top gun: maverick (2022)

bagaimana caranya meramu nostalgia dalam konteks yang berimbang (dan tetap relevan) dalam sekuel dari sebuah film legendaris yang dirilis 35 tahun sebelumnya?

Top Gun: Maverick mencoba dengan cukup berani… dan cukup berhasil, sambil tetap cukup sadar dengan dirinya sendiri.

Paramount Pictures

membicarakan film ini juga tidak bisa terlepas dari konteks edisi aslinya. suka tidak suka, Top Gun adalah fenomena kultural pada masanya. tentu saja edisi aslinya juga bukan jenis yang akan jadi favorit kritikus atau sejenisnya, walaupun demikian itu juga tampaknya bukan hal yang penting amat buat banyak pemirsa.

kalau belum pernah menonton edisi aslinya, film ini toh asyik-asyik saja: penerbang tempur kembali ke akademi melatih generasi baru, pertempuran udara yang seru dan asyik, dengan bumbu drama dan efek visual yang lumayan. tapi banyak hal jadi jauh lebih mengena untuk pemirsa yang familiar dengan edisi aslinya. banyak homage dan callback yang sungguh…

…aduh, saya ingin mengomentari beberapa hal, tapi hal seperti ini baiknya dibiarkan saja jadi kejutan tersendiri. sudah nonton saja sendiri, ya.

perkara ‘baru’ dan ‘lama’ ini juga terjembatani dengan baik dalam film ini. kombinasi karakter-karakter lama dan baru tampil berimbang, masing-masing dengan plot point yang cukup menyentuh di beberapa bagian. demikian juga soal musik—antara Top Gun Anthem yang ikonik dan lagu tema baru Hold My Hand dari Lady Gaga, misalnya, sungguh berhasil masuk jadi kombinasi yang asyik sepanjang film.

pada akhirnya Top Gun: Maverick adalah tentang Maverick. seperti juga edisi aslinya dulu, tidak perlu terlalu pusing dengan alur cerita yang pada dasarnya tergolong linear, demikian juga perkara suspension of disbelief yang mungkin baru jadi bahan pikiran setelah selesai menonton, berhubung film ini tampaknya juga sadar diri bahwa Top Gun itu ya… Top Gun. tidak kurang dan tidak lebih.

demikian juga film ini adalah tentang karakter Maverick dalam salah satu dialog sebagai penerbang tempur—konon juga mengkiaskan proses produksi film ini pada umumnya—bahwa pada akhirnya zaman berubah juga, tapi tidak harus semua-semua jadi kehilangan relevansinya.

“the end is inevitable, Maverick. your kind is headed for extinction.”
“maybe so, Sir. but not today.”

‘setidaknya bukan hari ini’ untuk film ini. saya kira banyak pemirsa akan setuju.

patriot (2015)

“negara sudah memanggil kita! lebih baik pulang nama daripada gagal di medan tugas!”

_

sekitar Agustus lalu, saya melihat trailer serial ini di NET. kesan pertama saya adalah, ‘ini serius, bikinan Indonesia?’. ada rasa penasaran di situ. demikian juga ketika mendengar bahwa serial ini dibuat dalam format miniseri tujuh episode, ada kesan bahwa serial ini dibuat dengan standar tinggi yang cukup langka untuk serial televisi di Indonesia.

demikian pada akhirnya setelah finale pada 11 Oktober malam, tulisan ini pun langsung siap rilis.

patriot

Patriot, 2015. produksi NET.

plot pada Patriot berangkat dari premis sederhana: desa Mapu di pesisir Indonesia diambil alih oleh kelompok teroris di bawah pimpinan Panglima Timur (diperankan Aqi Singgih) dengan tangan kanannya Bunian (Yudi Harta). menghadapi keadaan tersebut, sebuah tim komando pasukan khusus dibentuk dengan Kolonel Bayu (Rizky Hanggono) sebagai komandan tim, diikuti oleh Letnan Kolonel Guntur, Letnan Satu Jalu, Sersan Satu Charles, dan Sersan Satu Samuel sebagai anggota tim. (berturut-turut: Verdy Bhawanta, Winky Wiryawan, Maruli Tampubolon, Dallas Pratama).

