tentang melankoli yang dibenci sabtu pagi

aku berangkat setelah shalat subuh tadi. kepalaku terasa berat, mungkin karena kurang tidur atau hal-hal lain. sepuluh menit jalan kaki aku sudah memasuki halte, dan kalau berangkat seperti ini kita tidak perlu menunggu lama untuk mendapatkan bus.

perjalanan panjang sendiri di pagi hari seringnya adalah tempat diri sendiri mengajak konfrontasi. hal-hal yang lewat, keinginan-keinginan, tujuan-tujuan dalam perjalanan yang lebih panjangnya.

hidup. perjalanan panjang.

bus berlalu dengan cepat di masing-masing halte, sesekali petugas menyebutkan transit dan arahan-arahan. tak beda, pikirku. sama hidup; semua sama pilihan-pilihan.

di tempat hati tak pergi, kita semua punya pilihan menanti. masing-masing dengan konsekuensi.

sekarang ini aku mulai terdengar semacam melankolis. menyebalkan. aku ingat dulu aku sempat benci setengah mati dianggap seperti ini. mungkin memang tidak salah juga. mungkin baiknya memang laki-laki tidak berteman baik dengan melankoli.

ah, kampret.

aku merasakan mataku panas. ini kenapa sih, bodoh banget.

“apa yang kamu inginkan, bocah?”

sebuah pertanyaan sederhana dari sisi bagian lain diriku.

“me, I want everything back. and more.”

jawaban jujur yang kukeluarkan dengan susah payah.

aku memandang ke luar jendela bus. tentang keinginan-keinginan, entah teraih atau tidaknya, entah muskil atau tidaknya.

tapi aku ingin, dan cukup itu sudah.

mungkin benar bahwa baiknya laki-laki memang tidak hidup dengan melankoli. kalau jatuh berdiri lagi, bersikap semua biasa sekali lagi, sambil sesekali mengebaskan luka entah di hati atau barangkali buku jari.

aku tahu itu.

walaupun, kampret, karena sungguh tidak semudah itu kadang-kadang.

bittersweet

“iiih, jadi inget waktu jaman dulu kita bikin proyek ini, proyek itu… masih inget nggak? do you still remember?”

“…how can I not?”

pekan-pekan lalu, tentang tahun-tahun lalu. how can I not, indeed.