yang mungkin terkesan ‘potong kompas’ dan mungkin tak selamanya sesuai skema dan kaidah-kaidah organisasi (lihat bagian tentang ‘Sorbetto’ dan pengembangan VIA, misalnya), tapi pada saat yang sama kita sebagai pembaca juga cenderung paham bahwa tindakan-tindakan tersebut pada umumnya didasari oleh kecintaan yang mendalam terhadap Starbucks sebagai tempatnya berkarya.

toh dengan segala catatan tersebut saya tidak merasakan ada kekurangan yang cukup signifikan dari buku ini. gaya tulisan yang mengalir dan tersampaikan secara jujur dan disarikan dari pengalaman hari ke hari menjadi nilai tambah tersendiri, dengan management insight yang disajikan dalam buku ini membuatnya layak direkomendasikan untuk pembaca dari berbagai kalangan dan usia.

tentu saja catatan khusus untuk pembaca yang berkarir sebagai profesional baik pada first line, mid-level, maupun top-level management, buku ini lebih dari cukup layak direkomendasikan untuk dibaca. saya sendiri tidak punya keluhan: nilai penuh untuk buku ini.

___

[1] iya, Starbucks itu bukan didirikan oleh Howard Schultz. Starbucks adalah perusahaan kecil-menengah yang diakuisisi oleh beliau pada masa mudanya sebagai bagian dari ekspansi usaha gerai kopi Il Giornale.

[2] New Journalism: pendekatan jurnalisme dengan penceritaan yang cenderung naratif dan prosa dramatik, dan cenderung berorientasi-subjek. tautan pada Wikipedia seharusnya cukup menjelaskan.

hak fotografer dan sedikit pengalaman

sebagai seorang fotografer senang-senang-rada-serius dan bertempat tinggal di negara yang notabene tak selalu aman[1] untuk membawa kamera DSLR[2] ke mana-mana, saya paham bahwa kultur fotografi bukan sesuatu yang selalu bisa dipahami dengan baik ke manapun saya pergi. hal ini termasuk namun tidak terbatas kepada peraturan dan aspek legalitas yang berlaku di tempat-tempat yang saya satroni datangi dalam rangka pengambilan foto, biasanya berlaku untuk tempat-tempat umum atau setidaknya tempat agak-tidak-umum yang dibuka untuk umum.

nah, untuk kali ini, saya ingin membahas tentang sedikit pengalaman terkait foto-memfoto dan kenapa begini kenapa begitu. bukan berarti saya jadi serba benar sih, jadi kalau misalnya ada pembaca yang punya pengalaman atau pengetahuan terkait mungkin bisa berbagi juga soal ini.

foto terkait tulisan ini. setelah pengalaman yang menginspirasi tulisan ini,
sepertinya cukup layak untuk dipampang di sini.

.

beberapa waktu yang lalu, saya blasak-blusuk (eh ini bahasa Indonesianya apa ya? ‘keluar masuk’ kok rasanya agak kurang pas) di sekitar kompleks gedung tempat saya bekerja. sebenarnya sih tujuannya sambil iseng mengasah mata fotografer buat foto panorama yang memang pada dasarnya syarat lokasinya agak tidak sederhana[3]. akhirnya ketemu satu dari beberapa tempat dengan sudut pandang dan elevasi yang kurang-lebih sesuai kebutuhan dan keinginan saya, waktu itu lokasinya di sekitar parkiran yang agak tinggi.

keluarkan telepon genggam, ambil beberapa foto, OK, bagus. kemudian, keluarkan DSLR! dan beberapa jepretan langsung diambil dengan sekali sapuan.

dan kemudian saya disapa seorang petugas keamanan. cukup ramah, sih, tapi ya saya paham. kena deh. 

“selamat siang, ini ambil gambar untuk dari mana, Pak?”

“oh, saya dari … (menyebutkan nama tempat kerja) saya kerja di… (menyebutkan nama gedung dan lantai). kenapa Pak?”

kelihatannya pak petugas agak lebih lega, setidaknya saya bukan orang asing entah dari mana asalnya. kebetulan saya memakai kaos oblong dari partner dan ada tulisan nama perusahaan, jadi setidaknya agak lebih kredibel kalaupun agak tidak dipercaya juga.