menonton episode pertama, aspek yang sedikit terasa adalah bahwa serial ini tampak terinspirasi dari film seperti The Raid dan sedikit Band of Brothers. secuil dua cuil inspirasi dari video game seperti Metal Gear Solid dan Far Cry juga akan dengan mudah ditemukan oleh pemirsa yang cukup teliti. meskipun demikian, hal tersebut toh tidak masalah. serial ini berhasil meramu berbagai inspirasi tersebut dalam membentuk identitasnya sendiri, dan sebagai sebuah tontonan, Patriot tidak kehilangan orisinalitasnya.

eksekusi serial ini tergolong well-balanced. efek visual bisa dianggap luar biasa, kalau bukan membuat standar baru untuk televisi Indonesia. keren. demikian juga aransemen musik di atas rata-rata, soundtrack yang catchy (‘Pemburu’, yang uniknya diciptakan serta dibawakan oleh Aqi, Winky, dan Maruli yang menjadi pemain pada serial ini), sukses membuat serial ini menjadi tontonan yang bisa membuat saya menunggu pada hari Minggu malam. tidak ada keluhan.

penulisan cerita dan karakterisasi, pada dasarnya dilakukan dengan baik. kalaupun ada sedikit catatan minor, mungkin terkait eksekusi pada akting di satu-dua bagian, tapi toh tidak signifikan. secara pribadi saya menemukan karakter Panglima Timur (Aqi Singgih) paling bersinar, diikuti oleh Kolonel Bayu (Rizky Hanggono) sebagai komandan tim. karakter lain tampak bisa mengimbangi, walaupun tidak sampai luar biasa tapi juga tidak bisa dibilang buruk.

kekurangannya, apa ya? tidak banyak sih. dari sisi storytelling, beberapa bagian mendekati akhir terasa agak off-pace, demikian juga epilog untuk serial ini rasanya… apa ya, bisa dibuat lebih kuat, khususnya terkait adegan-adegan yang seharusnya bisa lebih mengaduk-aduk emosi pemirsa. kembali lagi ini mungkin terkait keterbatasan pada editing dan pascaproduksi juga, tapi toh hal tersebut tetap tidak mencegah serial ini menjadi sebuah tontonan yang memorable.

saya sendiri sedikit penasaran sekiranya ada versi director’s cut untuk serial ini… tapi dengan target dan harapan sebagai standar baru untuk serial televisi di Indonesia, saya kira serial ini sudah berhasil dengan baik sekali.well done!

the raid 2: berandal

saya tidak tahu harus menulis apa tentang film ini. tentu saja bukan karena film ini buruk, tapi bagaimana, ya.

Berandal —atau lengkapnya The Raid 2: Berandal— berangkat dari keberhasilan prekuelnya, yaitu The Raid. anda pemirsa yang sudah menyaksikan prekuelnya tersebut, tentu sudah tahu apa yang bisa diharapkan dari besutan sutradara Gareth Evans ini: aksi dan laga, barangkali sedikit plot dan karakterisasi pendukung, serta tentu saja adegan kekerasan sepanjang film yang menjadikannya tontonan untuk segmen pemirsa dewasa.

The Raid 2: Berandal. courtesy of Merantau Films.

awal cerita pada Berandal mengambil latar waktu dua jam setelah akhir cerita pada The Raid. Rama (Iko Uwais), anggota pasukan khusus dalam penyerbuan sebelumnya, kini harus menghilang untuk melindungi keluarganya dari incaran pihak-pihak korup di kepolisian setelah penyerbuan berakhir. di sisi lain, Bunawar (Cok Simbara), seorang perwira dari unit antikorupsi, membutuhkan seseorang untuk membongkar praktek korup di kepolisian dengan kelompok-kelompok kejahatan terorganisasi di kota.

pertemuan mereka berakhir dengan Bunawar menawarkan perlindungan kepada Rama dan keluarganya, dengan satu syarat: Rama akan meninggalkan identitasnya sebagai polisi, untuk menyusup ke dalam keluarga Bangun, salah satu dari dua keluarga mafia yang menguasai kota.

