coretan lama yang tidak jadi

aku baru bisa mendekat ke arahmu,
seperti antrian busway di koridor satu
pelan, pasti
mungkin sedikit bikin mangkel, tapi

masalahnya kamu tak punya banyak waktu
dan aku tak yakin kita saling menunggu…

.

.

ah, lama. kalau aku bilang sayang padamu,
kamu mau?

 

 

bongkar-bongkar ketemu tulisan di catatan lama, sekitar akhir tahun lalu.
we don’t always have to look back in regret, right? 😉

eid mubarak

.

sampai di masjid pukul enam-tiga puluh, cuaca sisa hujan semalam. koran-koran di bawah sajadah, seperti biasa, seperti sewajarnya. dan pengumuman panitia: ‘koran yang dijadikan alas harap tidak ditinggalkan, dikumpulkan di satu tempat’.

dan saya berpikir, dua puluh tahun lewat, tidak berubah; koran-koran lama, saya membayangkan setelahnya dikilokan diloak pada siang hari raya. sesuatu yang terasa jauh dari keriaan yang biasa.

di masjid kompleks yang sudah berusia dua puluh tujuh tahun. saldo ramadhan/tarawih tahun ini menurun 9% dibandingkan tahun lalu, sementara penerimaan zakat bertambah 114%.

dan saya berpikir, mungkin anak-anak yang dulu kecil sudah bekerja, sekarang termasuk angkatan produktif kelas menengah, yang mungkin kurang sempat tarawih di masjid lagi. ironisnya, mungkin seperti saya juga.

laporan pengelolaan dari panitia, dan saya bertanya-tanya persisnya manajemen zakat di masjid. mungkin bisa diperbaiki, mungkin secara control and compliance bisa ditingkatkan, mungkin bisa dipermudah dengan perangkat lunak…

dan saya berpikir, mungkin banyak anak-anak muda yang seharusnya bisa menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk masjid. tapi mungkin tidak bisa, karena satu dan lain hal. mungkin mereka mau tapi tidak tahu caranya. mungkin.

petugas masjid bekerja dalam baris-baris, mengumpulkan sumbangan sebagai pengganti kotak tromol khusus di hari raya. waktu kecil dulu, ayah dan ibu sering membawakan saya pecahan yang lebih besar daripada biasanya.

dan saya berpikir, mungkin saya merasa punya kedekatan dengan masjid ini. mungkin ironis saya sekarang jauh dari masjid. mungkin saya cuma ingin melakukan sesuatu yang saya bisa, mungkin lebih banyak, walaupun cuma dengan cara yang serupa dulu. entahlah.

khotbah hari raya seperti tahun-tahun sebelumnya. anak-anak tampak mengantuk, beberapa mendengarkan, beberapa yang lain tampak sedikit melamun. seorang bocah berkacamata, kelihatannya masih SD, duduk di dekat saya.

dan saya berpikir, mungkin bertahun-tahun kemudian, anak-anak yang ada di sini akan berubah, entah sedikit atau banyaknya. mungkin sebagian menjadi agnostik, mungkin sebagian menjadi ateis, mungkin sebagian menjadi bukan lagi muslim. tidak harus seperti itu, pikir saya.

selesai shalat, seorang tetangga merangkap teman sekolah menengah pertama menyapa saya. ‘mohon maaf lahir batin, lama tidak ketemu. nanti aku main ke rumahmu, ya.’ ‘tidak masalah, ditunggu. jangan siang-siang, ya.’

dan saya berpikir, mungkin pada dasarnya, Idul Fitri itu juga bagian dari perhentian-perhentian singkat dalam hidup. setahun sekali untuk pengingat diri, dari mana dan akan ke mana kita. sebisa mungkin mempertahankan spiritualitas, dengan cara masing-masing, dengan tantangan masing-masing.

dengan atau tanpa seremoni yang sebisa mungkin jangan sampai kering dari makna.

Eid Mubarak. sedikit pikiran mengawang-awang dari saya, mohon maaf lahir batin untuk anda semua.

tidak cukup seram dalam dua kalimat

kemudian, duk! punggung terasa berat. kata temanku, ada anak kecil, seperti monyet, jongkok menggelantung di ransel.

.

di selasar dekat akuarium ada lukisan potret seorang tua. beberapa kali aku lewat di dekatnya, sekali dari arahnya ada suara, ‘hei’.

.

aku bekerja menghadap tembok dengan komputer di sudut ruangan. sesosok kepala mungil, seperti balita, muncul dari balik monitor.

.

masalahnya ketika aku mencoba tidur, di pojok kamar ada seorang gadis bermuka pucat, mengangkat pisau, meluncur pelan seperti mendekat. dia diam kalau kupandang balik.

.

aku mengangkat kepala bangun setelah sujud dini hari, kemudian mendadak ada bocah duduk di hadapanku. lalu dia meringis.

.

sore hari, remang-remang, dari balik kaca. bayanganku tersenyum.

.

nafasku sesak, seolah ada yang memeluk dari belakang. kemudian bisikan tak kukenal; ‘belum waktunya kamu pergi, sayang.’

 

😉