three years ago today

ed. note: today I stumbled upon an old note I wrote elsewhere on FB three years ago. it was in a hard day’s night with someone I remember. not exactly tender moments I’d say, but for sure it’s not something I have forgotten.

Feb 22, 2012, 8:50 PM. thanks to Timehop.

I ended up going to the office after calling half-day sick leave. not sure if it was a good decision I made — hours later it was past seven already. post-meridiem.

“sure, ” I said. “everyone likes to have everything ‘by today’. thanks.”

as it was there was an unusual choke around my throat. then again why should I care?

“after all not many people are concerned with how I feel or if I’m happy anyway.” I continued. “with the situations, lesson learned to me.”

“gosh, you made me feel that I’m heartless about it! but fine, it’s okay. it’s a good reminder to me. sorry, but stay strong. many people, also the selfish, whatever, rely on you.”

“…”

“FYI. I do have concern about it.”

a trembled voice after a prolonged silence. that was what she said. that was all for today. over and out.

looking back, the two of us have come a long way ever since. I’d like to think things have been for the better.

tentang tantangan tentang tautan

jadi ceritanya, saya bosan. belakangan ini rasa-rasanya linimasa dan media sosial atau apapun internet yang kebetulan saya jelajahi isinya membosankan benar. bukan karena sepi, tentu saja —kapan sih internet sepi? dasar gemblung— melainkan karena berisiknya kadang keterlaluan benar.

iya, terlalu berisik. dari hal tak penting semacam pakcik Prince di acara Grammy sampai hal tak penting lain macam polemik hari kasih sayang yang dituduhkan berasal dari tradisi agama tetangga… yang ternyata kalau diurut sejarahnya malah semacam apokrifa. makanya, ngaji agama sendiri, apalagi agama orang lain, jangan cuma lewat internet sama televisi. jadinya malah gemblung, kan.

aduh. pening awak. tapi kemudian terlintas ide. sebuah tantangan kecil-kecilan, atau minimal pengingat buat kita semua:

“bagaimana kalau kita membagi-tautan, atau sharing di media sosial, hanya untuk konten, atau opini, atau tulisan, yang kita buat sendiri?”

betul itu. saya kira menarik. jadi sekiranya ada topik yang sedang hangat (atau panas!) tak perlulah kita tergesa terburu demi berbagi cuit dan tautan pada berbagai linimasa. setidaknya sempatkan tuliskan barang 200-300 kata, opini serius atau jenaka, masukkan ke laman blog misalnya. tambahan pula tautan balik ke sumber, ibarat kata dimasak dulu lebih renyah, begitulah kira-kira.

tapi kemudian terpikir kembali: memangnya pada mau? lagipula, memangnya pada bisa?

 

“jadi, kalian tak nak buat tulisan sendiri? tak mampu? hahahahaha!”

 

sejujurnya, setelah kepikiran seperti itu kok saya malah jadi pesimis. bukan kenapa-kenapa, karena —maaf-maaf ini— sejujurnya saya ternyata tidak bisa memandang generasi pengguna media sosial belakangan ini sehebat itu. maksud saya, saya kok tidak bisa yakin bahwa cukup banyak yang bisa, mau, dan mampu untuk membagi sesuatu yang minimal hasil pikiran sendiri, hasil analisis sendiri, padahal toh ide dan sumbernya juga sudah tersedia.

iya, rasanya kok susah. walaupun sebenarnya seharusnya tidak berat benar: misalnya kita baca artikel bahwa pak presiden punya kebijakan mobil nasional yang layak dipertanyakan, mbok ya ditautkan saja dari media yang kredibel, kemudian buat tulisan singkat opini kita. berikan referensi balik ke sumber, baru kita bagi tautan di media sosial, misalnya.

jadi opininya bernas! lebih matang! dan tidak semata-mata kerbau dicucuk hidung joget-joget mengikuti apa kata media!

kalau seperti itu kan gampang. seharusnya.