.

secara singkat, Berandal adalah versi lebih besar dan lebih ekspansif dibandingkan prekuelnya, The Raid. kalau pada The Raid dulu cerita tergolong linear, demikian juga latar lokasi sebatas di dalam gedung apartemen kumuh (dan tentu saja adegan laga yang jauh di atas rata-rata), maka Berandal menawarkan pengalaman yang lebih ekspansif: plot lebih tebal lengkap dengan pelintirannya, musik dan efek suara digarap dengan jauh lebih matang, dan tak ketinggalan, aksi dan koreografi laga yang tak kurang dari luar biasa.

kalau ketika menyaksikan The Raid dulu mungkin beberapa pemirsa mengeluhkan soal script dan dialog dan akting rata-rata pemain yang mungkin cenderung kaku, Berandal kali ini menampilkan beberapa tokoh veteran dengan pengalaman akting tersendiri. Roy Marten (sebagai Reza, tokoh korup di kepolisian yang disinggung-singgung sejak film pertama) Cok Simbara (sebagai Bunawar), dan Tio Pakusadewo (sebagai Bangun, kepala keluarga mafia), masing-masing menunjukkan pengalaman dalam kapasitas masing-masing karakter sebagai peran pembantu dalam film ini.

demikian juga barisan pemain lebih muda seperti Iko Uwais, Alex Abbad, serta Arifin Putra yang —walaupun tidak luar biasa— setidaknya tidak jatuh sampai buruk benar. secara umum, kualitas rata-rata keseluruhan pemain jelas jauh lebih baik dibandingkan pendahulunya, sedikit banyak bisa dianggap berhasil mengatasi kekurangan yang dulu mungkin sedikit mengganggu.

dan, ya, tentu saja, dengan budget yang lebih besar dan proses produksi yang lebih leluasa, aksi laga untuk film ini dieksekusi dengan jauh lebih baik. dari pertarungan tangan kosong sampai kerusuhan di penjara, bahkan perkelahian dengan senjata seperti pisau dan golok, pistol dan senapan mesin dan shotgun, bahkan palu dan tongkat baseball, semua disajikan dengan kreatif dan luar biasa. koreografi untuk film ini kembali ditangani oleh Iko Uwais dan Yayan Ruhian (yang dalam film ini juga kebagian peran sebagai Prakoso, tangan kanan Bangun), dan hasilnya memang tak kurang dari luar biasa. klimaks pada adegan duel terakhir di film mungkin bisa dianggap masterpiece tersendiri untuk genre ini.

ngomong-ngomong, film ini tergolong panjang. 150 menit untuk banyak karakter dan beberapa subplot, tapi sejujurnya saya sendiri tidak merasa film ini bertele-tele. walaupun ada juga beberapa plot point yang mungkin bisa sedikit dipotong, tapi pace untuk film ini relatif terjaga dengan baik. tentu saja hal ini tertolong dengan adegan-adegan laga yang memang pada dasarnya tidak membosankan, jadi dua jam tiga puluh menit durasi film ini tidak terasa tersia-sia.

dengan kata lain, apa-apa yang menjadi keunggulan dari prekuelnya dulu, dieksekusi dengan jauh lebih baik dalam Berandal. mungkin kalau bisa dengan sedikit analogi, apabila The Raid adalah makanan pembuka yang mungkin cenderung ringan, maka Berandal adalah menu utama yang sungguh tidak mengecewakan. definitely a nice treat at it.

