hbr 10: on leadership

saya pertama kali menemukan buku ini di selasar toko buku impor kira-kira setahun lalu. pada saat itu saya sudah mengenal Harvard Business Review (= ‘HBR’) sebagai referensi yang bisa diandalkan terutama dalam konteks terkait kepemimpinan dan manajemen sebagai profesional, jadi kira-kira saya sudah tahu seperti apa standar yang bisa diharapkan dari publikasi sekelas buku ini.

ngomong-ngomong, beberapa pembaca mungkin sempat memperhatikan bahwa buku ini termasuk dalam daftar yang sempat saya tuliskan beberapa waktu lalu. nah, tulisan ini adalah review buku tersebut secara lebih lengkap dan mendalam.

 

 

HBR 10: On Leadership (judul lengkap: HBR’s 10 Must Reads: On Leadership) adalah sebuah buku berisi kompilasi 10 tulisan terbaik dari Harvard Business Review dalam topik terkait kepemimpinan dan manajemen. tentu saja dengan demikian buku ini memang bukan untuk semua orang, meskipun tidak berarti bahwa buku ini jadi sepenuhnya tidak bisa dipahami umum.

secara teknis, buku ini dibuat dalam format kompilasi esai, masing-masingnya ditulis oleh individu atau tim yang bekerja pada lembaga riset atau pendidikan tinggi. sebagai penunjang untuk memudahkan navigasi, masing-masing esai disajikan dengan lampiran konsep ringkasan berupa abstraksi umum (= ‘Idea In Brief’) dan penunjuk teknis (= ‘Idea In Practice’). masing-masing penanda bisa digunakan untuk referensi-cepat, dan sesuai judulnya, buku ini terdiri atas 10 esai yang dapat dibaca secara independen sehingga tidak harus diselesaikan secara berurutan pada satu waktu.

ide-ide dalam buku ini mungkin bisa disebut sebagai… apa ya? mungkin bisa dianggap semacam menjungkirbalikkan paradigma terkait konsep kepemimpinan dan manajemen secara umum. sebagai contoh, salah satu esai tulisan Daniel Goleman meninjau kembali pertanyaan klasik: apakah pemimpin —leader— itu dilahirkan atau dibentuk? diskusi terhadap pertanyaan tersebut kemudian dipaparkan dengan analisis dan data penelitian yang ternyata tidak selalu sesederhana asumsi yang berlaku umum, menghasilkan sudut pandang dan insight yang bernas dan kadang tidak terduga. demikian juga esai-esai lain dari berbagai kontributor, masing-masing dengan kelasnya yang juga tak kurang memprovokasi sudut pandang.

kelebihan lain buku ini adalah pada pendekatannya yang berbasis riset lintas bidang, khususnya terkait manajemen bisnis dan psikologi. selain Goleman, anda yang mempelajari manajemen secara khusus tentu tak asing dengan nama-nama seperti Peter F. Drucker atau John P. Kotter, misalnya. secara umum para kontributor dalam buku ini memang memiliki kualifikasi yang pada dasarnya setara, masing-masing dengan analisis yang tajam dan mendalam sesuai topik yang menjadi ruang lingkup masing-masing.

kalaupun ada kekurangan —kalau bisa dianggap seperti itu— saya kira relatif pada kenyataan bahwa sejauh ini belum ada penerbit lokal yang menerjemahkan buku ini. di sisi lain saya kira hal ini juga berhubung buku seperti ini tipe yang tergolong niche, sehingga jalur distribusinya relatif terbatas kepada toko buku impor atau setidaknya memesan secara online. jadinya memang agak lebih repot, demikian juga harganya jadi tidak bisa benar-benar dianggap murah.

dengan segala catatan tersebut, saya sendiri menganggap hal tersebut masih sangat sebanding dengan isi dan kualitas yang ditawarkan, secara khusus apabila anda kebetulan berkarir sebagai profesional pada first-line, mid-level, maupun top-level management di dunia kerja.

pada akhirnya, buku ini mendeskripsikan dirinya dengan kalimat singkat di sampul depan sebagai berikut:

“if you read nothing else on leadership, read these definitive articles from Harvard Business Review.”

saya sependapat. buku ini memang harta karun untuk mereka yang membutuhkannya.

buku-buku (nonfiksi) yang mempengaruhi saya

ada saatnya kita tidak selalu membicarakan ‘buku’ sebagai bagian dari hiburan. tidak dalam kapasitas ‘novel’ atau ‘komik’, maksudnya. dan sehubungan dengan semangat tersebut, seringnya kalau kita cukup punya ketertarikan membaca, kita akan menemukan beberapa buku yang mempengaruhi sudut pandang kita, dalam beberapa hal mungkin turut membentuk sudut pandang dan cara berpikir.

