dia duduk di dekat jendela, dengan secangkir kopi berada dalam genggamannya. anak muda, laki-laki, dua puluh tahunan awal. kacamata berbingkai setengah. rambutnya sedikit mencuat dan agak berantakan. dia mengenakan kaos dan celana kargo serta sepatu trekking, dengan ransel hitam diletakkan di dekat kakinya.
aku merapi-rapikan rambut dan kacamataku dalam gerakan tanpa sadar. masih agak berantakan, tapi kurasa terserah sajalah. banyak hal tidak berubah, ya.
kukatakan ‘hei’ singkat, berbasa-basi sekilas. kemudian mengambil tempat duduk, demikian kami sama-sama menghadap ke luar jendela kaca.
dalam genggamannya, Hazelnut Latte—kopi rasa kacang, kataku— dalam cangkir sekali pakai. di hadapanku, secangkir Americano—kopi sok Amerika, katanya— dalam wadah berbentuk serupa.
konon katanya, kopi adalah metafora kepribadian yang menyesapnya. kali ini agak terbalik, pikirku.
.
“kau sudah tahu, kan?”
“sudah.”
baguslah, kataku. aku menyeruput kopi. sepotong tuna cheese puff—roti tuna keju—masih hangat dengan aroma yang khas di atas meja. kukatakan padanya untuk mengambil sebagian dari piring kalau tertarik, tidak masalah jadi santai saja.
dia mengangkat sebelah alis, merapikan kacamatanya, bertanya sekilas; “kesukaannya dia dulu kan itu?”
“begitulah,” jawabku kalem. “kalau mau boleh lho. mungkin kau ada pendapat juga soal itu.”
“penakut,” dia berkata, dingin. “tak pantas buatmu.”
aku tak menyanggah. tapi kukatakan juga bahwa tak selalu harus seperti itu. ada juga hal-hal yang tak selalu bisa dipahami. dunia memang penuh orang-orang bingung, kataku, dan dalam kebingungan itu banyak orang mungkin menyakiti yang lain secara kurang atau tidak perlu. entah seberapa sukarelanya mereka soal itu.
“walaupun mungkin,” kataku, “kau benar soal itu.”
aku menyeruput kopi dari cangkir kertas. rasanya sedikit pahit.
.
aku memperhatikan minuman di hadapannya. Hazelnut Latte. masa lalu, pikirku. masih dalam genggamannya. sementara di hadapanku secangkir kopi konon cara Amerika… Americano, kalau mau menyebutnya dengan sedikit pretensius, dipersiapkan tanpa tambahan gula.
kopi di hadapannya itu mengingatkan pada seorang gadis yang pernah kutemui sekali dulu. atau gadis yang pernah dia temui, sama saja, terserahlah.
demikian itu aku ingat pada suatu hari di akhir pekan, pada tahun-tahun yang lalu. obrolan panjang dan Hazelnut Latte di meja. kemudian tiga kata sederhana dari seorang gadis, yang kemudian berakhir dengan ungkapan maaf dari sisiku serta sedikit-banyaknya luka hati dari sisinya.
“kopi rasa kacang itu,” kataku, “kau masih mengingatnya, ya?”
“dia lebih berani. dalam banyak hal. lebih daripada gadis yang kau kenal.”
“yang akan kau kenal juga, maksudnya.”
dia mendengus.
“tak ada bedanya. buatku nilai seseorang itu dari apa yang dia katakan dan apa yang dia lakukan.”
tak ingin terdengar menghakimi, katanya. tapi kalau orang tidak bisa jujur, tidak bisa menghadapi diri sendiri terlebih pula orang lain, dia tidak melihat banyak harganya. kalau kau hidup dengan terus membawa sesal, apa gunanya juga.
“buatmu juga begitu, kan. kau tak ingin hidup dengan penyesalan. makanya kau lakukan semua itu.”
tidak salah. demikian buatku juga, dan aku tahu dia benar. aku mengangkat cangkir ke sisinya. dia menyambut.
bersulang dengan kopi dalam cangkir sekali pakai. lucu juga, pikirku.
.
“itu tidak mengubah keadaan,” katanya. “yang dia lakukan itu jahat. oke, tidak secara harfiah. tapi aku mungkin akan sudah membencinya.”