di sisi lain, mungkin sedikit catatan dari saya sebagai pemirsa yang sempat menonton prekuelnya. dalam konteks film ini sebagai sekuel The Raid, saya kok merasa sedikit… apa, ya. dalam kapasitas pada genrenya, film ini bagus, kalau tidak luar biasa. sungguh. semua yang ada pada prekuelnya dibuat lebih baik, lebih besar, lebih bagus daripada sebelumnya. secara teknis dan eksekusi, Berandal jauh lebih baik dibandingkan The Raid. tidak ada bantahan soal ini.

tapi dengan segala kekurangannya, The Raid dulu berhasil membangun ketegangan yang terjaga rapi sepanjang film. sesuatu yang, apa ya, saya sendiri menyebutnya visceral thriller, jadi pada dasarnya ini terkait pengalaman menonton yang sifatnya intuitif. hal yang sama, sayangnya, tidak sampai benar-benar mencapai taraf yang serupa pada Berandal. tapi mungkin juga ini karena pada dasarnya pendekatan filmnya sendiri dibuat berbeda, demikian juga soal pengalaman menonton seperti ini adalah sesuatu yang sifatnya personal.

tapi sudahlah. dari saya sendiri, catatan kecil tersebut tetap tidak mengurangi kapasitas Berandal sebagai salah satu yang terbaik dari sekian banyak di kelasnya. demikian juga kalau menilik sukses The Raid di pasar Indonesia dan mancanegara, tidak akan mengejutkan bahwa Berandal akan meneruskan jejak kesuksesan serupa di kancah lokal maupun internasional.

good job well done untuk Merantau Films. salut!

gravity (2013)

George Clooney. Sandra Bullock. di luar angkasa. what do you expect?

ketika awalnya saya mendengar tentang dan mencoba mencari tahu tentang sinopsis film ini, saya tidak mendapatkan banyak penjelasan: cuma dua orang astronot, kecelakaan di luar angkasa. lain-lainnya tidak banyak dijelaskan kalau kita memang tidak berniat mencari bocoran jalan cerita, jadi sejujurnya saya memutuskan untuk menonton film ini tanpa ekspektasi saja.

nah, jadi tulisan kali ini tentang Gravity, film arahan sutradara Alfonso Cuaron yang dirilis pada Oktober 2013. lagipula ada George Clooney dan Sandra Bullock juga sih, jadi untuk beberapa pemirsa mungkin ini faktor yang lebih dari cukup juga untuk menarik ke bioskop terdekat.

Gravity, 2013. courtesy Warner Bros Pictures

film ini berangkat dari ide yang sederhana dan storytelling yang sederhana serta linear juga. dari sisi karakter dan konsep penceritaan, tokoh utama dalam film ini praktis hanya Ryan Stone (Bullock) dan komandan Matthew Kowalski (Clooney) yang harus bertahan hidup dalam keadaan terkatung-katung di luar angkasa setelah pesawat ulang-alik dan stasiun luar angkasa mereka hancur dihantam debris. atau ‘puing-puing luar angkasa’, kalau itu lebih menjelaskan sih.

jadi, karakter dalam film ini (baca: ‘yang tampil dan berakting di layar’) hanya dua orang. pendekatan seperti ini dalam film mengingatkan pada bagian besar dari Life of Pi[1], dan sejujurnya eksekusi seperti ini termasuk jenis yang susah: dengan sedikitnya karakter yang ditampilkan di layar, praktis kekuatan film ini akan terutama tergantung kepada perwatakan masing-masing tokoh.

sayangnya rasanya kok karakterisasinya kurang greget, ya. Sandra Bullock dan George Clooney bukan aktor yang buruk. tapi dengan pendekatan Cuaron untuk film ini, tuntutan terhadap kemampuan aktor memang jadi tinggi sekali sehingga ketika Bullock (dan Clooney) tidak bisa mencapai standar yang luar biasa tinggi, jadinya semacam underdelivered juga.

