belok kiri, dari Perth

lewat jam delapan malam waktu Australia Barat, atau lewat jam tujuh malam waktu Jakarta ketika lembaran customs —isian bea dan cukai sebelum memasuki negara tujuan— dibagikan oleh pramugari di kabin. tujuan Jakarta dalam waktu dua atau tiga jam ke depan, atau setidaknya demikian yang terakhir kuingat dari status penerbangan di layar di depan kursi. itu sebelum kumatikan layar, entah beberapa belas menit lalu atau beberapa puluh menit lalu.

tidak ada bedanya juga. tidak ada yang menjemputku di bandara, tidak akan ada telepon atau pesan pendek, tidak akan ada apa-apa menungguku setelah pendaratan sehingga aku jadi tak terlalu memperhatikan waktu.

aku membolak balik lembaran putih dengan tepian biru. deklarasi barang-barang, alkohol atau rokok, lain-lainnya terkait batas nilai semua tidak ada dalam bawaanku. kupikir-pikir, biasanya juga aku tidak pernah membawa banyak bawaan ke mana-mana saja, dengan demikian isian sederhana umumnya mencukupi.

kuperhatikan penumpang-penumpang lain di sekitar tampak asyik menonton pilihan film dalam penerbangan atau mendengarkan musik. sebagian mencoba tidur. tidak ada yang membaca.

pandanganku kembali ke layar di depan kursi yang masih kubiarkan gelap. memang sengaja tak ingin kunyalakan.

.

“maaf ibu, boleh pinjam bolpennya?”

demikian aku bertanya kepada seorang ibu yang tampak baru menyelesaikan formulirnya di sebelahku. kutaksir usianya limapuluhan tahun, warga Indonesia, mungkin keturunan suku di daerah Sumatra, tapi demikian itu kira-kiraku saja jadi aku tak yakin benar.

dia menoleh. aku tersenyum sopan, dia membalas sambil mempersilakan aku menggunakan alat tulisnya. kuucapkan terima kasih, sambil lalu kami  berkenalan dan mengobrol sekilas tentang isian bea cukai dan bagaimana seharusnya mengisinya.

aku permisi sebentar dari obrolan untuk mulai mengisi formulir, setelahnya kukeluarkan berkas-berkas identitas dan mulai menuliskan isian dari nama lengkap dan nomor paspor.

.

“di sini kuliah?”

demikian pertanyaannya yang kujawab dengan sedikit tertawa setelah mengembalikan alat tulisnya. bukan pertama kali juga aku menemukan pertanyaan seperti demikian dalam perjalanan. mungkin ada hubungannya dengan penampilan juga bahwa saat itu aku mengenakan kaos FILA dan celana panjang khaki serta sepatu kets.

“ahaha, enggak lah. saya sudah kerja,” aku menjawab. “cuma kebetulan lagi ke Perth saja.”

kotanya nyaman, kataku. tidak terlalu ramai tapi modern dan rapi juga. kukatakan bahwa kesanku warga kotanya tergolong ramah, terutama di daerah yang sempat kujelajahi.

Perth. kota di daerah muara sungai di bagian barat Australia. dilalui oleh sungai Swan, membelah kota yang pada dasarnya berupa dataran rendah. juga merupakan ibukota negara bagian Australia Barat, tempat di mana sebagian besar urusan pemerintah dan juga kegiatan bisnis terpusatkan untuk kawasan tersebut.

sama sekali bukan kota tersibuk atau paling ramai yang pernah kukunjungi. tapi ada kesederhanaan dan identitas kuno bertemu dengan tatakelola kota modern dari negara maju menghasilkan kombinasi yang memberikan kesan tersendiri.

“kalau saya di sini, izin saya permanent residence,” ujarnya. “jadi warga tetap. kerja di sini juga, tapi bukan di kota. suami saya orang Australia.”

sudah lebih dari 10 tahun, katanya, dan dia sendiri tak terlalu sering pulang ke Indonesia. kalaupun pas pulang biasanya menyesuaikan Natal, tapi kali ini memang sedang ada urusan jadi akan pulang selama tiga pekan. menurutnya kadang agak repot kalau di Indonesia, tetapi dia juga belum ingin beralih kewarganegaraan ke Australia.

