kara no kyoukai #5: paradox spiral

tadinya, saya kira tidak banyak lagi yang bisa diharapkan lebih dari bagian kelima dari rangkaian cerita Kara no Kyoukai (= ‘Boundary of Emptiness’) ini. setelah empat film yang dieksekusi dengan sangat baik, saya berpikir bahwa akan sulit sekali bagi film ini untuk melampaui standar tinggi yang sudah ditetapkan sejak installment pertama.

…okay, saya harus mengatakan bahwa saya salah. Kara no Kyoukai: Paradox Spiral benar-benar mematahkan anggapan bahwa serial ini tidak bisa lebih baik lagi; kalau empat film sebelumnya layak mendapatkan penilaian sangat baik, maka film ini lebih dari cukup untuk dikatakan sebagai taken to the next level.

tidak, saya tidak melebih-lebihkan, pembaca. silakan melanjutkan membaca untuk lebih detailnya. :mrgreen:

[knk5-01.jpg]

cerita dalam Paradox Spiral berlangsung pada November 1998 atau tiga bulan setelah akhir cerita pada film pertama, yaitu Kara no Kyoukai: Overlooking View. pada saat ini pula empat bulan sudah berlalu sejak akhir cerita tentang Asagami Fujino dalam Kara no Kyoukai: Remaining Sense of Pain.

perkenalkan Enjou Tomoe, seorang pemuda berusia 16 tahun dengan keluarga yang berantakan. pada suatu malam, ia melarikan diri dari apartemen tempat keluarganya karena telah membunuh ibunya yang disangkanya hendak membunuhnya.

Tomoe bertemu dengan Ryougi Shiki dalam pelariannya, dalam keadaan babak belur setelah dihajar oleh para berandalan di tengah kota. berhadapan dengan Shiki, ia memohon kepada Shiki untuk membantunya menyembunyikan diri karena perbuatan yang telah dilakukannya…

…sebuah perbuatan yang, sebenarnya, hanya merupakan bagian kecil dari misteri yang jauh lebih besar yang melingkupi keluarga Enjou.

[knk5-02.jpg]

secara umum, Paradox Spiral berangkat dari banyak premis yang sudah ditetapkan dari empat installment sebelumnya: ada Eyes of Death Perception, ada elemen-elemen supranatural dan peranan para magi, serta lain-lain yang juga sudah disajikan di bagian-bagian sebelumnya. dengan demikian, film berdurasi 114 menit ini langsung tancap gas dengan gaya yang langsung tergambarkan dalam beberapa menit pertama: suspense dan thriller, dipadukan dengan elemen supranatural yang menjadi ciri khas Kara no Kyoukai sejak installment pertamanya.

film ini tampil dengan storytelling yang unik. gaya penceritaan disajikan secara tidak linear, dengan sepotong-demi-sepotong adegan yang ditampilkan dalam satu waktu, dalam kerangka yang seolah tidak berhubungan antar adegannya. di satu adegan kita melihat Enjou Tomoe di satu waktu, di adegan berikutnya Kokutou Mikiya dan Aozaki Tohko di latar waktu yang berbeda, dan adegan berikutnya lagi latar waktu kembali dilemparkan ke depan dan ke belakang seiring perjalanan cerita.

membingungkan? dijamin, setidaknya sampai pertengahan film anda masih akan bertanya-tanya apa maksud adegan dan simbol-simbol yang ditampilkan dalam film ini. barulah mendekati akhir film, rangkaian simbolisasi dan dialog dalam adegan-adegan yang seolah puzzle ini direkatkan menjadi kesatuan yang kohesif, memberikan sebuah mindscrew yang lebih dari cukup efektif untuk memaksa pemirsa terus duduk di depan layar.

[knk5-03.jpg]

secara teknis, eksekusi film ini luar biasa. storyline yang lebih dari cukup kompleks dieksekusi dengan storytelling yang edan-edanan memang berkontribusi besar untuk film ini… tapi yang tidak bisa dan tidak boleh dilupakan adalah visual yang dieksekusi dengan tidak kalah baiknya. detail untuk background serta lighting dan coloring memberikan atmosfer khas Kara no Kyoukai: visualisasi yang ‘gelap’, pemilihan warna untuk nuansa dengan kadar angst yang tinggi, dan secara umum menghasilkan visual yang… apa ya? disturbingly beautiful, kalau bisa dikatakan begitu sih. eksekusi yang sangat baik ini dapat diperhatikan dengan jelas untuk adegan-adegan di tempat Aozaki Tohko dan Cornelius Alba, selain tentu saja ruang bawah tanah di Ogawa Mansion.

scores, sound effects, dan soundtrack tampil prima… kalau bisa dikatakan, mungkin salah satu puncak dari pencapaian audio Kara no Kyoukai ada di film ini. scores untuk film ini masih ditangani oleh Kajiura Yuki, tampil dengan nuansa gothic dan lebih gelap dibandingkan sebelumnya. beberapa elemen scores tampak mengadaptasi dari pendekatan film noir, dipadukan dengan sedikit kanon di beberapa bagian lain film ini.

dan soundtrack, tentu saja tidak boleh ketinggalan; Kalafina Project besutan Kajiura Yuki tampil dengan sprinter, yang tidak seperti biasa kali ini tampil dengan paduan unik elemen rock dan gothic. buruk? sama sekali jauh, untuk lagu yang tampil sangat pas sebagai representasi terhadap keseluruhan storyline dari film ini.

[knk5-04.jpg]

dengan full mark untuk visual dan audio, serta setelah segala twist dan mindscrew yang gila-gilaan, klimaks film ini ditutup dengan adegan pertempuran yang… kalau ada satu kata yang dapat menggambarkannya, epic. tentu saja, dengan pendekatan khas Kara no Kyoukai: adegan eksplisit berupa gore dan darah berhamburan bisa diharapkan, tak ketinggalan dengan eksekusi visual yang benar-benar top-notch diiringi dengan scores yang tak kurang berkelasnya.

apa lagi ya… mungkin sedikit catatan pinggir, sih. selain storyline yang pada dasarnya memang sudah kompleks, film ini ternyata juga menyelipkan tema tambahan yang agak berbau filosofis. menyinggung predeterminasi dan eksistensialisme sebagai food for thought, elemen tambahan ini disajikan dalam kerangka berupa drama yang diselipkan dengan baik sebagai bagian integral dari pengembangan cerita. adalah hal yang perlu diperhatikan juga bahwa muatan tersebut tidak sampai jatuh menjadi sekadar tempelan; sebaliknya, pendekatan tersebut tampil maksimal dalam mendukung karakterisasi dalam film ini.

[knk5-05.jpg]

secara umum, Kara no Kyoukai: Paradox Spiral adalah tontonan dengan kelas tersendiri. kalau empat installment sebelumnya telah menetapkan standar tinggi untuk sebuah film dalam format animasi, maka film ini adalah puncak pencapaian dari perjalanan Kara no Kyoukai; semua departemen dieksekusi dengan manis, nyaris tanpa cacat yang benar-benar bisa dikeluhkan. dan sejujurnya, tanpa pretensi untuk melebih-lebihkan, film ini berhasil melampaui standar tinggi yang telah ditetapkannya sendiri — simply said, definitely taken to the next level.

tentu saja, akan menjadi tugas yang sulit, sangat-sangat sulit bagi dua installment terakhir dari Kara no Kyoukai untuk melampaui standar sangat tinggi yang ditorehkan oleh film ini. entah apa yang akan disajikan oleh ufotable dalam installment terakhirnya di bagian ketujuh nanti, tapi untuk saat ini Paradox Spiral adalah masterpiece tersendiri di kelasnya.

