a (literally) priceless something for someone

“memangnya apa? paling oleh-olehnya batu dan pasir. yakin mau?”
“aku mau kerang,” katamu. “yang banyak. pokoknya oleh-oleh, ya.”

___

dua pekan, pikirku, sudah berlalu sejak terakhir kali aku berada di tempat ini. enam-tigapuluh pagi memasuki gerbang dan pintu kaca, kurasa agak terlalu cepat, tapi terserahlah. mengikuti ritme yang terputus dua pekan aku berjalan ke arah lobi, menekan tombol lantai di luar lift, menunggu sebentar, tak lama kemudian aku sudah berada di tempatmu. aku melihat sekeliling dan tampak belum ada orang; sebagian kurasa wajar, sebagian lagi kupikir malah bagus seperti itu.

aku menurunkan ransel, mengeluarkan botol kaca dari dalamnya, mengurai gulungan kertas busa yang sengaja kupasang untuk melindungi benturan. setelahnya aku memandangi isinya sebentar. di dalamnya berbagai jenis kerang dan lokam berbagai warna yang bisa kutemukan dalam dua pekan terakhir memenuhi botol kaca seukuran telapak tangan.

something priceless, pikirku. literally. ya memang bukan sesuatu yang dibeli atau dijual dengan harga, sih.

ngomong-ngomong, entah kapan terakhir kali aku melakukan hal seperti ini, ya… sesaat kurasa pikiranku berkelana, tapi kuputuskan itu bukan hal yang penting jadi tidak kupikirkan lebih lanjut. apa yang penting adalah apa yang ada saat ini, kan begitu?

setelahnya aku meletakkan botol kaca berikut catatan sekilas: ‘oleh-oleh. kemarin titip ini, kan?’ di meja tempatmu. tidak ada nama, tidak ada pesan lain. tapi aku tahu kamu akan tahu.

sekilas matahari pagi masuk lewat jendela. aku teringat obrolan terakhir kita dua pekan sebelumnya.

“bagaimana, ya.” kataku, “semarah-marahnya aku kepadamu… kurasa aku nggak bisa benci. nggak bisa kepadamu.”

kurasa aku sedikit tersedak. ah, ini menyebalkan, umpatku dalam hati. masih saja, pikirku, kurasa aku tak pernah bisa biasa mengungkapkan hal seperti ini. tapi toh aku melanjutkan.

“maksudku, aku senang kita bisa ngomong secara dewasa seperti ini. aku berpikir aku akan berangkat menghilang dua pekan dan kamu masih nggak mau ngomong, itu menyebalkan.”

sejujurnya aku sendiri tidak tahu apa dan kenapa jadinya seperti itu barusan. aku memandangmu, kamu tersenyum, kemudian kamu hanya berkata singkat.

“jadi, kita sudah baikan?”

seperti itu saja, dan kemudian aku paham kenapa aku tak ingin pergi tanpa menyelesaikan hal-hal seperti ini. bahwa pada akhir yang menyenangkan dari kamu memanggilku untuk bicara, untukku seperti ini saja cukup.

aku nyengir. kamu tersenyum. sudah, tak perlu lagi yang lain, kan?

aku melihat jam, lantas sambil lalu kuperhatikan beberapa orang tampak sudah mulai datang ke meja masing-masing. dalam beberapa puluh menit kurasa kamu juga akan sudah datang, dan pada saat itu aku akan sudah tidak perlu berada di sini.

“nanti aku mampir,” kataku sambil lalu. mungkin sebelumnya aku akan menelepon dulu.