“kau cukup tahu referensi populer jaman sekarang, ya.”
“ya, ya, ya, terserahlah.”
“baiklah. omonganmu itu ya, mungkin,” jawabku. “tapi seperti kukatakan tadi, banyak orang juga bingung. hal-hal kompleks dan membingungkan, emosi tumpang tindih. kadang orang cuma mencari jalan keluar yang bisa mereka lihat. entah seberapa nyamannya itu buatmu, atau buatku.”
aku merasakan emosinya naik.
“justru itu kan?!” sergahnya, “tidak ada yang diselesaikan, pertanyaan-pertanyaan tidak terjawab, berharap semuanya beres, macam tapai ditinggal basi? kau merasa itu adil buatmu?”
berat buat dia mengeluarkan beban itu semua. aku menghela nafas. aku paham soal itu.
“aku tak bilang aku tak setuju. tapi kenyataannya, tidak semua orang bisa seberani kamu, atau aku.”
dia membuang pandang, melemparkan kata ‘payah’ dari mulutnya, dengan seberkas ekspresi muak yang kupahami dengan baik.
aku paham sekali maksudnya. benar-benar paham. bahwa kadang, dengan orang-orang bersikap bingung—atau meminjam kata-katanya, bodoh atau payah—seringnya menimbulkan luka yang tak selalu perlu. kadang mungkin lebih dalam dari yang seharusnya. dengan atau tanpa pertanyaan-pertanyaan tak terjawab yang mungkin menyertainya.
“kau masih ingat Putri? yang nomor dua?”
“aku tidak ingat,” dia menjawab dingin. “apa urusannya dia dengan ini semua?”
“mungkin dia juga sama.”
dia membuang pandang. tapi aku juga tahu bahwa kekecewaan dan kata-kata pedasnya itu bukan tidak ada benarnya.
.
“yang ingin kukatakan adalah,” kataku, “bahwa mungkin kau tidak setuju dengan beberapa hal, tapi dalam banyak hal kebetulan aku sudah melangkah duluan, sementara kau belum sampai sana. ada hal-hal yang—“
“apanya? omong kosong.”
dia tersenyum tipis, hampir sinis malah. kemudian dia melanjutkan menjawab balik dengan telak.
“kau bilang hal-hal seperti itu, sok dewasa dan sebagainya. padahal kau juga mulai keropos. terlalu banyak pengalaman, terlalu banyak pertimbangan. kau jadi kehilangan sisi yang bisa melihat dengan jelas.”
dia terus memburu. “lagipula, menurutku kau jadi tidak jelas,” tetaknya. “maumu apa? kau tidak bisa mengatakan seolah hal-hal jadi baik karena kau mencoba memahami orang-orang bingung. buatku itu bodoh.”
sunyi, tidak terduga. kali ini aku tahu bahwa dia benar, dan aku tidak punya jawaban untuk itu. entah berapa lama kami hanya saling diam. tidak ada sahutan, tidak ada jawaban.
tapi kemudian aku tersenyum.
“. . . karena itu kau ada di sini, kan?”
“karena itu kita ada di sini.”
“terima kasih, ya.”
dia tampak tertegun. aku tahu ini juga bukan hal yang biasa buatnya. sekali lagi, untuk beberapa saat tidak ada kata-kata keluar di antara kami.
tapi aku tahu, dia benar. dan untuk itu pada akhirnya aku paham; langkah yang lebih jauh tak selalu berarti selamanya lebih bernas dan bijak. penanda tak terhalang waktu pada saatnya demikian berharga.
dia tampak sedikit bingung untuk beberapa saat, tapi pada akhirnya dia tampak paham.
“sudah, aku pergi dulu. suatu hari, suatu saat, mungkin kita akan ketemu lagi.” aku menepuk bahunya, sekali, kemudian mengangkat ransel siap melangkah pergi. “pokoknya, terima kasih. sampai ketemu lagi, bocah.”
tersenyum tipis, dia hanya memberikan jawaban singkat; “kapan saja. jangan sampai kau jadi karatan.”
aku melangkah pergi. dia masih sebentar lagi. di meja, roti tuna serta Hazelnut Latte dan Americano sama-sama sudah tinggal remah dan sisa.