pmb itu…

…sebenarnya buat apa, sih?

belakangan ini, hal ini agak menjadi concern gw… bahkan, kalau mau jujur, gw ke-concern-an gw ini (‘ke-concern-an’? alah, bahasa apa pula ini?) sudah berlangsung lama, bahkan sebelum penerimaan mahasiswa baru di kampus dimulai.

kenapa begitu? sebagian karena gw merasa bahwa banyak, banyak sekali hal-hal bagus yang disampaikan ketika PMB (= penyambutan mahasiswa baru), ternyata menguap dan (hampir) tidak ada bekasnya ketika gw menjalani kehidupan kampus. idealisme yang terbentuk, ‘kekompakan’ yang ada dan sebagainya akhirnya hilang (hampir) tak berbekas.

dan sedihnya, bukan cuma itu. kadang, dengan segala pernak-perniknya, gw merasa bahwa PMB menjadi kehilangan esensinya. dan kadang, gw berpikir bahwa PMB hanyalah ‘pesta senang-senang’ yang diadakan setahun sekali, bertepatan dengan hadirnya mahasiswa baru di kampus. mungkin, dengan ditambah sedikit ajang tebar pesona lintas angkatan… (well… ini fenomena yang umum di mana-mana, sih)

…tapi selain itu, apa?

misalnya begini. setiap kali PMB, ditekankan bahwa peserta harus berpakaian ‘rapi’ (definisi ‘rapi’: kemeja, dimasukkan ke dalam celana bahan non-jeans atau cargo, lengkap dengan ikat pinggang dan sepatu). ini hal yang bagus. maksud gw, siapa sih yang tidak setuju bahwa berpakaian rapi itu baik adanya? dan hal ini diikuti dengan keteladanan dari panitia. niatan yang baik, dan (kelihatannya) dilaksanakan dengan baik.

tapi, sedihnya, hal tersebut hanya seumur jagung. selama PMB, hal tersebut memang berlaku. setelah itu? (eks) panitia mengenakan kaos oblong dan jeans belel ke kampus. (eks) peserta memakai sandal jepit ke kelas ketika kuliah. dan apa yang tertinggal dari kebiasaan berpakaian rapi? mungkin ada. tapi tidak sebanyak dulu.

contoh lain. dalam masa PMB, peserta diharapkan untuk selalu senyum, sapa, dan salam terhadap elemen-elemen kampus. hal ini juga dilakukan oleh panitia sebagai bentuk keteladanan. tapi, apa yang terjadi setelah PMB? mungkin, masih ada beberapa mahasiswa yang mempertahankan kebiasaan baik tersebut. beberapa (eks) panitia, beberapa (eks) peserta. tapi yang lain, tidak.

contoh lain lagi. kekompakan angkatan. dalam masa PMB, ‘angkatan’ (…konsep yang agak kurang gw suka, sebenarnya) adalah sebuah kata yang ‘sakral’. dalam masa PMB, ditekankan bahwa ‘angkatan’ itu penting. ditekankan bahwa ‘angkatan’ harus solid. ditekankan juga bahwa ada ‘kesalahan angkatan’ selain ‘kesalahan individu’.

…tapi setelah itu, tidak ada lagi suatu kepentingan ‘angkatan’. bahkan, dalam beberapa kasus, ada beberapa kalangan yang berpendapat bahwa suatu angkatan adalah ‘gagal’, sementara angkatan yang lain ‘berhasil’. dan ada angkatan ‘ganjil’, ‘genap’, dan apalah-itu. kita seolah ‘terpecah’ oleh suatu atribut yang bernama ‘angkatan’. padahal, ‘angkatan’ hanyalah ditentukan oleh saat mahasiswa datang ke kampus.