beberapa orang mungkin berpendapat bahwa buku-buku seperti tersebut harus ‘berkelas’ —Marx, Dostoyevsky, Tan Malaka, siapapunlah— tapi berhubung hal seperti ini sifatnya personal, menurut saya tidak selalu harus selalu seperti itu juga. tentu saja kalau mau patronistik, nanti bisa-bisa ada pembaca yang komplain: loh, harusnya yang pertama itu Quran dong, memangnya kamu bukan muslim apa?!  :mrgreen:

 

 

baiklah, baiklah. jadi dengan demikian, berikut adalah beberapa buku nonfiksi yang, dengan caranya masing-masing, memberikan pengaruh tersendiri kepada pikiran dan sudut pandang saya.

6. The Black Swan – Nassim Taleb

buku yang agak susah dipahami: filosofi, epistemologi, dan probabilitas. sedikit banyak mengubah cara pandang saya bahwa tidak semua hal dan ketidakpastian perlu sepenuhnya diketahui untuk bisa dihadapi —yang anda ketahui, sungguh tidak berbahaya buat anda!

olahraga otak yang menyenangkan untuk saya, tapi beberapa pembaca mungkin menemukannya agak terlalu berat.

5. The Toyota Leaders – Masaaki Sato

nonfiksi bergaya novel tentang keluarga Toyota dan bagaimana Toyota dimulai dari pembuatan mobil Jepang pertama sampai langkah ekspansi menjadi bisnis otomotif dunia. tentang beberapa generasi pemimpin Toyota dan pendekatan masing-masing terhadap Toyota sebagai identitas personal, keluarga, dan bisnis mereka.

ide bercerita dan semangat khas Jepang tersampaikan dengan baik, sayang terjemahan bahasa Indonesianya kurang bagus.

4. Onward – Howard Schultz

memoar dari perjalanan Howard Schultz sejak kembali menangani Starbucks pada periode krisis ekonomi global pada 2008. merangkum berbagai hal dari pengambilan keputusan bisnis dan perusahaan, serta kehidupan sehari-hari di jajaran manajemen puncak gerai kopi yang mendunia.

cerita yang mengalir dan enak dibaca, dengan berbagai pendekatan bisnis dalam bahasa yang membumi.

3. A History of God – Karen Armstrong

tentang Tuhan dan sejarahnya dari tiga sisi agama Abrahamik: Yahudi, Kristen, dan Islam. pembahasan yang bernas dan mencerahkan dari penulisnya, dengan penyajian yang unik dalam menjelaskan aspek ketuhanan dan religiusitas secara sederhana tanpa jatuh menjadi oversimplifikasi.

pertama kali membaca buku ini di masa sekolah dulu, termasuk buku yang membentuk sudut pandang saya soal Tuhan dan agama.

2. Outliers – Malcolm Gladwell

buku yang  sedikit banyak mempengaruhi perspektif saya tentang orang-orang dengan keberhasilan mereka mengubah dunia: The Beatles dan Bill Gates, di antara yang lain, serta peran besar lingkungan dan kesempatan selain kerja keras dalam proses yang dijalani masing-masing individu.

khas Gladwell, diskusi dan penjelasan dalam bahasa yang runut dengan penyajian berbagai anekdot yang mudah diikuti.

.

.

1. HBR 10: On Leadership – Harvard Business Review

definitely distant first. bukan untuk semua orang, tapi untuk mereka yang membutuhkannya, buku ini adalah harta karun. tentang berbagai aspek kepemimpinan dan manajemen, didukung oleh berbagai kajian dan riset lintas bidang yang didalami oleh masing-masing kontributornya.

sangat direkomendasikan, khususnya untuk anda yang berkarir sebagai profesional pada pada first line, mid-level, maupun top-level management.

ngomong-ngomong, ternyata saya belum sempat menulis tentang buku ini. mungkin setelah ini.

 

kira-kira demikian daftar dari saya. anda pembaca, buku nonfiksi apa yang berkesan untuk anda? 😉

kangen indonesia: indonesia di mata orang jepang

ketika saya menerima buku ini, saya langsung tertarik dengan tema yang dituliskan di sampulnya: sudut pandang orang Jepang yang tinggal di Indonesia. premisnya sendiri tidak cukup umum: ada orang Jepang, tinggal di Indonesia, dan mencoba hidup seperti orang Indonesia: jalan-jalan, makan di warung, naik bus.

dengan demikian, buku ini adalah tentang sudut pandang dan dua budaya, dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. nah, terus?

Kangen Indonesia: Indonesia di mata orang Jepang, oleh Hisanori Kato. penerbit Kompas.

