sora, tentang hidupnya

/1

anak itu sering mengucapkan ‘maaf’ dan ‘terima kasih’. untuk hal-hal kecil dan sederhana, dari mengambilkan perkakas atau kursi roda, atau pula untuk antaran pizza dan kopi pada akhir pekan. pada hari-hari yang santai kadang dia menonton serial televisi Prancis tanpa teks di layar, kadang pula episode lama Star Trek yang sering juga kuikuti pada akhir pekan.

dia lebih senang dipanggil ‘Hakim’, sesuai bagian depan dari namanya. beberapa teman-teman mengenalnya sebagai ‘Sora’ lewat tulisan-tulisannya. dia adalah juga saudara kembarku, sampai saatnya dia berpulang, beberapa waktu lalu.

hari ini aku tidak ingin menceritakan tentang kematiannya. hari ini aku ingin menuliskan tentang kehidupannya

 

/3

“enggak usah, enggak apa-apa. kita punya banyak waktu, kok,” katanya. yang langsung kutanggapi, “sudah, pakai saja dulu.”

waktu itu kami di rumah sakit. saat itu sore mengarah malam hari, dan kuperhatikan bahwa selama ini dia masih menggunakan pengisi daya model lama untuk telepon genggamnya. beberapa menit sebelumnya aku sedang beres-beres ruangan ketika dia mengatakan sambil lalu bahwa baterai ponselnya menjelang habis.

“pakai punyaku saja, sudah fast charging,” kataku, sambil kupasangkan ke kabel ponselnya. “punyaku sudah ada yang baru. pakai saja,”

yang kemudian ditanggapinya sesuai di atas itu. waktu itu aku tak terlalu memikirkannya.

“bawa saja, nanti kutaruh sini,” kataku. “harusnya sejam beres nih.”

“okee. terima kasih.”

aku hanya mengedikkan bahu. “santai,” jawabku, sambil meletakkan ponsel di sisi tempat tidur. kupasangkan pengisi daya ke stopkontak di atas kepala tempat tidur.

‘kita punya banyak waktu,’ katanya. ketika aku memikirkannya lagi hari-hari ini, rasanya jadi tidak sepenuhnya tepat. karena pada hari-hari setelahnya, aku tidak lagi bisa mendengar suaranya.

 

/4

ruang rawat intensif. suasana hening, pengunjung dibatasi, tapi sebagai penunggu pasien aku bisa beberapa kali masuk ke dalam ruangan untuk bertemu perawat dan dokter serta keperluan administrasi lainnya.

“halo,” kataku, “ini hari Rabu siang, jam 13:30. kamu di ruang ICU sekarang ini. aku baru ketemu dokter dan perawat tadi.”

pada awal-awal menginap di rumah sakit, dengan banyaknya hal terjadi sempat membingungkan buatnya, kami menemukan bahwa mengetahui posisi dan waktu agaknya membuatnya lebih tenang. jadi biasanya aku meringkaskan waktu, lokasi, dan situasi setiap kali aku bisa menemuinya.

kondisi pasien somnolen—pada dasarnya setengah sadar, walaupun masih bisa menanggapi rangsang sentuh dan suara—dan dengan keadaan tersebut, setidaknya kami masih bisa berkomunikasi. matanya terpejam, kondisi umumnya lemah, tapi setidaknya suaraku tersampaikan dan dia bisa menanggapi dengan ‘oh’ atau ‘hai’ lemah. kukatakan beberapa hal dan menyampaikan pesan dari kerabat dan teman-teman, sebagian merencanakan berkunjung.

“terus juga—” aku tercekat. pada akhirnya aku juga harus mengatakan ini, semuanya, selagi aku masih bisa menyampaikannya.

