pada siang yang berdebu

percuma merutuk untuk mengharapkan panas itu pergi; aku sudah lama belajar bahwa panas pukul satu-limabelas tidak akan sudi untuk sirna hanya dengan umpatan yang keluar seolah tersedak dari hati yang juga sepat.

di jalanan yang berdebu, kerumunan orang seolah tak hirau; bus-bus saling mendahului, kadang disela umpatan sopir atau kenek yang merasa dihalangi oleh mobil angkutan kota yang kurang ajar memotong jalan. di antara deru debu dan aspal yang seolah membara menembus sepatu, hanya melangkah dan — sama halnya dengan yang lain — tak terlalu hirau dengan keadaan: apa yang ada, dan adalah ia. tak tersentuh, tak terpedulikan.

aku heran akan dunia; pada suatu siang yang panas dan berdebu, beberapa orang-orang muda di gedung berpendingin-udara. membuka komputer jinjing di laboratorium komputer yang kadang terlalu-dingin, menikmati selapis tipis kemewahan singkat dari golongan — ah, begitulah dunia!

sementara di atas aspal membara yang seolah berniat menembus sepatu kets butut, di depanku mereka: pengamen muda naik ke bus kota, dengan gitar-seadanya dan suara kurang-mutu. klakson mobil angkutan kota dan bus menciptakan kegaduhan yang berisik; dan apa-apa yang tersisa dari apa yang bernama modernisme: spanduk yang kotor menantang waktu, dan papan nama yang belum rela diganti.

dunia yang bernama ‘kota’: membawa apa-apa yang baik dan yang buruk dari modernisme — orang-orang terpilih di kampus berpendingin-udara, para pemegang masa depan dengan komputer jinjing keluaran baru yang ringkas dan gaya. atau yang lain — yang terlupakan, yang tak terpedulikan. para preman dan pengemis; penipu dan pengamen; dan orang-orang, semua yang ada di sisi trotoar panas dan jalan yang berdebu.

bruk.

sebuah sepeda motor menantang arus di trotoar, menyentakkan rasa sakit di lengan dari belakangku.

“HATI-HATI KALAU JALAN!”

sang pengendara sialan itu berteriak, penuh emosi. seharusnya, aku yang berteriak seperti itu: menyemprotkan umpatan ke wajahnya, atau mendaratkan tendangan ke knalpot sepeda motor sialan itu.

seandainya bisa, aku ingin melihatnya terjatuh — sepeda motor yang selip, dan menggelincirkannya ke jalan, membiarkan sebuah bus yang tak-peduli melintas dan menghancurkan kepala dan helm yang terlepas itu. meninggalkan jejak darah dan mungkin sisa-sisa otak manusia di jalanan yang kering, kurasa itu sungguh layak kalau aku cukup hanya melihatnya terjadi.

debu jalan dan terik tengah-hari merupakan sebagian dari apa-apa yang meledakkan emosi; memancing ketidaksabaran dan menarik-narik keinginan yang brutal dari sekelebat kekejaman. dan mata kail bagi sisi gelap dari sebuah kekinian: kekejaman untuk mencurigai mereka yang mungkin berbahaya; paranoia adalah senjata, kecurigaan adalah makna.

ah, dunia! lihat mereka yang terpilih! para calon pemimpin bangsa — yang cerdas, yang hebat! di menara gading perjuangan, di ruangan berpendingin-udara, meributkan makna tugas kuliah atau konstitusi politik kampus? mereka, yang berangkat dengan mobil keluaran-baru atau motor yang penuh gaya? wujud menara gading intelektual senilai triliunan rupiah, lengkap dengan kemewahan seperlunya.

mobil-mobil bagus, apalah itu? meluncur dengan sedikit-sombong di antara simbol-simbol kapitalisme; tempat perputaran rupiah dan semua yang terlibat di dalamnya: uang, dan kebutuhan artifisial yang diciptakan oleh juru runding penguasa modal. mereka adalah ikon segregasi mutlak: pembatasan dan pemisahan harga diri dan status oleh selembar kaca mobil.

sementara sopir angkutan kota berteriak-teriak; bus kota dan kadang truk mengklakson; dan orang-orang tak hirau. di antara penipu dan mungkin copet atau rampok di atas bus kota, orang-orang tetap tak hirau; diam, kalau mau selamat. mati, kalau cari gara-gara.

pengemis menengadah — entah asli atau palsu, tulus atau memaksa. ribut peluit dan teriakan para tukang parkir menciptakan kontradiksi kecil-tidak-penting: simbol kemapanan yang tunduk pada produk sampingan kapitalisme. dan layaknya semut-semut di antara remah roti, para tukang ojek memperebutkan penumpang — yang sedikit dan tak banyak, dan yang tak hirau dan tetap melangkah.

pada siang yang berdebu, di atas aspal yang seolah membara sampai ke kaki. dunia seolah terbelah di kota yang memiliki dua wajah: frustrasi dan kegetiran, di balik kenyamanan dan kemapanan.

…apa, keadilan dunia?

mimpi!

Leave a Reply