5 centimeters per second

Byousoku 5 Centimeter, atau dikenal juga dengan 5 Centimeters per Second, adalah sebuah film dalam format animasi yang disutradarai oleh Makoto Shinkai. film ini pertama kali dirilis pada Februari 2007 untuk konsumsi pemirsa via streaming di Yahoo! Japan, sebelum akhirnya dirilis untuk konsumsi bioskop dan DVD.

film ini memiliki judul lengkap 5 Centimeters per Second: a chain of short stories about their distance. tagline-nya sendiri cukup menjelaskan; film ini memang dibagi ke dalam tiga bagian cerita pendek sebagai bagian dari keseluruhan jalan cerita dari film dengan genre drama dan slice of life ini.

cerita dalam film ini terdiri atas tiga buah cerita pendek — atau episode, tergantung bagaimana anda memandangnya sih. masing-masing bagian mengisahkan perjalanan Takaki Tohno dalam latar waktu yang berbeda, dengan karakter-karakter lain yang tampil dalam masing-masing periode yang bersesuaian.

bagian pertama (‘The Chosen Cherry Blossom’) mengisahkan tentang Takaki Tohno dan Akari Shinohara kecil ketika mereka pertama kali berteman sampai setelah keduanya lulus dari sekolah dasar; pada saat ini Akari mengikuti keluarganya pindah ke Tochigi, sementara Takaki tetap tinggal di Tokyo.

bagian kedua (‘Cosmonaut’) menceritakan perjalanan Takaki sebagai siswa SMA setelah pindah dari Tokyo ke Kagoshima, sementara bagian terakhir (‘5 centimeters per second’) mengambil latar waktu beberapa tahun kemudian di mana Takaki dewasa kini sudah bekerja sebagai seorang programmer di Tokyo.

secara sederhana, film ini mengeksplorasi tema mengenai ‘jarak’ dan ‘perasaan’ dalam sebuah hubungan. tampil dengan tidak perlu terlalu banyak dialog dan tidak sampai terlalu-manis, storytelling menjadi salah satu highlight dari film ini. kalau boleh dibilang sih, film ini mengutamakan realisme yang dieksekusi dengan baik. melodramatik? bagusnya tidak, dan film ini cukup berhasil membangun jalan cerita yang solid dan efisien.

sisi lain dari film ini adalah penceritaan yang unik, dengan cukup banyak muatan yang disajikan secara subtle. cukup banyak elemen-elemen cerita yang dibiarkan tersirat dan membutuhkan interpretasi tersendiri dari masing-masing pemirsa, khususnya pada detail-detail tertentu dari jalan cerita.

tentu saja, hal yang perlu diperhatikan dari segi storyline adalah bahwa bagian awal film ini mengambil latar waktu pada periode di mana teknologi telepon selular masih belum banyak digunakan, sementara surat masih menjadi sarana yang dominan untuk komunikasi jarak jauh. hal yang menarik adalah bahwa film ini mengeksplorasi aspek tersebut dalam penceritaannya, dan dengan demikian menjelaskan berbagai konsekuensi terhadap keadaan dan hubungan dari masing-masing karakter pada film ini.

secara teknis, film ini sama sekali jauh dari buruk. desain karakter tidak benar-benar flashy, tapi toh karakter yang ada tetap tampil manusiawi dan likeable. visual tampil mendukung, dengan musik yang tampil manis terutama dengan aransemen piano yang sukses membangun suasana dengan baik di beberapa adegan.

khusus soal visual, film ini layak mendapatkan highlight tersendiri. coloring dan penggambaran latar menyumbang nilai tersendiri untuk departemen visual. satu hal yang layak diperhatikan juga adalah eksekusi komposisi warna untuk mood-dalam-adegan yang berhasil dengan baik dalam banyak adegan dari film ini.

dan bicara tentang visual atau musik, satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah klip yang dirancang dan disajikan dengan manis sebagai konklusi dari cerita di akhir film. soundtrack yang diisi oleh Masayoshi Yamazaki dengan One More Time, One More Chance didukung dengan visual dan screenplay yang dieksekusi dengan rapi, berhasil dengan baik dalam memberikan penutup yang manis untuk film ini.

film ini… adalah film yang realistis. tema yang membumi dengan storytelling yang solid menjadi nilai tambah dari film ini, didukung dengan dialog yang tampil apa-adanya dan cukup pas tanpa sampai menjadi terlalu manis.

secara umum, film ini tampil memikat. pendekatan artistik yang diekseskusi dengan baik sepanjang film ditutup dengan klip yang tampil manis di akhir cerita, memberikan pengalaman tersendiri dari sebuah film animasi dengan genre drama.

jadi… yah. highly recommended, khususnya untuk anda yang yang berencana menghabiskan waktu dengan tontonan yang menyentuh di akhir minggu.

current music — hitomi no juunin

lagu ini pertama kali dirilis pada 2004, bersamaan dengan berlalunya tahun terakhir saya di SMU dulu. tidak benar-benar ada kenangan juga sih soal lagu ini di jaman SMU dulu, lagipula toh saya dulu juga tidak benar-benar paham lagu ini bercerita tentang apa.

sekitar dua minggu yang lalu, saya kembali mendengarkan lagu ini sambil iseng di antara hari-hari yang sibuk. belakangan, setelah mendengarkan dengan lebih memperhatikan lirik dan maknanya yang sebenarnya cukup menohok untuk saya, akhirnya saya memutuskan untuk menuliskannya di sini.

Hitomi no Juunin dibawakan oleh L`Arc~en~Ciel, yang dikenal dengan genre rock (atau secara lebih spesifik, J-Rock). secara umum, lagu ini tampil melankolis dengan gaya yang lebih ke arah power ballad dari sebuah band dengan genre rock.

seperti biasa, lyrics dengan huruf italic, translations dengan huruf plain, dan mohon koreksi kalau ada salah penerjemahan berhubung saya mencoba menerjemahkan sendiri. 😉

Hitomi no Juunin (jp: living in your eyes)
L’Arc~en~Ciel

kazoekirenai demo sukoshi no saigetsu wa nagare
ittai kimi no koto wo dorekurai wakatteru no kana

I couldn’t count how long, but it has been a little while
still, I wonder; what do I really understand about you?

yubisaki de chizu tadoru youni wa
umakuikanaine
kidzuiteiru yo, fuan sou na kao
kakushiteru kurai

tracing the map with my fingertips,
it doesn’t really get me anywhere
as I realized the uneasiness in your face
that you have been trying to conceal

isogiashi no ashita e to teikousuru youni
kake mayotte temo, fushigi na kurai
kono mune wa kimi wo egaku yo

as if resisting my path to the restless future,
in the end I’m only running in circles, it’s strange;
that my heart still sketches you

miagereba kagayaki wa iroasezu afureteita
donna toki mo terashiteru
ano taiyou no youni naretanara

as I look up, overflowing fading radiance
shining forever no matter how long
just like that sun, if only we could be

mou sukoshi dake,
kimi no nioi ni dakareteitai na
soto no kuuki ni kubiwa wo hikare,
boku wa se wo muketa

just a little longer,
I want to be embraced in your scent
the outside atmosphere glitters on my collar,
as I decided to turn my back

shiroku nijinda tameiki ni shirasareru
toki wo kurikaeshinagara futo omou no sa
naze boku wa, koko ni irundarou?

I learned as my sigh blurred in white
repeating back in time, a sudden thought wander;
why am I still here?

soba ni ite, zutto
kimi no egao wo mitsumeteitai
utsuriyuku shunkan wa
sono hitomi ni sundeitai

by your side, always
I want to see your smiling face
with each changing moments
in your eyes I want to live

dokomademo, odayakana shikisai ni irodorareta
hitotsu no fuukeiga no naka yorisou youni;
toki wo tomete hoshii,
eien ni

no matter how far, in a place painted in gentle hues
in that one scenery that brings us together;
I want to stop the time,
for eternity

soba ni ite, zutto
kimi no egao wo mitsumeteitai
utsuriyuku shunkan wa
sono hitomi ni sundeitai

by your side, always
I want to see your smiling face
with each changing moments
in your eyes I want to live

itsu no hi ka, azayaka na kisetsu e to
tsuredasetara
yuki no youni sora ni saku hana no moto e,
hana no moto e…

someday, towards the shimmering seasons
if I can take you there,
to the flowers blooming in the sky just like snow
to the flowers…

 

 

___

[1] hitomi no juunin, secara harfiah memiliki makna ‘dweller of the eyes’. di sini diterjemahkan sebagai ‘living in your eyes’, menyesuaikan dengan konteks konotasinya.

kara no kyoukai #4: the hollow

bicara tentang Kara no Kyoukai, berarti bicara mengenai standar tinggi yang telah ditetapkan oleh rangkaian film yang telah menginjak installment keempat dari keseluruhan tujuh bagian ini. tentu saja, karena masing-masing bagian memang diproduksi sebagai sebuah film — di negara asalnya, untuk konsumsi bioskop — maka review untuk masing-masing installment juga dituliskan secara terpisah di sini.

