the raid 2: berandal

saya tidak tahu harus menulis apa tentang film ini. tentu saja bukan karena film ini buruk, tapi bagaimana, ya.

Berandal —atau lengkapnya The Raid 2: Berandal— berangkat dari keberhasilan prekuelnya, yaitu The Raid. anda pemirsa yang sudah menyaksikan prekuelnya tersebut, tentu sudah tahu apa yang bisa diharapkan dari besutan sutradara Gareth Evans ini: aksi dan laga, barangkali sedikit plot dan karakterisasi pendukung, serta tentu saja adegan kekerasan sepanjang film yang menjadikannya tontonan untuk segmen pemirsa dewasa.

The Raid 2: Berandal. courtesy of Merantau Films.

awal cerita pada Berandal mengambil latar waktu dua jam setelah akhir cerita pada The Raid. Rama (Iko Uwais), anggota pasukan khusus dalam penyerbuan sebelumnya, kini harus menghilang untuk melindungi keluarganya dari incaran pihak-pihak korup di kepolisian setelah penyerbuan berakhir. di sisi lain, Bunawar (Cok Simbara), seorang perwira dari unit antikorupsi, membutuhkan seseorang untuk membongkar praktek korup di kepolisian dengan kelompok-kelompok kejahatan terorganisasi di kota.

pertemuan mereka berakhir dengan Bunawar menawarkan perlindungan kepada Rama dan keluarganya, dengan satu syarat: Rama akan meninggalkan identitasnya sebagai polisi, untuk menyusup ke dalam keluarga Bangun, salah satu dari dua keluarga mafia yang menguasai kota.

.

secara singkat, Berandal adalah versi lebih besar dan lebih ekspansif dibandingkan prekuelnya, The Raid. kalau pada The Raid dulu cerita tergolong linear, demikian juga latar lokasi sebatas di dalam gedung apartemen kumuh (dan tentu saja adegan laga yang jauh di atas rata-rata), maka Berandal menawarkan pengalaman yang lebih ekspansif: plot lebih tebal lengkap dengan pelintirannya, musik dan efek suara digarap dengan jauh lebih matang, dan tak ketinggalan, aksi dan koreografi laga yang tak kurang dari luar biasa.

kalau ketika menyaksikan The Raid dulu mungkin beberapa pemirsa mengeluhkan soal script dan dialog dan akting rata-rata pemain yang mungkin cenderung kaku, Berandal kali ini menampilkan beberapa tokoh veteran dengan pengalaman akting tersendiri. Roy Marten (sebagai Reza, tokoh korup di kepolisian yang disinggung-singgung sejak film pertama) Cok Simbara (sebagai Bunawar), dan Tio Pakusadewo (sebagai Bangun, kepala keluarga mafia), masing-masing menunjukkan pengalaman dalam kapasitas masing-masing karakter sebagai peran pembantu dalam film ini.

demikian juga barisan pemain lebih muda seperti Iko Uwais, Alex Abbad, serta Arifin Putra yang —walaupun tidak luar biasa— setidaknya tidak jatuh sampai buruk benar. secara umum, kualitas rata-rata keseluruhan pemain jelas jauh lebih baik dibandingkan pendahulunya, sedikit banyak bisa dianggap berhasil mengatasi kekurangan yang dulu mungkin sedikit mengganggu.

dan, ya, tentu saja, dengan budget yang lebih besar dan proses produksi yang lebih leluasa, aksi laga untuk film ini dieksekusi dengan jauh lebih baik. dari pertarungan tangan kosong sampai kerusuhan di penjara, bahkan perkelahian dengan senjata seperti pisau dan golok, pistol dan senapan mesin dan shotgun, bahkan palu dan tongkat baseball, semua disajikan dengan kreatif dan luar biasa. koreografi untuk film ini kembali ditangani oleh Iko Uwais dan Yayan Ruhian (yang dalam film ini juga kebagian peran sebagai Prakoso, tangan kanan Bangun), dan hasilnya memang tak kurang dari luar biasa. klimaks pada adegan duel terakhir di film mungkin bisa dianggap masterpiece tersendiri untuk genre ini.