ditambah lagi dialog dan pesan yang di beberapa bagian bisa jadi terasa klise, tapi yah…

ngomong-ngomong, film ini eye candy. serius. banyak pemandangan bagus, walaupun lepas dari hal tersebut beberapa pemirsa mungkin akan menemukan beberapa bagian cenderung repetitif. meskipun demikian pensutradaraannya kreatif sih, teknik seperti perubahan sudut pandang kamera orang ketiga-orang pertama-orang ketiga tampil menyegarkan untuk film ini.

pada akhirnya, film ini tidak buruk. Sandra Bullock maupun George Clooney juga sama sekali bukan aktor yang buruk. secara visual film ini mungkin memanjakan lebih dari cukup banyak pemirsa, tapi mungkin yang perlu diperhatikan adalah bahwa film dengan pendekatan seperti ini pada dasarnya menuntut performa yang benar-benar luar biasa untuk bisa sepenuhnya berhasil sebagai tontonan yang bisa merangkul emosi pemirsa… yang sayangnya, tuntutan tersebut tidak sampai benar-benar bisa dipenuhi dalam eksekusi film ini.

saya sendiri berpendapat bahwa film ini tidak buruk, tapi ya underdelivered sih. sayang juga, sebenarnya.

___

[1] kalau masih ingat, ketika Pi dan Richard Parker harus bertahan hidup tanpa bantuan di tengah samudera Pasifik. it makes sense in context by the way.

[2] dengan mengambil resiko dianggap tidak paham ilmu perfilman (duh), agak bingung juga dengan hype yang ada di forum-forum maupun IMDB atau Rotten Tomatoes, misalnya. soal selera mungkin ya. 🙄

pacific rim

ketika pertama kali mendengar tentang rencana penggarapan film ini serta melihat-lihat desain dan konsepnya, mau tidak mau saya sedikit penasaran bagaimana film ini akan dieksekusi: robot-robot raksasa berhadapan dengan monster-monster raksasa dalam konteks perang kolosal, jelas bukan hal sederhana maupun murah untuk bisa diracik menjadi sebuah tontonan yang memukau.

perkenalkan Pacific Rim, salah satu proyek ambisius kolaborasi sutradara Guillermo del Toro dan Warner Bros yang dirilis pada Juli 2013.

 

Pacific Rim, 2013. courtesy Warner Bros and Legendary Studio

Bumi di masa depan adalah medan pertempuran. makhluk asing berupa monster-monster raksasa tiba-tiba muncul melalui portal di retakan dasar Samudera Pasifik, menghancurkan kota-kota di seluruh dunia. monster-monster ini dikenal dengan nama Kaiju (= ‘monster’).

dalam upaya bertahan menghadapi gelombang serangan Kaiju, manusia mengembangkan senjata berupa mesin-mesin tempur humanoid raksasa yang dikenal sebagai Jaeger (= ‘pemburu’). masing-masing Jaeger dikendalikan oleh dua pilot dengan gelombang pikiran yang saling tersinkronisasi.

sementara para Kaiju terus bermunculan dari Samudera Pasifik, para Jaeger dan pilot-pilotnya menjadi harapan terakhir manusia untuk bertahan, dengan keadaan yang semakin hancur-hancuran seiring dengan berlalunya setiap pertempuran…

.

memasuki awal sampai tengah film, beberapa pemirsa mungkin akan dengan cepat menyadari kentalnya pengaruh Jepang dalam film ini, terutama beberapa konsep yang mungkin mengingatkan dari beberapa judul seperti Neon Genesis Evangelion atau Godzilla. robot raksasa dengan pilot yang tersinkronisasi, demikian juga monster-monster raksasa dan pertempuran skala besar bukan ide yang sepenuhnya baru kalau kita memandang dari karya-karya produksi negeri sakura.