Overlooking View, berhasil dengan sangat baik. Murder Speculation masih mempertahankan standar tinggi yang ditetapkan oleh film pertama, sementara walaupun Remaining Sense of Pain bukannya tanpa kekurangan, toh film tersebut tetap tampil sebagai tontonan yang memikat.

bagian keempat dari tujuh bagian Kara no Kyoukai ini dirilis dengan subjudul The Hollow — atau dalam judul aslinya, Garan no Dou.

[knk4-00.jpg]

Maret, 1996. beberapa jam setelah akhir cerita Murder Speculation, Ryougi Shiki diceritakan mengalami kecelakaan setelah pertemuan terakhirnya dengan Kokutou Mikiya di kediaman keluarga Ryougi. Mikiya yang turut mengantar Shiki ke rumah sakit tampak masih terguncang dengan rangkaian peristiwa pada beberapa jam sebelumnya, yang diakhiri dengan kecelakaan yang nyaris menewaskan Shiki.

Juni, 1998. dua tahun setelah pertemuan terakhirnya dengan Mikiya, Shiki masih terbaring koma di ruang perawatan. sementara itu, Mikiya kini bekerja kepada seorang magus bernama Aozaki Tohko, yang kemudian mengetahui kisah tentang Shiki dan keluarga Ryougi.

dua tahun setelah koma, Shiki kemudian terbangun… namun tampaknya bukan hal yang mudah, ketika ia menyadari bahwa ‘Shiki’ yang selama ini menjadi separuh dirinya telah menghilang. belum lagi bahwa ia kini memiliki Eyes of Death Perception, yang memungkinkannya melihat garis-garis kematian pada benda-benda di sekitarnya…

[knk4-01.jpg]

memasuki installment keempat dari Kara no Kyoukai, film ini akan sulit dipahami tanpa pemahaman akan keadaan dan cerita pada film pertama sampai ketiga. walaupun latar waktu dari masing-masing chapter bersifat anachronic (secara kronologis, urutan waktu dalam Kara no Kyoukai sejauh ini adalah #2, #4, #3, #1), banyak penjelasan-penjelasan mengenai konsep dan latar belakang dari dunia dalam serial dengan genre thriller, action, dan supernatural ini yang disajikan pada film sebelumnya — khususnya pada film kedua yang mengambil latar waktu persis sebelum film ini.

tentu saja, sebaiknya anda menonton film ini sejak installment pertamanya untuk benar-benar mendapatkan grasp dari film ini. konsep-konsep seperti Death Perception, lalu keberadaan Shiki dan ‘Shiki’, juga cerita tentang keluarga Ryougi merupakan elemen cerita yang cukup kompleks dan merupakan prasyarat untuk dapat benar-benar memahami jalan cerita dari film ini.

secara umum, film ini tidak menawarkan banyak hal dari segi pengembangan cerita; plot relatif linear, walaupun ide yang diperkenalkan dalam perjalanan cerita juga memang tidak untuk konsumsi film dengan durasi panjang. bagusnya, film ini tampil dengan durasi ‘hanya’ 46 menit, dan dengan demikian film ini masih terselamatkan dari kemungkinan berpanjang-panjang yang tidak perlu.

bicara tentang plot yang relatif linear, hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa walaupun dengan pace yang relatif lambat, film ini tidak sampai jatuh membosankan. ada bagian-bagian yang tampak sedikit mubazir, tapi toh tidak mengganggu. sedikit pseudo-twist tampil menunjang jalan cerita, dan keseluruhan jalinan cerita tertata dengan rapi.

[knk4-02.jpg]

visual… masih di atas rata-rata, khususnya untuk adegan-adegan yang mengutilisasi landscape untuk latar belakang. artwork masih dieksekusi dengan baik, walaupun beberapa kekurangan (yang sebenarnya tidak terlalu signifikan) masih dapat diperhatikan di beberapa bagian film ini. bisa dikatakan visually astounding, walaupun dengan beberapa catatan sih.

dalam film ini, scores masih ditangani oleh Yuki Kajiura, untuk Kalafina Project… jadi sepertinya nggak perlu dijelaskan panjang-panjang juga sih. beberapa nomor untuk scores didasarkan kepada ARIA yang masih dibawakan oleh Kalafina, yang juga menjadi ending theme dari film ini. sedikit pop, sedikit klasik, sedikit gothic… hasilnya adalah komposisi dan soundtrack yang tampil luar biasa dalam mengiringi film ini.

film ini masih mempertahankan gaya penceritaan yang disajikan oleh tiga film sebelumnya; tidak banyak dialog yang tidak perlu, dan cukup banyak elemen dalam film ini dijelaskan secara selintas-lalu, dengan beberapa cue yang harus ditafsirkan oleh pemirsa. bukannya buruk sih, tapi pendekatan ini mungkin akan kurang sesuai untuk beberapa pemirsa. saya sendiri cenderung lebih menyukai model storytelling seperti ini, jadi mungkin tergantung selera sih.

tentu saja, yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa film ini masih menyisakan teka-teki mengenai apa-apa yang belum terungkapkan dari film pertama sampai film ketiga. pertanyaan-pertanyaan seperti apa yang terjadi dalam beberapa jam antara akhir cerita Murder Speculation sampai awal cerita The Hollow masih dibiarkan belum terjawab — kemungkinan, hal ini akan disajikan pada installment terakhir dari serial ini.

[knk4-04.jpg]

secara umum, tidak ada yang bisa dikeluhkan dari film ini — khususnya kalau dibandingkan dengan tiga installment sebelumnya yang telah dirilis untuk Kara no Kyoukai. visual jauh di atas rata-rata, sound tampil luar biasa, dengan jalinan cerita yang tertata rapi untuk sebuah film yang (bagusnya) tidak sampai jadi berpanjang-panjang.

sejujurnya, film ini kembali memenuhi semua ekspektasi saya terhadap adaptasi dari serial Kara no Kyoukai di layar lebar. memasuki bagian keempat dari tujuh bagian Kara no Kyoukai, film ini masih mempertahankan standar tinggi yang ditetapkan oleh tiga installment sebelumnya untuk karya yang konsep aslinya dikembangkan oleh TYPE-MOON ini.

mengenai standar tinggi ini… yah, hal ini memang masih harus dibuktikan sampai installment terakhir di bagian ketujuh nanti. tapi setidaknya, untuk saat ini Kara no Kyoukai adalah tontonan dengan kelas tersendiri.

code geass: lelouch of the rebellion r2

memperhatikan perolehan yang diraih oleh pendahulunya, saya sedikit banyak memiliki harapan terhadap serial yang menjadi bagian terakhir dari rangkaian cerita Code Geass ini. walaupun pendahulunya sendiri bukannya tanpa kekurangan, tapi toh pencapaian tersebut tidak bisa diabaikan — penerimaan yang sangat baik di negara asalnya diikuti franchise yang juga merambah manga serta light novel menjadi bagian dari kesuksesan installment pertama serial ini.

formulanya sendiri masih sama: mecha, intrik dan perseteruan politik, perang besar-besaran… dalam konteks cerita yang masih melanjutkan perjalanan selepas akhir cerita pada bagian pertama.

