dua setengah tahun

hari itu Minggu sore yang mendung dan sedikit gelap. kukatakan pada ibu bahwa aku akan pergi sebentar, dan beliau menanyakan apakah aku perlu mengenakan jaket dengan tudung (atau setidaknya payung) agar tidak terkena hujan atau gerimis.

kukatakan tidak perlu, tapi entah kenapa aku jadi teringat jaket khaki kesukaanku yang dulu. pada perjalanan ke kota sebelah mungkin sembilan atau sepuluh tahun lalu aku membelinya di salah satu toko barang sisa pabrik. harganya tidak terlalu mahal, tapi cocok untukku. aku ingat adikku sempat mengomentari bahwa aku ‘suka sekali memakai jaket itu’, kalau dibilang seperti itu tidak salah juga.

tujuh-delapan tahun setelah membelinya, dalam salah satu renovasi di tempat kerja, setelah barang-barang dikembalikan dan dirapikan kembali, aku tidak bisa lagi menemukan jaket itu. bicara tentang kehilangan, bicara tentang hal-hal yang semakin cenderung membuat terbiasa.

dua setengah tahun sejak terakhir kali aku menulis di sini, dan aku membuka tulisan ini dengan cerita tentang jaket kesukaanku serta nostalgia pada Minggu sore yang gerimis. ah…

.

dua setengah tahun. entah berapa lama itu kedengarannya, ya. berlari menembus waktu itu sebenarnya bukan sesuatu yang romantis benar. hal-hal terjadi, hal-hal tidak terjadi, sesekali tersandung-sandung dan kadang pula sedikit babak-belur, banyak hal memburam dalam lintasan penanda-penanda yang dengan segera menjadi kenangan yang masing-masingnya agak lebih baru daripada yang sebelumnya.

pada Minggu sore itu aku melewati daerah pertokoan dekat rumah dalam perjalanan ke kedai pangkas rambut. hal yang biasa saja dalam hidup yang seharusnya biasa-biasa saja. aku ingat aku mengenakan kaos warna marun dan celana panjang serta sandal hitam, melewati toko-toko dan restoran serta sesekali bank; orang-orang naik sepeda motor, satu-dua berhenti dekat tukang buah dan bakso untuk transaksi dalam suasana santai.

kuperhatikan daerah ini banyak berubah dalam beberapa tahun. dua blok gedung beton baru dibangun dan menjadi tempat bagi toko elektronik dan bank pembangunan daerah serta gerai perkakas. kalau kita perhatikan dari sisi turunan, ada sebuah area parkir pada rubanah di bagian bawah gedung. gerbang parkir elektronik berada pada posisi yang sedikit menurun dengan agak tanggung di dekatnya.

di dekatnya pasar swalayan Super Indo yang biasanya dipenuhi orang-orang berbelanja (harga di sana tergolong murah, aku sendiri sering belanja kalau sedang perlu memasak) saat ini sedang tutup sementara. sedang ada renovasi gedung, katanya, dari yang kudengar katanya akan buka kembali dalam 1-2 bulan ke depan.

di gedung yang sama tadinya juga ada resto makanan Jepang Hoka-Hoka Bento yang saat ini juga tutup. salon Johnny Andrean di lantai dasarnya masih buka, tapi mungkin akan sulit juga untuk mendapatkan pelanggan yang seramai sebelum-sebelumnya.

kuperhatikan di depan pintu gedung seorang bapak satuan pengamanan sedang duduk dan tampak sedikit mengantuk, beliau melihatku dan aku menganggukkan kepala sekilas untuk permisi. ini juga hal yang tidak umum dalam bulan-bulan sebelumnya, cukup banyak warga mungkin akan perlu sedikit mengubah kebiasaan dan lokasi untuk belanja bulanan, tapi pada akhirnya toh kita terbiasa juga.

dalam hati aku merasa sedikit sureal; dua setengah tahun perjalananku banyak paralelnya dengan sisi kota yang berubah serta pasar swalayan yang tutup sementara.

.

keluar dari kedai pangkas rambut, aku menemukan langit cenderung gelap pada pukul lima lewat. mendung, masih seperti ketika aku berangkat, kali ini dengan gerimis yang sepertinya tinggal menunggu detik-detik untuk tumpah.

tes.

aku merasakan satu tetes hujan jatuh ke bibirku.

tes. tes tes tes.

hidung, kepala, kemudian dahi dan mata. entah sebelah mananya diriku yang melebih-lebihkan, tapi rasanya mengingatkan seperti kena tinju yang ringan.

satu, dua, tiga, empat …

kalaupun hujan ya sudah. pada akhirnya toh aku cuma harus berjalan saja. terus melangkah, dan setelahnya nanti aku akan bisa mengambil handuk dan mungkin menjerang air demi secangkir teh panas untuk diri sendiri.

sebuah mobil melintas pelan di sisi. kuperhatikan sekilas bayanganku memandang dari kaca jendela di pintu mobil dalam satu-dua detik yang singkat dengan pertanyaan yang tak sederhana: seperti apa aku yang dulu, seperti apa aku yang sekarang, entah akan seperti apa aku yang entah nanti.

tapi setidaknya, untuk saat ini, aku di sini.

dua setengah tahun. pada pukul lima-duapuluh sore, masih ada sedikit sisa perjalanan. masih ada sisa gerimis di sisi kota yang berubah di sekeliling diri dan petak-petak cerita yang tak kurang berubah pula.

entahlah, mungkin akan lebih mudah seandainya di sisi langkah ini tidak selalu harus semuanya sendiri.