“orangtua juga masih ada. kalau ada urusan waris-warisan, susah kalau sudah jadi warga asing. mungkin setelah semua beres baru pindah warganegara.”

kupahami maksudnya bahwa sekiranya nanti orangtua meninggal dunia dan urusan waris sudah selesai, dengan demikian putus juga urusannya sebagai warga negara Indonesia. mungkin sesekali masih akan bertemu keluarga, tapi tidak akan lebih dari itu.

bisa dipahami, sangat manusiawi sekaligus sangat pribadi. aku mendengarkan untuk beberapa saat, beberapa hal agak terlalu pribadi jadi kuputuskan untuk tidak menuliskannya di sini.

aku ingat ketika di sela-sela waktu aku memutuskan untuk berjalan-jalan sendirian di antara Hay dan Murray Street. kuperhatikan ada satu-dua restoran Indonesia, dan satu toko bahan makanan Asia memampangkan tulisan SELAMAT DATANG di atas pintu kaca. bukan hal yang aneh, tapi yang kupikirkan waktu itu adalah seberapa dekat —atau jauhnya— orang-orang Indonesia di sana merasakan hubungan diri terhadap rumah. itu juga bukan hal yang sepenuhnya sederhana.

pada kesempatan lain aku menyusuri Adelaide Terrace dari arah Hill Street, dan sekilas kuperhatikan bangunan Konsulat Jenderal Republik Indonesia. bangunannya tidak tampak terlalu besar. seperti bangunan kantor pada umumnya saja, dengan desain yang resik dan rapi serta bendera merah-putih terpasang pada tiang di halaman depan.

“kalau masih sendiri, bagus juga cari kerja di sini, menetap. sudah punya pacar?”

“sedang tidak ada sih,” kataku sambil tertawa. “baru lepas juga kemarin. aduh.”

“waaah… kalau begitu ya mungkin sudah saja coba cari visa kerja. malah enak, ketemu suasana baru, teman-teman baru,” ujarnya, entah sedikit menghibur. “mungkin ketemu jodoh juga. kalau enggak mau bule, di sini orang Indonesia juga banyak, lho.”

aku hanya tertawa. kukatakan bahwa dulu ada rekan yang mirip seperti itu, setelah putus dari pacarnya terdahulu kemudian memutuskan pergi sendirian untuk merantau dan bekerja di luar negeri. mungkin baik juga untuk membuktikan diri, kataku, itu juga sempat terlintas di pikiran.

“kalau masih muda, masih sendiri, kalau Tuhan beri kesempatan kenapa tidak.”

aku mengangguk mengiyakan. mungkin nanti ke mana Tuhan membukakan jalan, kataku.

Perth adalah kota yang tergolong modern, tetapi secara geografis lokasinya bisa dikatakan terisolasi. kota besar paling dekat adalah Adelaide, kira-kira dua ribu kilometer jauhnya. demikian pula secara jarak, masih lebih dekat Perth ke Jakarta daripada ke Sydney atau Brisbane.

kota modern yang cenderung terisolasi, bisa terhubung walaupun tidak selalu mudah. tempat di mana bangunan-bangunan dengan identitas klasik berdampingan dengan arsitektur baru dan tatakelola modern. kupikir pada akhirnya aku sedikit paham; memang ada hubungan-hubungan di situ.

di satu sisi, kurasa kota ini juga seperti jadi cermin buatku.

 

lampu sabuk pengaman sudah dinyalakan untuk beberapa lama. kemudian bunyi roda dan guncangan ringan dan kami sudah mendarat di Jakarta. pengumuman lebih lanjut dari awak kabin menyampaikan bahwa untuk kali ini tidak ada garbarata atau terowongan tembus ke terminal kedatangan internasional.

kupikir, ya sudahlah. dengan segala baik atau buruknya, selamat datang kembali di Indonesia.

aku mengecek ulang bawaan dalam kabin, memastikan paspor dan isian bea cukai, kemudian untuk terakhir kalinya pamit untuk berangkat duluan kepada beliau di sebelahku.

“saya duluan, ibu,” demikian kataku. “terima kasih.”

“iya, silakan. sama-sama.”

dia melambaikan tangan dan kami berpisah ketika aku melangkah ke tangga turun.

.

di atas aspal bandara, kurasakan Jakarta sedikit berangin. tidak ada hujan. bus ulang-alik ke terminal kedatangan berada dalam beberapa belas meter dari tempatku berdiri. lampu-lampu menara tampak berkelap-kelip di kejauhan.

setidaknya kali ini tidak hujan.

telepon genggam masih kubiarkan mati. entah mungkin nanti akan kunyalakan lagi.