tapi, cukup sampai di situ saja. dengan kemiripan dan paralel tersebut, film ini tidak lantas terjebak menjadi replika Jepang-buatan-Amerika —jauh dari itu! Pacific Rim tampil bernas dan kreatif, dengan pendekatan yang lebih realistis dan edgy dibandingkan pantaran Jepangnya. hasilnya, kombinasi unik dengan rasa yang orisinil tanpa meninggalkan akar sumber inspirasinya.

secara teknis, film ini tergolong gerak-cepat untuk masuk ke inti cerita. premis dan latar belakang yang meliputi konsep-konsep seperti Kaiju dan Jaeger serta sistem dua-pilot disajikan di bagian awal, dan setelahnya, aksi dan ledakan-ledakan nyaris tanpa henti dengan dukungan efek visual yang dapat dikategorikan luar biasa.

begitulah, efek visual film ini memang luar biasa. adegan pertempuran masing-masing Jaeger ketika berhadapan dengan para Kaiju menjadi nilai jual utama film ini: kolosal dan luar biasa! masing-masing pertempuran baik di tengah kota sampai ke dasar laut, semua disajikan dengan luar biasa dan berhasil memberikan pengalaman menonton yang intens.

di sisi lain, storytelling film ini tergolong tipikal, kalau tidak bisa dibilang linear sih. secara umum eksekusi plot point tergolong rapi, masing-masing subplot dituntaskan dengan cukup baik di akhir cerita, walaupun ya tidak sampai benar-benar istimewa apalagi luar biasa.

lain-lainnya, apa lagi ya? musik lumayan, walaupun di beberapa bagian mungkin agak repetitif. karakter seperti Chuck Hansen potensial kompleks tapi seperti kurang tereksplorasi, sementara Gottlieb serta Newton Geiszler —walaupun dengan peran penting sebagai plot device— akhirnya seolah jatuh menjadi sebatas comic relief.

pada akhirnya, visual yang luar biasa berikut eksekusi yang orisinil menjadi nilai tambah film ini. aspek lain-lain seperti storytelling dan karakterisasi sayangnya tidak terlalu menonjol walaupun tidak sampai menjadi cacat, tapi secara umum film ini berhasil dengan baik dalam menyajikan pengalaman tersendiri pada kelasnya sebagai tontonan dengan genre science fiction.

bukan selera semua orang, mungkin. tapi untuk anda pemirsa yang mencari tontonan fiksi ilmiah dengan action dan efek visual yang lebih dari cukup luar biasa, film ini sangat layak direkomendasikan.

life of Pi

berangkat dari beberapa review yang sempat diangkat oleh berbagai sumber dan rekomendasi beberapa rekan, akhirnya saya memutuskan untuk menonton film ini. ekspektasi saya sendiri relatif pas-pasan, mengingat premisnya juga bukan benar-benar orisinil —anda yang pernah menonton film seperti Robinson Crusoe atau Cast Away, misalnya, mungkin akan menemukan kemiripan pada  beberapa bagian premisnya. bukan berarti selalu pasti jadi buruk juga, sih.

kali ini, 20th Century Fox dan Ang Lee sebagai sutradara berkolaborasi untuk Life of Pi, sebuah film yang diangkat dari novel berjudul serupa yang ditulis oleh Yann Martel dan diterbitkan pada 2001.

Life of Pi, 2012. courtesy 20th Century Fox and R&H Studio

cerita diawali dengan latar belakang Piscine ‘Pi’ Molitor Patel, seorang pria keturunan India yang tinggal di Kanada. dalam kilas baliknya, Pi muda adalah seorang anak dari pemilik dan pengelola sebuah kebun binatang lokal di India. pada usianya yang ke-16,  sehubungan dengan situasi dalam negeri yang tidak stabil ayah Pi memutuskan untuk menutup kebun binatang dan memindahkan keluarganya ke Kanada.