tapi baiklah, saya kira saya harus tahu diri juga. saya juga harus bisa memahami bahwa tidak semua orang bisa, mau, dan mampu meluangkan waktu buat pekerjaan yang kelihatannya sederhana. saya kira itu sudah hukum alam. tentu saja demikian; kalau tidak, tentulah kaos kaki di seluruh dunia akan harum baunya, demikian juga piring-piring kotor tidak akan pernah tertumpuk di atas meja dan ibu-ibu rumah tangga akan selalu cerah ceria tersenyum berbahagia.

dengan demikian seperti biasa, kenyataan mengembalikan saya pada kata ‘seharusnya’. huh.

walaupun, ya, di sisi lain semacam penasaran juga sih. mungkin sekiranya rekan-rekan ada yang tertarik dengan tantangan ini. silakan dicoba dan diaplikasikan…

…kalau bisa, mau, dan mampu sih. haha!

 

___

image credits:

angkutan kota (di balik lima ribu rupiah saja)

“jangan biarkan orang baik gampang berbuat dosa, dek.”

_

saya adalah pengguna transportasi umum, dan saya merasa baik-baik saja dengan keadaan tersebut. sisi bagusnya setidaknya hal tersebut terjadi karena pilihan alih-alih keadaan —ngomong-ngomong saya sendiri tidak punya rencana mencicil mobil dalam waktu dekat— demikian juga bukan berarti saya jadi tidak pernah atau tidak biasa pergi dengan kendaraan pribadi.

sementara di sisi lain, saya kira mudah juga untuk merutuk-rutuk soal idealisme dan kenyataan bahwa agaknya semua orang ingin kota yang tidak macet dan jalanan lancar… walaupun apakah semua punya niat dan tekad untuk tidak sebatas ‘ingin’, yah, soal itu saya serahkan saja ke pembaca. baiknya kan tidak asal menghakimi, lagipula siapa sih saya.

baiklah, kembali ke lap— judul, terus apa hubungannya transportasi umum dengan selembar lima ribu rupiah?

gampang atuh, itu kan ongkos angkutan kota saya pulang ke rumah. hehe.

dulu bisa mengantar pulang. terus nggak bisa. terus bisa lagi. begini ceritanya.

 

anda pembaca mungkin ingat, beberapa waktu yang lalu sempat terjadi kenaikan harga bahan bakar minyak. yang mempengaruhi besaran ongkos angkutan kota. yang kemudian harganya diturunkan kembali. dan diturunkan lagi… tapi agaknya tidak benar-benar mempengaruhi turunnya ongkos yang harus dibayarkan pengguna angkutan kota.

lho kok bisa begitu? tanya kenapa.

padahal logikanya kan begini: sebelum harga bensin naik, ongkos saya lima ribu rupiah. setelah harga bensin naik, ongkos saya naik. setelah harga bensin kembali ke level sebelumnya, ongkos saya…

seharusnya. kembali. ke. lima. ribu. rupiah. kan begitu?

baiklah, beberapa pembaca mungkin akan mulai berpikir bahwa saya adalah kelas menengah ngehe[1] yang memasalahkan satu-dua ribu rupiah demi mereka yang —kalau bisa disebut seperti itu— adalah ‘wong cilik’. orang kecil[2]. bahwa seharusnya saya dengan ringan hati membantu mereka, baiknya saya bersedia membayar mahal karena kebetulan saya mungkin lebih berkecukupan.

seandainya sesederhana itu. tapi sayangnya tidak. karena buat saya, ada sesuatu yang mendalam di sini.

saya mengasumsikan ibunya pak kopaja mendoakan anaknya bisa baik bahagia
alih-alih berubah jadi robot raksasa. sorry, can’t resist. →

 

ketika ongkos angkutan kota tidak mau turun, bukan cuma saya yang kena imbas. ada orang-orang lain, dari kelas sosial yang mungkin tidak seberuntung saya, yang juga terkena dampaknya. mas-mas yang kerja di pusat elektronik dan mengurus stok toko, atau ibu-ibu yang mengurusi administrasi dan akuntansi, demikian juga yang lain-lain sejenisnya. orang-orang yang, setiap hari perjalanannya, apabila ditambah dua-tiga ribu rupiah untuk bolak-balik, kelebihannya jadi tidak bisa digunakan untuk membeli lebih banyak sayur atau daging ayam dan barangkali susu bubuk.

