angkutan kota (di balik lima ribu rupiah saja)

“jangan biarkan orang baik gampang berbuat dosa, dek.”

_

saya adalah pengguna transportasi umum, dan saya merasa baik-baik saja dengan keadaan tersebut. sisi bagusnya setidaknya hal tersebut terjadi karena pilihan alih-alih keadaan —ngomong-ngomong saya sendiri tidak punya rencana mencicil mobil dalam waktu dekat— demikian juga bukan berarti saya jadi tidak pernah atau tidak biasa pergi dengan kendaraan pribadi.

sementara di sisi lain, saya kira mudah juga untuk merutuk-rutuk soal idealisme dan kenyataan bahwa agaknya semua orang ingin kota yang tidak macet dan jalanan lancar… walaupun apakah semua punya niat dan tekad untuk tidak sebatas ‘ingin’, yah, soal itu saya serahkan saja ke pembaca. baiknya kan tidak asal menghakimi, lagipula siapa sih saya.

baiklah, kembali ke lap— judul, terus apa hubungannya transportasi umum dengan selembar lima ribu rupiah?

gampang atuh, itu kan ongkos angkutan kota saya pulang ke rumah. hehe.

dulu bisa mengantar pulang. terus nggak bisa. terus bisa lagi. begini ceritanya.

 

anda pembaca mungkin ingat, beberapa waktu yang lalu sempat terjadi kenaikan harga bahan bakar minyak. yang mempengaruhi besaran ongkos angkutan kota. yang kemudian harganya diturunkan kembali. dan diturunkan lagi… tapi agaknya tidak benar-benar mempengaruhi turunnya ongkos yang harus dibayarkan pengguna angkutan kota.

lho kok bisa begitu? tanya kenapa.

padahal logikanya kan begini: sebelum harga bensin naik, ongkos saya lima ribu rupiah. setelah harga bensin naik, ongkos saya naik. setelah harga bensin kembali ke level sebelumnya, ongkos saya…

seharusnya. kembali. ke. lima. ribu. rupiah. kan begitu?

baiklah, beberapa pembaca mungkin akan mulai berpikir bahwa saya adalah kelas menengah ngehe[1] yang memasalahkan satu-dua ribu rupiah demi mereka yang —kalau bisa disebut seperti itu— adalah ‘wong cilik’. orang kecil[2]. bahwa seharusnya saya dengan ringan hati membantu mereka, baiknya saya bersedia membayar mahal karena kebetulan saya mungkin lebih berkecukupan.

seandainya sesederhana itu. tapi sayangnya tidak. karena buat saya, ada sesuatu yang mendalam di sini.

saya mengasumsikan ibunya pak kopaja mendoakan anaknya bisa baik bahagia
alih-alih berubah jadi robot raksasa. sorry, can’t resist. →

 

ketika ongkos angkutan kota tidak mau turun, bukan cuma saya yang kena imbas. ada orang-orang lain, dari kelas sosial yang mungkin tidak seberuntung saya, yang juga terkena dampaknya. mas-mas yang kerja di pusat elektronik dan mengurus stok toko, atau ibu-ibu yang mengurusi administrasi dan akuntansi, demikian juga yang lain-lain sejenisnya. orang-orang yang, setiap hari perjalanannya, apabila ditambah dua-tiga ribu rupiah untuk bolak-balik, kelebihannya jadi tidak bisa digunakan untuk membeli lebih banyak sayur atau daging ayam dan barangkali susu bubuk.

sementara beban operasional angkutan kota pada dasarnya sudah kembali turun seiring dengan turunnya harga bahan bakar minyak.

saya percaya bahwa pada umumnya pak supir, kenek, dan juragan angkot adalah orang-orang yang setidaknya berusaha baik. pada umumnya lho ya. tapi dengan membiarkan ongkos tidak turun, ada semacam pembiaran di situ. pembiaran untuk berbuat zalim kepada orang-orang yang tidak selalu bisa, mau, dan ingin membela kebutuhan mereka sendiri. orang-orang biasa —seperti saya dan anda— yang mungkin memilih diam karena tidak ingin ribut, mungkin dengan sedikit takut, atau mungkin untuk alasan-alasan lain.

tapi ya apa bagus begitu, saya juga bertanya-tanya. bukankah dengan demikian keuntungan penyedia jasa dan angkutan —yang notabene tidak selalu jelas manajemennya— dialihkan ke beban pengguna umum. yang pada gilirannya akan teraniaya juga dengan beban biaya angkutan yang terakumulasi setiap hari sementara beban biaya tersebut seharusnya bisa lebih rendah.

 

atau moda transportasi murah! landak, landak, naik balonn… #krik

 

‘jangan biarkan orang baik gampang berbuat dosa’. demikian pesan yang selalu saya ingat.

karena di balik tambahan dua-tiga ribu rupiah setiap harinya, ada upaya perbaikan kelas sosial yang menjadi lebih sulit untuk mereka yang mencoba bekerja baik dan jujur. karena ada sesuatu yang salah sekali kalau sampai lebih murah dan lebih efisien buat mereka yang pas-pasan untuk mencicil sepeda motor dan mengisi premium untuk transportasi sehari-hari. karena ketika semua orang ingin punya sepeda motor dan mobil sendiri, tidak ada yang untung dengan ruas-ruas jalan yang tak akan berkurang kemacetannya.

walaupun, sedihnya, agaknya keadaan di sekitar saya saat ini memang cenderung mengarah ke sana.

oleh karena itu, ketika perlu berurusan dengan angkutan kota di tempat saya, belakangan ini saya memutuskan untuk selalu membawa uang pas saja. lima ribu rupiah. kalaupun pak supir meminta lebih, saya katakan bahwa biasanya pun saya membayar sejumlah demikian untuk jarak yang serupa. apakah membantu juga bahwa saya termasuk warga yang sudah lewat dari dua puluh tahun lalu-lalang menggunakan angkutan kota di tempat saya, mungkin bisa jadi juga.

demikian juga ketika suatu saat, barangkali dalam salah satu perjalanan yang sesekali kita semua mengalami;

“kalau sampai ujung, ongkosnya berapa, dek?”

“saya sih biasanya lima ribu. tapi uang pas saja, bu. takutnya nggak ada kembalian.”

saya kira seperti itu.

tidak selalu harus semuanya dengan konfrontasi. walaupun mungkin sesekali perlu. di sisi lain kadang saya bertanya-tanya juga; ada tidak ya, sesuatu lain, yang lebih, yang bisa saya lakukan soal ini…

karena, bagaimana, ya. buat saya, soal transportasi dan angkutan kota ini memang bukan cuma soal dua, tiga, atau lima ribu rupiah saja.

 

 

___

[1] saya tidak suka argumen ini. ini argumen yang mungkin ingin terdengar cerdas, tapi sayangnya prematur dan punya sesat logika berupa straw man argument.

[2] kalau mau sama-sama jujur dan adil, argumentasi ‘wong cilik’ dan ‘kelas menengah ngehe’ ini sama-sama sesat logika ala straw man. kalau semua sama-sama mau benar, ya sulit.

[3] image credits:

2 thoughts on “angkutan kota (di balik lima ribu rupiah saja)”

Leave a Reply to yud1 Cancel reply