[cgr2-06.jpg]

2018 ATB, satu tahun setelah akhir cerita dari Code Geass: Lelouch of the Rebellion. pada saat ini Jepang masih berada di bawah kolonisasi Britania Raya, dengan nama Area 11. seiring dengan gagalnya pemberontakan oleh Order of the Black Knights pada pertempuran terakhir di Area 11, sisa-sisa anggota dari pemberontakan ini kemudian ditawan sebagai penjahat perang oleh pihak Britania Raya.

sementara itu, Lelouch vi Britannia diceritakan telah kembali ke kehidupan sebagai seorang siswa Ashford Academy di Area 11, dengan nama Lelouch Lamperouge. selama setahun setelah akhir dari pemberontakan, ia tampak tidak memiliki ingatan terhadap pertempuran terakhir di Area 11.

terdapat hal yang aneh bahwa kini Lelouch kehilangan kekuatan Geass dan ingatannya terhadap pemberontakan satu tahun lalu, termasuk peranannya sebagai Zero dari Order of the Black Knights yang memimpin gerakan pembebasan Jepang. keanehan ini terus berlanjut dengan kehadiran Rolo, adik laki-laki dari Lelouch yang seharusnya tidak pernah ada…

[cgr2-01.jpg]

sejak episode pertama, serial ini langsung tancap gas dengan pace yang tinggi: Lelouch yang kehilangan ingatan, kembalinya Zero ke Order of Black Knights, konsolidasi dan konflik dengan Federasi Cina… semua dirangkum dengan intensitas yang terjaga dengan sangat baik dari awal sampai pertengahan serial. sejujurnya, serial ini seolah tak kekurangan bahan bakar dalam membuat twist dan kejutan sepanjang perjalanan cerita yang ditata dengan apik sampai paruh pertama serial.

tapi sayangnya, cacat pertama dari serial ini justru datang di pertengahan serial. pace yang dibangun dengan kecepatan tinggi dan intensitas yang terus terjaga sejak awal cerita tiba-tiba seolah tersia-sia dengan rangkaian peristiwa yang terasa kurang perlu; sangat disayangkan bahwa serial ini ternyata masih belum bisa melepaskan diri dari kekurangan yang dimiliki oleh pendahulunya.

bagusnya, hal ini setidaknya bisa sedikit di-cover oleh eksekusi episode-episode selanjutnya dalam paruh kedua perjalanan cerita. dengan pace dan intensitas yang juga ditangani dengan sama baiknya, serial ini berhasil dengan baik dalam eksekusi storytelling dengan kualitas di atas rata-rata… tapi sayangnya, lagi-lagi eksekusi yang sangat baik ini kembali drop menjelang akhir serial.

mendekati akhir cerita, serial ini seolah kehilangan greget; beberapa twist yang dimunculkan tidak cukup berhasil dalam mengangkat kembali serial ini — twist terakhir di ujung cerita memang cukup mencuri perhatian, namun sayangnya tidak dapat terlalu banyak menolong untuk storytelling yang mulai kehilangan daya pikatnya untuk empat episode terakhir dari serial ini.

 [cgr2-00.jpg]

terlepas dari kekurangan di bagian storyline dan storytelling, serial ini tampil dengan eksekusi visual di atas rata-rata. bukan hal yang tidak terduga juga sih, mengingat proses produksinya ditangani oleh SUNRISE, adegan pertarungan antar mecha berikut efek-efek terkait tampil dengan apik… tapi terkait visual, serial ini juga memiliki catatan tersendiri.

bicara soal visual, berarti terkait secara khusus dengan artwork dan desain karakter. sayangnya, departemen desain karakter untuk serial ini juga tidak tampil maksimal; beberapa karakter seperti Lelouch Lamperouge, Sumeragi Kaguya, dan Schneizel el Britannia memang tampil menonjol dengan desain yang apik… sementara beberapa karakter yang lain tampil dengan outfit yang terasa kurang pada tempatnya.

mungkin terkait pemilihan warna juga sih, tapi bisakah anda membayangkan seorang anggota pasukan elit negara adidaya mengenakan kostum cerah berwarna-warni? Li Xingke yang jadi panglima Federasi Cina didesain dengan kostum yang… aduh, kok serial ini jadi seperti film anak-anak? desain seragam Knights of Round terasa terlalu ‘cerah’ untuk para pilot elit dengan gelar ksatria, dan jangan lupakan pula desain kostum kerajaan Britania Raya yang ‘entah kenapa kok bisa begitu’.

tentu saja, perlu diperhatikan bahwa serial ini tampil sangat baik secara visual, terkait efek dan eksekusi adegan dalam cerita. tapi berhubung konteks visual ini juga terkait artwork, akhirnya jadi drawback tersendiri juga sih untuk bagian ini.

[cgr2-03.jpg]

dari departemen sound, serial ini tampil sangat baik dari segi musical scores. tidak sampai benar-benar istimewa sih, tapi setidaknya cukup di atas rata-rata. efek suara dieksekusi dengan cukup baik, khususnya untuk adegan-adegan pertempuran yang memang cukup berlimpah sepanjang perjalanan serial ini.

OST untuk serial ini terdiri atas empat nomor, dua untuk opening, dan dua lagi untuk ending. opening theme-nya diisi oleh O2 dari Orange Range, sebelum digantikan oleh World End dari Flow. keduanya cukup enak didengar, setidaknya di telinga saya; tapi toh tidak terlalu memorable juga, dan akhirnya jatuhnya lebih ke arah pop dan terkesan mainstream.

di bagian ending theme, ada Shiawase Neiro (jp: tone of happiness) yang kembali dibawakan oleh Orange Range. tampil dengan nuansa mild untuk sebuah lagu bergaya pop, lagu ini sedikit mengingatkan akan Mosaic Kakera dari SunSet Swish di season pertama. memasuki paruh kedua serial, nomor untuk ending theme kemudian diisi oleh Waga Routashi Aku no Hana (jp: my beautiful flower of evil) dari Ali Project yang kembali tampil dengan gaya alternatif yang unik dan cukup khas, menemani ilustrasi dari CLAMP yang tampil di akhir setiap episode.

secara umum, OST yang disajikan untuk serial ini tampil lumayan… tapi toh tidak sampai benar-benar istimewa. saya sendiri masih lebih menyukai set OST yang disajikan di season pertama, tapi mungkin hal ini tergantung selera sih.

[cgr2-02.jpg]

serial ini dieksekusi dengan serius, dan tidak mengherankan bahwa serial ini mampu mendapatkan penerimaan yang sangat baik di negara asalnya. hal ini terkait secara langsung dengan fanbase yang juga telah terbentuk sejak rilis season pertamanya, dan dengan demikian memberikan basis pemirsa yang loyal untuk menyaksikan kelanjutan dari serial ini.

tentu saja, perlu dicatat bahwa serial ini juga tidak sempurna; eksekusi jalan cerita dan storytelling menjadi drawback utama, diikuti oleh desain karakter yang terasa agak kurang pas di beberapa bagian dari serial ini. musical scores di atas rata-rata, sementara OST yang disajikan terasa agak terlalu ‘biasa’ walaupun sama sekali tidak bisa dikatakan buruk.

oh well, but it sells. meskipun demikian, sepertinya serial ini masih belum akan dilupakan untuk waktu yang agak lama juga, sih.

kara no kyoukai #3: remaining sense of pain

akhirnya, baru sekarang saya sempat menulis soal installment ketiga dari rangkaian cerita Kara no Kyoukai ini. dirilis pada Januari 2008 untuk versi layar lebar di negara asalnya, Kara no Kyoukai: Tsuukaku Zanryuu (jp: Boundary of Emptiness: Remaining Sense of Pain) kemudian dirilis dalam format DVD pada Juli 2008.

saya sendiri sudah menonton film ini sejak awal Agustus, namun karena satu dan lain hal baru sekarang saya bisa menuliskan review untuk film ini. dan tentu saja, sebagaimana halnya installment sebelumnya, kali ini pun saya ‘terpaksa’ menonton film ini sampai dua kali sebelum menuliskan review… ya sudahlah, seperti halnya film pertama dan kedua, nggak rugi juga sih nonton film ini sampai dua kali.

[knk3-00.jpg]

Juli, 1998. tiga tahun setelah Kara no Kyoukai: Murder Speculation, satu bulan sebelum Kara no Kyoukai: Overlooking View.

