psikologi pemasaran

beberapa waktu yang lalu, gw pergi ke ke sebuah tempat di daerah Kemayoran. yah, tempat ini biasanya disebut oleh orang sebagai ‘Pekan Raya Jakarta’ atau ‘Jakarta Fair’ atau ‘PRJ’. sebenarnya tidak ada yang istimewa amat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya (gw sudah beberapa kali datang ke PRJ dalam beberapa tahun terakhir), tapi ada hal yang menarik (yang sebenarnya terjadi setiap tahun), dan selalu menjadi pemikiran gw setiap kali pulang dari PRJ. yah, sekarang gw coba menuliskannya di sini.

ada yang pernah pergi ke PRJ? kalau anda pernah mendatangi Pekan Raya yang diadakan cuma sekali setahun ini, anda mungkin menyadari bahwa ketika anda membeli tiket masuk, anda tidak hanya akan menerima tiket, tetapi juga beberapa lembar potongan kupon untuk digunakan dalam pembelian beberapa item di arena PRJ. biasanya, kupon tersebut bertuliskan ‘tukarkan kupon ini di counter’ berikut harga barang-barang yang bisa ditukarkan dengan harga ‘spesial’ di counter-counter tersebut dengan menyerahkan potongan kupon yang kita miliki. contohnya misalnya ‘tukarkan kupon ini di counter kami, dan anda bisa mendapatkan dua buah minuman kotak dengan membayar hanya seharga Rp 3.000,-‘

…ada yang sudah menyadari triknya? kalau belum, silakan teruskan membaca.

sebenarnya, kupon itu bukanlah kupon bohongan. maksudnya, bila anda membeli tanpa menggunakan kupon, anda memang dikenai charge yang lebih besar. yah, jadi memang ada perbedaan antara ‘beli dengan kupon’ dan ‘beli tanpa kupon’. tapi ada beberapa poin yang penting di sini.

satu. harga yang ada di kupon tidak lebih rendah dari harga normal yang ada di pasar. biasanya sama, atau dalam beberapa kasus (yang jarang terjadi) sedikit lebih mahal. jadi, sebenarnya kupon tersebut tidak memberikan keuntungan yang signifikan dibandingkan ketika kita membeli item tersebut di luar arena.

misalnya begini. dalam salah satu kunjungan, gw menerima sebuah kupon seperti ini: ‘tukarkan kupon ini untuk mendapatkan 1 pc hamburger dan 2 botol jus dengan menambahkan rp 10.000,-‘. kalau dipikir-pikir, harga satu botol jus 500 ml paling mahal adalah rp 3.000,-. dan harga satu pc hamburger yang ‘seperti itu’ kira-kira rp 4.000,- kalau gw beli di dekat rumah. jadi? totalnya memang rp 10.000,-. sama sekali bukan penawaran yang ‘lebih murah’ atau ‘diskon’. walaupun demikian, kalau anda mencoba membeli tanpa kupon, charge-nya akan lebih tinggi. jadi memang kuponnya tidak bohong, sih.

dua. kalau anda berpikir bahwa ‘dengan menggunakan kupon, saya mendapatkan keuntungan dibandingkan orang lain karena bisa beli lebih murah’, anda salah besar. kenyataannya, setiap produsen yang memberikan kupon bisa dikatakan tidak mengharapkan ‘pembelian di luar kupon’.

tidak percaya? coba kita buktikan. setiap orang yang masuk ke arena harus memiliki tiket. dan kupon-kupon ‘spesial’ tersebut diberikan bersamaan dengan tiket. jadi? bisa dikatakan bahwa setiap orang memiliki hak yang sama dalam mendapatkan ‘harga spesial’. jadi, paradigmanya terbalik: bukannya orang-orang dengan kupon yang beruntung, tetapi justru orang-orang yang membeli tanpa kupon itu sial. kenapa begitu? sebab semua orang memiliki kesempatan untuk membeli dengan ‘harga spesial’. seluruh pengunjung yang ada di arena memiliki kupon. dan berapa orang sih yang mau membeli, misalnya, satu botol jus lagi untuk diminum di lokasi setelah mendapatkan tiga botol jus dengan ‘harga spesial’?

jadi, dalam kasus ini, produsen justru memperhitungkan pembelian dengan kupon sebagai ‘margin standar’, sementara adanya pembelian tanpa kupon sebagai ‘margin atas’. tentu saja, ini berarti pembelian tanpa kupon dianggap sebagai sesuatu yang ‘bagus kalau ada, tapi kalau tidak ya tidak apa-apa’.