keberangkatan keluarga Patel —berikut hewan-hewan bawaan mereka yang akan dijual di Amerika Utara— tidak berjalan lancar. dalam perjalanan di atas Palung Mariana, kapal dihempas badai dan menenggelamkan seluruh penumpang, kecuali Pi yang secara tidak sengaja terlempar ke sekoci penyelamat yang lepas diterjang badai dan terpaksa harus menyaksikan kapal tenggelam bersama seluruh penumpang termasuk keluarganya.

baru setelah badai surut Pi menemukan bahwa dirinya tidak sendirian berada dalam sekoci; seekor zebra, seekor hyena, seekor orangutan, dan seekor harimau Bengal yang berasal dari kebun binatang ternyata turut berada di sana… dan selanjutnya adalah bagian demi bagian cerita dalam perjalanan penuh ketidakpastian untuk bertahan hidup dan keinginan untuk saling memangsa sebagai sandera alam di laut lepas.

bicara mengenai film ini, kesan yang paling kuat dan menjadi highlight langsung tampak jelas: visual film ini, luar biasa. efek khusus dan implementasi CG menjadi nilai jual utama film ini. entah itu badai, kapal karam maupun laut yang sedang bersahabat, eksekusi departemen visual tampil menggigit. ketika badai menjelang, kapal karam, hewan-hewan dan pertarungan di laut lepas —a visceral joy! nilai penuh untuk Rhythm & Hues Studio sebagai penyelia efek visual untuk film ini.

tentu saja di sini poin yang tidak boleh ketinggalan adalah storytelling yang solid untuk tema cerita yang pada dasarnya tidak bisa bergantung kepada banyak dialog. Irffan Khan sebagai Pi dewasa yang sedikit enigmatik terasa agak datar di beberapa bagian, namun yang paling bersinar dalam film ini jelas Suraj Sharma sebagai Pi muda. tampil sangat baik —nyaris luar biasa, mungkin— dalam mengantarkan ketakutan dan keterasingan dalam upaya bertahan hidup serta memangsa-atau-dimangsa, dengan monolog terakhir di ujung film tampak menjanjikan potensinya yang masih bisa tergali sebagai aktor watak.

di sisi lain, beberapa bagian film ini mungkin bisa jadi terasa agak kurang perlu untuk sudut pandang beberapa pemirsa. latar belakang Pi dan keluarga mungkin terasa memakan agak terlalu banyak tempat, sementara di beberapa bagian eksekusi pemandangan dan keindahan visual bisa jadi terasa agak berpanjang-panjang, tapi untuk catatan ini perlu diingat juga bahwa film ini pada dasarnya adalah adaptasi dari novel, sehingga dengan demikian sudah tentu akan harus berangkat dan terikat kepada pakem dan plot point yang sudah terbentuk sebagai ide dasarnya.

akhirnya, Life of Pi adalah film yang sangat layak direkomendasikan sebagai tontonan menjelang tutup tahun kali ini. nilai lebih pada eksekusi visual dan storytelling, sementara catatan-catatan lain yang mungkin sikapnya preferensial toh tidak cukup signifikan untuk menurunkan raihan nilai film ini. jauh di atas rata-rata, jelas.

visually astounding, solid storytelling. definitely a memorable ride.

the raid (redemption)

setelah cukup banyak gaung dan publikasi yang positif, akhirnya sampai juga film ini untuk konsumsi umum publik Indonesia. tercatat sebagai film terbaik 2011 pilihan majalah TEMPO, kemudian Midnight Madness Award di Toronto Festival dan setelahnya sambutan yang cukup baik di South by Southwest alias SXSW, film ini sudah lebih dari cukup syarat untuk masuk ke daftar antisipasi ketika rilis pada Maret ini.