Remaining Sense of Pain diawali oleh cerita kelam dari Asagami Fujino, seorang siswi SMU yang diperkosa oleh sekelompok pemuda berandal di kota. keadaan yang mengenaskan ini telah berlangsung selama beberapa bulan, sampai suatu saat di mana kekuatan misterius dalam diri Fujino tiba-tiba terbangkitkan; dengan kekuatan tersebut, orang-orang yang memperkosa dirinya tiba-tiba terbunuh secara misterius — masing-masing dengan anggota tubuh terpuntir dan terpotong-potong di areal gedung tua di tengah kota.

di lain pihak, Kokutou Mikiya yang bekerja di tempat Aozaki Tohko sedang menyelidiki menghilangnya Minato Keita, seorang adik kelasnya di SMU — yang belakangan diketahui keterlibatannya dalam kasus Asagami Fujino. keadaan yang membingungkan ini diperkeruh dengan kenyataan bahwa tampaknya Ryougi Shiki memiliki hubungan aneh dengan Asagami Fujino, di mana keduanya tampak memiliki naluri untuk saling membunuh terhadap yang lain… 

[knk3-01.jpg]

untuk anda yang sudah menonton film pertama dan kedua dan berpikir bahwa Kara no Kyoukai sudah cukup ‘gelap’, anda mungkin harus memikirkannya kembali setelah menonton Remaining Sense of Pain. bukan apa-apa, soalnya sejauh ini memang film ini yang paling ‘gelap’ dari keseluruhan cerita Kara no Kyoukai. kalau mau dikatakan secara sederhana, ‘sisi gelap’ dari film ini bisa dideskripsikan dengan tiga buah keyword: rape, gore, dan explicit violence.

dan tidak, pembaca. walaupun tema yang jadi plot device dari film ini adalah kekerasan seksual, jangan mengharapkan adegan ala fanservice dalam film ini. yang ada, adegan tersebut digambarkan dengan konteks yang ‘gelap’… dan mungkin bisa mengganggu untuk sebagian pemirsa. jangan lupakan pula konten yang seolah sudah jadi ‘menu tetap’ dari Kara no Kyoukai — darah berceceran atau tangan dan kaki yang tiba-tiba putus serta menggelepar memang jadi bagian dari film ini, jadi anda sudah diperingatkan.

meskipun demikian, hal yang layak disorot dari film ini adalah bahwa film ini bisa menyajikan kombinasi yang seimbang dari aspek thriller dan gore, dan dengan demikian adegan-adegan yang eksplisit dieksekusi dengan pas. bisa dikatakan, adegan-adegan kekerasan sebenarnya tidak sampai ‘banjir’ dalam film ini; tidak terlalu banyak, tapi ya tidak tanggung-tanggung… dan hasilnya adalah ramuan yang pas untuk sebuah film dengan genre thriller yang dipadukan dengan elemen supranatural ini.

[knk3-02.jpg]

film ini masih mempertahankan eksekusi yang meyakinkan dari segi sound; kontribusi Kajiura Yuki dalam pengembangan scores dan OST untuk film ini lebih dari cukup signifikan — mungkin malah bisa dikatakan luar biasa. nomor untuk OST masih diisi oleh Kalafina dengan lagu Kizuato (jp: scar), yang tampil dengan gaya khas yang bisa dikenali sejak kontribusi mereka di film pertama. lagunya sendiri tampil dengan gaya yang lebih ke arah alternatif, dengan interpretasi lirik yang memang dirancang untuk film ini.

eksekusi visual, masih tidak jauh berbeda dari installment sebelumnya. agak berbeda dengan film kedua, adegan-adegan dalam film ini tampak lebih didominasi set malam hari, dengan suasana yang juga cenderung suram. memandang konteks cerita, visualisasi model seperti ini tampil mendukung… walaupun beberapa pemirsa mungkin akan mengatakan sebagai ‘terlalu suram’. terkait hal ini, sebenarnya lebih ke soal selera, sih.

dan bicara soal visual, hal yang tidak boleh ditinggalkan adalah adegan pertempuran yang menjadi klimaks dari film ini. kalau di film pertama ada adegan pertempuran yang dikemas dengan apik di atap Fujyou Building, di film ini ada adegan pertarungan antara Ryougi Shiki dan Asagami Fujino. eksekusi efek seperti slow motion dan ripple dalam pertempuran tampil manis, walaupun tidak sampai benar-benar sejajar dengan eksekusi pada film pertama.

[knk3-03.jpg]

secara pribadi, saya tidak menemukan hal yang bisa benar-benar dikeluhkan untuk film yang menjadi bagian ketiga dari keseluruhan tujuh bagian Kara no Kyoukai ini. ada juga catatan lain sih, misalnya bahwa karakterisasi dari Kokutou Mikiya terasa agak tanggung di beberapa bagian cerita — tapi secara umum, hal ini relatif minor.

tentu saja, film ini bukan untuk semua umur… jadi ada baiknya anda ‘mengamankan’ film ini dari jangkauan adik atau keponakan anda yang masih di bawah umur. perlu juga diperhatikan bahwa beberapa pemirsa mungkin akan menemukan film ini agak ‘terlalu gelap’, dengan adegan-adegan dan disturbing image di beberapa bagian dari film ini.

secara umum, saya memberikan nilai tinggi untuk film ini. memperhatikan hasil yang ada sejauh ini, saya sendiri memiliki ekspektasi tinggi terhadap bagian berikutnya dari adaptasi Kara no Kyoukai… tapi apakah ekspektasi ini akan terpenuhi, hal ini masih harus dibuktikan sampai installment terakhirnya nanti.

current music — namida no monogatari

saya pertama kali mendengar lagu ini pada tahun terakhir saya di SMU, kira-kira lima tahun yang lalu. waktu itu saya masih belum mengerti lagu ini bercerita tentang apa, tapi toh sempat nongkrong di playlist saya sewaktu saya masih muda dulu. judulnya Namida no Monogatari, atau dalam bahasa Inggris ‘the story of the tears’. lagunya sendiri tampil dengan gaya mild dan cukup melankolis (haiyah!), dirilis dalam album Oceans of Love dan dibawakan oleh Yuri Chika.

belakangan ini, saya teringat kembali akan lagu ini. entah ya, mungkin sebagian karena saya sedang dalam mellow mode lagu ini mengingatkan saya akan suatu pengalaman di masa lalu, jadi begitulah pokoknya.

untuk lirik dan penerjemahan, kali ini formatnya agak berbeda dari biasanya. hal ini  karena kata-kata dalam bahasa Jepang relatif sedikit (dan IMO tidak terlalu rumit). penerjemahan dilakukan hanya untuk baris-baris dalam bahasa Jepang — so there you have the lyrics and translations.

Namida no Monogatari (jp: the story of the tears)
Yuri Chika

how did I fall in love with you,
what can I do to make you smile?
I’m always here if you’re thinking of
the story of the tears from your eyes

moshimo negaigoto ga hitotsu kanau nara
shiawase kureta kimi ni mouichido aitai
:: if only one wish is to be granted,
::
I want to see you again, that you have your happiness

can’t you hear the voices of my heart?
I was staying here just wanna see your happiness

omoide mo himitsu mo kokoro ni shimau yo
itsu no hi ni ka kimi to mata meguriaitai
:: the memories and secrets are over in my heart
:: but I want to see again, that you in one of these days

can’t you hear the voices of my heart?
I was staying here just wanna see your happiness

omoide mo himitsu mo kokoro ni shimau yo
itsu no hi ni ka kimi to mata meguriaitai
:: the memories and secrets are over in my heart
:: but I want to see again, that you in one of these days

 

kara no kyoukai #2: murder speculation (pt 1)

entah ini ‘kutukan’ atau apa, tapi kali ini (lagi-lagi) saya terpaksa menonton ulang film ini sebelum menuliskan review di sini. bukan apa-apa, walaupun rilisnya sendiri sudah lewat dari satu bulan yang lalu, baru sekarang saya punya cukup waktu luang untuk menuliskan tentang film ini.