tiga. item yang ada di kupon biasanya bisa ditukarkan dengan ‘harga spesial’ dengan jumlah tertentu (yang biasanya lumayan banyak). misalnya begini. tukarkan kupon dan rp 10.000,- untuk burger dan 3 botol jus 500 ml. atau tukarkan kupon dan rp 18.000 untuk 2 pcs burger ukuran besar dan 1 botol jus 500 ml.

jumlah demikian bukanlah untuk konsumsi satu orang. tujuannya? ketika kesan ‘harga spesial’ muncul di benak pengunjung, pada saat itu pula pembelian barang ‘dipaksa’ untuk terjadi dalam jumlah agak banyak. keuntungan produsen di sini. tentu saja, sebab dengan semakin banyaknya barang yang dibeli, keuntungan produsen akan semakin meningkat. dihubungkan ke poin kedua, maka hampir dapat dipastikan (kecuali mungkin beberapa outlier) bahwa pembelian tanpa kupon hampir tidak mungkin terjadi. apalagi dengan kenyataan bahwa pengunjung biasanya datang berombongan, mengakibatkan kemungkinan share barang hasil pembelian dengan kupon.

empat. strategi ‘beli dengan kupon’ adalah praktek pemasaran dengan pendekatan psikologis yang cerdas. pemberian kesan ‘harga spesial’ (padahal semua pengunjung bisa mendapatkannya) mengakibatkan calon pembeli merasa eksklusif (karena merasa mendapatkan keuntungan). demikian juga penggunaan kupon sebagai media promosi yang personal kepada calon pembeli merupakan suatu hal yang ‘menjamin tersampaikannya promosi’.

dan pendekatan personal ‘kupon dan harga spesial’ ini sebenarnya yang membedakan dengan pendekatan personal yang biasa (misalnya flyer atau leaflet). kenapa? karena kupon. ketika calon pembeli mengetahui (atau merasa) bahwa ada keuntungan yang akan diperolehnya, maka secara otomatis image dari produk akan tertanam dalam benak calon pembeli tersebut. hal ini yang membedakan dengan promosi personal yang biasa. adanya perasaan ‘ada keuntungan yang diraih dari produk yang dipromosikan’ akhirnya mengakibatkan promosi dengan konsep ‘kupon dan harga spesial’ lebih efektif.

kesimpulannya? yah, bisa dikatakan konsep pemasaran dengan ‘kupon harga spesial’ adalah praktek pemasaran yang menumpukan taktiknya pada aspek psikologis calon konsumen. dan kalau menurut gw sih, ini cara yang cerdas. apalagi ketika dihadapkan kepada kenyataan bahwa pengunjung umumnya sebagian besar adalah wanita (yang cenderung menggunakan ‘matematika keuntungan’ dalam keputusan membeli atau tidak membeli), maka taktik seperti ini dapat diharapkan untuk berjalan dengan efektif.

…gw bertanya-tanya, berapa besar anggaran dari departemen pemasaran perusahaan produsen yang dikeluarkan untuk membayar psikolog dan pengamat sosial. cara-cara seperti ini cukup cerdas juga, sebenarnya.

peraturan itu…

…untuk dipatuhi?

…untuk dilanggar?

…untuk dicari celahnya?

well, sebenarnya hal seperti ini sangat tergantung kepada masing-masing individu. maksudnya, kadang memang ada individu yang ‘selalu mencari keuntungan’, dan ada juga individu yang ‘komitmen dengan apa yang disetujui’. yah, ini tergantung orang, sih.

gw adalah orang yang goal-oriented. maksudnya, kadang gw agak kurang suka kalau ada terlalu banyak peraturan yang rasanya malah ‘menghalangi jalan gw dalam melakukan sesuatu’. bukan. mungkin lebih tepat kalau disebut sebagai ‘membuat susah hal yang sebenarnya gampang’. tapi nggak masalah, sih. gw cukup bisa menerima peraturan – sejauh gw anggap peraturan itu bukan sebagai sesuatu yang memberatkan. maksudnya? yah, kira-kira suatu keadaan di mana ‘ada keteraturan, tapi tidak sampai membatasi ruang gerak gw’. begitulah pokoknya.

dan kadang, sifat gw yang ‘agak semaunya’ dalam mengerjakan sesuatu (yang penting hasilnya, kan?) membuat gw agak ‘merasa gimana-gitu’ ketika dihadapkan pada peraturan yang prosedural dan protokoler. terlebih, ketika gw dihadapkan pada kenyataan bahwa gw harus menjadi ‘penegak peraturan’. waduh. padahal gw agak kurang suka dengan segala hal yang berbau protokoler, apalagi komando!

tapi dalam kasus ini, gw (untungnya) tidak harus sampai bertingkah sebagai seorang komandan yang strict dalam menegakkan peraturan – hal yang paling gw benci adalah ketika gw disuruh-suruh orang dan tidak boleh bertanya. apalagi kalau gw harus menjadi orang seperti itu!