“terus juga aku minta maaf,” kataku. “buat semuanya. maaf selama ini banyak kurang-kurangnya. buatku juga aku sudah memaafkan, kita saling baik-baik, kamu enggak usah khawatir. terima kasih, terima kasih…”

aku tercekat. lagi. tenggorokanku panas.

kuperhatikan sekilas air mata menetes dari sisi kirinya. sekilas juga kudengar dia menyahut dengan ‘hoh’ lemah, yang pada seringnya kupahami sebagai pernyataan ‘iya’ dan persetujuan antara kami dalam banyak hal.

aku memalingkan muka. melangkah ke jendela. kurasakan mataku basah. orang bilang laki-laki tidak menangis. bohong.

 

/2

pada saat itu kami sedang menonton serial lewat layanan Netflix di rumah. biasanya pada sore-sore akhir pekan seperti ini kami menghabiskan waktu dengan kopi dan cemilan sambil nonton sembarang dan ngobrol seadanya.

sore itu, kami sedang menonton salah satu episode serial animasi Gudetama. ceritanya komedi sedikit absurd tentang petualangan telur dan anak ayam menjelajahi dunia, dan pada saat itu kami sedang memperhatikan kekacauan kecil di layar saja.

“Gudetama mau membusuk! kita harus menemukan kecap, cepat, cepat!” demikian kata si anak ayam Shakipiyo ketika melihat temannya si telur Gudetama tampaknya kurang sehat di awal episode.

“ah, merepotkan sekaliii,” kata Gudetama, dengan malasnya, “padahal tidak apa-apa seperti ini sajaaa,” yang akhirnya berlanjut dengan kekacauan-kekacauan dan komedi di layar kaca di depan kami.

aku ingat kami sedikit geleng-geleng kepala dengan adegan absurd di layar kaca (yang sebenarnya lucu juga). tapi pada akhirnya mereka berhasil menemukan kecap dan Gudetama tidak jadi membusuk, kemudian episode selesai.

“hoh,” komentarnya, “orang senang sekali memanjang-manjangkan umur…”

aku ingat aku hanya tertawa. memang seperti itu juga yang berlaku untuk banyak dari kita, banyak dari manusia. aku ingat waktu itu aku menyeruput Coffeemix dengan air panas dari termos. di hadapannya, seperti biasa, teko berisi seduhan daun-daun teh dari bungkus Cap Botol dengan air yang baru direbus beberapa belas menit sebelumnya.

 

/6

pekan-pekan bulan dan tahun berlalu, dan pada akhirnya kita berada di sini juga. hari-hari ini aku kembali menonton Star Trek, kadang-kadang juga menonton version francaise di TV5MONDE, dan dengan semuanya itu kurasa kita juga membiasakan diri dengan kehilangan-kehilangan.

walaupun juga tidak selalu selamanya mudah. maksudku, secara harfiah juga aku sudah bertemu anak itu sebelum aku lahir, jadi bagaimana, ya.

hari ini tanggal 5 Oktober. selamat ulang tahun, bocah. selama dulu itu kita tidak selalu bisa lebih banyak omong soal ini, tapi bagaimanapun toh seringnya tidak perlu banyak kata-kata di antara kita. buatku cukup, kurasa buatmu juga demikian.

pada akhirnya kurasa aku hanya ingin mengucapkan ‘terima kasih’ saja. aku harap tulisan ini tidak buruk-buruk amat untuk menyampaikannya.

 

/5

pada bulan-bulan setelah kepergiannya, pada sebuah mimpi pada malam hari yang rasanya sedikit aneh, aku ingat aku menemuinya.

kami bertemu pada malam hari. kami berada di sebuah tempat entah seperti lapangan bermain atau taman dalam kota. bintang-bintang di atas kepala kami. dia tampak berdiri dan berjalan-jalan, sesuatu yang sudah lama aku tak melihatnya.

kami mengobrol sekilas. kuperhatikan dia tampak kalem dan santai, sesekali berjalan-jalan dan berjongkok memperhatikan rumput di taman. pada akhirnya, pada waktunya aku pamit.

“aku duluan,” kataku.

“hm,”

“aku bilang ibu kamu agak terlambat.”

“oke.”

pada saatnya aku terbangun, seperti biasa, tidak perlu banyak kata-kata. tapi seperti biasa juga, buatku seperti ini saja cukup.