ngomong-ngomong, film ini tergolong panjang. 150 menit untuk banyak karakter dan beberapa subplot, tapi sejujurnya saya sendiri tidak merasa film ini bertele-tele. walaupun ada juga beberapa plot point yang mungkin bisa sedikit dipotong, tapi pace untuk film ini relatif terjaga dengan baik. tentu saja hal ini tertolong dengan adegan-adegan laga yang memang pada dasarnya tidak membosankan, jadi dua jam tiga puluh menit durasi film ini tidak terasa tersia-sia.

dengan kata lain, apa-apa yang menjadi keunggulan dari prekuelnya dulu, dieksekusi dengan jauh lebih baik dalam Berandal. mungkin kalau bisa dengan sedikit analogi, apabila The Raid adalah makanan pembuka yang mungkin cenderung ringan, maka Berandal adalah menu utama yang sungguh tidak mengecewakan. definitely a nice treat at it.

di sisi lain, mungkin sedikit catatan dari saya sebagai pemirsa yang sempat menonton prekuelnya. dalam konteks film ini sebagai sekuel The Raid, saya kok merasa sedikit… apa, ya. dalam kapasitas pada genrenya, film ini bagus, kalau tidak luar biasa. sungguh. semua yang ada pada prekuelnya dibuat lebih baik, lebih besar, lebih bagus daripada sebelumnya. secara teknis dan eksekusi, Berandal jauh lebih baik dibandingkan The Raid. tidak ada bantahan soal ini.

tapi dengan segala kekurangannya, The Raid dulu berhasil membangun ketegangan yang terjaga rapi sepanjang film. sesuatu yang, apa ya, saya sendiri menyebutnya visceral thriller, jadi pada dasarnya ini terkait pengalaman menonton yang sifatnya intuitif. hal yang sama, sayangnya, tidak sampai benar-benar mencapai taraf yang serupa pada Berandal. tapi mungkin juga ini karena pada dasarnya pendekatan filmnya sendiri dibuat berbeda, demikian juga soal pengalaman menonton seperti ini adalah sesuatu yang sifatnya personal.

tapi sudahlah. dari saya sendiri, catatan kecil tersebut tetap tidak mengurangi kapasitas Berandal sebagai salah satu yang terbaik dari sekian banyak di kelasnya. demikian juga kalau menilik sukses The Raid di pasar Indonesia dan mancanegara, tidak akan mengejutkan bahwa Berandal akan meneruskan jejak kesuksesan serupa di kancah lokal maupun internasional.

good job well done untuk Merantau Films. salut!

‘it’s not about me, dear’

it was Sunday morning towards noon when she woke up and found him busy with spreadsheets and pen and papers. the wife —herself a woman with professional career— started a conversation with the husband, a young manager in a company he had been working for a little more than few years.

“what are you doing?”

he replied that he was doing some work with regard to personal development and performance plan for his team members at work.

“it’s not a manager’s job to work on weekend, you know,”

it’s not like that, the husband said. it’s that there was more to it, that his work wasn’t necessarily about the company or the performance targets or even promotions and paychecks.

“there is more to that,” he said. “it’s not about me, it’s about the people I’m working with, dear.”

the wife, curious with the statement, asked what could that mean and how it’s not about the company or even himself. in the end, corporates are always first about growth and profit, and working on employee performance plan on Sunday doesn’t seem to reflect an altruistic behavior, she argued.

but then came the answer which reminded her how she fell in love with the man sitting in front of her. (by the way: ‘I like how you argue about many things’, he said)

“it’s not always like that, dear. I’m not doing this for the company. I’m doing this for them, the people I’m working with. they are people, just like you and me, coming from places, backgrounds, and somehow, right now, I’m responsible for their performance and development, as professionals at least. but it can and will go a long way, isn’t it?