“ambil gambarnya untuk keperluan apa ya?”

“buat dokumentasi, pribadi saja sih,” kata saya. “eh, nggak boleh ya Pak?”

“yah… perlu izin dari manajemen (maksudnya building management —red) sih.”

saya sendiri tidak ingin berdebat, lagipula toh setidaknya saya sudah dapat satu panorama. setelahnya saya mengucapkan terima kasih, kemudian untuk beberapa lama masih menongkrong di lokasi walaupun kali ini tanpa DSLR yang sudah duduk manis di ransel.

saya paham sepenuhnya bahwa berada di posisi sebagai petugas penegak ketertiban itu seringnya dilematis, dan seringkali mereka tidak seberuntung saya yang ketika senggang bisa main-main dan bawa DSLR buat jepret-jepret. maksud saya, hobi saya kan bisa jadi beririsan dengan bagian dari pelanggaran pada pekerjaan mereka. belum lagi kalau misalnya ada perselisihan yang terekskalasi, posisi tawar mereka cenderung rendah antara konsumen dan building management.

jadi, ya, kalau tidak benar-benar perlu, pada dasarnya saya tidak ingin berdebat soal peraturan dan hak. saya tak ingin membuat posisi petugas seperti kebersihan atau keamanan dan ketertiban jadi serba terjepit untuk hal-hal yang menurut saya tidak selalu perlu diperjuangkan habis-habisan.

.

sebenarnya saya bukannya tidak paham cerita bahwa beberapa rekan beberapa kali ditegur ketika melakukan kegiatan fotografi di tempat umum, walaupun kalau mau berdebat soal peraturan menurut saya itu juga bukan hal yang sepenuhnya melanggar legalitas. entah itu di jalan dan orang tidak merasa nyaman, atau ditegur petugas keamanan, atau problem lain-lainnya yang pada akhirnya menghambat proses pengambilan gambar.

nah, mengasumsikan anda tidak punya izin khusus dan juga tidak ingin berdebat (untuk alasan apapun, entah serupa alasan saya atau tidak), beberapa poin di bawah adalah pedoman pribadi buat saya yang mungkin bisa disesuaikan untuk keperluan anda.

1. tempat umum terbuka boleh difoto

cukup jelas. tempat umum terbuka meliputi taman, gelanggang olahraga, serta tempat wisata seperti sungai, bukit, gunung dan air terjun tidak ada restriksi. termasuk juga monumen dan patung seharusnya aman. termasuk tempat seperti ini adalah sarana olahraga seperti Gelora Bung Karno atau Soemantri di Kuningan, atau Monumen Nasional dan seputarannya.

2. jalanan adalah hak anda (tapi hati-hati lho ya) 

di beberapa kota besar di Indonesia, beberapa lokasi di jalan bisa menyajikan lanskap yang bagus. kalau di Jakarta, Bundaran HI atau Semanggi, misalnya, kalau anda cukup rajin turun-turun dan naik-naik, bisa jadi anda akan menemukan spot yang bagus. tapi, ya, hati-hati. anda tidak ingin kendaraan anda salah parkir dan kena tilang atau DSLR anda dirampok preman, misalnya.

3. gedung dan ruang tertutup, perhatikan konteks…

untuk acara khusus dan anda berperan sebagai petugas atau tamu undangan, misalnya untuk acara pernikahan, anda bebas mengambil foto. tapi untuk tempat-tempat seperti mal atau pusat perbelanjaan, tidak selalu. mengambil gambar sebuah counter atau toko secara spesifik bisa jadi juga bukan sesuatu yang disukai pengelolanya. menggunakan kamera ponsel biasanya dipahami, tapi DSLR bisa jadi akan mengundang kerut dan tanya (walaupun bukan pasti tidak boleh juga).

4. instalasi khusus atau bagian khusus dari tempat umum

rumah sakit, sebaiknya jangan. boleh sih, tapi tidak disarankan. fasilitas high security seperti kedutaan besar biasanya dilarang keras bahkan dari luarnya. tempat parkir, ini gampang-gampang susah, tapi tidak mengherankan kalau penjaga keamanan di-briefing untuk tidak mengizinkan foto di tempat parkir (perhatikan resiko bom di tempat parkir, misalnya). tempat seperti masjid atau mushala atau lobi hotel dan selasar pertokoan biasanya tidak masalah.