Kangen Indonesia (atau lengkapnya, Kangen Indonesia: Indonesia di mata orang Jepang) ditulis oleh Hisanori Kato, seorang peneliti merangkap pengajar pendidikan tinggi yang pernah bertugas di Indonesia selama kurang lebih dua puluh tahun. dengan pengalaman tersebut, Kato-san sebagai seorang sosiolog kemudian mencoba menuliskan pengamatan dan pemikirannya dalam bentuk buku.

buku ini ditulis dalam format berupa kumpulan esai singkat, dalam bahasa yang sederhana dan mudah dipahami. masing-masing esai menceritakan pemikiran dan pengalaman Kato-san dalam menjalani kehidupan yang ‘sebenarnya biasa’ untuk orang Indonesia, namun dengan perspektif sebagai orang Jepang. hasilnya, tinjauan budaya secara informal dalam bentuk catatan ringan yang santai.

salah satu hal yang menarik dari buku ini adalah bagaimana Kato-san menggambarkan orang-orang Indonesia sebagai manusia yang toleran dan pada dasarnya cenderung sabar dan santai, ketika beradu dengan perspektif Jepang yang terbiasa seksama dan terukur. hal ini terungkapkan benar pada salah satu bagian buku ini:

“Panas, ya. Sekarang saya sedang melakukan penelitian, tetapi capek sekali dan kurang tidur,” kata saya.

Lalu tukang parkir itu menjawab, “Oh begitu? Kalau begitu, sebaiknya Anda tidur karena di belakang sini ada tempat untuk istirahat”.

Ketika itu saya merasa sedikit mengerti mengapa saya tertarik kepada Indonesia. Waktu saya mati-matian melakukan penelitian, mungkin orang Jepang akan mengatakan “berusahalah dengan baik!”. Tetapi orang Indonesia mengatakan “jangan terburu-buru begitu!”. Waktu itu saya berpikir bahwa ada tempat bagi saya untuk pulang. Di saat yang sama saya teringat realitas di Jepang bahwa setiap tahun ada 30.000 orang yang mengakhiri hidup mereka.

~ Kangen Indonesia, h. 8-9

kalaupun ada yang sedikit mengganjal, rasanya kok kata pengantar di buku ini —ditulis oleh Mohamad Sobary— terasa sedikit suram-melankolis yang barangkali tidak terlalu perlu, demikian juga ukuran huruf dan jumlah halaman mengakibatkan buku ini jadi agak cepat habis ketika dibaca —saya sendiri menghabiskan buku ini dalam 1-2 jam— jadi pada dasarnya memang bukan tipe buku tebal-dan-lama juga.

pada akhirnya, buku ini adalah tentang observasi Kato-san, dirangkum dalam perspektif yang jujur dan apa adanya. tentang orang Indonesia yang ‘tidak apa-apa’ dan ‘bagaimana nanti’, dengan segala kekurangan dan kelebihan yang tak urung tetap membuatnya jatuh sayang.

bacaan santai yang menyenangkan untuk akhir pekan. saya sih merekomendasikan.

onward

tadinya buku ini hampir saja lepas dari pengamatan saya kalau saja tidak ada edisi yang memang sengaja dibuka untuk sampel di toko buku. habis bagaimana lagi, kalau melihat sampulnya saja sekilas orang akan dengan mudah berpikir: ‘ah, Starbucks lagi’, dan dengan gampang orang cenderung akan berpikir pula, ‘paling isinya how-to Starbucks Experience untuk usaha anda’, atau ‘bagaimana Starbucks menjual produknya dan bagaimana anda juga bisa’.

iya, di industri perbukuan yang berangkat dari sejarah korporasi dan management insight, saya cenderung berpendapat bahwa Starbucks sebagai sebuah merek mulai terkena ‘sindrom Toyota’: terlalu banyak buku tentang bisnis yang terlalu banyak mengupas sisi operasional dari merek tersebut!

tapi, ya, untungnya. kemudian saya melihat nama penulisnya: Howard Schultz, CEO-nya Starbucks. kemudian membaca ringkasan di belakang bukunya. kemudian mulai membalik-balik halamannya. kemudian… ah, silakan melanjutkan membaca saja deh.


