“sudah tahu nggak bisa, kenapa masih diterusin?”
—
kamu; seorang pemuda, duapuluh-sekian,
dia; seorang gadis kira-kira seusia denganmu.
.
kehilangan itu, kadang terasa sebagai paradoks yang aneh. seperti sesuatu yang baru kamu rasakan karena ada yang alpa, yang tak terasa; seperti gula yang ketinggalan pada teh seduhan di sisi meja, atau kunci kamar kos yang ketinggalan di tempat kerja.
seperti ketika kamu membaca Harvard Business Review, menemukan tulisan yang menarik dan kemudian kamu ingin membicarakannya, kadang lama…
kemudian kamu teringat: iya, ya. sudah tidak bisa.
seperti ketika kamu beranjak ke dispenser, dan tiba-tiba kamu memperhatikan mug besar Starbucks yang dia berikan sekali waktu ulangtahunmu dulu.
kemudian kamu teringat: iya, ya. sudah tidak bisa.
seperti ketika kamu lewat di BreadTalk, memilih-milih roti untuk makan siang dan kalau lebih bisa buat sore hari. tanpa sadar kamu mengambil tuna cheese puff kesukaannya dulu.
kemudian kamu teringat: iya, ya. sudah tidak bisa.
seperti ketika kamu lewat dekat tempatnya dulu. satu-dua rekan menyapa dan mengatakan, ‘kamu sabar, ya…’ kata-kata yang sekilas kamu tak paham, tak bisa paham.
kemudian kamu teringat: iya, ya…
.
maksudku begini. kehilangan itu bukan selalunya sesuatu yang selesai pada sebuah eulogi, atau berakhir pada suatu titik, dan setelahnya berhenti.
bahwa kadang, mungkin lama setelahnya, dalam pekan-pekan dan bulan, dalam lembar-lembar Harvard Business Review atau pada antrian halte Transjakarta, kamu akan kembali menemui kehilangan itu menyapa; sekali, dua kali, tiga kali…
tapi di sana, ada sesuatu yang final. sesuatu yang sudah.
dengan atau tanpa kekecewaan atau amarah atau apapun yang lain yang menyertainya.
.
“tapi kita baik-baik, kan?”
“…”
kamu ingat kamu tidak menjawab. kamu tidak ingin menjawab. dengan semua amarahmu, semua kekecewaanmu, semua ketidakpercayaanmu.
sementara di sisi sebagian dirimu aku tahu;
karena kamu, sungguh benar-benar benci dianggap penuh melankoli.