5. sebaiknya hindari pintu tidak umum, tangga darurat, rooftop

kalau anda pernah main-main ke kompleks gedung yang tertata rapi, biasanya insting fotografi anda akan bilang bahwa seharusnya ada tempat tinggi dengan sudut pandang yang bisa menghasilkan foto yang di atas rata-rata. sayangnya biasanya pintu-pintu ke tempat ini khusus petugas atau minimal perlu izin. kalau anda hanya iseng atau tidak bersedia mengurus perizinan, sebaiknya hindari.

6. rumah orang (minta izin ke pemiliknya! atau ambil secepatnya)

sambil jalan di kompleks tetangga, misalnya, bisa jadi anda akan menemukan rumah mungil yang imut atau arsitektur yang menarik di mata anda. bukan tidak boleh sih, tapi jangan diambil seenaknya, apalagi kalau anda membawa DSLR yang tidak bisa tidak mencolok. kalau kebetulan ada pemiliknya, sebaiknya minta izin. kalau tidak ada, ambil secepat yang anda bisa dengan DSLR anda, lalu langsung kembalikan ke tas atau ransel anda. anda mungkin tidak berniat jahat, tapi kalau bisa memilih, anda tidak mau ditanyai oleh satpam atau hansip, kan?

7. orang lain dan privasi

rule of thumb-nya begini: kalau bagian dari lanskap, pada dasarnya tidak masalah. tapi kalau anda menggunakan lensa zoom (seperti 70-200 atau 180-300, misalnya) dan anda mengarahkan kepada momen ibu yang sedang bercanda dengan anaknya, bisa jadi akan ada masalah privasi. tapi ini dilema! kalau anda memberitahu mereka mau difoto, momennya lepas. tapi kalau didiamkan, sayang.

jalan tengahnya sih integritas anda. setelah ambil foto, sekiranya anda merasa jepretan termasuk ranah pribadi, ada baiknya meminta izin ke pihak terfoto. kalau mereka setuju —dan syukur-syukur senang dengan hasil anda— bagus. tawarkan juga satu kopi untuk dikirimkan ke mereka, via e-mail misalnya. tapi kalau tidak bersedia, ya silakan dibuang fotonya, seberapapun sayangnya.

.

panjang ya? memang. tentu saja yang perlu diperhatikan bahwa yang saya sebutkan di atas itu lebih ke arah heuristic alias pedoman-pedoman yang belum tentu seratus persen berlaku di segala situasi. juga bukan berarti tidak bisa diterabas atau dilanggar dengan atau tanpa kesadaran. saya tidak bilang anda harus membatasi kreativitas anda demi peraturan tidak tertulis (atau mungkin tertulis tapi anda tidak tahu) lho ya, tapi kalau misalnya anda perlu mengambil resiko, pastikan dua hal saja: satu, anda bisa memastikan anda tidak merugikan orang lain dengan tindakan anda, dan kedua, anda siap dengan segala konsekuensi tindakan anda.

oh ya tentu saja harus begitu. ambil resiko sih boleh, tapi tetap saja harus fair dong? :mrgreen:

___

[1] entah dengan rekan-rekan wartawan yang cenderung menantang bahaya, tapi sederhananya buat saya sih, sekarang ini saya lebih kuatir DSLR saya dirampok atau dimalingi di tengah kota daripada disita dan dihancurkan pihak-pihak yang merasa bertanggungjawab. itu saja kok. 😕

[2] DSLR: Digital Single Lens Reflection. jenis kamera yang digunakan untuk fotografi tingkat menengah-lanjut.

[3] fotografi panorama (atau panoramic photography) adalah teknik pengambilan gambar dengan lebih dari satu jepretan untuk dijahit menjadi satu foto dengan ruang pandang ekstralebar. untuk kamera 16 megapixel, misalnya, output 29 megapixel bisa diperoleh dari jepretan tiga atau empat foto.

[4] tautan terkait, artikel menarik soal hak-hak fotografer di Photography Life: Know Your Rights as a Photographer.