OK, sebelum anda pembaca mungkin tambah bingung, mari kita perjelas dulu situasinya.

ini terjadi beberapa waktu yang lalu. jadi ceritanya, gw sedang dalam keadaan di mana sesuatu yang ‘penting’ sedang terjadi. pembuatan tata tertib. maksudnya, pembuatan peraturan yang akan disetujui dan dilaksanakan bersama. dan hal ini dilakukan secara demokratis – setiap peserta berhak mengajukan pendapat, dan setiap pendapat memiliki hak yang sama untuk dipertimbangkan.

sebenarnya, gw nggak masalah dengan adanya peraturan. menurut gw, itu adalah hal yang bagus. keteraturan itu perlu. tapi, ketika sampai ke bagian redaksional yang esensinya kayaknya di situ-situ saja (dan semakin berputar-putar nggak jelas!), gw mulai merasa bosan. kayaknya pembahasan nggak maju-maju, padahal menurut gw masalahnya sudah jelas sekali di depan gw. whatever, yang akhirnya bisa gw lakukan hanyalah berusaha supaya perdebatan tadi ‘tidak sampai berputar-putar nggak jelas dan cepat selesai’.

OK. akhirnya peraturan yang disepakati dan (seharusnya) ditaati bersama selesai. gw agak lega, walaupun gw tahu: peraturan seperti ini tidak akan ditaati oleh seluruh orang yang menyepakatinya. dan secara jujur, gw bahkan tidak yakin bahwa ada yang ingat isi pasal-per-pasalnya (duh…)

dan gong-nya adalah kenyataan bahwa gw ditunjuk sebagai salah satu ‘penegak peraturan’ yang harus memantau orang-orang yang menyepakati peraturan tersebut. maksudnya? yah, menyatakan pelanggaran, memberikan teguran, dan sebagainya. sebenarnya, ini bukanlah hal yang akan gw lakukan dengan senang hati. masalahnya, gw juga tidak merasa memiliki keberatan soal itu… yah, mungkin bisa dikatakan bahwa pada saat itu keadaan gw ‘tidak menolak’, bukannya ‘mau dengan senang hati’. yah, begitu deh.

jadi. akhirnya. seperti perkiraan gw semula. peraturan yang disepakati sendiri, akhirnya malah kebanyakan dilanggar sendiri. atau mungkin ‘tidak dilanggar, hanya menggunakan celah yang ada dari peraturan’. tuh kan. sejak awal gw sudah tahu bahwa hal seperti itu tidak ada gunanya diperjuangkan, apalagi sampai ada debat kusir yang berkepanjangan. toh akhirnya begitu juga.

tapi ada masalah kecil. gw sudah menyatakan komitmen sebagai salah satu ‘penegak peraturan’. jadi, dengan berat hati (walaupun mungkin beberapa orang tidak memandangnya demikian =P ), ada beberapa teguran atas pelanggaran yang dilakukan. yah, mohon maaf deh. gw juga bukannya suka hal yang protokoler seperti itu, tapi masalahnya, gw diberi tanggung jawab untuk melakukan itu. dan mungkin, walaupun gw tidak terlalu suka peraturan yang ‘strict dan mengikat’, setidaknya ada hal yang bisa gw katakan sebagai tanggapan terhadap keadaan tersebut: setidaknya, cobalah untuk mentaati hal yang sudah disepakati sendiri!

dan gw bertanya-tanya juga, sih. apa gunanya semua itu kalau begitu? buat apa segala debat kusir yang berkepanjangan dan sempat tidak jelas juntrungannya? apa gunanya peraturan yang telah disepakati kalau tidak ditaati oleh semua yang menyepakatinya?

nah. cukup ceritanya. apa hikmah dari pengalaman gw tersebut? setidaknya gw belajar beberapa hal.

satu. demokrasi kadang melahirkan inefisiensi yang dalam beberapa kasus malah tidak perlu terjadi. lihat contoh di atas. apa gunanya peraturan kalau cuma untuk dilanggar?

dua. ‘perasaan’ dan ‘komitmen’ adalah dua hal yang berbeda. dalam kasus kedua hal tersebut bertentangan, komitmen adalah prioritas utama.

tiga. selalu ada hal yang bisa dipelajari, bahkan dari keadaan yang mungkin ‘tidak sesuai harapan’. setidaknya, sesuatu tidak sia-sia.

___

pemikiran pribadi. silakan comment kalau ada tanggapan =)