dan setelah itu, kita memasuki dunia kuliah. tidak peduli siapa angkatan berapa, kadang kita berhubungan dengan orang-orang lintas angkatan. mungkin, rekan di sebelah kita dalam kuliah Basis Data adalah angkatan atas kita, atau rekan kita dalam kuliah Teori Bahasa dan Automata adalah angkatan bawah kita. di lembaga kemahasiswaan, pengurus yang ada seringkali lintas angkatan. mungkin juga, dalam suatu kasus ada seorang cowok yang naksir seorang cewek yang kebetulan satu angkatan di atasnya… (lho?)

jadi, mari kita pikirkan dengan baik. apakah gunanya ‘angkatan’ itu kalau begini? adakah hanya untuk konsumsi acara PMB? ataukah hanya sebagai ‘bahan bakar’ untuk membangun tekanan, dengan dalih ‘angkatan tidak kompak’?

kadang, gw merasa bahwa PMB seolah kehilangan esensi. bahwa kita hanya ‘senang-senang’ sambil menambah pengalaman mengorganisasi suatu event dalam rangkaian acara PMB. bahwa sekalipun kita membicarakan dan menanamkan hal yang baik-baik, ternyata kita sendiri yang akan meninggalkannya begitu rangkaian acara PMB usai.

tentu saja, dalam prosesnya, mungkin ada hal-hal yang menyenangkan bagi kedua belah pihak. mungkin panitia bisa agak ‘senang’ karena bisa ‘memerintah’ para mahasiswa baru, sementara para mahasiswa baru ‘senang’ karena merasakan suatu kesan yang mendalam dengan adanya kegiatan PMB, yang mungkin diakhiri secara ‘berkesan’ pula. dan hal ini memang bisa dikatakan sebagai ‘meninggalkan kesan yang mendalam’ bagi beberapa individu.

tapi, apa yang kita perjuangkan?

waktu itu malam hari. sebagai bagian dari tim acara, gw bertugas mengawasi jalannya acara puncak, sekaligus bertugas sebagai timekeeper. pengkondisian suasana sudah hampir selesai.

acara puncak dimulai. tekanan tinggi. tekanan fisik, yel-yel, dan apapun yang bisa digunakan, dilakukan oleh panitia dan peserta. suasana gaduh. dalam acara PMB, tekanan fisik dan mental telah mencapai puncaknya di acara ini.

apa yang sebenarnya gw perjuangkan? gw bertanya dalam hati. hal-hal seperti inikah?

di hadapan gw, acara telah mencapai puncak. tekanan dan kegaduhan semakin meninggi. dan gw bertanya-tanya: benarkah hal ini yang ingin gw perjuangkan?

dan akhirnya. diakhiri dengan penutupan yang ‘berkesan’, panitia dan peserta tenggelam dalam euforia pasca puncak acara. yel-yel diteriakkan. kebanggaan menguar di udara.

“aah, gila! tadi itu keren banget!” demikian seorang rekan di sebelah gw berkata. “penutupannya itu keren abis!”

sendirian, di balik angin dingin yang terkalahkan oleh euforia, gw bertanya-tanya. apa artinya ini semua?

rekan-rekan gw larut dalam euforia: acara yang seru, penutupan yang berkesan, dan angkatan yang baru datang. peserta dan panitia melebur dalam tawa.

gw mencoba untuk tersenyum. tidak berhasil.

gw berbalik, dan melangkah pergi. tugas gw sudah selesai.

___

and sometimes, there is just not enough of a reason to do something…

4 thoughts on “pmb itu…”

  1. yah, sebenarnya ada bagusnya juga, kok. dan ada untungnya juga sebagai mahasiswa baru mengikuti kegiatan seperti itu… tapi ini relatif, sih.

    hanya saja, tampaknya hal-hal seperti ini yang seringkali kehilangan esensi, dan akhirnya jatuh menjadi ‘acara senang-senang dengan mahasiswa baru’. yah, tahu sendiri deh maksudnya 😛

    pertanyaan besarnya, sebenarnya ada di awal tulisan di atas. kalau tidak ada jawaban yang cukup layak, buat apa dilaksanakan? itu kan hal yang sederhana saja.

    Reply

Leave a Reply