sementara beban operasional angkutan kota pada dasarnya sudah kembali turun seiring dengan turunnya harga bahan bakar minyak.

saya percaya bahwa pada umumnya pak supir, kenek, dan juragan angkot adalah orang-orang yang setidaknya berusaha baik. pada umumnya lho ya. tapi dengan membiarkan ongkos tidak turun, ada semacam pembiaran di situ. pembiaran untuk berbuat zalim kepada orang-orang yang tidak selalu bisa, mau, dan ingin membela kebutuhan mereka sendiri. orang-orang biasa —seperti saya dan anda— yang mungkin memilih diam karena tidak ingin ribut, mungkin dengan sedikit takut, atau mungkin untuk alasan-alasan lain.

tapi ya apa bagus begitu, saya juga bertanya-tanya. bukankah dengan demikian keuntungan penyedia jasa dan angkutan —yang notabene tidak selalu jelas manajemennya— dialihkan ke beban pengguna umum. yang pada gilirannya akan teraniaya juga dengan beban biaya angkutan yang terakumulasi setiap hari sementara beban biaya tersebut seharusnya bisa lebih rendah.

 

atau moda transportasi murah! landak, landak, naik balonn… #krik

 

‘jangan biarkan orang baik gampang berbuat dosa’. demikian pesan yang selalu saya ingat.

karena di balik tambahan dua-tiga ribu rupiah setiap harinya, ada upaya perbaikan kelas sosial yang menjadi lebih sulit untuk mereka yang mencoba bekerja baik dan jujur. karena ada sesuatu yang salah sekali kalau sampai lebih murah dan lebih efisien buat mereka yang pas-pasan untuk mencicil sepeda motor dan mengisi premium untuk transportasi sehari-hari. karena ketika semua orang ingin punya sepeda motor dan mobil sendiri, tidak ada yang untung dengan ruas-ruas jalan yang tak akan berkurang kemacetannya.

walaupun, sedihnya, agaknya keadaan di sekitar saya saat ini memang cenderung mengarah ke sana.

oleh karena itu, ketika perlu berurusan dengan angkutan kota di tempat saya, belakangan ini saya memutuskan untuk selalu membawa uang pas saja. lima ribu rupiah. kalaupun pak supir meminta lebih, saya katakan bahwa biasanya pun saya membayar sejumlah demikian untuk jarak yang serupa. apakah membantu juga bahwa saya termasuk warga yang sudah lewat dari dua puluh tahun lalu-lalang menggunakan angkutan kota di tempat saya, mungkin bisa jadi juga.

demikian juga ketika suatu saat, barangkali dalam salah satu perjalanan yang sesekali kita semua mengalami;

“kalau sampai ujung, ongkosnya berapa, dek?”

“saya sih biasanya lima ribu. tapi uang pas saja, bu. takutnya nggak ada kembalian.”

saya kira seperti itu.

tidak selalu harus semuanya dengan konfrontasi. walaupun mungkin sesekali perlu. di sisi lain kadang saya bertanya-tanya juga; ada tidak ya, sesuatu lain, yang lebih, yang bisa saya lakukan soal ini…

karena, bagaimana, ya. buat saya, soal transportasi dan angkutan kota ini memang bukan cuma soal dua, tiga, atau lima ribu rupiah saja.

 

 

___

[1] saya tidak suka argumen ini. ini argumen yang mungkin ingin terdengar cerdas, tapi sayangnya prematur dan punya sesat logika berupa straw man argument.

[2] kalau mau sama-sama jujur dan adil, argumentasi ‘wong cilik’ dan ‘kelas menengah ngehe’ ini sama-sama sesat logika ala straw man. kalau semua sama-sama mau benar, ya sulit.

[3] image credits: