tak harus hilang, tak harus lepas

hari-hari ini, saya tak sengaja menonton lagi cuplikan adegan lama di film Ada Apa Dengan Cinta yang dirilis belasan tahun lalu dulu. menjelang akhir filmnya, kedua tokoh utama… yah, kecuali anda tinggal di dalam gua selama 15 tahun terakhir, sepertinya anda semua sudah tahu akhir ceritanya. nggak perlu dijelaskan, ya? :mrgreen:

nggak sih. saya cuma kepikiran tentang betapa dekatnya kemungkinan bahwa sebuah hubungan —tidak selalu harus romansa juga— bisa berakhir atau tidak berlanjut karena hal-hal tertentu yang tidak selalu terungkapkan benar. sebagian seperti halnya dalam film tersebut, misalnya. di sisi lain, sepertinya tidak membantu juga bahwa agaknya saya punya kutukan  tersendiri terkait hal-hal seperti ini. waduh?

aadc-airport

“kamu beneran nggak mau say goodbye sama Cinta?”
“…dia udah say goodbye duluan, pa.”

dari dulu—entah apakah ini hal yang baik atau buruk, ya—saya punya kecenderungan untuk susah pergi dan meninggalkan sesuatu begitu saja. entah itu dalam konteks hubungan personal atau profesional atau keduanya, saya cenderung mempertahankan sesuatu habis-habisan sampai benar-benar sudah tidak bisa diapa-apakan lagi. entah bagaimana, kadang agak lucu juga bahwa tahu-tahu bulan-bulan dan tahun lewat dan pada akhirnya ternyata saya masih di situ-situ saja.

bukan tidak ada resikonya juga sih. kadang-kadang ya seperti itu, ketika ada saatnya segala sesuatu harus berakhir, sakitnya itu lho. eh. aduh. ini kenapa jadi curcol sih. udah woy, udah.

baiklah, lanjut. bagaimanapun saya kira bukan hal yang sederhana juga. salah satu contoh, kalau misalnya anda punya atau pernah punya seseorang yang istimewa merangkap sahabat merangkap partner merangkap teman seperjalanan seperjuangan yang sudah bersama anda untuk sekian lama… jujur saja, saya rasa pada umumnya baik anda maupun dia tidak bisa dan tidak akan bisa menegasikan serta lalu menyangkal bahwa semua jadi tidak pernah ada.

karena tidak seperti itu kenyataannya. dengan atau tanpa ‘say goodbye’ yang mengakhirinya.

tapi, sudahlah. barangkali saya cuma sedang teringat obrolan Rangga dan ayahnya menjelang akhir film yang, baik pada waktunya dulu maupun ketika diperhatikan lagi belakangan ini, agaknya masih tetap cukup menonjok lumayan berkesan tersebut:

“payah. gitu aja nyerah.” :3
“…”

banyak hal yang mungkin tak selalu tepat atau sempurna benar, tak selalu semua sesuai keadaan-keadaan dan harapan-harapan di sekitar kita. tapi tak harus semua hilang dan lantas jadi sama sekali kehilangan makna. tidak harus semua seperti itu. tidak harus selalu seperti itu.

mungkin karena buat saya ada hal-hal yang terlalu penting untuk dikubur dan dianggap tidak pernah ada. tidak selalu semuanya lantas jadi sama sekali tidak berarti. atau setidaknya, saya lebih suka memikirkannya seperti itu.

untuk hal-hal tertentu. tidak untuk dibuang begitu saja.

___

image credits:

  • Ada Apa Dengan Cinta (2002), produksi Miles Production.

waktu tersisa

“dari dulu aku merasa, umurku nggak akan panjang. bapak dulu 46 (tahun), dan kalau bisa sampai lewat segitu saja buatku sudah bonus. apa lagi sih yang kucari? aku tahu waktuku nggak banyak. sudah nggak waktunya aku nggak bisa ikut kata hati sendiri.”

Juni 2015; antara Halim dan Cinere, obrolan lintas generasi dalam perjalanan yang sesekali ketumpahan isi cangkir kopi.