Kara no Kyoukai: Satsujin Kousatsu (Zen) (jp: Boundary of Emptiness: Murder Speculation (part 1)) dirilis satu bulan setelah bagian pertama, yaitu Kara no Kyoukai: Overlooking View. sebenarnya sih, saya sudah menontonnya beberapa hari setelah review yang baru lalu… oh well, setidaknya (seperti halnya film pertama) nggak rugi juga sih saya nonton film ini sampai dua kali. :mrgreen:

Agustus, 1995. tiga tahun sebelum Overlooking View. Kokutou Mikiya baru menjalani tahun pertamanya di SMU ketika ia mengenal Ryougi Shiki, seorang gadis yang tampaknya menyimpan rahasia dan cenderung menarik diri dari lingkungan sekitarnya.

sementara itu, pada saat yang sama terjadi peristiwa pembunuhan berantai di kota; mayat masing-masing korban mengalami mutilasi, dan penyidikan oleh polisi memperkirakan bahwa pelakunya adalah orang yang sama. Mikiya yang kebetulan mengetahui tentang kasus ini tiba-tiba menghadapi keadaan yang membingungkan…

…bahwa kecurigaan tampaknya terarah kepada seseorang dari sekolah mereka, dan bahwa tampaknya Shiki menyimpan rahasia terkait rangkaian peristiwa ini.

[knk2-02.png]

bicara tentang Kara no Kyoukai, berarti bicara tentang cerita yang gelap, sentuhan elemen supranatural… dan semburan darah serta adegan kekerasan yang mungkin agak mengganggu untuk beberapa pemirsa. tentu saja, termasuk visualisasi dari mayat-mayat korban pembunuhan yang digambarkan dengan sangat baik — sehingga bisa terlihat mengganggu, tergantung pemirsa, sih.

masih mempertahankan pendekatan yang digunakan dalam Overlooking View, kali ini Murder Speculation menyajikan gaya penceritaan yang lebih terarah; tidak ada dialog yang mungkin membingungkan dengan interpretasi yang begitulah-pokoknya, dengan jalan cerita kali ini bisa dikatakan relatif lebih mudah dicerna untuk penonton pada umumnya.[1]

pace-nya sendiri terjaga dari awal sampai akhir cerita: tidak terlalu cepat, cenderung lambat… namun dengan intensitas yang terjaga. hal ini tampil menunjang terkait genre suspense dan thriller yang diusung oleh film ini, dan hal yang layak dipuji adalah bagian yang krusial ini tidak sampai kedodoran dalam film ini.

dalam film ini, karakter-karakter yang ada didesain untuk versi yang lebih muda — khususnya Kokutou Mikiya dan Ryougi Shiki. desain karakter dilakukan dengan sangat baik, walaupun saya sendiri masih lebih menyukai desain Shiki di film pertama. desain dari Mikiya tidak banyak berubah, tapi secara umum hal ini dieksekusi dengan baik.

karakter baru… ada Akimi Daisuke yang merupakan kenalan keluarga Kokutou, sekaligus seorang reserse yang menyelidiki kasus pembunuhan berantai yang terjadi. ada juga Gakuto yang mengambil peran sebagai sahabat dari Mikiya, sementara beberapa karakter lain lebih sebagai peran pembantu. secara umum departemen desain karakter tidak mengecewakan, mengingat film ini mengembangkan lebih banyak karakter dibandingkan film pertama.

[knk2-07.png]

kalau ada hal yang perlu diperhatikan sih, sebenarnya film ini memang cerita tentang Shiki dan Mikiya — serta hal-hal lain terkait awal mula hubungan mereka. dengan demikian, karakter yang lain memang sebatas sebagai peran pembantu. bagusnya, karakter seperti Akimi Daisuke atau Gakuto tidak sampai terlihat tidak kebagian tempat — it just fits.

secara visual… film ini juga masih mempertahankan keistimewaan yang dimiliki oleh pendahulunya. memang tidak ada adegan yang seekstrem pertempuran di film pertama atau sejenisnya sih, tapi untuk bagian lain seperti visualisasi latar dan efek seperti semburan darah dan tetes hujan masih dieksekusi dengan kualitas yang sejajar film pertama. catatan lain? visualisasi mayat yang rusak (lengkap dengan gore tentunya) tampil dengan sangat baik… bisa digolongkan sebagai animated explicit violence sih, jadi rating-nya memang tidak untuk semua umur.

musik, masih top-notch. Kalafina tampil dengan lagu Kimi ga Hikari ni Kaeteiku[2] sebagai OST, dan berhasil menjadikan OST yang memorable untuk film sepanjang 61 menit ini. scores yang dihasilkan masih tidak kalah istimewa, dan mampu memberikan kualitas yang sejajar dengan eksekusi pada film pertama.

sebagai bagian kedua dari tujuh installment dari Kara no Kyoukai, film ini tampak lebih berperan sebagai media penyampaian latar belakang karakter dan peristiwa yang terjadi dalam keseluruhan rangkaian cerita. dalam film ini juga dijelaskan mengenai hal-hal yang belum terjelaskan pada film pertama, walaupun tampaknya beberapa hal masih dibiarkan menggantung untuk rilis berikutnya.

[knk2-06.png]

masih seperti film pertama, film ini berhasil dengan baik dalam memenuhi semua ekspektasi saya terhadap adaptasi dari Kara no Kyoukai ke layar lebar. visual yang mendukung, musik yang top-notch, dan storytelling yang berada di atas rata-rata menjadi nilai lebih dari film ini.

sejauh ini, adaptasi Kara no Kyoukai berhasil memberikan pengalaman menonton yang berada cukup jauh di atas rata-rata. saya sendiri berharap bahwa ufotable sebagai studio produksi bisa mempertahankan hasil yang istimewa ini sampai installment terakhir… tapi hal ini masih harus dibuktikan, sih.

___

[1] saya sendiri cukup menikmati film pertama dengan pendekatan tersebut. tapi memang, pendekatan untuk film ini agak lebih to the point.

[2] walaupun liriknya dibaca ‘Kimi ga Hikari ni Kaeteyuku’ (jp: you turn everything into light), penulisan ofisial-nya menggunakan judul tersebut. kanji ‘iku’ memang bisa dibaca sebagai ‘yuku’, sih.

kara no kyoukai #1: overlooking view

biasanya, saya tidak membuang waktu untuk menulis tentang film atau serial yang saya review. sayangnya, kesibukan belakangan ini tidak mengizinkan saya untuk menulis sesegeranya, dan mengakibatkan review untuk film ini jadi terlambat satu bulan setelah saya pertama kali menontonnya.

benar, satu bulan. dan sebagai akibatnya, saya terpaksa menonton ulang film ini sebelum memulai review. tapi, yah… sebenarnya nggak rugi juga sih bahwa saya nonton film ini sampai dua kali. :mrgreen:

review kali ini menyajikan bagian pertama dari adaptasi Kara no Kyoukai ke layar lebar; Kara no Kyoukai sendiri adalah sebuah serial light novel yang pertama kali dirilis oleh TYPE-MOON pada 1998. secara khusus, film ini adalah installment pertama dari rangkaian tujuh film yang direncanakan untuk proses adaptasi ini. distribusi untuk format DVD-nya sendiri baru dirilis pada Juni 2008, jadi bisa dikatakan masih cukup baru juga.

[kank-01]

pertama kali dirilis untuk konsumsi bioskop di negara asalnya pada Desember 2007, Kara no Kyoukai: Fukan Fuukei (jp: Boundary of Emptiness: Overlooking View) sudah punya lebih dari cukup modal untuk menjadi tontonan dengan kelas tersendiri: pengisi suara papan atas (Sakamoto Maaya, Suzumura Kenichi, Tanaka Rie), aransemen dan OST dari komposer yang menjanjikan (Kajiura Yuki, untuk Project Kalafina), dan konsep cerita yang dikembangkan oleh TYPE-MOON (Nasu Kinoko, Takeuchi Takashi). sejujurnya, saya sendiri memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap adaptasi yang ditangani oleh ufotable ini.

Overlooking View diawali dengan terjadinya serangkaian kasus bunuh diri yang dilakukan oleh sejumlah siswi SMU di kota. rangkaian peristiwa bunuh diri ini dilakukan dengan cara yang sama, yaitu dengan melompat dari Fujyou Building di tengah kota; korban tidak meninggalkan wasiat, dan seluruh korban tampak tidak memiliki alasan untuk bunuh diri.

perkenalkan Ryougi Shiki, seorang gadis dengan kekuatan misterius; Aozaki Tohko, seorang magus dengan filosofi tersendiri; Kokutou Mikiya, seorang pemuda dengan insting dan kemampuan penyidikan. di antara kasus bunuh diri yang terus terjadi di kota, Mikiya yang bekerja untuk Tohko menemukan bahwa tampaknya rangkaian kasus yang terjadi bukanlah peristiwa bunuh diri biasa…

…karena sesuatu yang tidak normal sedang terjadi di antara kehidupan yang tampaknya berjalan seperti biasa.