The Raid (atau The Raid: Redemption untuk versi internasionalnya) memang berangkat dan langsung berhadapan dengan ekspektasi tinggi, selain tentu saja juga premisnya yang kebetulan cukup sesuai selera pribadi: pasukan khusus, fast-paced action, dan kisi-kisi plot yang ternyata tidak sesederhana kesan awalnya. here goes…

 

Iko Uwais, The Raid. courtesy Merantau Films

Jakarta. sebuah gedung apartemen kumuh yang menjadi markas dari seorang bos pengedar narkotika bernama Tama Riyadi (diperankan oleh Ray Sahetapy) direncanakan sebagai target penyerbuan pasukan khusus dari kepolisian. dipimpin oleh Jaka (Joe Taslim), dua puluh orang personel termasuk Rama (Iko Uwais) ditugaskan menyisir satu demi satu lantai apartemen bertingkat tiga puluh tersebut dengan misi menyeret Tama keluar dari markasnya.

penyergapan berjalan sesuai rencana sampai kehadiran mereka diketahui oleh seorang penghuni yang langsung menyalakan alarm untuk menyadarkan seisi gedung, termasuk Tama yang langsung memerintahkan Mad Dog (Yayan Ruhian) dan Andi (Donny Alamsyah) untuk menutup semua jalan keluar, lengkap dengan seisi gedung sebagai kaki tangan Tama yang siap untuk menghabisi seluruh pasukan.

 

ketika Rama melakukan ibadah subuh untuk kemudian pamit kepada istrinya untuk pergi bertugas, kita sudah tahu momen-momen tersebut tidak akan terdapat cukup banyak dalam film ini. sama halnya ketika Rama berjanji kepada ayahnya ‘untuk membawa dia pulang’, kita pun paham bahwa film ini segera mengarah ke dalam rangkaian adegan yang diramu untuk menampilkan ketegangan nyaris tanpa jeda sejak penyerbuan dimulai. dan, ya, dalam film besutan Gareth Evans ini hasilnya memang luar biasa.

salah satu kelebihan utama film ini adalah ketegangan yang dibangun dengan sangat rapi dari awal sampai akhir. di antara peluru sniper sampai senapan otomatis dan golok serta pisau dan tangan kosong, pemirsa dipaksa untuk harap-harap cemas dengan sudut kamera dan yang dibangun untuk menghadirkan ketegangan secara psikologis dengan kesan sempit dan menyesakkan. di sisi lain penggunaan tone pada layar dengan pendekatan warna yang desaturated di sini memberikan kesan gelap yang berhasil, tentu saja di luar penceritaan yang juga berkontribusi dalam membangun ketertekanan psikologis untuk pemirsa.

di sisi lain, film ini benar-benar bersinar pada bagian koreografi. pertarungan tangan kosong disajikan dengan luar biasa. duo Iko Uwais dan Joe Taslim di satu sisi dengan di seberangnya Yayan Ruhian dan Donny Alamsyah tampil luar biasa untuk adegan pertarungan yang keras, brutal, dan dieksekusi dengan sangat baik dengan screenplay yang sangat menunjang. tidak ada keluhan untuk departemen ini, hanya dua kata: luar biasa!

tentu saja bukan berarti film ini jadi tanpa kekurangan. dengan ide cerita dan suspense serta twist yang terjaga dengan baik, sayangnya kualitas akting dalam film ini jadi relatif terbanting. sedikit kekurangan pada script, yang cenderung terlalu terpaku kepada bahasa baku daripada slang dalam bahasa Indonesia sehingga dalam beberapa momen dialog terasa sedikit jengah. di sisi lain kekurangan pengalaman juga menjadi catatan tersendiri terkait kualitas akting, khususnya untuk para pemain di luar nama-nama yang sudah cukup familiar seperti Iko, Donny, dan Ray Sahetapy yang di sini tampak paling berkilau dalam perannya sebagai bos pengedar narkotika yang dingin dan berkarakter psikopat.

meskipun demikian, dengan segala kekurangan dan masing-masing catatannya, The Raid tetap tampil luar biasa. untuk pemirsa genre action dengan toleransi terhadap adegan pertarungan yang brutal dan berdarah-darah, film ini sangat layak untuk menjadi pilihan. bravo!