“I think how you go about it matters. like, if you are able to work with sense of purpose, you’ve got good performance, you are happier in general, it has impacts to the families as well. they may or may not be with me after two or three years, but I believe we have role for others, sometimes to open the doors for people, to equip them with something —soft and hard skills, insights and mindsets, anything— so that in turn, they would be able to grow, then to afford a little more for themselves and their families. maybe for a little better houses, maybe for a little better schools, maybe, I don’t know.

“but it starts right here, right? on your first jobs in your career, on your development, both personal and professional. if I could get that right, who knows? perhaps they’ll soar and make better life, but at the very least, I hope they’ll have it a little better than when they started.”

then he smiled, and as far as she was concerned, maybe seeing him doing some work on Sunday morning was never something really bad to begin with.

dari suatu sore menjelang akhir pekan

sore hari menjelang akhir pekan di tempat kerja, suasana seharusnya santai menjelang dua hari libur Sabtu dan Minggu ketika seorang partner dari departemen tetangga —seorang gadis yang usianya kira-kira sepantaran saya— menghubungi via telepon di meja kerja.

“hei. kemarin aku ketemu Pak…” katanya sambil menyebut nama seorang direksi, kalau di tempat saya kira-kira termasuk top-level management. setelahnya dia melanjutkan:

“kemarin lagi santai sih, terus aku bilang begini sambil tertawa saja,

‘tuh Pak, dia tuh (maksudnya saya —red) memang begitu. memang perlu dibakar dulu baru bisa ngebut. paling juga minggu depan beres kalau sama dia sih…’ 😀

“eh terus dia bilang begini soal kamu:

‘Yudi tuh ya, saya tahu dia itu bagus, tapi saya nggak paham keputusan dan jalan pikirannya! daripada dia memprioritaskan hal-hal yang nggak kelihatan, lebih bagus kalau dia selesaikan hal-hal yang gampang tapi signifikan. seperti permintaan saya, sudah 2-3 tahun, masih juga belum dikerjakan!'”

“dia bilang begitu?” tanya saya.

“beneran,” katanya sambil tertawa. “tapi terus dia bilang begini:

‘kalau begini, saya kan juga susah! saya tahu dia capable, tapi kalau nggak kelihatan hasil yang high-impact ke seluruh perusahaan, saya juga kan nggak bisa memasukkan nama dia buat endorsement atau nominasi, buktinya apa?!”

“dia bilang begitu?” saya cuma membeo dengan pertanyaan serupa.

“yah begitulah kira-kira. akhirnya dia bilang,

‘coba kamu ngomong sama Yudi, kalau dari kamu barangkali dia lebih mau mendengarkan!’

katanya. padahal ya sepertinya nggak begitu amat juga.”

“ya barangkali, dia merasa mungkin kalau kamu yang ngomong aku lebih bisa menurut… apa iya begitu. masa deh.”

hening sejenak dari kedua ujung telepon.

“nah jadi jelas kan kamu harus apa? sudah jelas banget disebut-sebut tuh. ini nggak ditambah-tambah atau dikurang-kurangi lho ya,” demikian suara cerah ceria yang saya kenal.

“hmm.”

kemudian.

“eh jadi rapat sama dia hari apa sih? minggu depan? aku kemarin diajak juga, tapi belum dapat undangannya.”

saya menghela nafas. oh iya. aduh.

“Senin, jam dua siang,” jawab saya. “ruang rapat direksi lantai 37.”

bukan hal yang sepenuhnya buruk. tapi beberapa hal agaknya memang perlu dijalani saja.

___

[1] penggunaan bahasa disesuaikan sedekat mungkin ke bahasa Indonesia baku, dengan sedikit pengecualian terkait dialek dan nuansa tulisan.

[2] untuk anda pembaca yang mungkin bertanya-tanya: tidak, ini bukan fiksi.