[kank-00]

Overlooking View adalah bagian pertama dari sebuah serial yang disusun secara anachronic.[1] dan sehubungan dengan penceritaan yang disajikan dengan gaya tersebut, adalah hal yang wajar bahwa pemirsa mungkin akan sedikit bingung bahwa terdapat banyak referensi yang belum terungkap pada episode pertama ini. adalah hal yang wajar bahwa beberapa pemirsa mungkin akan sedikit bertanya-tanya mengenai siapa sebenarnya Ryougi Shiki atau mengenai kasus Asagami Fujino yang sempat disebut-sebut oleh Tohko… yah, sebenarnya hal ini akan terungkap dalam episode-episode selanjutnya.[2]

film ini, kalau bisa dikatakan, memiliki pendekatan yang unik dari segi storytelling: tidak banyak dialog, dan tidak banyak karakter untuk konsep cerita yang cukup kompleks. tentu saja, pendekatan seperti ini cukup beresiko; dengan dialog yang cukup minim (dan banyak sekali penafsiran filosofis), film ini beresiko jatuh menjadi membingungkan bagi sebagian pemirsa. bagusnya, film ini berhasil dengan baik dalam menyajikan cerita yang kohesif tanpa banyak dialog yang tidak perlu — dengan intensitas cerita yang tetap terjaga dalam film sepanjang 50 menit ini.

bicara karakter, film ini memfokuskan cerita kepada empat karakter utama, secara berturut-turut adalah Aozaki Tohko (magus yang didesain dengan cukup funky), Kokutou Mikiya (tipikal smart, nice guy), Ryougi Shiki (cool-badass-but- a-girl-nonetheless)[3], dan Fujyou Kirie (bedridden-girl yang memiliki peran tersendiri). bagusnya, penyajian cerita dalam film ini berhasil mempertahankan fokus eksplorasi terhadap seluruh karakter, dengan pembagian tempat yang juga pas. hal yang cukup wajar sih, bahwa dengan fokus karakter yang tidak terlalu banyak, eksplorasi dan character development dapat dilakukan secara merata.

[kank-02]

terlepas dari soal konsep cerita dan storytelling, nilai lebih dari film ini terletak dalam eksekusi musical scores dan soundtrack yang bisa dikatakan luar biasa. aransemen yang ditampilkan sukses dalam membangun suasana untuk sebuah film dengan genre thriller — tapi bagian paling mengesankan adalah aransemen yang disajikan untuk adegan pertempuran di atap Fujyou Building. hasilnya? sudahlah. tidak perlu banyak kata, salut untuk hasil karya yang brilian dari Kajiura Yuki.

soundtrack dari film ini dibawakan oleh Kalafina, yang juga didukung oleh Kajiura Yuki — menjelaskan nama Project Kalafina yang sempat disinggung di awal tulisan ini. nomor dengan judul Oblivious ini tampil dengan gaya alternatif dengan racikan khas Kajiura-san[4], dan berhasil menjadikannya memorable sebagai penutup dari film yang juga memorable ini.

secara visual… film ini juga tidak kurang dari luar biasa. artwork dan desain karakter dirancang ulang dari desain untuk ilustrasi novel, dengan perombakan yang cukup signifikan terhadap gaya dari artwork sebelumnya. terdapat beberapa ‘kontroversi’ juga sih, misalnya bahwa Aozaki Tohko dalam film digambarkan dengan rambut coklat (di ilustrasi novelnya, biru). meskipun demikian, terlepas dari hal tersebut serial ini tampil lumayan dari segi artwork — ada perbedaan gaya, namun secara umum keduanya sama-sama enak dilihat.

namun kekuatan utama pada visual film ini adalah eksekusi latar dan pengambilan sudut yang dilakukan dengan sangat baik. detail seperti percikan air dan semburan darah digambarkan dengan manis, dengan pengambilan sudut yang kreatif. didukung dengan efek khusus yang juga istimewa, hal ini berhasil dengan baik dalam memberikan pengalaman visual tersendiri dalam film — khususnya dalam adegan-adegan yang menjadi klimaks dari cerita.

[kank-03]

film ini adalah bagian pertama dari sebuah rangkaian film sepanjang 7 episode. dengan penyajian cerita yang dilakukan secara anachronic, sebagian pemirsa mungkin akan sedikit bingung mengenai referensi yang belum terjelaskan pada bagian pertama ini. tentu saja, tidak boleh dilupakan bahwa film ini tampil ‘gelap’ (animated violence, lengkap dengan gore yang mungkin agak mengganggu), dan dengan demikian film ini bukanlah tontonan untuk semua umur.

secara umum, film ini memenuhi semua ekspektasi saya sebagai hasil adaptasi dari Kara no Kyoukai dalam versi layar lebar. beberapa pemirsa mungkin akan menemukan bahwa film ini ‘agak membingungkan’ dan ‘terlalu gelap’… yah, bisa dikatakan memang begitulah adanya.

oh well… tapi saya memberi nilai tinggi untuk film ini. memang bukan untuk selera semua orang, sih.

___

[1] anachronic: urutan cerita tidak disajikan secara kronologis. timeline-wise, urutan episode Kara no Kyoukai adalah #2 – #4 – #3 – #1 – #5 – #6 – #7.

[2] saya sempat mengikuti versi novelnya sebelum menonton versi adaptasinya untuk layar lebar, makanya bisa bilang begitu. :mrgreen:

[3] Ryougi Shiki? cool, badass… but still a girl nonetheless. tidak banyak bicara, dan tidak perlu banyak dialog untuk menggambarkan hubungannya dengan Mikiya. FYI, mbak ini sukses mengkudeta posisi Tohsaka Rin sebagai karakter favorit saya. :mrgreen:

[4] kalau anda familiar dengan FictionJunction dan beberapa lagu dari See-Saw, gayanya mirip-mirip seperti itu… wajar sih, FictionJunction kan salah satu kolaborasi dari Kajiura Yuki juga.

clannad

Key. Visual Arts. Kyoto Animation. 2007.

…yah, apa lagi kalau bukan Clannad? :mrgreen:

Clannad adalah judul dari sebuah serial anime, yang diangkat dari visual novel dengan judul serupa yang dirilis oleh Key dan Visual Arts pada 2004. adaptasi untuk versi anime-nya diproduksi oleh Kyoto Animation, dan mulai running pada Oktober 2007. serial ini sendiri baru berakhir pada Maret 2008… jadi bisa dibilang masih lumayan baru, sih.

[clnd-05.jpg]

nama Clannad untuk serial ini diambil dari sebuah kata dalam bahasa Irlandia, yang kurang-lebih bisa diterjemahkan sebagai ‘keluarga’. dan bisa dibilang, tema tersebut adalah benang merah dari jalannya cerita sepanjang serial ini — yang tampil dengan genre romance dan drama, lengkap dengan elemen komedi dan latar berupa kehidupan siswa sekolah menengah umum.

cerita dalam serial ini berjalan di seputar kehidupan Okazaki Tomoya, seorang pemuda dengan keluarga yang bisa dibilang tidak harmonis: ibunya meninggal ketika ia masih kecil, dan hubungannya tidak akrab dengan ayahnya yang melarikan diri dengan menjadi pemabuk setelah peristiwa tersebut. menjalani tahun terakhir di SMU, ia tampak tidak memiliki harapan terhadap dunia dan kehidupan yang dijalaninya — cenderung tidak peduli peraturan sekolah dan jarang tinggal di rumah, dan dengan demikian ia dianggap sebagai delinquent alias siswa bermasalah.

sampai pada suatu saat, ia bertemu dengan Furukawa Nagisa, seorang gadis yang terpaksa mengulang tahun terakhirnya di SMU karena kesehatannya yang memburuk. hal ini membuatnya sering terlihat kesepian sehubungan dengan teman-temannya yang sudah lulus terlebih dahulu, dan Tomoya yang tidak bisa meninggalkan Nagisa yang peragu sekaligus rendah diri akhirnya memutuskan untuk menemaninya; dari titik ini, Tomoya yang semula menjalani hidup tanpa tujuan, kini mulai menemukan arahnya sendiri dalam menjalani kehidupan…