Onward, oleh Howard Schultz. edisi bahasa Indonesia, hak penerbitan oleh Gramedia.

secara singkat, buku ini adalah sebuah memoar tentang kepemimpinan Howard Schultz sebagai CEO di Starbucks Coffee Company, atau lebih dikenal sebagai ‘Starbucks’. uniknya, buku ini tidak memfokuskan angle kepada perjalanan Schultz sejak melakukan akuisisi pertama Starbucks[1]. buku ini justru memfokuskan kepada periode sulit yang dialami Starbucks pada tahun-tahun setelah Schultz pensiun sebagai CEO pada 2000, yang pada akhirnya menuntut nuraninya untuk kembali memegang peran sebagai CEO di Starbucks di tengah terpaan krisis ekonomi global pada 2008. buku ini adalah tentang apa-apa yang terjadi setelahnya.

secara teknis penulisan, buku ini menonjol dengan caranya sendiri. sedikit terinspirasi New Journalism[2], halaman demi halaman buku adalah narasi perjalanan Schultz dengan sudut pandang orang pertama, dengan para mitra dan eksekutif di Starbucks digambarkan dengan karakterisasi layaknya pendekatan prosaik pada sebuah novel. hasilnya, sebuah pengalaman menelisik seluk-beluk dan dinamika pada lingkaran dalam kepemimpinan Starbucks dalam bahasa yang membumi dan mudah dipahami.

terkait aspek teknis penulisan buku ini tentu saja tidak hanya tergantung kepada Schultz sebagai penulis dan nara sumber utama. Joanne Gordon (sebelumnya adalah jurnalis di Forbes) sebagai penulis pendamping melakukan tugasnya dengan sangat baik dalam mengkompilasi tulisan-tulisan serta hasil wawancara dengan Schultz sebagai CEO dan berbagai personel lain pada lingkar kepemimpinan Starbucks. tak ketinggalan juga adalah pihak-pihak di luar eksekutif yang terkait pengembangan produk serta merger dan akuisisi yang dilakukan oleh Starbucks, dalam kolaborasi untuk sebuah karya yang pada dasarnya dapat dinikmati oleh berbagai kalangan pembaca.

kontribusi yang juga tak boleh dilupakan adalah penerjemah dari tim Gramedia, di sini Alex Tri Kantjono Widodo melakukan tugas dengan baik untuk menerjemahkan beberapa istilah bisnis (‘angka komparasi’ untuk comparable same-store sales, misalnya), namun dengan tetap mempertahankan beberapa istilah bahasa Inggris untuk mempertahankan nuansa. hal ini dapat diperhatikan misalnya untuk beberapa ungkapan seperti ‘coffee experience’, ‘bold’, dan ‘burnt’. tentu saja termasuk kata ‘Onward!‘, yang dengan sengaja tidak diterjemahkan demi mempertahankan ide dan semangat penulisnya.

buku ini adalah sebuah memoar, dan dengan demikian sudah pasti akan sangat kental dengan pengalaman dan management insight, khususnya dalam peran sebagai eksekutif pada korporasi global. merger dan akuisisi, harga saham dan angka komparasi, demikian juga konflik dan perbedaan pendapat antara kalangan eksekutif dan analis di Wall Street digambarkan dengan mendetail namun tetap membumi tanpa sampai mengawang-awang. pendekatan terhadap crisis management dalam keadaan genting yang dialami perusahaan mengambil bagian yang cukup signifikan dari buku ini, juga disajikan dengan unik sebagai bagian dari pengalaman hari ke hari seorang eksekutif.

tentu saja, dengan segala kelebihan yang dideskripsikannya, buku ini juga tak segan mengakui bahwa gaya kepemimpinan Schultz mungkin bukan selamanya sesuatu yang dengan mudah disukai semua orang. di beberapa bab kita bisa melihat beberapa tindakan yang mungkin terkesan ‘potong kompas’ dan mungkin tak selamanya sesuai skema dan kaidah-kaidah organisasi (lihat bagian tentang ‘Sorbetto’ dan pengembangan VIA, misalnya), tapi pada saat yang sama kita sebagai pembaca juga cenderung paham bahwa tindakan-tindakan tersebut pada umumnya didasari oleh kecintaan yang mendalam terhadap Starbucks sebagai tempatnya berkarya.

toh dengan segala catatan tersebut saya tidak merasakan ada kekurangan yang cukup signifikan dari buku ini. gaya tulisan yang mengalir dan tersampaikan secara jujur dan disarikan dari pengalaman hari ke hari menjadi nilai tambah tersendiri, dengan management insight yang disajikan dalam buku ini membuatnya layak direkomendasikan untuk pembaca dari berbagai kalangan dan usia.

tentu saja catatan khusus untuk pembaca yang berkarir sebagai profesional baik pada first line, mid-level, maupun top-level management, buku ini lebih dari cukup layak direkomendasikan untuk dibaca. saya sendiri tidak punya keluhan: nilai penuh untuk buku ini.

___

[1] iya, Starbucks itu bukan didirikan oleh Howard Schultz. Starbucks adalah perusahaan kecil-menengah yang diakuisisi oleh beliau pada masa mudanya sebagai bagian dari ekspansi usaha gerai kopi Il Giornale.

[2] New Journalism: pendekatan jurnalisme dengan penceritaan yang cenderung naratif dan prosa dramatik, dan cenderung berorientasi-subjek. tautan pada Wikipedia seharusnya cukup menjelaskan.