[clnd-06.jpg]

kalau bisa dikatakan, serial ini masih mengikuti ‘tradisi’ dari karya Key/Visual Arts yang diadaptasi oleh Kyoto Animation: secara visual, serial ini luar biasa. artwork yang ditampilkan dalam serial ini bisa dikatakan jauh di atas rata-rata; CG dan efek yang ditampilkan benar-benar digarap dengan maksimal, dan menjadi eye candy untuk serial ini. meskipun eksekusi visual yang luar biasa ini terlihat sedikit kurang konsisten pada beberapa bagian dari beberapa episode, namun hal ini tidak mengubah kenyataan bahwa serial ini tetap visually memorable.

nah. kalau bicara soal visual, berarti terkait artwork. dan kalau terkait artwork, berarti terkait desain karakter. dan desain karakter dari serial ini…

not less than outstanding. Furukawa Nagisa didesain dengan kepribadian yang sedikit kompleks dan ‘rambut antena’ yang jadi ciri khasnya — sama sekali tidak bisa dibilang buruk. Ibuki Fuuko didesain dengan sangat baik sebagai ‘cewek tertindas’ yang sering dikerjai, dan Ichinose Kotomi didesain dengan pas sebagai cewek yang cerdas-tapi-bingungan. pasangan kembar Fujibayashi Kyou dan Fujibayashi Ryou tampil dengan desain yang juga dieksekusi dengan baik untuk peran masing-masing, lengkap dengan tarikan garis dan ekspresi yang juga sangat pas untuk karakter dari keduanya.

karakter lain? Sakagami Tomoyo didesain sebagai cewek bertipe cool dan jago bela diri, tapi toh masih bisa bersikap ramah. Sunohara Youhei yang didesain sebagai cowok ‘hina’ (walaupun belakangan juga diperlihatkan memiliki sisi lain) tampil menghibur dalam adegan-adegan komedi yang… sudahlah, silakan nonton sendiri. kalau ada sedikit catatan sih mungkin soal desain Okazaki Tomoya sebagai tokoh utama yang digambarkan agak ‘kurang sangar’ terkait reputasinya sebagai seorang delinquent… tapi sudahlah. secara umum, desain karakter dari serial ini mungkin cukup tepat untuk dikatakan sebagai istimewa.

[clnd-02.jpg]

bagusnya, kelebihan yang ada di sisi visual tersebut juga didukung oleh eksekusi scores dan soundtrack yang juga cukup istimewa. serial ini bisa dikatakan memiliki scores yang cukup ‘berlimpah’ dari segi kuantitas maupun kualitas — hal ini berhasil dengan baik dalam mendukung suasana dan menciptakan adegan-adegan yang memorable di beberapa episode.

hal yang bisa diperhatikan adalah bahwa beberapa nomor dari scores yang ditampilkan dalam serial ini sedikit beraroma folk, khususnya dengan sedikit gaya musik tradisional Irlandia. entah kenapa, tapi mungkin ini terkait dengan tema dan inspirasi dari serial ini yang berasal dari sekitar konsep tersebut — nama Clannad sendiri berasal dari bahasa Irlandia. tidak semuanya sih, tapi saya sendiri menemukan hal ini cukup enjoyable untuk serial ini.

OST serial ini tidak banyak berubah sepanjang 23 episode, kecuali mungkin dengan tambahan tiga insert song pada episode 9, 18, dan 22. OP-nya diisi oleh Megumeru ~cuckool remix 2007~ dengan gaya yang sedikit upbeat, tapi toh cukup enak didengar. ED-nya diisi dengan lagu Dango Daikazoku yang tampil mild dan sederhana namun cukup memorable. insert song yang lain tampil cukup baik dalam mendukung scores, khususnya untuk Ana yang tampil di episode 9.

secara umum, serial ini tampil superior dari segi musik dan aransemen — baik untuk scores maupun soundtrack. tidak banyak yang bisa dikeluhkan juga sih soal ini; dua-duanya tampil baik dalam membangun suasana yang mendukung jalan cerita, dan bagian ini memang digarap dengan maksimal untuk serial ini.

[clnd-04.jpg]

nah. sekarang, bagian paling penting dari sebuah serial. tentu saja, hal ini terkait dengan konsep cerita, storyline, dan storytelling dari serial ini. dan sayangnya, serial ini malah agak jatuh di bagian tersebut… tidak sampai fatal sih, setidaknya masih cukup jauh untuk dikatakan ‘buruk’.

konsep cerita dalam serial ini berangkat dari tema yang sebenarnya menjanjikan: seorang tokoh utama dengan keluarga yang berantakan (dan dengan demikian menjadi seorang delinquent), dan seorang gadis dengan kepribadian yang sedikit kompleks berikut perasaan rendah dirinya dalam berinteraksi dengan orang lain. hal ini sebenarnya potensial untuk dikembangkan menjadi luar biasa dengan eksekusi yang tepat… sayangnya, tema tersebut tidak berhasil dieksplorasi secara maksimal dalam serial ini, dan beberapa bagian seolah terasa dibiarkan menggantung.

dari segi storyline, serial ini berhasil menampilkan cerita yang cukup memikat dengan intensitas yang terjaga… sampai pertengahan serial ini. selewat pertengahan serial, intensitas cerita cenderung naik-turun: sebagai contoh, arc yang difokuskan kepada karakter Fujibayashi Kyou dan Ryou terasa agak terlalu ‘biasa’, walaupun masih cukup mencuri perhatian. di sisi lain, cerita tentang Sakagami Tomoyo jadi terasa serba tanggung… sementara arc terakhir yang di-reserve untuk Furukawa Nagisa sebenarnya potensial untuk dikembangkan dengan baik, namun malah terasa kurang greget pada klimaks cerita.

sayangnya lagi, beberapa bagian malah seolah dibiarkan menggantung; konflik antara Tomoya dan ayahnya memang berhasil tergambarkan dengan baik, namun belakangan klimaks dan penyelesaiannya malah terasa kehilangan momen. intensitas cerita yang naik-turun ini berlangsung sampai akhir serial… tidak sampai buruk sih, hanya saja agak disayangkan bahwa hal ini hanya sampai di situ saja.

[clnd-01.jpg]

tapi kalau ada satu hal yang bisa sedikit ‘mengobati’ kekurangan di bagian pengembangan cerita, hal tersebut adalah humor yang ditampilkan sepanjang perjalanan serial ini. momen-momen seperti ketika Fuuko ‘ditindas’ alias dikerjai oleh Tomoya atau ketika Sunohara Youhei melakukan perbuatan-perbuatan ‘ajaib’ cukup sukses mengantarkan adegan yang memang dimaksudkan untuk menjadi komedi… tambahkan pula kejadian-kejadian yang terjadi di rumah keluarga Furukawa, serial ini punya dosis komedi yang pas tanpa harus kehilangan muatan seriusnya.

terkait soal penyampaian komedi, serial ini… apa ya? mungkin bisa dibilang bahwa serial ini menyampaikan hal tersebut secara ngawur-tapi-serius. bagusnya lagi, pendekatan ini dilakukan dengan sangat baik dalam serial ini, dengan takaran yang pas dan tidak sampai membuatnya jatuh ke menjadi terlalu komedi.

tentu saja, serial ini punya banyak kelebihan. visual dan musik yang mendukung menjadi aset utama yang menjadikan serial ini memorable, walaupun dengan sedikit kekurangan di bagian storyline yang (bagusnya) bisa sedikit di-cover oleh muatan humor yang membuatnya tampil menghibur. desain karakter dengan kualitas yang berada di atas rata-rata turut menjadi nilai lebih dari serial ini, dan dengan demikian menjadikannya tidak dapat dilewatkan begitu saja.

dengan segala catatan tadi, toh serial ini berhasil dengan baik untuk tampil menghibur… setidaknya, serial ini masih cukup jauh di atas rata-rata.